Sabtu, 11 Agustus 2012

Kawasan Barat dan Selatan Aceh Ideal untuk Industri Perikanan

Aceh Bisnis Kamis, 09 Agt 2012 07:55 WIB
MedanBisnis – Banda Aceh. Kawasan pesisir pantai barat dan selatan Aceh dinilai strategis dan ideal untuk pengembangan industri perikanan terpadu, kata Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal.
"Kawasan pesisir barat dan selatan Aceh memiliki banyak keunggulan dikembangkan investasi bidang perikanan sampai ke prosesing hasil tangkapan sumberdaya kelautan," katanya di Banda Aceh, Rabu (8/8).

Pesisir barat dan selatan Aceh meliputi beberapa kabupaten merupakan wilayah pegunungan dan perairan laut yang luas berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.  Untuk wilayah darat, Haikal menjelaskan, sangat potensial dibangun industri prosesing (hilir), misalnya pengolahan ikan sampai ke pengepakan (packing), selanjutnya dipasarkan baik untuk kebutuhan pasar dalam maupun luar negeri.

"Bahan baku untuk industri, seperti ikan itu tentunya dipasok dari hasil tangkapan nelayan di perairan laut wilayah pesisir barat dan selatan Aceh yang luas pantainya terbentang panjang hampir mencapai 500 kilometer," katanya menambahkan.

Haikal menjelaskan, jika pemerintah mewujudkan pesisir pantai barat dan selatan Aceh menjadi zona industri perikanan dan kelautan, maka akan memberi manfaat juga bagi upaya perlindungan kekayaan laut nelayan asing.

"Selama ini, nelayan asing sering menjarah ikan di perairan laut  barat dan selatan Aceh dikarenakan kemampuan nelayan lokal terbatas sarana tangkap, juga karena jika hasil tangkapan melimpah maka harganya anjlok disebabkan tidak tertampung pasar," katanya.

Haikal memastikan, jika pemerintah dan dunia usaha mau mewujudkan pesisir barat dan selatan Aceh menjadi kawasan industri perikanan dan kelautan terpadu, maka akan sangat membantu pertumbuhan ekonomi di propinsi ini.

"Kita tidak berharap investasi yang dilakukan di Aceh justru dapat menuai kekisruhan sosial yang mengandalkan kekayaan perut bumi semata. Konflik puluhan tahun harus benar-benar dijadikan pengalaman pahit dalam membangun Aceh," harapnya. (ant)

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2012/08/09/110204/kawasan_barat_dan_selatan_aceh_ideal_untuk_industri_perikanan/#.UCePVKDENAg

