Senin, 28 Desember 2009

Masalah perumahan pasca tsunami

BBC
Terbaru 26 Desember 2009 - 10:51 GMT

Lima tahun setelah tsunami dan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi, BRR, sudah dibubarkan namun rupanya masih ada masalah perumahan bagi para korban yang selamat dari bencana itu.
Kekecewaan diungkapkan oleh Nurasyiah, seorang waraga di Desa Baruh, Blang Rimung, Aceh Utara, sambil memperlihatkan rumah darurat yang dihuninya.
Banyak lubang di dindingnya dan rumah itu dibangun dengan menggunakan kayu hanyut yang ditemukan karena terbawa ombak, bukan papan baru.
Nurasyiah, yang sehari-harinya mendapatkan nafkah dengan bertani dan melaut, masih tetap menunggu bantuan seperti dijelaskannya dalam bahasa daerah kepada koresponden lepas BBC Indonesia, Syaiful Djunet.

Tukar format AV

Menurut Sekretaris Desa, Aswir, mereka tidak pernah mendapatkan bantuan yang cukup walaupun puluhan rumah warga rusak.
"Bantuan yang kami peroleh itu hanya berupa makanan ataupun pakaian dan jaminan hidup selama enam bulan."
"Kami kecewa karena melihat di kampung sebelah yang dibangun."
Upaya hukum

BRR sendiri mengaku ada yang tidak berhak namun mendapatkan rumah.
Taf Haikal
Setelah BRR dibubarkan karena dianggap tugasnya sudah selesai, dibentuk badan lain yang bernama Badan Kelanjutan Rekonstruksi Aceh.
Namun badan baru ini tidak berfungsi, seperti dijelaskan seorang pegiat bantuan tsunami, Taf Haikal.
"BRR sendiri mengaku ada yang tidak berhak namun mendapatkan rumah. Perlakuan ini apa? Dan masih ada orang-orang yang tinggal di barak," tambahnya.
Dia mengatakan diambil tindakan hukum karena masih banyak korban tsunami yang belum mendapatkan rumah.
"Terhadap rumah-rumah yang sudah diduduki oleh orang-orang yang tidak berhak, negara harus mengambil upaya hukum."
Namun pemerintah daerah menegaskan sudah menempuh berbagai upaya agar persoalan paska tsunami ini bisa diselesaikan.
Dalam salah satu laporan akhirnya, BRR mengatakan diperlukan pembangunan sekitar 120.000 rumah untuk masyarakat korban tsunami di Aceh.
Sejauh ini lebih dari 100.00 sudah dibangun walau masih ditemukan berbagai persoalan di lapangan dalam pembagiannya.


http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2009/12/091226_tsunamiaceh.shtml

Minggu, 27 Desember 2009

BKRA Dinilai belum Mampu Selesaikan Sisa Pekerjaan

Harian Serambi Indonesia
26 December 2009, 12:26

Utama
BANDA ACEH - Hari ini, 26 Desember 2009, masyarakat Aceh memperingati peristiwa dahsyat yang terjadi lima tahun lalu, gempa dan tsunami. Salah seorang aktivis LSM di Aceh, TAF Haikal menilai Badan Kelanjutan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BKRA) belum mampu menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Wagub Aceh Muhammad Nazar yang dimintai tanggapannya atas berbagai kritikan itu menyatakan bisa menerima sejauh bersifat konstruktif sebagai wujud tanggung jawab bersama untuk mempercepat pembangunan Aceh. Namun, mengenai BKRA, kata Nazar, dari segi penyerapan dana, sudah berjalan baik. Meski begitu, ke depan diharapkan lebih fokus lagi untuk mempercepat program pembangunan.

Sedangkan Kepala Badan Kelanjutan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BKRA), Iskandar yang dihubungi terpisah mengatakan, tugas yang diberikan kepada lembaga yang dipimpinnya berbeda dengan BRR. Berdasarkan mandat, BKRA hanya melakukan monitoring dan evaluasi rehab-rekon yang dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga terkait serta Pemerintah Aceh. “Maka saya heran kalau ada pihak yang mengatakan kinerja kita buruk,” kata Iskandar menanggapi penilaian BKRA belum mampu selesaikan sisa pekerjaan. Dalam siaran pers-nya kepada Serambi, Haikal menuliskan renungan lima tahun tsunami dan catatan akhir tahun untuk Pemerintah Aceh. Khusus untuk Pemerintah Aceh, Haikal menilai tidak ada terobosan yang fundamental untuk pembangunan daerah ini. “Sedangkan pasca-BRR, BKRA belum mampu menyelesaikan pekerjaan yang masih tersisa,” tulis Haikal.

Pekerjaan-pekerjaan yang masih tersisa itu--yang seharusnya menjadi tugas BKRA--menurut Haikal, antara lain memastikan dan memaksimalkan infrastruktur yang sudah dibangun oleh BRR tapi belum selesai (jalan Banda Aceh-Calang) atau fasilitas yang belum dimanfaatkan (Museum Tsunami Aceh). Pekerjaan lainnya, lanjut Haikal, memfasilitasi masyarakat korban yang masih di barak serta melakukan penyitaan rumah, baik yang mendapat lebih dari satu maupun yang tidak berhak.

Haikal juga menilai adanya keinginan BKRA yang terlalu maju dalam menjalankan mandatnya yaitu melahirkan blue print Aceh. “Bagaimana lembaga yang sifatnya adhoc mau melahirkan cetak biru Aceh, kalau hanya sebatas masukan ke Bappeda, oke-oke saja,” katanya. “Seumpama pesta, BRR-lah yang punya hajatan. Setelah pesta berakhir, harusnya BKRA bukan mau mengulang pesta yang sama, tetapi membereskan sisa-sisa piring yang pecah atau kotor,” lanjut siaran pers itu.

Pendekatan yang sesuai
Kepada Pemerintah Aceh, aktivis LSM asal Aceh Selatan itu menyarankan agar infrastruktur yang sudah dibangun pada masa rehab rekon bisa dirawat secara maksimal. Juga diminta memberikan nilai tambah atau membangun infrastruktur pendukung pada infrastruktur yang sudah ada sehingga maksimal pemanfaatannya. Berikutnya juga disarankan membangun perencanaan Aceh dengan pendekatan kawasan yang sesuai karakteristik (daya dukung) geografis, topografis, SDA, SDM, kebencanaan, dan anggaran. Artinya, sekecil apapun pembangunan atau infrastruktur yang dibangun, bisa digunakan bersama dalam sebuah kawasan. “Tentunya harus diikuti dengan alokasi anggaran yang senergis mulai dari APBK, APBA, APBN, dan swasta/investor pada kesepakatan fokus yang sama,” tandas siaran pers itu.

Haikal mengkritisi daya serap anggaran yang rendah serta kurangnya pelibatan dan koordinasi dengan kabupaten/kota. Akibatnya sering mencuat keluhan adanya program atau proyek yang dikerjakan oleh provinsi tidak diketahui oleh bupati/walikota atau SKPD di lokasi. “Koordinasi dengan kabupaten/kota menjadi syarat mutlak untuk mendorong daya serap anggaran, terlepas dalam UUPA titik berat otonomi adalah di provinsi. Terobosan pelimpahan wewenang atau tugas perbantuan harus ditempuh oleh Pemerintah Provinsi karena jumlah anggaran yang dikelola relatif besar. Pemerintah Provinsi harus segera melakukan evaluasi SKPA dan badan menjelang pengesahan APBA 2010,” demikian Haikal.

Bisa menerima
Wagub Aceh, Muhammad Nazar menyatakan, di satu sisi diakui adanya kelemahan dan kelebihan dalam melaksanakan berbagai program pembangunan di Aceh, termasuk yang dilaksanakan oleh BRR Aceh-Nias. Khusus terhadap kinerja BKRA, Wagub Muhammad Nazar menilai sudah berjalan baik. Meski begitu, ke depan diharapkan lebih fokus mempercepat program pembangunan. “Mulai 2010, kami mengusulkan kepada Pusat, sisa dana yang ditinggalkan BRR supaya dapat mempercepat pembangunan secara lebih khusus di Aceh,” kata Nazar. Menurut Nazar, permasalahan mendasar penghambat pembangunan di semua daerah, termasuk di Aceh karena tata ruang daerah yang tidak ideal. Karena itu, Nazar mengajak semua komponen masyarakat bersama-sama membangun Aceh. “Terutama kepada bupati/walikota benar memperhatikan setiap hendak melakukan pembangunan infrastruktur, maupun gedung. Alasannya pemberian Hak Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sepenuhnya ada di tingkat kabupaten/kota,” ujarnya.

Terkait dengan peringatan lima tahun tsunami, Wagub mengimbau masyarakat agar bisa mengambil pelajaran dari setiap musibah. “Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang tidak mempan dengan peringatan,” katanya sambil menyitir satu hadih maja Aceh; Meudoa watee saket, meuratep watee geumpa, seumayang wajeb uroe Jumeuat, seumayang sunat uroe raya. “Saya pikir masyarakat Aceh cukup mengerti hadih maja itu,” demikian Wagub Muhammad Nazar.

Heran
Kepala BKRA, Iskandar mengaku heran kalau ada pihak yang mengatakan kinerja BKRA buruk dan tidak mampu melanjutkan sisa pekerjaan.
Dia menjelaskan, menyangkut penyelesaian pembangunan ruas jalan Banda Aceh-Calang, pihak USAID telah berkomitmen untuk menyelesaikan proyek tersebut pada 2010. “Bahkan kita telah memindahkan tiang listrik yang sebelumnya menjadi kendala untuk proyek jalan itu. Juga pembebasan tanah telah dilakukan bersama pemerintah,” katanya. Bahkan Pemerintah Aceh telah memperoleh dana dari MDF untuk proyek pembangunan Jalan Meulaboh-Calang sebesar Rp 360 miliar yang akan dimulai tahun 2010. “Proyek ini termasuk pembangunan jembatan Kuala Bubon,” ujarnya.

Sedangkan mengenai persoalan rumah korban tsunami, katanya, sudah tuntas dibangun oleh BRR dan telah diserahterimakan pada tahun 2008 dengan Pemerintah Aceh. Kalau belakangan ada korban tsunami yang masih di barak, itu bukan lantaran rumah tidak ada, tetapi ada terjadi penerima ganda atau yang tidak berhak. “Untuk verifikasi data rumah ganda tersebut bukan tugas BKRA tetapi pemerintah daerah di kabupaten/kota bersama camat dan kepolisian,” ujar Iskandar. Menurutnya, BKRA akan berakhir tugas pada 31 Desember 2009.(nas/sup/sal)


http://www.serambinews.com/news/view/20562/bkra-dinilai-belum-mampu-selesaikan-sisa-pekerjaan

Bitterness for Some Over Long Wait for Post-Tsunami Housing

Jakarta Globe
December 26, 2009
Nurdin Hasan

Banda Aceh. Today, the people of Aceh commemorate the most tragic day in our history with prayers, memories and visits to the mass graves that hold the unidentified remains of thousands of our loved ones, neighbors and friends. One center of the fifth anniversary ceremonies is the Ulee Lheue seaport, ground zero on the day the waves crashed into the province. To look at it today you might not immediately realize the tragedy that occurred here.

Prior to the tsunami, Ulee Lheue was a fishing village of some 1,500 people in the Meuraxa subdistrict of the city. Its roads were narrow and potholed, most of the simple houses were built from wood, children bathed in the nearby ocean.

Now there is a new seaport at Ulee Lheue, the destroyed homes have been cleared away and the newly paved two-lane road is smooth. Every weekend children swim in the new man-made lake and families gather at sunset to eat at snack stalls. The ocean’s waves are muted by large rocks that have been put in place to protect the coastline.

There is no denying the new seaport is attractive. The local government wants the area to become a tourist destination and a place to recall the tsunami. But there is some still unfinished business here and some of the original villagers feel left out.

When the waves crashed into the village, all but 500 residents were killed. Most of the survivors are now living in several new villages. However, two ramshackle temporary wooden barracks still remain along the new road to the seaport. They are home to dozens of tsunami victims who seem to have been overlooked in the reconstruction of the area.

Ironically these people were among the first hit by the tsunami on Dec. 26, 2004, but they have yet to receive any of the assistance promised them.

Mairia, 28, and her husband, Hendra Setiawan, 36, live with their family in one of the faded-pink barracks. Each family has an area about 5 x 4 meters, divided by plywood for privacy. Outside, plastic lines are used for hanging clothes to dry. Trash is piled up in the yard, flies circle the area. A few people have built chicken coops under the barracks, which are one meter off the ground. Children play nearby.

Mairia and Hendra were married just 10 days before the tsunami. When the waves struck she and most of her family members, including her mother, were at the beach, selling food to the usual crowd of Sunday morning visitors from Banda Aceh.

Mairia has two sons now, a toddler 18 months old and a 5-year old, but her mother, four sisters, a brother and five nephews were all lost to the tsunami; their bodies were never found. She looked for her family for months, traveling as far as Medan hoping to find them in one of the many refugee camps that sprung up after the tsunami displaced everything. Her search was in vain.

After three months, she and her new husband decided to return to their hometown with several other people, living in tents until the government built these “temporary” barracks. Borrowing Rp 1 million ($110) from her surviving brother, Mairia started a small business selling noodles and grilled corn from a tiny stall on a dusty street as she waited for the new road, which finally opened a month ago, to be completed.

“I never received any assistance from the government or an NGO,” Mairia said with tears in her eyes. “I started from zero. People said there was a lot of aid for tsunami victims, but I never got anything, other than food and clean water.”

Mairia and the other residents of the barracks know they will be relocated in the future. The city has constructed some tourism facilities and a new police station in the showcase area, but no new houses are to be built here.

Mairia is worried that her family will not receive help in building a new home once they are resettled. “Our tears are of no use. Our voices are never heard,” she said.