Selasa, 07 Agustus 2012

Ujung Tombak Tumpul, Eksekusi Mandul

Suatu hari menjelang senja di Pantai Ulee Lheue, Banda Aceh. Sebut saja nama Ghafur. Ghafur adalah salah seorang Komandan Regu Wilayatul Hisbah (WH) Kota Banda Aceh. Hari itu, bersama lima orang rekannya, Ghafur tengah melakukan razia khalwat di pantai yang kerap dijadikan muda-mudi untuk berbuat maksiat.
Dari jarak pandang yang relatif jauh. Ghafur melihat sebuah mobil mencurigakan. Samar-samar ia melihat dua sejoli yang tengah memadu kasih di dalam mobil itu. Untuk menghilangkan rasa penasaran, ia lalu mengajak kelima rekannya mendekati mobil itu. Benar saja, di dalam mobil tersebut ada yang tengah berkhalwat.
Ghafur lalu mengetuk kaca mobil tersebut. Saat perlahan-lahan kaca mobil itu diturunkan, ia tak melihat sedikit pun guratan wajah bersalah dari sepasang pelaku mesum itu. Justru Ghafur dibuat kaget. Ia diperlihatkan senjata api sejenis revolver oleh lelaki yang berada di dalam mobil.
“Ini (peluru) cukup untuk kalian ber-enam,” kata Ghafur menirukan perkataan lelaki itu.
Karena anggota WH tak dilengkapi senjata, maka Ghafur dan rekannya bergegas menjauhi mobil itu.
Pada fragmen lain, Mahyeddin Husra, warga Aceh, dibuat gusar ketika melihat belasan pasangan muda-mudi tengah berkhalwat secara massal di pinggiran Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, Sabtu (4/6/2011) malam. Bahkan ada sepasang pelaku mesum itu terlihat berani saling merangkul dan menjamah anggota tubuh.
“Kalau begini, apa bedanya Aceh dengan Jakarta atau kota-kota lain? Negeri yang bersyariat kok seperti ini?” kata Mahyeddin kepada Suara Hidayatullah dengan suara lirih.
Tak tahan melihat kemungkaran di depan matanya, ia lalu menelepon kenalannya yang bertugas sebagai anggota WH. Di ujung telepon sana bukan respon baik yang diterima Mahyeddin, malah keluhan sang WH yang diterimanya.
“Dia (anggota WH tadi -red) bilang WH sudah payah. Tak sanggup dengan kondisi yang terbatas harus menertibkan pelaku maksiat yang semakin banyak,” ujar Mahyeddin menirukan suara yang didengarnya di ujung telepon.
Dari dua fragmen di atas terungkap sebuah fakta tentang ketidakberdayaan WH mengawal syariat. Akibatnya pelanggaran-pelanggaran qanun, seperti berkhalwat, mudah sekali ditemukan di daerah yang terkenal dengan sebutan Tanah Rencong itu.
Selain Pantai Ulee Lheue dan Lapangan Blang Padang, di sejumlah kedai kopi di Banda Aceh juga mudah ditemukan muda-mudi yang berkhalwat. Berdasarkan pengamatan Suara Hidayatullah, di jalan Soekarno-Hatta terdapat kedai-kedai kopi beratap langit tanpa alat penerangan yang sering dimanfaatkan untuk berbuat mesum.
Di jembatan Pante Pirak beda lagi. Jembatan yang hanya berjarak ratusan meter dari Masjid Raya Baiturrahman itu setiap malam Ahad berkumpul para anak baru gede (ABG). Bahkan di jembatan itu pernah dijadikan tempat kumpul anak-anak Punk, atau berandalan.
Ketika Suara Hidayatullah melintas di atas jembatan Pante Pirak, terlihat ada beberapa ABG perempuan yang tidak berjilbab. Mereka bercengkerama dengan teman-teman lelakinya tanpa jarak. Meski di sana-sini terjadi pelanggaran qanun, tetapi tidak terlihat petugas WH berpatroli.
Minim Dukungan
Keterbatasan yang dimiliki WH sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Aceh. Kekurangan personil hingga pada persoalan minimnya anggaran operasional merupakan dinamika yang terjadi dalam pasukan pengawal syariat ini.
Komandan Operasional WH Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Teungku Adin mengatakan selama ini WH tidak mendapat dukungan penuh dari lembaga legislatif dan eksekutif. “Tidak ada dukungan dari para pihak yang membentuk WH. Termasuk dukungan fasilitas dan dana,” kata Adin saat ditemui Suara Hidayatullah di Kantor WH Provinsi NAD, Jalan T Nyak Arief Jambo Tape, Banda Aceh.