The family was registered with the authorities after the disaster and subsequently declared eligible for housing in Labuy Hill, a resettlement site for tsunami victims about 15 kilometers north of the city center. But when they arrived there, they found the housing had been already occupied so they returned to the barracks. Dozens of other families living in makeshift structures here and elsewhere have reported similar incidents in which housing promised them was stolen, forcing them to return to the temporary shelters.

Iskandar, the head of the Aceh Sustainability Reconstruction Agency (BKRA), said that thousands of people had yet to receive promised housing in various districts. He said data on many victims still needed to be verified before the aid could be released.
The agency was established when the Aceh-Nias Rehabilitation and Reconstruction Agency (BRR) ended its work on April 16. But now the stopgap BKRA office is to be closed at the end of year, leaving the fate of the tsunami victims still needing housing assistance uncertain.

Iskandar said he suspected that some of the residents in the temporary barracks were not really tsunami victims, despite claims by many of them that they have been listed in a document issued by the BRR approving their requests for aid.

The reality of the situation is unclear and difficult to determine. Iskandar is also concerned by reports that thousands of people have received more than one house, while others go wanting.

“They should return the extra houses so they can be used by other people,” he said. In other areas, he added, there were houses still empty, perhaps because they were of substandard quality.

He noted that over 140,000 houses were built after the disaster, more than enough to fulfill tsunami victims’ housing needs.
“It is strange if there are victims who say they have not received housing aid,” he said.

TAF Haikal, a local activist, blamed the BKRA for neglecting victims.

“They are busy with other issues that are not within the principal mandate of the agency, like preparing the future blueprint for Aceh, the usefulness of which is still in doubt,” he said.

“The BKRA should help these people stuck in barracks and confiscate houses from those who received more than one unit,” he said. “It is sad that after five years there are tsunami victims who live in rotten barracks.”

Haikal is himself a victim of the disaster. His wife and two children were killed in the tragedy. He said he had also missed out on housing aid.

“It is ironic and disheartening since many parties have praised the extraordinary success of Aceh’s reconstruction and rehabilitation, but there are still victims living in barracks,” said Haikal, who has remarried and started a new family. “One indicator of success would be if all victims received the help they are due.”

To commemorate the anniversary the BKRA is holding a photo exhibition on reconstruction and a cultural show at the new Tsunami Museum. The museum, established by the BRR at a cost of Rp 89 billion, is still empty and was only opened for the memorial event. The ceremony also included a visit to mass burial sites, the largest of which is near Banda Aceh airport and is the size of two football fields. 46,718 victims are buried there.

Mairia and Hendra decided not to attend any official commemoration ceremonies. Instead, the couple marked the occasion with a visit to a mass grave near Baiturrahim mosque to pray for Mairia’s mother and other family members. The mosque withstood the tsunami, and has now been completely renovated. The mass grave there holds the bodies of 14,264 tsunami victims.

Mairia has no idea where the bodies of her family are.

“Although I do not know where they are buried, I just want to pray for them” she said.


http://thejakartaglobe.com/news/bitterness-for-some-over-long-wait-for-post-tsunami-housing/349350

Kamis, 17 Desember 2009

Pimpinan Dewan Tolak Teken Kontrak Politik

17 December 2009, 15:04
* TAF Haikal: Kita Tunggu APBA Berpihak Rakyat
Utama
BANDA ACEH - Pelantikan Pimpinan DPRA 2009-2014 di Gedung DPR Aceh, di Banda Aceh, Rabu (16/12) diwarnai aksi demo puluhan mahasiswa Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry yang menamakan diri Gerakan Mahasiswa Penyelamat Uang Rakyat (Gempur). Aksi demo tersebut juga ditandai dengan penyerahan dokumen kontrak politik yang sudah disiapkan mahasiswa namun tak bersedia diteken oleh Pimpinan DPRA. Mahasiswa berada di luar Gedung DPRA sekitar pukul 10.00 WIB dengan pengawalan ketat aparat kepolisian dan Satpol PP. Mereka tidak diizinkan masuk ke halaman DPRA, namun diizinkan berorasi di luar pagar gedung.

Demonstran membawa poster dengan aneka macam tulisan, di antaranya; “jangan langgar hukum dan mau dikemanakan UU Nomor 27 Tahun 2009.” Ada pula poster lain bertuliskan; “kasus besi rangka baja harus diusut tuntas.” Para pendemo menyatakan, terlepas baik buruknya proses pemilihan, dewan gagal menjalankan tugas dengan baik. “Ini akibat ego golongan yang telah menjebak mereka. Tiga bulan pascapelantikan hanya dihabiskan untuk membahas tatib penentuan pimpinan dewan,” teriak Koordinator Aksi, Wira Winardi.

Menurut Wira, dalam membahas penentuan empat pimpinan dewan, diajukan dua orang dari partai yang sama (PA). Karena kontroversi antara UUPA dan UU Nomor 27 Tahun 2009, Mendagri tidak bisa mensahkan langsung keempat pimpinan yang diajukan itu. Padahal operasional pembahasan tatib itu menggunakan uang rakyat. “Uang rakyat dimakan,” tegas Wira.

Teatrikal
Saat aksi berlangsung, Ketua DPRA Hasbi Abdullah, Wakil Ketua Sulaiman Abda, dan beberapa anggota menjumpai massa. Saat itu, empat mahasiswa yang memakai topeng, seorang di antaranya berperan sebagai Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, sedangkan tiga lainnya sebagai Pimpinan DPRA. Dalam teatrikal itu, mahasiswa yang berperan sebagai gubernur memegang seutas tali yang diikatkan pada tiga Pimpinan DPRA lalu menarik-narik tali tersebut. Aksi ini sebagai penggambaran bahwa legislatif tidak mempunyai komitmen, sehingga bisa diatur sesuka hati gubernur.

Tolak teken
Selanjutnya, Presiden Mahasiswa Unsyiah, Mujiburrahman meminta DPRA menandatangani lima kontrak politik mahasiswa dengan DPRA. Sebelum diteken, ia membacakan kelima poin kontrak politik tersebut. Kelima poin tersebut masing-masing, DPRA harus menjalankan prosedur hukum sesuai aturan yang mengatur tentang susunan dan kedudukan dewan, DPRA didesak segera menuntaskan pembentukan perangkat dewan paling telat seminggu setelah pelantikan, DPRA harus menuntaskan penyusunan RAPBA 2010 paling telat 31 Desember 2009. DPRA didesak mengawasi kinerja eksekutif melalui rapat kerja dengan mitra sejajar, rapat dengar pendapat, dan rapat dengar pendapat umum secara berkala.

Pada poin terakhir, mahasiswa mendesak DPRA bertindak nyata memberantas korupsi. Karena berdasarkan data, 21 kasus di Aceh tidak tersentuh hukum, yang paling besar kasus penjualan delapan set besi jembatan diduga melibatkan orang nomor satu di Aceh. Ketua DPRA, Hasbi Abdullah diminta menandatangani kontrak politik. Suasana pun sempat tegang ketika anggota DPRA, Abdullah Saleh merebut mike dari demonstran. “Kalian jangan memaksakan kehendak. Kalian jangan ‘membonceng’ kepentingan pihak tertentu,” teriak Abdullah Saleh berapi-api.

Mahasiswa tersinggung dengan pernyataan Abdullah Saleh. “Kami memang ditunggangi oleh kepentingan rakyat karena wakil rakyat takut menjalankan amanah rakyat. Jangan menuding kami dengan gaya intimidasi,” balas Faisal, seorang orator aksi. Saat itu, Pimpinan DPRA meninggalkan pendemo. Suasana di DPRA masih cukup ramai. Kemudian, lima perwakilan mahasiswa diizinkan masuk untuk berdiskusi di salah satu ruangan di ruang panitia anggaran DPRA.

Dalam diskusi sekitar satu jam itu, Hasbi Abdullah tetap tidak mau menandatangani kontrak politik yang disampaikan mahasiswa. Ia berjanji menampung aspirasi mahasiswa. Hal itu diperkuat oleh anggota DPRA, Adnan Beuransyah. Adnan meminta Ketua DPRA tidak meneken kontrak politik karena menurutnya DPRA memang berkomitmen untuk melakukan lebih baik dari apa yang diminta mahasiswa. “Tak perlu diseret seperti itu,” kata Adnan.

Perdebatan politik mahasiswa dengan anggota dan Pimpinan DPRA berlangsung alot. Dua dari lima perwakilan mahasiswa meninggalkan ruangan dan mengancam akan melakukan aksi serupa dengan jumlah massa lebih banyak. “Ketua DPRA seperti boneka. Beliau tidak ada argumen. Beliau bisa diatur-atur oleh anggotanya. Kami akan melakukan aksi serupa ke DPRA,” tegas Presiden Mahasiswa Unsyiah. Pada pukul 12.15 WIB, aksi berakhir ketika semua mahasiswa meninggalkan Gedung DPRA.

APBA berpihak rakyat
Secara terpisah, seorang aktivis LSM yang juga pengamat sosial, TAF Haikal mengatakan, ada tiga agenda prioritas DPRA pascapelantikan pimpinan yang berlangsung Rabu (16/12). Prioritas pertama, menurut Haikal--setelah terbentuk alat kelengkapan Dewan--adalah membahas dan mensahkan APBA 2010. “Kita menunggu APBA yang berpihak publik berdasarkan skala prioritas,” tulis Haikal dalam siaran pers-nya. Prioritas kedua yang tak kalah penting, menurut Haikal adalah evaluasi anggaran 2009 yang akan segera berakhir. Sedangkan yang ketiga melakukan pembahasan kebijakan-kebijakan atau qanun yang

sudah masuk dalam prolega, termasuk memaksimalkan UUPA dalam kerangka mendorong percepatan pembangunan Aceh seperti Freeport Sabang. “Kalau ketiga prioritas ini bisa terlaksana, ini otomatis Dewan sudah menjalankan tiga fungsi,” demikian TAF Haikal yang juga dikenal sebagai Jubir Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS). (sal/swa/nas)

http://www.serambinews.com/news/view/20039/pimpinan-dewan-tolak-teken-kontrak-politik

Sabtu, 12 Desember 2009

Dipertanyakan, Komitmen USAID Selesaikan Jalan Banda Aceh-Calang


Banda Aceh, (Analisa)

Sejumlah pihak mempertanyakan komitmen dari USAID untuk melanjutkan kembali hingga selesai pembangunan ruas Jalan Banda Aceh-Calang yang sudah lama ditinggalkan,terutama pada section IV termasuk pembangunan jembatan Lambusoe.

Penyelesaian tersebut sudah sangat mendesak, karena dengan selesainya pekerjaan jembatan Lambusoe itu, arus transportasi Meulaboh-Banda Aceh sudah bisa lancar kembali, sehingga pelaksanaan pembangunan untuk wilayah pantai barat selatan Aceh sudah tidak terkendala. Apabila tidak segera ditangani akan mengakibatkan transportasi menuju ke barat selatan Aceh akan terus bermasalah.

Jembatan Lambusoe di Aceh Jaya seharusnya telah selesai dikerjakan PT Wijaya Karya, jika pada Februari 2008 pihak USAID selaku penyandang dana, tidak menghentikannya. Akibat penghentian, sampai saat ini jembatan itu belum ada tanda-tanda dilanjutkan/diselesaikan.

Padahal janji USAID saat itu, setelah dua bulan penghentian, pekerjaan jembatan akan dilanjutkan. Tapi, sekarang ini belum ada tanda-tanda dikerjakan kembali.

Informasi terakhir yang diterima dari mantan Deputi Infrastruktur BRR Aceh-Nias, Bastian Sihombing menyatakan, pekerjaan jembatan Lambusoe akan dilanjutkan kembali dan ditender ulang. Hal sama juga pernah dilontarkan Roy Ventura, pengawas lapangan pekerjaan jalan Calang-Banda Aceh dari USAID. Tapi hingga kini, hanya janji belaka.

Terus Menunggu

Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Aceh, Ir Muhyan Yunan menyatakan, hingga kini Pemerintah Aceh masih terus menunggu komitmen dari USAID untuk melanjutkan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang.

"Beberapa waktu lalu kita dengar ada komitmen dari USAID untuk melanjutkan. Ini sudah sangat mendesak dan harus segera ditangani untuk mengatasi hambatan transportasi barat selatan Aceh," ujar Muhyan Yunan kepada wartawan, Selasa (17/11).

Dia sudah mengkonfirmasi USAID, dan berjanji segera ditangani. Namun demikian, jika hanya sekadar janji-janji saja, tentu Pemerintah Aceh punya batas kesabaran.

"Kalau sampai Desember 2009, juga belum ditangani tentu akan kita ambil alih. Kita akan siapkan dana baik dari APBN maupun APBA. Kasihan masyarakat kalau begini terus," kata Muhyan.

Sebelumnya, Konsul Jenderal (Konjen) Amerika Serikat di Medan, Stanley Harsha, saat berkunjung ke Banda Aceh, menyatakan, Amerika Serikat (AS) sebagai negara penyandang dana pembangunan jalan lintas Calang-Banda Aceh melalui USAID memastikan komit untuk membiayai pembangunan jalan tersebut hingga selesai.

"Jalan USAID masih dikerjakan, kami masih meneruskan dialog dengan pemilik tanah dan mencari pemecahan mengenai segala masalah yang kami temui di lapangan. Saya kemari mewakili Amerika Serikat untuk banyak masalah, termasuk penyelesaian jalan lintas Calang-Banda Aceh. Target memang sudah lewat, tapi kami tetap komit menyelesaikannya," tegas Stanley.