Adin mengaku, anggota WH sering terlibat bentrokan dengan oknum yang mengaku aparat saat melakukan penertiban. Sampai saat ini, kata Adin, belum ada anggota polisi ataupun tentara pelanggar qanun yang berhasil diproses hingga ke Mahkamah Sar’iyah (MS). Sehingga ada kesan jika qanun itu hanya berlaku bagi masyarakat sipil.
Belum Dieksekusi
Menurut data Mahkamah Sar’iyah Provinsi Aceh, kasus judi atau maisir menjadi jumlah terbanyak dalam perkara jinayat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 kasus judi yang tercatat dan masuk ke MS sebanyak 102 kasus. Sementara urutan kedua dan ketiga adalah kasus khalwat dengan 25 kasus dan khamar dengan 8 kasus.
Wakil Ketua MS Provinsi Aceh, Armia Ibrahim, SH, mengungkapkan angka-angka kasus di atas tidak semuanya tuntas sampai proses eksekusi. Tercatat sejak tahun 2005 sampai Oktober 2010 setidaknya ada 103 kasus jinayat yang belum dieksekusi (lihat tabel).
Penyebabnya, kata Armia, karena terdakwa sudah tidak ada di tempat. Pelaku tidak dapat ditahan, sehingga dengan leluasa melarikan diri. Selama ini pelaku pelanggar qanun tidak bisa ditahan (dipenjara) sampai vonis jatuh, karena memang belum ada aturan yang membolehkannya.
Seharusnya, jelas Armia, Qanun Hukum Acara Jinayat yang saat ini tertahan di tangan gubernur segera disahkan. Qanun yang sudah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) akhir 2009 lalu ini mengatur dibolehkannya penahanan pelaku.
Penyebab lainnya adalah persoalan teknis. Pihak eksekutor, dalam hal ini kejaksaan, masih berpikir sempit terkait tata laksana eksekusi.
“Mereka masih berpikir jika proses eksekusi harus menggunakan panggung, menyediakan konsumsi, dan honor untuk tim eksekutor. Malah, awal-awal dulu mereka yang menerima hukuman cambuk diberi uang dan kain sarung. Hal inilah yang membuat biaya jadi membengkak,” jelas Armia kepada Ibnu Syafaat dari Suara Hidayatullah awal Juni lalu di Banda Aceh.
Padahal, lanjut Armia, pelaksanaan eksekusi tidak harus seperti itu. Sederhana saja, asal memenuhi Peraturan Gubernur tahun 2005.
Tidak Berwibawa
Tidak bertajinya lembaga yang berperan sebagai ujung tombak penegakan syariat Islam, seperti WH dan Kejaksaan membuat banyak kasus-kasus pelanggaran qanun tidak ditindak. Kalaupun ditindak, jarang yang sampai ke proses eksekusi. Efeknya, kata Armia, wibawa hukum menjadi berkurang.
“Masyarakat bakal melihatnya seperti main-main. Ini bahkan bisa menjatuhkan penegak hukum karena kurang tegas,” ujar Armia.
Lemahnya lembaga eksekutor qanun ini juga dirasakan Teungku Muslim Ibrahim, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. “Sebaik-baiknya aturan, kalau tidak ada eksekutor maka percuma saja. Jadi persoalan eksekutor inilah yang saat ini masih kurang,” jelas Muslim.
Polisi Syariat
Untuk menuju terciptanya lembaga penegak hukum yang kuat dan berwibawa, TAF Haikal, Ketua Dewan Perwakilan Anggota Forum LSM Aceh mengusulkan agar Pemerintah Aceh melakukan gebrakan, seperti pembentukan polisi syariat.
Menurut Haikal, sebagai provinsi istimewa, Aceh memiliki perbedaan-perbedaan yang tidak dimiliki provinsi lain. “Kalau di daerah lain MUI (Majelis Ulama Indonesia -red), maka di Aceh disebut MPU. Kalau di provinsi lain DPRD, maka di Aceh disebut DPRA. Begitu juga dengan polisi. Kalau di daerah lain Polri, maka seharusnya di Aceh itu ada polisi syariat,” papar Haikal.
Polisi syariat yang dimaksud Haikal adalah polisi yang menggantikan peran Polri. Polisi yang dilengkapi persenjataan seperti halnya Polri.
Sementara, untuk mensiasati belum terbitnya Qanun Hukum Acara Jinayat, Kepala Seksi Bimbingan dan Penyuluhan Syariat Islam Dinas Syariat Provinsi NAD, Syukri Muhammad Yusuf, menawarkan jalan keluar.
“Karena belum ada aturan yang membolehkan penahanan pelaku, maka jalan keluarnya adalah sidang kilat. Cukup sehari. Misalnya pagi tertangkap tangan melanggar qanun, siang hadirkan hakim dan jaksa. Kemudian sore dieksekusi,” ujar Syukri. * SUARA HIDAYATULLAH, JULI 2011