Mendesak

Sementara itu, anggota DPR Aceh juga mendesak agar pembangunan jalan lintas barat Aceh yang rusak akibat tsunami itu segera dilanjutkan. "Supaya ruas jalan Banda Aceh-Calang tidak dijadikan komoditas politik, maka Pemerintah Aceh dan pimpinan DPRA perlu membentuk pansus dan mempertanyakan kembali komitmen USAID untuk melanjutkan pekerjaan Section IV jalan Banda Aceh-Calang yang pekerjaannya telah lama ditinggalkan," ujar anggota DPRA dari Partai Demokrat, Iskandar Daoed.

Menurut Iskandar, akibat USAID belum melanjutkan pekerjaan ruas jalan pada Section IV, sepanjang 13 km pembukaan rute baru bersama pelebaran badan jalan, telah membuat masyarakat pantai barat-selatan Aceh susah. Pada musim hujan mereka mandi lumpur, pada musim kemarau mandi debu.

Untuk itu, kata Iskandar, Pemerintah Aceh bersama DPRA perlu mempertanyakan kepada USAID tentang komitmennya melanjutkan kembali pembangunan jalan itu.

Ketua DPRA, Hasbi Abdullah menyatakan, Pansus Kelanjutan Jalan Banda Aceh-Calang akan dibentuk setelah pimpinan definitif DPRA periode 2009-2010 dilantik.

Juru Bicara (Jubir) Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS), TAF Haikal berharap, siapa pun nantinya yang akan membantu pendanaan ruas jalan tersebut, yang penting jangan sampai terulang seperti pengalaman USAID membangun ruas jalan Banda Aceh-Calang.

Agar pengalaman USAID tidak terulang, menurut Haikal, Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota selaku ujung tombak keberhasilan pembangunan di Aceh diharapkan benar-benar sinergis. Berbagai potensi munculnya masalah harus secepatnya dituntaskan. "Jangan biarkan masalah kecil berkembang yang akhirnya sulit diatasi. Tak ada yang sulit dengan masyarakat, sejauh cara pendekatannya menggunakan bahasa rakyat," katanya. (mhd)

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=35157:dipertanyakan-komitmen-usaid-selesaikan-jalan-banda-aceh-calang-&catid=479:18-november-2009&Itemid=222

Rabu, 09 Desember 2009

KPI: RRI harus konsinten sebagai lembaga penyiaran publik

Wednesday, 09 December 2009 20:48
Warta - Aceh
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Radio Republik Indonesia (RRI) diingatkan untuk tetap konsisten sebagai salah satu lembaga penyiaran publik sehingga terwujud masyarakat Indonesia yang demokratis.

"Sebagai lembaga penyiaran publik, RRI harus mengedepankan independensi, netralitas, mandiri dan profesional," kata ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Aceh, Safir, di Banda Aceh, malam ini.

Dalam penyiaran berbagai program melalui udara, RRI diharapkan ikut mendorong terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis di provinsi Aceh.

Untuk tercapainya tujuan tersebut RRI dan berbagai komponen lainnya harus mendorong peran serta masyarakat dalam memberikan kritikan dan saran bagi penyempurnaan program siarannya.

"Saya yakin peran lembaga publik dapat dijalankan RRI sebab lembaga ini terbebas dari jeratan komersialisasi," katanya.

Sementara, aktivis LSM Aceh, TAF Haikal, mengatakan, perubahan status RRI dari lembaga penyiaran pemerintah menjadi lembaga penyiaran publik harus didukung menampilkan paradigma baru, baik dalam manajemen maupun pola penyiaran.

"Perlu dikembangkan dan dibangun komunikasi dialogis antara pemerintah dan masyarakat dalam berbagai program RRI. Informasi yang disiarkan harus sejalan dengan kegiatan pembangunan, kebutuhan masyarakat dan terkait kepentingan publik," katanya.

Kepala siaran RRI, Ahardi Ahmad, mengatakan, dalam usia ke-64, RRI bertekad menjadi radio milik bangsa, acuan terpercaya dan hiburan yang sehat, pemberdaya masyarakat, perekat budaya bangsa dan unggul secara nasional serta bertaraf internasional.

Untuk menjangkau daerah penyiaran, RRI Aceh telah mendirikan 10 repiter FM seperti di Kota Langsa, Subulussalam, KutaCane, Calang, Lamno, Sinabang, Tapaktuan, Beureunun, Sabang dan Jantho.

"Masih ada beberapa daerah di Aceh yang belum terjangkau dengan repiter FM, namun sudah diatasi dengan menggunakan Medium Wave (MW) yang berkapasitas 10 Kw," katanya.

Dikatakan, masih terdapat beberapa permasalahan pada repiter, seperti lemahnya "power" yakni 100 watt dan sering terputusnya aliran listrik sehingga mengakibatkan repiter rusak.
(dat07/ann)

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=72731:kpi-rri-harus-konsinten-sebagai-lembaga-penyiaran-publik&catid=13:aceh&Itemid=26

Penumpang rakit Banda Aceh-Calang trauma


Wednesday, 09 December 2009 03:54
Warta - Aceh
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Para penumpang rakit penyeberangan Banda Aceh-Calang mengaku trauma saat sarana transportasi tersebut mengalami kerusakan mesin, Senin (7/12) pukul 20.15 WIB, lalu.

Seorang penumpang, Yenni (28) di Banda Aceh, mengaku ketakutan ketika rakit penyeberangan terapung-apung sekitar satu jam lebih di tengah sungai Lambeuso, Lamno.

"Saya sangat takut saat mesin rakitnya tiba-tiba mati di tengah sungai, sehingga kami terbawa arus sungai Lambeuso," kata warga Blangpidie, kabupaten Aceh Barat Daya itu.

Akibat matinya mesin perahu yang digunakan untuk menjalankan rakit para petugas terpaksa menggunakan tali menarik rakit ke tempat penurunan mobil, kata ibu yang akan mengikuti wisuda sarjana di salah satu Universitas di Banda Aceh itu,

Ia menyebutkan selain mobilnya, terdapat empat unit mobil lain dan belasan penumpang yang juga ikut terapung-apung di sungai yang lebarnya sekitar 100 meter lebih itu.

Rakit ini merupakan sarana perhubungan darat dari ibukota Provinsi Aceh menuju Calang dan tujuh kabupaten/kota lainnya di pantai barat selatan Aceh pasca bencana alam tsunami akhir 2004.

Sarana yang dikelola masyarakat itu mampu mengangkut enam unit kendaraan roda empat jenis L300 atau tiga unit truk atau bus pada setiap kali penyebrangan.

Juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal yang dimintai pendapatnya mengharapkan instansi terkait dapat melanjutkan pembangunan jembatan yang terhenti sejak satu tahun terakhir.

"Kejadian rakit yang terapung-apung selama satu jam lebih di sungai Lambeuso hendaknya menjadi pelajaran. Kami berharap jembatan permanen dapat dikerjakan kembali," kata TAF Haikal.
(dat07/ann)


http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=72564:penumpang-rakit-banda-aceh-calang-trauma&catid=13:aceh&Itemid=26

Kamis, 26 November 2009

Transportasi darat Banda Aceh-Calang masih terganggu

Thursday, 26 November 2009 13:29 Warta - Aceh
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Belum selesainya pembangunan jalan dan jembatan di lintasan Banda Aceh-Calang yang didanai USAID mengakibatkan arus transportasi darat dari ibukota Provinsi Aceh ke delapan kabupaten/kota di pesisir pantai barat selatan masih terganggu.

“Masyarakat berharap komitmen semua pihak yang terkait dengan pembangunan jalan dan jembatan di lintasan Banda Aceh-Calang untuk menyelesaikan pekerjaannya, sehingga pembangunan di pantai barat selatan dapat berjalan seperti yang diharapkan,” kata juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal, di Banda Aceh, siang ini.

Selain harus menggunakan rakit penyeberangan untuk melintasi sungai lambeso, pada musin hujan pengguna Jalan Banda Aceh-Calang juga harus melewati tiga titik banjir akibat luapan sungai di kawasan Lhok Kruet, Sampoiniet dan Lamno.

Pemerintah didesak untuk segera melakukan koordinasi terkait penyelesaian jalan utama yang menghubungkan ibukota provinsi dengan delapan kabupaten/kota di wilayah pesisir pantai barat selatan Aceh itu. Sudah hampir lima tahun bencana gempa dan tsunami berlalu, tapi pembangunan jalan sepanjang 150 km dan beberapa unit jembatan belum juga diselesaikan.

"Pemerintah harus bersikap tegas terhadap persoalan yang timbul pada proyek jalan dan jembatan di lintasan Banda Aceh-Calang itu, jika dibiarkan berlarut akan berdampak tidak baik terhadap proses pembangunan di daerah pantai barat selatan," katanya.

KPBS juga meminta pemerintah Aceh dan USAID selaku penyandang untuk melanjutkan pembangunan jalan pada section IV termasuk pembangunan jembatan Lambeso.

Menurutnya, jembatan Lambeso di kawasan Lamno sangat mendesak untuk diselesaikan pembangunannya agar arus transportasi menjadi lancar sehingga pasokan kebutuhan pokok untuk wilayah pantai barat selatan tidak terkendala.

Selama ini untuk melintasi sungai Lambeso, armada angkutan barang harus mengarungi sungai atau melewati jembatan belly yang dibangun pada masa tanggap darurat, sementara kendaraan angkutan penumpang dan sepeda motor terpaksa antri untuk menggunakan rakit penyeberangan.
(dat06/ann)


http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=69374:transportasi-darat-banda-aceh-calang-masih-terganggu&catid=13:aceh&Itemid=26

Kamis, 19 November 2009

MDF Setuju Membangun Jalan Teunom-Meulaboh


Harian Serambi Indonesia, 17 November 2009
JAKARTA - Negara-negara donor yang tergabung dalam Multidonor Fund (MDF) dan Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) menyetujui untuk membiayai pembangunan ruas jalan nasional Teunom-Meulaboh sepanjang 50 kilometer (km) dan pembangunan jembatan Kuala Bubon dengan dana Rp 330 miliar.

Persetujuan negara-negara donor bersama Bappenas itu dicapai dalam pertemuan steering committee (SC) yang dihadiri Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, 15 negara donor, Duta Besar Uni Eropa, Kepala Perwakilan Bank Dunia, Deputi Otonomi dan Regional Bappenas Max Pohan, serta Deputi Pendanaan Bappenas Dr Lukita di Jakarta, Senin (16/11).

Selain mengusulkan pembangunan jalan Teunom-Meulaboh dan jembatan Kuala Bubon, Gubernur Irwandi dalam pertemuan itu juga menyampaikan tiga program lainnya. Yakni, community based settlement rehabilitation and recontruction project (Rekompak), capacity building, program penguatan pengelolaan keuangan publik yang meliputi perencanaan dan penganggaran, sistem pengadaan barang dan jasa, monitoring dan evaluasi (monev), serta pengelolaan aset.

“Diharapkan dengan selesainya pembangunan jalan yang menghubungkan Banda Aceh dengan Meulaboh akan menjadikan kawasan itu sebagai urat nadi peningkatan pertumbuhan ekonomi,” ujar Gubernur Irwandi Yusuf. Dalam kesempatan itu, gubernur menjelaskan rinci berbagai kebutuhan pembangunan infrastruktur dan kendala-kendala yang dihadapi Aceh saat ini. “Persoalan infrastruktur adalah yang utama menjadi perhatian kita,” kata Irwandi. Kepala Badan Kesinambungan Rehabilitasi-Rekonstruksi Aceh (BKRA), Ir Iskandar MSc menjelaskan, melalui supervisi Bappenas, Pemerintah Aceh sudah menyiapkan draf rencana aksi kesinambungan rekonstruksi dan percepatan pembangunan Aceh 2010 sampai 2012. “Salah satu yang paling penting adalah penuntasan rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap pembangunan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten,” ujar mantan pegawai Bappeda Aceh ini.

Iskandar menambahkan, sesuai Peraturan Presiden (PP) Nomor 47/2007 tentang Revisi Masterplan, berarti masih terdapat 121 km lagi ruas jalan nasional yang dibangun di pantai barat serta ratusan kilometer jalan provinsi dan jalan kabupaten. “Karena itu kita minta agar seluruh pembangunan ruas jalan itu dialokasikan dalam APBN 2010,” tambah Iskandar.

Gubernur Irwandi juga mengharapkan hal yang sama. Menurutnya, pemerintah pusat harus bertanggung jawab terhadap seluruh rencana yang belum selesai tersebut. “Kita desak draf final rencana aksi tersebut melalui Bappenas segera dapat disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk dibahas dengan badan anggaran DPR RI,” ujar Irwandi yang dalam waktu dekat terbang ke Tanah Suci, Mekkah, menunaikan rukun Islam kelima bersama istrinya, Darwati A Gani.

Dipertanyakan
Sementara itu, menjelang berakhirnya Sidang Paripurna Penetapan Empat Orang Pimpinan DPRA, Senin (16/11) kemarin, empat anggota DPRA berturut-turut melakukan interupsi kepada pimpinan sidang, Hasbi Abdullah. Mereka mendesak agar pembangunan jalan di lintas barat Aceh yang rusak akibat tsunami itu segera dilanjutkan.

“Supaya ruas jalan Banda Aceh-Meulaboh tidak dijadikan komoditas politik, maka Pemerintah Aceh dan Pimpinan DPRA perlu membentuk pansus dan mempertanyakan kembali komitmen USAID untuk melanjutkan pekerjaan Section IV jalan Banda Aceh-Meulaboh yang pekerjaannya telah ditinggalkan 18 bulan lebih,” ujar anggota DPRA dari Partai Demokrat, Iskadar Daud.

Dalam ruang sidang itu, Iskandar mengatakan hampir tiap hari berita soal jalan Meulaboh-Banda Aceh diributkan warga pantai barat-selatan Aceh, karena sudah lima tahun tsunami berlalu, tapi pembangunan kembali ruas jalan itu belum juga tuntas. Ruas jalan tersebut, menurut Iskandar Daud, terkesan sudah menjadi komoditas politik bagi para elite maupun pihak lainnya di Aceh. Supaya ia tidak terus menjadi komoditas politik, maka kelanjutan pembangunan kembali ruas jalan Banda Aceh-Meulaboh itu, termasuk ruas jalan Section IV yang telah ditinggalkan 18 bulan lebih, ada baiknya usulan pembentukan Pansus Jalan Banda Aceh-Meulaboh ditindaklanjuti segera.

Sebab, lanjut Iskandar, akibat USAID belum melanjutkan pekerjaan ruas jalan pada Section IV, sepanjang 13 km pembukaan rute baru bersama pelebaran badan jalan, telah membuat masyarakat pantai barat-selatan Aceh susah. Pada musim hujan mereka mandi lumpur, pada musim kemarau mandi debu. Pihak USAID yang ditanya, kata Iskandar, selalu menjawab akan melanjutkannya, tapi setelah ditinggalkan kontraktornya (PT Wika) selama 18 bulan--akibat perintah penghentian sementara oleh USAID selaku penyandang dana--sampai kini belum ada tanda-tanda ruas jalan itu dikerjakan kembali.

Untuk itu, kata Iskandar, Pemerintah Aceh bersama DPRA perlu mempertanyakan kepada USAID tentang komitmennya melanjutkan kembali pembangunan jalan itu. Saran hampir serupa juga dilontarkan Djuriat Suparjo, anggota DPRA dari Partai Golkar, Abdullah Saleh dari Partai Aceh, dan Jamaluddin T Muku dari Partai Demokrat.

Menanggapi interupsi keempat anggota DPRA itu, Pimpinan Sidang, Hasbi Abdullah, menyatakan pembentukan Pansus Kelanjutan Jalan Banda Aceh-Meulaboh akan dibentuk setelah pimpinan definitif DPRA periode 2009-2010 dilantik. Wakil Gubernur Muhammad Nazar yang hadir dalam sidang paripurna itu kepada pers menyatakan untuk biaya pembangunan kembali ruas jalan Calang-Banda Aceh via pantai, akan diusulkan melalui sumber sisa dana multidonors fund (MDF) rehab dan rekon di Aceh senilai 45 juta dolar AS. Untuk melanjutkan ruas jalan itu diperkirakan butuh biaya Rp 220 miliar. Sedangkan untuk kelanjutan ruas jalan Section IV di Lanmo, akan dimasukkan ke dalam proyek penuntasan rehab dan rekon pascatsunami.

Patut didukung
Pernyataan Wagub Muhammad Nazar yang akan memperjuangkan pembangunan ruas jalan Calang-Meulaboh ditanggapi oleh Juru Bicara (Jubir) Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS), TAF Haikal. “Komitmen Pemerintah Aceh patut didukung, termasuk oleh DPRA,” tulis Haikal dalam siaran persnya yang diterima Serambi, Senin petang.

Haikal berharap, siapa pun nantinya yang akan membantu pendanaan ruas jalan tersebut, yang penting jangan sampai terulang seperti penglaman USAID membangun ruas jalan Banda Aceh-Calang. Seperti diketahui, banyak sekali persoalan di lapangan sehingga berbuntut pada berlarut-larutnya penyelesaian ruas jalan tersebut. Bahkan, hingga saat ini, pekerjaan jembatan Lambeuso yang masuk Section IV ruas jalan Banda Aceh-Calang masih saja terbengkalai. “USAID belum juga ada pernyataan tegas apakah akan melanjutkan atau tidak pekerjaan di Section IV tersebut. Pemerintah Aceh seharusnya bisa secepatnya meminta jawaban USAID, sehingga bisa ditentukan langkah selanjutnya untuk kelanjutan proyek itu,” kata Haikal.

Agar pengalaman USAID tidak terulang, menurut Haikal, Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota selaku ujung tombak keberhasilan pembangunan di Aceh diharapkan benar-benar sinergis. Berbagai potensi munculnya masalah harus secepatnya dituntaskan. “Jangan biarkan masalah kecil meruyak yang akhirnya sulit diatasi. Saya pikir tak ada yang sulit dengan masyarakat, sejauh cara pendekatannya menggunakan bahasa rakyat,” demikian Haikal. (fik/her/nas)


http://www.serambinews.com/news/mdf-setuju-membangun-jalan-teunom-meulaboh

Dipertanyakan, Komitmen USAID Selesaikan Jalan Banda Aceh-Calang

Banda Aceh, (Analisa)

Sejumlah pihak mempertanyakan komitmen dari USAID untuk melanjutkan kembali hingga selesai pembangunan ruas Jalan Banda Aceh-Calang yang sudah lama ditinggalkan,

terutama pada section IV termasuk pembangunan jembatan Lambusoe.

Penyelesaian tersebut sudah sangat mendesak, karena dengan selesainya pekerjaan jembatan Lambusoe itu, arus transportasi Meulaboh-Banda Aceh sudah bisa lancar kembali, sehingga pelaksanaan pembangunan untuk wilayah pantai barat selatan Aceh sudah tidak terkendala. Apabila tidak segera ditangani akan mengakibatkan transportasi menuju ke barat selatan Aceh akan terus bermasalah.

Jembatan Lambusoe di Aceh Jaya seharusnya telah selesai dikerjakan PT Wijaya Karya, jika pada Februari 2008 pihak USAID selaku penyandang dana, tidak menghentikannya. Akibat penghentian, sampai saat ini jembatan itu belum ada tanda-tanda dilanjutkan/diselesaikan.

Padahal janji USAID saat itu, setelah dua bulan penghentian, pekerjaan jembatan akan dilanjutkan. Tapi, sekarang ini belum ada tanda-tanda dikerjakan kembali.

Informasi terakhir yang diterima dari mantan Deputi Infrastruktur BRR Aceh-Nias, Bastian Sihombing menyatakan, pekerjaan jembatan Lambusoe akan dilanjutkan kembali dan ditender ulang. Hal sama juga pernah dilontarkan Roy Ventura, pengawas lapangan pekerjaan jalan Calang-Banda Aceh dari USAID. Tapi hingga kini, hanya janji belaka.

Terus Menunggu

Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Aceh, Ir Muhyan Yunan menyatakan, hingga kini Pemerintah Aceh masih terus menunggu komitmen dari USAID untuk melanjutkan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang.

"Beberapa waktu lalu kita dengar ada komitmen dari USAID untuk melanjutkan. Ini sudah sangat mendesak dan harus segera ditangani untuk mengatasi hambatan transportasi barat selatan Aceh," ujar Muhyan Yunan kepada wartawan, Selasa (17/11).

Dia sudah mengkonfirmasi USAID, dan berjanji segera ditangani. Namun demikian, jika hanya sekadar janji-janji saja, tentu Pemerintah Aceh punya batas kesabaran.

"Kalau sampai Desember 2009, juga belum ditangani tentu akan kita ambil alih. Kita akan siapkan dana baik dari APBN maupun APBA. Kasihan masyarakat kalau begini terus," kata Muhyan.

Sebelumnya, Konsul Jenderal (Konjen) Amerika Serikat di Medan, Stanley Harsha, saat berkunjung ke Banda Aceh, menyatakan, Amerika Serikat (AS) sebagai negara penyandang dana pembangunan jalan lintas Calang-Banda Aceh melalui USAID memastikan komit untuk membiayai pembangunan jalan tersebut hingga selesai.

"Jalan USAID masih dikerjakan, kami masih meneruskan dialog dengan pemilik tanah dan mencari pemecahan mengenai segala masalah yang kami temui di lapangan. Saya kemari mewakili Amerika Serikat untuk banyak masalah, termasuk penyelesaian jalan lintas Calang-Banda Aceh. Target memang sudah lewat, tapi kami tetap komit menyelesaikannya," tegas Stanley.

Mendesak

Sementara itu, anggota DPR Aceh juga mendesak agar pembangunan jalan lintas barat Aceh yang rusak akibat tsunami itu segera dilanjutkan. "Supaya ruas jalan Banda Aceh-Calang tidak dijadikan komoditas politik, maka Pemerintah Aceh dan pimpinan DPRA perlu membentuk pansus dan mempertanyakan kembali komitmen USAID untuk melanjutkan pekerjaan Section IV jalan Banda Aceh-Calang yang pekerjaannya telah lama ditinggalkan," ujar anggota DPRA dari Partai Demokrat, Iskandar Daoed.

Menurut Iskandar, akibat USAID belum melanjutkan pekerjaan ruas jalan pada Section IV, sepanjang 13 km pembukaan rute baru bersama pelebaran badan jalan, telah membuat masyarakat pantai barat-selatan Aceh susah. Pada musim hujan mereka mandi lumpur, pada musim kemarau mandi debu.

Untuk itu, kata Iskandar, Pemerintah Aceh bersama DPRA perlu mempertanyakan kepada USAID tentang komitmennya melanjutkan kembali pembangunan jalan itu.

Ketua DPRA, Hasbi Abdullah menyatakan, Pansus Kelanjutan Jalan Banda Aceh-Calang akan dibentuk setelah pimpinan definitif DPRA periode 2009-2010 dilantik.

Juru Bicara (Jubir) Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS), TAF Haikal berharap, siapa pun nantinya yang akan membantu pendanaan ruas jalan tersebut, yang penting jangan sampai terulang seperti pengalaman USAID membangun ruas jalan Banda Aceh-Calang.

Agar pengalaman USAID tidak terulang, menurut Haikal, Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota selaku ujung tombak keberhasilan pembangunan di Aceh diharapkan benar-benar sinergis. Berbagai potensi munculnya masalah harus secepatnya dituntaskan. "Jangan biarkan masalah kecil berkembang yang akhirnya sulit diatasi. Tak ada yang sulit dengan masyarakat, sejauh cara pendekatannya menggunakan bahasa rakyat," katanya. (mhd)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=35157:dipertanyakan-komitmen-usaid-selesaikan-jalan-banda-aceh-calang-&catid=479:18-november-2009&Itemid=222

Jumat, 13 November 2009

Banjir genangi badan jalan Banda Aceh-Calang


Friday, 13 November 2009 18:16
WASPADA ONLINE

ACEH JAYA - Hujan deras yang terjadi selama tiga hari terakhir di pantai barat selatan Aceh mengakibatkan sungai Lhok Kruet kecamatan Sampoinet meluap dan menggenangi badan jalan negara Banda Aceh-Calang, kabupaten Aceh Jaya setinggi 30-50 cm.

Genangan air akibat luapan sungai di desa Lhok Kruet sepanjang 50 meter lebih itu mengakibatkan terganggunya arus lalu lintas baik dari Banda Aceh menuju Calang ataupun sebaliknya. Genangan banjir di ruas jalan tersebut juga mengakibatkan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang yang di danai USAID terganggu.

"Setiap hujan deras, sungai Lhok Kruet selalu meluap, akibatnya mobil dan sepada motor mogok karena memaksakan diri menerobos genangan air," kata seorang warga desa Lhok Kruet, Amirruddin (27), tadi sore.

Diharapkan, pihak terkait segera melakukan penanganan agar arus transportasi dari Banda Aceh dan Calang tidak terganggu meskipun pada musim penghujan. Hujan deras di wilayah pantai barat selatan itu juga mengakibatkan badan jalan Banda Aceh-Calang yang pembangunannya masih dalam tahapan pengerasan menjadi licin dan berlumpur.

"Banyak sekali pengendara sepeda motor yang terjatuh akibat jalan licin dan terjebak lumpur," katanya.

Sementara, juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal dan aktivis Badan Koordinator Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Aceh, Devi Satria Saputra, meminta Pemerintah Aceh untuk menanggulangi banjir yang terjadi di ruas jalan utama dari ibu kota provinsi menuju ke delapan kabupaten/kota di pesisir pantai barat selatan Aceh itu.

"Yang kami khawatirkan apabila banjir dan jalan yang belum selesai dibangun itu dibiarkan berlarut akan mengakibat pasokan kebutuhan bahan pokok untuk daerah pantai barat selatan terganggu," kata Haikal.

Selain menyarakan pengguna jalan untuk berhati-hati saat melintas di jalan yang sedang dibangun USAID itu, diminta pemerintah Aceh mengambil sikap tegas terhadap pembangunan jembatan Lamno yang hingga saat ini belum dikerjakan.

"Jembatan Lamno merupakan salah satu sarana penghubung antara Banda Aceh-Calang, karena jembatan belum dibangun warga terpaksa menggunakan rakit untuk menyeberang sungai Lam Beso," katanya.
(dat06/ann)


http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=66227&Itemid=

Warga Rawan Banjir Tagih Janji Gubernur Aceh

Ragam 13-11-2009

MedanBisnis – Banda Aceh
Masyarakat di sejumlah desa di Kecamatan Trumon dan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan, menagih janji Gubernur Propinsi Aceh Irwandi Yusuf, terkait rencana pembangunan kanal untuk mengatasi banjir tahunan yang kerap menerjang wilayah tersebut.
“Saya minta Gubernur Irwandi Yusuf segera merealisasikan janji yang pernah diucapkan kepada masyarakat saat dia (gubernur) berkunjung ke wilayah itu beberapa waktu lalu,” kata juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal di Banda Aceh, Kamis.
Ia menilai, pembangunan kanal di kawasan tersebut sudah mendesak, sehingga masyarakat tidak lagi menjadi langanan banjir yang setiap musim hujan dan tahun menerjang pemukiman penduduk di wilayah itu.
Berdasarkan informasi warga, kata dia, rencana pembangunan kanal sebagai salah satu upaya mengatasi banjir tahunan itu diucapkan sendiri Gubernur Irwandi Yusuf ketika bertamah-ramah dengan tokoh masyarakat di salah satu masjid di Trumon pada Hari Raya Idul adha 1429 Hijriyah (2008).
“Saya menilai rencana pembangunan kanal tersebut merupakan gagasan yang cerdik dan spektakuler, sebab jika teralisasi maka gubernur telah ikut peduli terhadap masyarakat yang selama ini cukup menderita akibat bencana alam,” kata dia menyebutkan.
Tokoh pemuda Trumon Teuku Masrizal menyatakan bahwa ribuan warga di dua kecamatan itu sudah lama menjadi korban banjir tahunan akibat luapan sungai di kawasan tersebut.
“Seharusnya kekhawatiran akan banjir luapan sungai pada setiap musim hujan itu tidak perlu terjadi jika pemerintah membangun kanal antara kecamatan Trumon dengan Trumon Timur,” katanya.
Panjang kanal yang direncanakan dibangun untuk mencegah banjir luapan sungai (Krueng) Singkil itu sekitar delapan kilometer, dengan rencana anggaran mencapai sekitar Rp 40 miliar.
“Hingga saat ini, masyarakat masih diselimuti rasa khawatir terutama saat memasuki musim penghujan.
Ribuan kepala keluarga (KK) dari puluhan desa di Trumon Timur dan Trumon itu akan kehilangan mata pencarian sebagai petani, setiap datangnya banjir tahunan.
Mata pencaharian masyarakat di dua kecamatan tersebut adalah petani palawija dan perkebunan kelapa sawit.
“Artinya, setiap musim penghujan maka masyarakat tidak bisa bekerja karena lahan pertaniannya terendam air, selain ternak peliharaan yang menjadi korban dari bencana alam tahunan tersebut,” kata Teuku Masrizal. (ant)


http://www.medanbisnisonline.com/2009/11/13/warga-rawan-banjir-tagih-janji-gubernur-aceh/

Jumat, 06 November 2009

Elemen Sipil Desak Presiden SBY

Selasa, 3 November 2009 | 10:46
Lengserkan Kapolri dan Jaksa Agung
BandaAceh-Terkait proses hukum terhadap pimpinan KPK Nonaktif, Bibit SamadRianto dan Chandra M Hamzah, elemen sipil masyarakat di Aceh mendesakPresiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar mencopot Kapolri dan Jaksa Agung. Pasalnya, elemen sipil masyarakat di Aceh melihat Kapolri danKejagung tidak memiliki komitmen yang sama dengan SBY dalampemberantasan korupsi.

“Kami melihat komitmen kedua petinggi penegak hukum itu, belum nampak.Dan anggapan kami, dengan dicopotnya kedua orang itu, diharapkan kasusini mampu diselesaikan secara cepat, adil, dan professional, tanpa adatekanan atau konflik kepentingan,” tukas TAF Haikal yang diamini elemensipil masyarakat Aceh lainnya, kepada wartawan, ketika mengadakankonferensi pers di Forum LSM, Lambhuk, Banda Aceh, Senin (2/11) sore.

TAF Haikal mengatakan, elemen sipil masyarakat Aceh bukan ‘latah’ atauikut-ikutan, hanya saja pihaknya menilai langkah yang diambil Kapolriyang menahan kedua pimpinan KPK Nonaktif, bisa berdampak pada ikutmelemahnya penanganan kasus korupsi di daerah.
Masih TAF haikal. Selain mendesak pencopotan dua petinggi aparatpenegak hukum tersebut, pihaknya juga meminta agar SBY segera mengambillangkah penyelesaian secara komprehensif. Apalagi, kasus kriminalisirKPK dinilai menjadi barometer masyarakat dalam mengukur komitmenpolitik SBY dalam memberantas korupsi.

Lalu, pihaknya mendesak mahkamah Konstitusi untuk segera menggelarsidang terkait penyelesaian hukum kasus tersebut. harapan elemen sipilmasyarakat ini, agar MK mampu menyelesaikan kasus ini secara adil,terbuka, dan professional. Sehingga uji materil Pasal 32 Ayat (1) Hurufc undang-undang No.30/2002 tentang KPK dapat memberikan titik terangterkait polemic kewenangan.

Kemudian, lanjut TAF Haikal, meminta pimpinan KPK saat ini, untuk tetapmenjalankan proses pemberantasan korupsi secara masif. Jangan sampaikasus ini, melemahkan semangat untuk mengusut tuntas kasus-kasus yangsudah masuk di KPK.

Sementara itu, Akhiruddin Mahjuddin, Ketua Koordinator GeRAK Acehmenambahkan, dikriminalisirnya lembaga KPK berdampak pada melemahnyaaksi pemberantasan korupsi di negara ini. Hal itu, ujar Akhiruddin,bisa terkontaminasinya aksi pemberantasan di daerah dan membuat aktifisanti korupsi ikutan melemah.

Serta masyarakat yang ingin melaporkan adanya dugaan korupsi, menjaditidak berani lagi, dikarenakan ketakutan bakal dikriminalisir sepertipetinggi KPK.
Senada itu, Mawardi Ismail, Pakar Hukum Universitas Syiah Kuala(Unsyiah) mengungkapkan, rencana SBY membentuk tim independent agarbenar-benar memilih tim yang independent.

Dan beberapa saat kemudian, Mawardi menuturkan, tim independent telahdibentuk oleh SBY dan pihaknya bersyukur atas pilihan orang-orang yangduduk di tim tersebut yang dinilai memang independent.

Dalam pandangannya, ujar Mawardi, ada upaya pengalihan isu dalam prosespemberantasan korupsi. Ia pun berharap, hal seperti itu tidak terjadidi Aceh, apalagi ada beberapa kasus korupsi yang dianggap kasus besaryang masih alot penanganannya.

Adapun elemen sipil masyarakat ini, meliputi Ahmad Humam Hamid (PakarSosiolog Unsyiah), Mawardi Ismail (Pakar Hukum dan Politik Unsyiah),Saifuddin bantasyam (Akademisi Fakultas Hukum Unsyiah), Tgk. H FaisalAli (Ulama Dayah), Akhiruddin Mahjuddin (Ketua Koordinator GeRAK Aceh),J Halim Bangun (Forum LSM Aceh), Azhari (Budayawan Komunitas TikarPandan), Zulfikar Sawang (Praktisi Hukum), Hendra Fahdli (KontrasAceh), TAF Haikal (Tokoh Masyarakat), Mustikal (LBH Banda Aceh), IlhamSinambela (TI-Indonesia, Local Unit Aceh), M.Nur (Walhi Aceh), Alfian(MaTA), dan Evi Narti Zain (Koalisi NGO HAM). (ian)( rakyataceh online )


http://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=ragam&id=147

Selasa, 03 November 2009

Presiden Bentuk TPF Kasus Bibit-Chandra

* Aktivis Aceh Turut Kenakan Pita Hitam
3 November 2009, 08:52 Utama Administrator
JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Senin (2/11) kemarin, resmi membentuk tim pencari fakta (TPF) yang beranggotakan delapan orang. Tim ini akan meneliti kasus yang melibatkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, yang kini ditahan Mabes Polri. Menko Polhukan Djoko Suyanto yang ikut mendampingi Presiden SBY saat pembentukan TPF tersebut, kepada wartawan menjelaskan bahwa tim ini diberi nama Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum. “Pembentukan tim ini tidak menghentikan proses hukum yang sedang dilakukan Polri,” katanya.

Dijelaskannya, tugas utama tim ini adalah melakukan verifikasi atas proses hukum kasus pidana yang polisi sangkakan terhadap Bibit dan Chandra. Termasuk juga klarifikasi atas temuan fakta dan hal-hal yang selama ini menjadi sumber kecurigaan masyarakat. “Tim bekerja mencari fakta tapi tidak menilai salah atau tidak. Itu prosesnya nanti di pengadilan,” jelas Djoko.

Hasil kerja ‘Tim Delapan’ nantinya akan dilaporkan ke Presiden SBY sebagai rekomendasi solusi atas kemelut hukum yang terjadi. Menko Polhukam menegaskan Presiden SBY tidak memberikan ‘titipan’ apa pun mengenai teknis berkerja tim tersebut. “Arahan presiden agar prosesnya berjalan sesuai UU, akuntabel dan transparan. Kita semua ingin prosesnya cepat selesai,” pungkasnya.

TPF yang akan menyelidiki kasus dugaan rekayasa yang menyebabkan Bibit-Chandra jadi tersangka itu diketuai oleh Adnan Buyung Nasution, Wakil Ketua Koesparmono Irsan dan Sekretaris Denny Indrayana. Sedangkan anggotanya masing-masing Anies Baswedan, Todung Mulya Lubis, Amir Syamsudin, Hikmahanto Juwana, dan Komaruddin Hidayat.

Tim tersebut diberikan waktu selama dua minggu dan hasilnya dilaporkan langsung kepada Presiden SBY. “Kami diberi waktu dua minggu, nanti hasilnya akan dilaporkan ke SBY langsung,” kata Ketua TPF Adnan Buyung Nasution, yang turut mendampingi Menko Polhukam Djoko Suyanto dalam jumpa pers di Wisma Negara, Jakarta, kemarin.

Menurut Adnan Buyung yang sebelumnya juga dipercayakan terlibat dalam pembentukan Perppu pimpinan KPK, mengatakan bahwa pihaknya akan terbuka terhadap masukan-masukan yang disampaikan masyarakat luas. “Kita akan berusaha berkomunikasi dengan kalian (wartawan) agar transparan, tapi nanti hasilnya harus kita berikan dulu kepada Presiden,” katanya.

Ditambahkan, TPF yang dipimpinnya itu, nantinya akan memantau sidang uji materi yang diajukan Bibit-Chandra di Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk menyimak rekaman dugaan upaya kriminalisasi terhadap kedua pimpinan KPK nonaktif itu. “Itu (mencari kebenaran soal rekaman) bagian dari tugas kami, kerja kami,” kata Adnan Buyung.

Tak intimidasi
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai baik nama-nama yang masuk dalam TPF kasus Bibit-Chandra tersebut. Namun ICW meminta Presiden SBY untuk memastikan bahwa Kapolri dan Jaksa Agung tidak mengintimidasi kerja TPF dengan cara menonaktifkan keduanya. “SBY harus pastikan agar Kapolri dan Jaksa Agung tidak mengintimidasi kerja tim ini,” ujar Koordinator ICW Danang Widoyoko, di Jakarta, Senin (2/11).

Danang berharap TPF memiliki kewenangan yang jelas, mempunyai hak untuk melakukan pemeriksaan, dan bisa memeriksa orang-orang yang terlibat serta dapat mengakses semua data yang ada di Kejagung dan Mabes Polri. “Hasil rekomendasi TPF ini, juga diharapkan dapat diakses oleh publik, sehingga publik tidak penasaran dengan kasus yang menjerat dua pimpinan KPK nonaktif itu,” pungkasnya.

Polri juga diminta untuk segera menangguhkan penahanan terhadap Bibit-Chandra menyusul dibentuknya TPF oleh Presiden SBY itu. “Dengan dibentuknya tim Independen yang tugasnya baru akan memverifikasi proses dan fakta-fakta hukum kasus Bibit dan Chandra, maka saat ini Polri harus arif dan legowo untuk sementara waktu menangguhkan penahanan Bibit dan Chandra,” kata Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefuddin.

Menurut Lukman, kebutuhan verifikasi atas kasus yang menimpa Bibit dan Chandra menandakan adanya masalah dalam proses penahanan 2 pimpinan nonaktif KPK tersebut. “Karena proses dan dasar hukum penahanan tersebut bermasalah, tentunya harus diverifikasi dulu, maka mutlak penahanan tersebut harus secepatnya ditangguhkan,” tegas politisi PPP ini.

Pita hitam
Sementara itu, sejumlah tokoh masyarakat Aceh yang terdiri dari ulama, akademisi, seniman, dan para aktivis, Senin (2/11) kemarin, dilaporkan turut menyampaikan keprihatinannya terhadap penahanan dua pimpinan KPK nonaktif itu, dengan mengenakan pita hitam sebagai tanda berkabung di lengan banjunya.

Dalam temu pers yang digelar di Kantor Sekretariat Forum LSM Aceh, Jalan T Iskandar kawasan Lambhuk, Ulee Kareng, Banda Aceh, terkait dengan dugaan rekayasa dan upaya kriminalisasi terhadap kedua pimpinan KPK nonaktif itu, mereka juga mendesak Presiden SBY untuk mencopot Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji dari jabatannya.

Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Ahmad Humam Hamid, Mawardi Ismail, Saifuddin Bantasyam, Tgk Faisal Ali, TAF Haikal, Zulfikar Sawang, Akhiruddin (GeRAK Aceh), Azhari (Komunitas Tikar Pandan), Hendra Fahdli (Kontras Aceh), Mustikal (LBH Banda Aceh), Ilham Sinambela (TI-Indonesia unit Aceh), M Nur (Walhi Aceh), dan Rafli Kandee (seniman).

Mereka juga menyambut baik pembentukan TPF yang akan menyelidiki kasus rekayasa dan upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK nonaktif itu. “Dengan pembentukan tim tersebut, kita mengharapkan kasus yang cukup mendapat perhatian publik itu dapat segera diselesaikan dengan sebaik-baiknya,” sebut mereka dalam pernyataannya.(dtc/ask/sup)


http://www.serambinews.com/news/presiden-bentuk-tpf-kasus-bibit-chandra

Senin, 02 November 2009

SBY Harus Copot Kapolri dan Jaksa Agung

Oleh: Salman Mardira - 02/11/2009 - 19:51 WIB

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Penahanan terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) non-aktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah terus menuai kecaman.

Masyarakat sipil Aceh mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencopot Kapolri Jendral Bambang Hendarso Danuri dan Jaksaan Agung Hendarman Supandi, karena dinilai tak professional.

“Kami mendesak SBY segera mencopot Kapolri dan Jaksa Agung dari jabatannya,” kata TAF Haikal, seorang tokoh muda Aceh, di kantor Forum LSM Aceh, Banda Aceh, Senin (2/11).

Kedua petinggi penegak hukum itu perlu diberhentikan, kata Haikal, mengingat kasus yang melibatkan bekas dua petinggi KPK perlu diselesaikan secara cepat, adil dan profesional.

Saifuddin Bantasyam, praktisi hukum dari Universitas Syiah Kuala, menduga, selama ini Kapolri dan Jaksa Agung ikut melemahkan KPK secara sistematis.

Ia meminta SBY dengan kekuasaannya segera menyelesaikan kasus ini secara substantif, bukan secara normatif seperti yang ditunjukkan sekarang.

Jika tidak, Saifuddin menghkawatirkan, bakal lahir perlawanan hebat dari rakyat seluruh Indonesia alias people power terhadap Pemerintah SBY, yang telah dipercaya memimpin kembali negeri ini.

“Komitmen SBY dalam memberantas korupsi juga akan diragukan oleh rakyat,” ujarnya.

Senada dengan Saifuddin, pengamat hukum Aceh lain, Mawardi Ismail, meminta SBY jangan mempertaruhkan harga diri bangsa demi melindungi segelintir orang yang ingin melemahkan KPK.

Ia juga mendesak aparat hukum segera mencari kebenaran atas barang bukti rekaman diduga rekayasa kasus Bibit-Hamzah, yang kini dikuasai KPK.

“Bukan hanya menilai sah tidaknya barang bukti itu,” kata Mawardi.

Masyarakat sipil Aceh yang terdiri dari unsur akademisi, ulama, budayawan, aktivis LSM, seniman dan unsur lainnya, juga mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) segera menyidang kasus cicak vs buaya ini secara adil, profesional dan terbuka.[ ]


http://www.acehkita.com/berita/sby-harus-copot-kapolri-dan-jaksa-agung/

Jumat, 30 Oktober 2009

Sumbangan Aceh Untuk Sumbar Dalam Bentuk Bangunan

Kamis, Okt 29, 2009
Aceh
Banda Aceh ( Berita ) : Sumbangan rakyat Aceh untuk masyarakat Sumatra Barat pascagempa akan diwujudkan dalam bentuk bangunan, seperti tempat ibadah atau gedung sekolah.
“Sebaiknya bantuan masyarakat Aceh yang disalurkan melalui media massa lokal digunakan untuk membangun sekolah atau masjid,” kata Koordinator Poros Kemanusiaan Aceh, TAF Haikal di Banda Aceh, Kamis [29/10].
Ia mengatakan, media cetak lokal Aceh yakni Serambi Indonesia dan Harian Aceh menerima sumbangan masyarakat Aceh untuk korban gempa di Sumbar.
Seperti bantuan masyarakat Aceh untuk korban gempa di Yogyakarta, kata dia, diwujudkan membangun masjid yang bentuknya seperti Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
“Jadi, kita harapkan bantuan masyarakat Aceh yang disalurkan melalui media massa bisa digunakan untuk membangun sarana ibadah atau sekolah, sehingga manfaatnya bisa dirasakan dalam jangka panjang,” ujarnya. Untuk bantuan makanan, pakaian, obat-obatan sudah dilberikan oleh Pemerintah Aceh senilai Rp2 miliar pada masa tanggap darurat.
Haikal menyatakan, Poros Kemanusiaan Aceh, lembaga yang digagas beberapa LSM di Aceh yang sejak awal terus menggalang bantuan untuk korban gempa Sumbar.
Penggalanagn dana yang terakhir dilakukan adalah dengan menggelar kegiatan kesenian yang bertajuk “Gelar Amal Aceh untuk Sumatra Barat” di Taman Sari, Banda Aceh, pada Sabtu (24/10) malam.
Pada malam amal tersebut menampilkan artis kawakan Aceh, seperti Rafly Kande dan group lawak Eempang Breuh, serta Rahmi Idola Cilik.
“Alhamdulillah kehadiran artis Aceh mampu membangkitkan solidaritas masyarakat Aceh, sekaligus membantu korban gempa di Sumatera Barat. Pada malam itu terkumpul dana sekitar Rp170 juta yang sudah disalurkan melalui Serambi Indonesia,” katanya. Sumbangan masyarakat Aceh yang sudah salurkan ke Serambi Indonesia hingga Kamis (29/10) mencapai Rp918 juta lebih. ( ant )


http://beritasore.com/2009/10/29/sumbangan-aceh-untuk-sumbar-dalam-bentuk-bangunan/

Minggu, 25 Oktober 2009

Malam Amal Kumpulkan 150 Juta

Oleh: AKNews - 25/10/2009 - 01:46 WIB

TAMAN SARI | ACEHKITA.COM — Gelar Amal Aceh untuk Sumatera Barat yang digelar di Taman Sari mampu menghimpun sumbangan berupa uang tunai senilai Rp150 juta lebih. Malam amal dimeriahkan penampilan Kande, Rahmi Idola Cilik 2, Rahma KDI, dan Eumpang Breueh.

Panitia Malam Amal yang digelar Poros Kemanusiaan Aceh yang bekerjasama dengan Yayasan Sambinoe, dan Palang Merah Indonesia, mengedarkan kotak sumbangan, yang diedarkan kepada para penonton yang menyemut di Taman Sari. Dari sumbangan penonton terhimpun lebih dari dua juta Rupiah. Selain itu, bantuan diberikan sejumlah donatur.

TAF Haikal, koordinator Poros Kemanusiaan Aceh, menyebutkan, dana yang berhasil dikumpulkan pada malam amal ini sepenuhnya akan disalurkan kepada masyarakat Sumatera Barat, yang menjadi korban gempa berkekuatan 7,9 pada Skala Richter.

“Sumbangan akan disalurkan melalui Serambi Indonesia,” kata TAF Haikal menjelang malam amal berakhir.

Nasir Nurdin, wakil redaktur pelaksana Serambi Indonesia, yang menerima langsung titipan sumbangan ini menyebutkan, rencananya dana yang berhasil dihimpun dari pembaca surat kabar tertua di Aceh itu akan dibangun lembaga pendidikan.

Malam Amal untuk Sumatera Barat menyedot perhatian masyarakat kota. Sejak usai Magrib, warga sudah menjubeli kompleks Taman Sari, yang berada di sisi selatan Masjid Raya Baiturrahman.

Kemeriahan ini disebabkan penampilan Rahmi Idola Cilik, Seuramoe Reggae, Rahma KDI, Eumpang Breueh, dan Kande. Sayang, kendati mampu menghipnotis pengunjung, penampilan dua host membuat acara kurang menarik. Host terkesan tidak mampu menguasai materi acara. Sehingga, kesalahan dilakukan berulangkali.

Penampilan Rafly dan Kande yang terlalu larut juga membuat pengunjung banyak yang beranjak pulang, sebelum acara berakhir.

“Saya datang untuk melihat penampilan Kande. Sayang, mereka tampil terlalu larut malam,” kata Ami.

Kande tampil dengan empat tembang. Tiga tembang lawas, yang belum diluncurkan ke pasar. Penampilan Kande bersama Cut Fatmiah, warga Perancis, mampu menyedot perhatian penonton. Fatmiah mampu mengimbangi vokal Rafly dalam lagu “Seulanga”. []

http://www.acehkita.com/berita/malam-amal-kumpulkan-150-juta/

Aceh Gelar Malam Amal untuk Padang


Sabtu, 24 Oktober 2009 | 22:41 WIB

TEMPO Interaktif, Banda Aceh - Poros Kemanusiaan Aceh bekerjasama dengan Palang Merah Indonesia dan Yayasan Sambinoe menggelar malam amal untuk membantu korban gempa di Sumatera Barat, Sabtu (24/10) malam ini. Acara itu dipusatkan di Taman Sari Banda Aceh.

Malam amal untuk mengumpulkan dana bagi korban bencana di Padang, Sumatera Barat tersebut ikut dimeriahkan oleh penyanyi kondang Aceh, Rafly dan Grup Kande, serta para pemain film komedi Aceh, Eumpang Breueh.

“Ini adalah bentuk kepedulian masyarakat Aceh untuk membantu masyarakat Sumatera Barat. Sebelumnya, kami juga telah menggalang dana dan mengirim relawan kemanusiaan ke sana,” ujar Taf Haikal, Koordinator Poros Kemanusiaan Aceh.

Bersaamaan dengan menggalang dana, Palang Merah Indonesia juga memfasilitasi masyarakat yang ingin mendonorkan darahnya. Darah tersebut selain disumbangkan ke Padang, juga untuk kebutuhan darah di Aceh. “Untuk meringankan beban saudara-saudara kita yang membutuhkannya,” ujar Ketua PMI Kota Banda Aceh Kamaruzzaman Aqni.

ADI WARSIDI

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/10/24/brk,20091024-204302,id.html

Jumat, 23 Oktober 2009

Ditolak, Rencana Pemerintah Aceh Kelola Maskapai Penerbangan

Banda Aceh, (Analisa)
Sejumlah kalangan masyarakat mulai menolak rencana Pemerintah Aceh di bawah pimpinan Gubernur Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar yang ingin mengoperasikan maskapai penerbangan Air Aceh, dengan tujuan bisnis dan target mengejar keuntungan belaka.

Karena, saat ini masih sangat banyak pekerjaan lain untuk melayani rakyat yang harus dilakukan pemerintah, dan mempercepat program pembangunan lainnya yang selama ini berjalan sangat lamban karena lemahnya kinerja Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) seperti dinas, badan dan lembaga yang sepertinya kurang mendapat perhatian dari Gubernur Aceh, yang lebih suka jalan-jalan ke luar negeri.

Juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal menyarankan, sebaiknya operasional penerbangan pesawat Air Aceh tersebut diserahkan saja kepada pihak swasta yang lebih profesional.

"Jadi, Pemerintah Aceh jangan sibuk berbisnis mengurus operasional pesawat Air Aceh, sehingga kerja lainnya dalam melayani rakyat jadi terbengkalai. Biar orang lain dari pihak yang menanganinya, tanpa campur tangan pemerintah sedikitpun," ujar TAF Haikal, Rabu (21/10).

Menurutnya, melihat pengalaman dari pengelolaan pesawat Seulawah NAD Air (SENA) yang ditangani oleh Pemprov NAD dimasa kepemimpinan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh, yang akhirnya merugi karena tidak profesional. "Jadi, kita harus bercermin dari pengalaman itu. Jangan sampai itu dimanfaatkan orang yang tidak bertanggungjawab mencari keuntungan pribadi. Uang di Aceh sekarang sudah banyak, tinggal menggunakan saja untuk kesejahteraan rakyat, bukan mengoperasikan pesawat," tegasnya.

Ketua Sementara Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Drs H Hasbi Abdullah, secara tegas juga menyatakan penolakannya terhadap rencana Pemerintah Aceh mengoperasikan Air Aceh. Ia juga meminta pemerintah lebih fokus untuk melayani masyarakat.

"Pemerintah tidak usah urus bisnis, yang hanya mengejar keuntungan. Masih banyak yang perlu diurus, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh," kata Hasbi.

Disebutkan, walaupun pengoperasiannya tanpa memakai uang rakyat atau dana APBA, tetap saja keputusan diambil tidak boleh sepihak. Dengan tidak melibatkan kalangan legislatif, yang merupakan juga perpanjangan aspirasi masyarakat Aceh.

Saat ini, lanjutnya, belum saatnya Pemerintah Aceh berbisnis, dan mencari keuntungan. Pemerintah harus paham apa tugas yang diamanatkan kepada mereka, yaitu untuk melayani rakyatnya.

"Masih banyak yang perlu dibenahi oleh pemerintah saat ini, khususnya menyangkut tentang pelayanan publik, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengurangi pengangguran. Saya tidak setuju dengan itu, belum saatnya Pemerintah Aceh untuk berbisnis yang tujuannya hanya untuk mengejar keuntungan. Masyarakat masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan, itu yang perlu diperhatikan," tegasnya.

Hasbi meminta Pemerintah Aceh untuk membatalkan rencana tersebut, hingga rakyat Aceh benar-benar siap untuk menyahuti rencana Provinsi Aceh memiliki maskapai penerbangan sendiri.

Hendra Budian, Direktur Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI) menilai, kinerja Pemerintah Aceh selama ini belum membawa perubahan berarti bagi rakyat Aceh. Bahkan, jika dilihat dari segi realisasi anggaran, pada tahun ketiga kepemimpinan Irwandi-Nazar semakin terpuruk.

Lebih Buruk

"Buktinya, hingga medio Oktober 2009, realisasi serapan anggaran masih di bawah 30 persen, sementara tahun anggaran hanya tersisa 2,5 bulan lagi. Serapan anggaran tahun ini kemungkinan lebih buruk dari tahun lalu. Kalau begini terus, jangan pernah bermimpi Aceh akan lepas dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan," ujar Hendra.

Dikatakan, sebenarnya pada awal memimpin Aceh tahun 2007, pemerintahan Irwandi-Nazar sempat membawa angin segar bagi perubahan kehidupan rakyat Aceh. Karena pada tahun ini, anggaran yang diserap mencapai 63 persen dari total APBA sebesar Rp 4,7 triliun. Namun, pada tahun 2008, tahun kedua pemerintahan, jumlah anggaran yang diserap kembali melorot yakni 56 persen dari total APBA 2008 sebesar Rp8,7.

Saat ini, kata Hendra, sejumlah dinas masih sedang mengumumkan pelelangan proyek APBA 2009 di sejumlah media massa. "Saya tak habis pikir ‘kabinet’ hasil fit and proper test kinerjanya seperti ini, dan Irwandi masih mempertahankannya. Sungguh ironis," ungkapnya. (mhd)

Realisasi APBA 2009 Memprihatinkan

Banda Aceh, (Analisa)
Tingkat realisasi serapan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2009 sebesar Rp9,7 triliun untuk mempercepat pembangunan, hingga saat ini ternyata masih sangat memprihatinkan, karena lemahnya kinerja Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) seperti dinas, badan dan lembaga daerah lainnya.

Menurut data yang diperoleh, hingga 30 September 2009, realisasi rata-rata fisik proyek APBA 2009 baru mencapai 32,15 persen dan keuangan 24,04 persen atau senilai Rp2,353 triliun dari pagu Rp9,791 triliun. Rendahnya realisasi fisik proyek APBA 2009, karena 22 SKPA dari 42 SKPA yang ada, tingkat realisasi fisik proyeknya masih berada di bawah 50 persen.

Realisasi fisik proyek APBA 2009 yang baru mencapai 32,15 persen tertinggal jauh, bila dibandingkan dengan realisasi fisik proyek Badan Kesinambungan Rekontruksi Aceh (BKRA) yang mencapai 54 persen persen dan proyek APBN dari dana dekonsentrasi yang telah mencapai 74 persen.

Kenyataan ini ternyata kurang mendapat perhatian dari Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Gubernur saat ini malah sedang sibuk dengan urusan lain kunjungan kerja ke luar negeri yang dilakukannya sejak 1-15 Oktober 2009, yaitu ke Amerika Serikat, Jepang dan China.

Sejumlah kalangan masyarakatmengkritik keras sikap Gubernur Aceh itu yang kurang peduli terhadap persoalan yang terjadi di daerah saat ini, karena masih banyaknya program pembangunan yang tidak bisa berjalan. Sementara kunjungan ke luar negeri dengan alasan memenuhi undangan pihak ketiga, serta menjaring investor dinilai tidak bermanfaat bagi masyarakat Aceh, karena hingga dua tahun ini banyak yang belum terealisasi meskipun sudah puluhan Nota Kesepahaman (MoU) ditandatangani.

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal menyayangkan sikap Gubernur Aceh itu, yang untuk kesekian kalinya dalam tahun ini melakukan kunjungan ke sejumlah negara dengan berbagai alasan dalam jangka waktu yang lama.

Tidak Dilakukan

Sebaiknya, kunjungan ke luar negeri yang lama tidak dilakukan oleh gubernur dan rombongan. Mengingat realisasi anggaran di Aceh masih sangat rendah yaitu masih 32 persen, sementara waktu yang tersedia hanya 2,5 bulan lagi. "Kami mempertanyakan bentuk perhatian gubernur terhadap pembangunan daerah yang masih sangat lamban, jangan hanya asyik jalan-jalan saja," ujar Haikal kepada wartawan di Banda Aceh, Sabtu (10/10).

Menurutnya, jika Irwandi Yusuf tidak segera menghentikan kebiasaan jalan-jalan ke luar negeri, maka akan banyak program pembangunan yang terbengkalai, kepercayaan rakyat Aceh kepada dirinya akan sia-sia saja.

Banyak agenda pembangunan ke depan yang sudah di depan mata, perlu diprioritaskan oleh kepala daerah, seperti tahapan-tahapan penyusunan Rancangan APBA 2010. Jangan sampai terlalu lamanya gubernur di luar bisa mengganggu percepatan realisasi anggaran 2009 dan juga tepatnya jadwal pengesahan APBA 2010, kata Haikal.

Direktur Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), Hendra Budian, meminta agar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang baru untuk berani melarang kunjungan Gubernur Irwandi Yusuf ke luar negeri, karena tidak ada manfaat sama sekali bagi masyarakat Aceh.

Seharusnya gubernur lebih memerhatikan persoalan yang muncul di daerah dulu, ketimbang jalan-jalan terus ke luar negeri. Tugas utama anggota parlemen baru Aceh harus segera melakukan evaluasi terhadap kinerja eksekutif yang hingga saat ini belum juga menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik, kata Hendra Budian.

Harus segera kembali

Ketua sementara DPRA, Drs Hasbi Abdullah dari Partai Aceh (PA), sudah mengingatkan Gubernur Irwandi Yusuf terkait kegemarannya melakukan kunjungan ke luar negeri. "Jangan terlalu banyak ke luar negeri, dan harus segera kembali, karena masih sangat banyak tugas lain yang harus kita kerjakan dan pikirkan bersama Pemerintah Aceh," kata Hasbi Abdullah mengingatkan.

Sebelumnya, Kepala Bappeda Aceh, Munirwansyah dalam rapat evaluasi APBA 2009 triwulan III, meminta supaya 22 SKPA yang kinerja fisik proyeknya masih di bawah 50 persen, agar menggenjot kinerja fisik proyeknya dalam sisa waktu kerja sekitar 2,5 bulan lagi. Sehingga pada akhir tahun nanti realisasi fisik proyeknya bisa mencapai di atas 90 persen.

Seperti Dinas Pengairan Aceh, realisasi fisik proyeknya sampai bulan lalu menurut laporan yang disampaikan kepada Biro Administrasi Pembangunan Setdaprov Aceh baru mencapai 29,72 persen, dan keuangan 29,72 persen dari pagu yang diperoleh dalam APBA 2009 Rp 695,3 miliar. Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Aceh yang mendapat alokasi anggaran sangat besar pada tahun ini mencapai Rp2,239 triliun, realisasi fisiknya lebih baik dari Dinas Pengairan, yakni mencapai 31,30 persen dan keuangan baru 17,65 persen. (mhd)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=31347:realisasi-apba-2009-memprihatinkan-&catid=442:12-oktober-2009&Itemid=221

Kamis, 22 Oktober 2009

Dana Kompensasi Karbon Sebaiknya Dikelola Kabupaten

Rabu, Okt 21, 2009
Banda Aceh ( Berita ) : Dana kompensasi karbon yang akan diberikan negara donor untuk Provinsi Aceh sebaiknya dikelola langsung oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, kata aktivis lingkungan hidup Aceh TAF Haikal di Banda Aceh, Rabu [21/10].
Dengan demikian, menurut dia, masing-setiap kepala daerah bertanggungjawab untuk memelihara hutan di wilayahnya. “Sebaiknya dana kompensasi karbon tersebut dikelola langsung oleh Pemerintah Aceh kemudian diserahkan ke kabupaten/kota dengan memakai skema pembagian keuangan migas,” katanya.
Jadi, kata mantan Ketua Forum LSM Aceh itu, dana kompensasi karbon tidak lagi dikelola oleh LSM asing, tetapi dipercayakan kepada Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota, sehingga tanggungjawab kepala daerah menjaga kelestarian hutan akan semakin besar.
Selain itu, bupati tidak mudah mengeluarkan konsesi hak guna usaha (HGU) perkebunan atau pertambangan. Kabupaten/kota bisa mengelola dana tersebut untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar hutan, sehingga mereka bisa bersama-sama pemerintah menjaga kelestarian hutan, ujarnya.
Bila ini berjalan, secara tidak langsung Pemerintah kabupaten/kota belajar mengelola keuangan internasional. “Apabila ini berhasil, ada nilai plus tersendiri bagi pemerintah kabupaten, karena mereka sudah mampu mengelola dana internasional dengan baik,” ujarnya.
Tim Asistensi bidang sistem manajemen informasi Gubernur Aceh Wibisono yang menangani masalah kompensasi karbon itu menyatakan kompensasi karbon masih dalam tahap mendekatan dan analisis, sedangkan teknisnya belum dibicarakan. Ia mengakui ada negara yang sudah komitmen membeli karbon hutan Aceh, tapi sampai sekarang beluam ada realisasinya.
Wibisono menambahkan perdagangan karbon memiliki beberapa model antara lain mengikuti Protokol Kyoto yang mengatur pengurangan emisi aktivitas industri.
Menyinggung pengelolaan dana, ia menyatakan, belum memikirkan ke arah itu karena mekanismenya belum jelas. Sebelumnya juru bicara LSM Flora dan Fauna International (FFI) Aceh Dewa Gumay mengatakan FFI yang sejak awal menginisiasi kredit karbon hutan Aceh khususnya Ulu Masen memfasilitasi bantuan teknis seperti menyediakan konsultasi untuk Pemerintah Aceh.
Perdagangan karbon sendiri, menurut Dewa Gumay, hingga kini belum ada mekanisme yang jelas seperti bagaimana penyaluran dana untuk Aceh.
Ia mengatakan komitmen tersebut akan dimulai di wilayah Ulu Masen yang menjadi proyek percontohan. Dipastikan tidak seluruh luas hutan Ulu Masen yang mencapai 740 ribu hektare menjadi kawasan perdagangan karbon.
“Kami belum tahu wilayah mana yang layak untuk perdagangan karbon karena assessment juga belum dilakukan,” tambahnya.
Hutan Ulu Masen, sebagai kawasan ekosistem yang belum memiliki status baik melalui Peraturan Menteri maupun peraturan lain dipilih karena memiliki tantangan bagaimana melindungi wilayah hutan yang tidak berstatus hukum.
Kawasan hutan Aceh masih dinilai sebagai salah satu yang terluas di Indonesia sehingga diwacanakan perdagangan karbon terhadap hutan-hutan tersebut untuk mengurangi dampak perubahan iklim. ( ant )


http://beritasore.com/2009/10/21/dana-kompensasi-karbon-sebaiknya-dikelola-kabupaten/

Selasa, 20 Oktober 2009

Galang Bantuan Gempa, Biker Konvoi

Oleh: Radzie - 17/10/2009 - 20:15 WIB

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Bikers Aceh yang tergabung dalam beberapa club sepeda motor di Banda Aceh akan melakukan konvoi kemanusiaan untuk menggalang dana untuk Sumatera Barat, Ahad (18/10). Konvoi akan mengambil start di depan Masjid Raya Baiturrahman pada pukul 15.00 WIB dan mengelilingi Kota Banda Aceh.

Konvoi sepeda motor ini merupakan rangkaian kegiatan Gelar Amal Aceh untuk Sumatera Barat yang digagas Poros kemanusiaan Aceh. Kegiatan ini diharapkan mampu menggugah masyarakat Banda Aceh dan Aceh Besar untuk bersama-sama menyumbang kepada korban Gempa di Sumatera Barat dan sekitarnya.

“Konvoi ini sebagai solidaritas dari pengguna motor yang tergabung dalam klub masing-masing, dan selain konvoi para bikers juga akan melakukan atraksi menrik dengan sepeda motor,” kata Taufik dari Jupiter Series Club.

Kata Taufik, para bikers yang nanti ikut konvoi berasal dari berbagai klub motor yang ada di Banda Aceh seperti Clup Honda, Yamaha, Suzuki Shogun, Club Motor Ceper. Diperkirakan 200 bikers akan ikut.

Rute bermula dari halaman Mesjid Raya Baiturahman, pasar Aceh, Pante Pirak, Simpang Lima, T Nyak Arief, Simpang Mesra, Jambo Tape, T Chik Ditiro, dan berakhir di Jalan Muhammad Jam dan ditutup dengan atraksi sepeda motor sekitar 30 menit.

“Atraksi ini bukan ugal-ugalan, tapi memang keterampilan. Dan yang melakukan atraksi memang sudah terlatih dengan baik, dan mudah-mudahan akan menjadi suguhan menarik bagi masyarakat,” kata Taufik. [ril]


http://www.acehkita.com/berita/galang-bantuan-gempa-biker-konvoi/

Kamis, 15 Oktober 2009

Poros Kemanusiaan Aceh Kirim Relawan ke Sumbar

7 October 2009, 12:43 Kutaraja Administrator

BANDA ACEH - Poros Kemanusiaan Aceh untuk gempa Sumbar, Selasa (6/10), sekira pukul 16.00 WIB, kembali mengirimkan tim relawan ke Sumatera Barat. Relawan kemanusiaan gelombang empat yang beranggotakan 15 orang itu, dilepas oleh Koordinator Poros Kemanusiaan Aceh untuk gempa Sumbar, Taf Haikal, di halaman Kesekretariatan Yayasan Sambinoe, Jalan Iskandar, Lambhuk, Ulee Kareng, Banda Aceh.

Koordinator Poros Kemanusiaan Aceh untuk gempa Sumbar, Taf Haikal, kepada Serambi mengatakan, ke 15 relawan kemanusiaan yang dikirim itu, 10 diantaranya berasal dari Yayasan Sambinoe. Sedangkang lima orang lagi merupakan relawan dari Walhi Aceh. “Yayasan Sambinoe mengirim 6 dokter spesialis dan 4 tenaga medis. Sedangkan dari Walhi Aceh mengirmkan 5 relawan yang memiliki kemampuan manajemen bencana,” sebut Taf Haikal seraya mengatakan, pengiriman relawan kali ini juga meyertakan 2 unit mobil Double Cabin, dan 1 unit Ambulance dari Yayasan Sambinoe.

Selain mengirimkan tenaga medis dan dokter, Yayasan Sambinoe juga membawa obat-obatan, pakaian baru dan pakaian layak pakai bagi korban bencana gempa bumi di Sumatera Barat itu. Untuk mendukung Posko Kesehatan dan Mobil klinik, Yayasan Sambinoe juga menyiapkan obat-obatan bagi 2000 orang yang akan ditempatkan di mobil klinik. Selain itu, Sambinoe juga menyediakan obat-obatan bagi Posko kesehatan untuk 100 pasien.

“Tak hanya itu, Yayasan Sambinoe juga membawa bahan dan obat-obatan untuk tindakah bedah bagi 100 pasien. Disamping obat-obatan, tim ini juga membawa 600 paket susu bayi, ibu hamil dan menyusui, 500 paket pakaian dalam wanita, 300 paket pempers dan sejumlah pakaian layak pakai,” rinci Taf Haikal. Sementara mengenai penempatan relawan Walhi Aceh, kata Taf Haikal, mereka akan berkoordinasi dengan tim yang sebelumnya sudah tiba di padang dan pariaman. Tim ini akan memperkuat posko dalam melakukan assesment kebutuhan korban dan melakukan komunikasi intensif dengan berbagai pihak.

Dalam kesempatan itu, Taf Haikal juga mengatakan, berdasarkan informasi yang diperoleh pihaknya dari tim Poros Kemanusiaan Aceh di padang menyebutkan, bahwa masyarakat disana tidak terkonsentrasi pada tenda-tenda pengungsian. Sebab, kebanyakan dari mereka lebih memilih mendirikan tenda dirumah-rumah penduduk.

Haikal mengatakan, hingga Selasa kemarin Posko Poros Kemanusiaan Aceh untuk Sumbar, terus didatangi masyarakat guna memberikan bantuannya, baik dalam bentuk barang maupun uang. “Selain menerima dan menyalurkan bantuan, Poros juga melakukan distribusi dan update informasi mengenai kondisi lapangan. Poros Kemanusiaan Aceh untuk gempa sumbar masih akan menerima sumbangan dari berbagai pihak. Dan kita berharap sekecil apapun kontribusi kita, minimal dapat meringankan beban para korban,” pungkas Haikal.(tz)


http://www.serambinews.com/news/poros-kemanusiaan-aceh-kirim-relawan-ke-sumbar

Terkait Pembangunan Jalan KPBS Minta USAID Bersikap Tegas

Serambi Indonesia, 6 Oktober 2009

BANDA ACEH - Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) meminta pihak USAID bersikap tegas tentang kelanjutan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang, terutama pada ruas section IV yang sudah terhenti sejak 19 bulan. Persoalan ini penting bagi rakyat dan Pemerintah Aceh sehingga tidak terus berlarut-larut penderitaan yang dialami masyarakat pantai barat selatan.

Jubir KPBS, TAF Haikal didampingi dua tokoh mudah, Fadli Ali SE dan Imran Mahfudi SH kepada Serambi, Senin (5/10) mengatakan, kalau beberapa waktu lalu masih bisa dipahami bila USAID selaku penyadang dana pembangunan ruas jalan Banda-Calang menghentikan pekerjaan proyek di ruas jalan Section IV. “Ini terjadi menyusul diputusnya kontrak kerja dengan pihak PT WIKA sekitar 19 bulan lalu,” ungkapnya.

Penghentian pekerjaan dikarenakan belum selesainya persoalan yang terjadi di lapangan yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikannya, seperti masalah pembebasan tanah yang belum tuntas. “Tetapi setelah semua persoalan yang terjadi di lapangan tuntas diselesaikan pemerintah, ternyata USAID belum juga melanjutkan pekerjaannya. Maka kita semua menjadi heran dan ada apa dibalik semua ini,” ujar Haikal.

Ia mengatakan, masyarakat Aceh terutama di kawasan pantai barat-selatan menaruh harapan dan penghargaan pada Pemerintah Amerika ketika negera adidaya untuk menyatakan kesediannya membangun kembali jalan tersebut yang rusak akibat bencana 24 Desember 2004. “Berlarutnya proses penyelesaian pembangunan jalan tersebut membuat kami menjadi tersiksa, karena daerah kami masih terisolir akibat jalan belum selesai dibangun. Tolong USAID memperhatikan penderitaan rakyat yang membutuhkan pertolongan itu,” katanya.

Disisi lain TAF Haikal menyatakan dalam masalah ini USAID tidak hanya megubar janji akan melanjutkan pembangunan jalan tersebut. “Tetapi yang kami minta hari ini adalah ketegasan USIAD, melanjutkan kembali proyeknya atau tidak. Kami ingin jawaban tertulis soal itu dalam waktu dekat. Ini penting, karena menyangkut keputusan yang akan diambil Pemerintah Aceh dalam persoalan ini,” katanya.

Bila USAID tidak mau melanjutkan pembangunan jalan, maka Pemerintah Aceh harus segera mengambil inisiatif untuk mengusulkan dana ke pemerintah pusat melalui APBN 2010. “Kita butuh bantuan, tetapi kalau dipermaikan terus seperti ini jelas akan membuat kita tidak ada harga diri,” ujarnya. Sebelumnya pihak Pemerintah Aceh sudah mendesak USAID untuk melanjutkan kembali pembangunan jalan tersebut. Kadis Bina Marga dan Cipta Karya, Muhyan Yunan mengatakan, pihaknya sudah sering sekali menanyakan persoalan tersebut pada penanggungjawab lapangan USAID proyek jalan Banda Aceh-Calang, Roy. “Setiap kali ditanya, ia (Roy) secara lisan selalu mengatakan akan melanjutkan kembali pembangunan jalan tersebut,” katanya.(sup)

Senin, 12 Oktober 2009

KMAPGS Bersama Yayasan Sambinoe Aceh Turun Langsung ke Sumbar

Kisaran, (Analisa)

Koalisi Masyarakat Asahan Peduli Gempa Sumatera (KMAPGS), yang bergandengan dengan Yayasan Sambinoe Aceh sudah lebih dari dua hari berada di Sumatera Barat (Sumbar) guna membantu dan meringankan masyarakat yang terkena bencana alam.

Bahkan berdasarkan laporan yang diterima dari Aziz AR Panjaitan, yang merupakan salah seorang wartawan Asahan yang ikut serta dalam misi kemanusaiaan itu mengatakan, mereka telah mendirikan Posko Induk di Rumah Sakit Bersalin Aisyiyah, Jalan Abd Muis Taratak, Kota Pariaman.

"Kami mendirikan Posko Induk,"ungkap Aziz yang dihubungi Analisa, Minggu (11/10) melalui Hand Phone (HP).

Berkoordinasi dengan relawan lainnya, seperti dari Poros Kemanusiaan Aceh untuk Sumbar yang diketuai Taf Haikal, RSU Zainal Abidin Aceh, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala-NAD, Jaringan Kesejahteraan/ Kesehatan Masyarakat (JKM) Cabang Aceh dengan Direktur dr. Rais Husni Mubarok, Tim dari RS Bersalin Aisyiah Kota Pariaman-Sumbar, serta Posko Induk Muhammadiyah Kota Pariaman, sejak Jumat (9/10) turunke "mulut-mulut" bencana.

"Di sini kami memberikan bantuan dan pengobatan gratis ke pelosok-pelosok Korong atau desa-desa di sebelah utara Kabupaten Padang Pariaman, hingga keperbatasan Kabupaten Agam Lubuk Basung," paparnya.

Perjalanan sejak hari pertama tugas kemanusiaan itu bergerak melewati beberapa tempat dengan jarak tujuan 30 hingga 40 KM dari Kota Pariaman, seperti Sungai Limau, Sungai Garingging dan Kacamatan IV Koto Aur Malintang. Persisnya melewati kawasan obyek wisata Ikan Larangan di Batang Tiku, Kampung Apa Aur Malintang..

Dengan pemandangan pilu di sepanjang perjalanan, di mana hampir 80 persen rumah-rumah penduduk yang di lalui Sambinoe, hancur atau , setidak-tidaknya setiap rumah di wilayah itu mengalami keretakan yang cukup mengkhawatirkan.

Meskipun demikian, pihaknya bersama lembaga lainnya tidak sedikitpun surut untuk melakukan pertolongan khususnya di bidang kesehatan.

"Kami bergerak menuju desa-desa di puncak dan di balik bukit, meski harus melalui jalan rusak dan terjal," papar Aziz lagi.

Dipaparkannya, pertama kali gerakan sosial ini, Jumat (9/10) dilakukan pengobatan gratis kepada 84 warga mulai dari Balita hingga Lansia, Kampung Tangah, Korong Batu Basa, Nagari III Koto Aur Malintang, Kecamatan IV Koto Aur Malintang, Kabupaten Padang Pariaman.

Diteruskan pada besok harinya, Sabtu (10/10) di Dusun I, Korong Durian Jantung, Nagari III Koto Aur Malintang, Kecamatan IV Koto Aur Malintang, Kabupaten Padang Pariaman. Melayani 190 pasien, dengan Koordinator Lapangan dr. Lea (Aceh). Dibantu dr. Doddy Faisal Mahdi Pane (Asahan-Sumut), dr. T. Chik, dr. Yudiar, Arfan SKed, Hadi (Aceh), Muhammad Akhir Nasution dan Aziz AR Panjaitan (Asahan-Sumut). (aln)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=31337:kmapgs-bersama-yayasan-sambinoe-aceh-turun-langsung-ke-sumbar-&catid=51:umum&Itemid=31

Jembatan agar Dibangun

Pemprov NAD Perlu Segera Ambil Alih

Senin, 24 Agustus 2009 | 04:29 WIB

Banda Aceh, Kompas - Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diminta mengambil alih pembangunan Jembatan Lambesoe di Kecamatan Lamno, Kabupaten Aceh Jaya, jika lembaga bantuan Pemerintah Amerika Serikat tidak sanggup melanjutkan pembangunan jembatan tersebut.

Hal itu dikatakan Ketua Komisi D yang membidangi masalah infrastruktur dan pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh) Sulaiman Abda di Banda Aceh, Minggu (23/8).

”Pengambilalihan itu sangat dimungkinkan mengingat sudah beberapa tahun jembatan itu tidak dibangun oleh USAID (Badan untuk Pembangunan Internasional AS),” kata Sulaiman.

Sulaiman mengatakan, sudah beberapa tahun pembangunan Jembatan Lambesoe, salah satu jembatan inti yang menghubungkan kawasan pantai timur dan pantai barat-selatan Aceh, tidak kunjung usai. Pembangunan jembatan tersebut terhenti sejak tahun 2008.

Lebih lanjut, politisi dari Partai Golkar ini mengatakan, dirinya sudah berkali-kali meminta kepada pihak USAID untuk melanjutkan kembali pembangunan yang terhenti sejak beberapa tahun lalu. Berbagai permasalahan yang sempat menghentikan pelaksanaan proyek pembangunan jembatan tersebut, seperti permintaan uang dari kelompok tertentu senilai Rp 150 juta dan pembebasan lahan warga, sudah tidak menjadi masalah lagi.

”Semuanya sudah tidak menjadi masalah lagi bagi pelaksana proyek. Pembebasan lahan sudah ditangani oleh pemerintah provinsi. Seharusnya, proyek sudah berjalan seperti biasa,” katanya.

Pembangunan jembatan tersebut mendesak dilakukan karena Jembatan Kartika-Jembatan Bailey yang dibangun Batalyon Zeni Tempur 1 Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat saat ini tidak mampu dilewati lagi oleh truk angkutan barang dan bus. Hanya kendaraan pribadi dan kendaraan roda dua serta angkutan penumpang yang bisa melintasi jembatan itu.

Angkutan barang, seperti sembilan bahan kebutuhan pokok dan kebutuhan untuk pembangunan di pantai barat-selatan lainnya, tidak bisa lewat kalau air sungai naik.

Hal yang sama juga diutarakan juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal. Dia mengatakan, Pemprov NAD beserta dinas-dinas terkait harus serius menangani hal ini.

Haikal menjelaskan, untuk mencapai kawasan pantai barat-selatan, ada tiga jalur yang bisa digunakan. Namun, semuanya dalam kondisi yang cukup memprihatinkan.

Jalur tengah yang bisa dilewati, yaitu jalur Banda Aceh-Meulaboh via Tangse, rawan longsor pada musim hujan seperti sekarang ini.

Kondisi alam, disertai dengan tanjakan yang curam dan jalan yang sempit, membuat jalur ini sangat sulit dilewati oleh truk- truk berat. Ditambah lagi dengan kondisi jalan yang berlubang.

Truk dan angkutan barang yang memilih melalui jalur Medan-Subulussalam-Tapaktuan masih harus membatasi tonase beban yang dibawanya. (MHD)


http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/24/04294043/.Jembatan.agar.Dibangun.

Minggu, 04 Oktober 2009

Aceh Buka Posko Kemanusiaan untuk Korban Gempa Padang

Sabtu, 03 Oktober 2009 | 16:07 WIB

TEMPO Interaktif, Banda Aceh - Para aktivis Aceh membuka sebuah posko kemanusiaan untuk mengumpulkan bantuan bagi korban gempa di Sumatera Barat. Posko itu diberi nama, Poros Kemanusiaan Aceh untuk Sumatera Barat.

Hal itu disampaikan oleh Taf Haikal, Koordinator Poros tersebut, Sabtu (03/10) di Banda Aceh. ”Mendengar kabar gempa dahsyat di Sumater Barat, elemen sipil Aceh langsung menggelar rapat mendadak. Kami lalu membuka posko,” ujarnya. Haikal adalah salah satu aktivis Aceh yang kehilangan keluarganya saat tsunami Aceh lima tahun silam.

Menurutnya posko dipusatkan di Kantor Forum LSM Aceh. Berbagai elemen tergabung dalam Poros ini, selain kalangan LSM, juga berbagai organisasi masyarakat, mahasiswa dan individu.

Posko bertugas menghimpun dana untuk disalurkan bagi korban gempa yang saat ini tinggal di tenda-tenda darurat di Sumatera Barat. “Kita juga telah mengirimkan beberapa relawan ke sana,”ujar Haikal.

Kata Haikal, aksi itu dilakukan sebagai bentuk empati yang besar terhadap korban bencana di seluruh daerah. Poros Kemanusiaan Aceh sebelumnya juga ikut membantu korban gempa Jogjakarta dan Jawa Tengah.

“Bagi kami, gempa dan tsunami di Aceh memberikan pelajaran penting, betapa rasa kemanusian menjadi pengikat silaturrahmi umat manusia. Rasa kamanusian ini harus tetap kita tumbuh kembangkan. Cukup banyak bantuan yang mengalir ke Aceh waktu itu. Selayaknya, kita juga melakukan hal yang sama, membantu saudara-saudara kita yang sedang tertimpa musibah,” ujar Taf Haikal.

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/10/03/brk,20091003-200622,id.html