http://majalah.hidayatullah.com/?p=2673

Sabtu, 04 Agustus 2012

Nakhoda dan Juru Mudi KM Artika Ditemukan

Kapal Tenggelam
Penulis : Mohamad Burhanudin | Sabtu, 4 Agustus 2012 | 10:44 WIB

shutterstock Ilustrasi
BANDA ACEH, KOMPAS.com — Lima dari 11 awak Kapal Mesin (KM) Artika yang tenggelam di perairan sebelah timur laut Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, ditemukan selamat, Jumat (3/8/2012) sore. Dari lima orang yang ditemukan itu, dua di antaranya adalah nakhoda dan mualim kapal.
Mereka ditemukan di perairan Pulau Rondo, Sabang, sekitar 50 mil dari lokasi awal kapal bermuatan 325 ton beras dan 2 ton bawang serta terigu itu tenggelam.
Data yang diperoleh Kompas dari pantauan Radio Antar-Penduduk Indonesia (RAPI) Banda Aceh menyebutkan, lima orang yang ditemukan itu adalah Riswal (nakhoda), Iskandar (juru mudi), Jais (mualim), jailani (chip), dan Idham (juru mudi).
"Kelimanya dievakusi ke posko penjemputan di Teluk Sabang," kata Ketua RAPI Banda Aceh Taf Haikal yang memantau melalui fasilitas repiter RAPI Sabang, Jumat malam.
Dengan demikian, masih ada sekitar enam awak yang belum ditemukan. Penemuan lima awak kapal tersebut oleh masyarakat Sabang menggunakan kapal pariwisata di Sabang.
Tenggelamnya kapal yang dalam manifesnya tertulis memuat 325 ton beras dan 2 ton bawang merah serta terigu tersebut diketahui kali pertama sekitar pukul 16.30, Kamis (2/8/2012) . Saat itu, salah seorang anak buah kapal (ABK) kapal sempat menghubungi petugas SAR Aceh di Banda Aceh. Kapal tersebut berangkat dari Penang, Malaysia, dengan tujuan Sabang.
Kerusakan pada lambung kapal dan ruang mesin pada kapal yang berkapasitas 199 gross ton itu diduga karena empasan gelombang laut dan badai. Cuaca buruk dalam beberapa waktu terakhir kerap menghampiri perairan Aceh.
Editor :
Agus Mulyadi
 http://regional.kompas.com/read/2012/08/04/10444160/Nakhoda.dan.Juru.Mudi.KM.Artika.Ditemukan

Pencarian KM Artika yang tenggelam dihentikan sementara


Jumat, 3 Agustus 2012 03:25 WIB |

Banda Aceh (ANTARA News) - Tim penyelamat menghentikan sementara pencarian kapal muatan (KM) Artika yang diperkirakan tenggelam di perairaan Sabang, Provinsi Aceh pada Jumat dini hari pukul 01.35 WIB.

Ketua Radio Amatir Penduduk Indonesia (RAPI) Kota Banda Aceh JZ 01 BTH TAF Haikal di Banda Aceh, Jumat mengatakan tim yang terdiri dari Basarnas, Pol Airud dan relawan telah menghentikan sementara pencarian KM Artika beserta awaknya.

"Informasi yang kami terima seluruh tim yang menyisir kawasan perairan Sabang-Pidie-Krueng Raya telah kembali ke Balohan Kota Sabang dan pencarian akan dilanjutkan kembali pada pukul 07.00 WIB," kata TAF Haikal.

Kapal kargo KM Artika yang diperkirakan membawa 250 ton beras dan 2 ton gula pasir itu dilaporkan kehilangan kontak pada Kamis (2/8) sekitar pukul 17.00 WIB.

Kapal konstruksi kayu yang juga membawa 10 ABK itu diduga tenggelam kerena mengalami kebocoran lambung.

"Sebelum hilang kontak, awak kapal sempat berkomunikasi dengan Syahbandar sekitar pukul 16.30 WIB," katanya. (IRW)

http://www.antaranews.com/berita/325348/pencarian-km-artika-dihentikan-sementara

Kapal KM Artika Tenggelam di Perairan Aceh

Nasional | Jumat, 3 Agustus 2012 02:15 WIB

Metrotvnews.com, Banda Aceh: Kapal kargo KM Artika tenggelam di perairan Kabupaten Pidie, Aceh Besar, Aceh, Kamis (2/8). Pengangkut 250 ton beras dan dua ton gula pasir itu dalam pelayaran menuju Sabang (Pulau Weh).

Ketua RAPI Banda Aceh TAF Haikal mengatakan, informasi yang diperoleh dari relawan, kapal tenggelam sekitar pukul 17.00 WIB. Posisi terakhir berada di 18 mil laut Pulau Weh. Penyebab tenggelam diduga kuat akibat kebocoran lambung kapal.

Saat kejadian, terdapat ombak setinggi dua meter dengan disertai angin kencang. Saat ini, tim SAR dan Pol Airud beserta relawan bergerak menuju lokasi tenggelamnya kapal berawak sekitar sepuluh orang.

Kontak telepon terakhir antara Syahbandar dengan ABK KM Artika terjadi pada 16.30 WIB. Kontak hilang jam 17.00 WIB.

Kapal KM Artika membawa pasokan beras dan gula dari Thailand menuju pelabuhan Freeport Sabang. Menurut keterangan warga, kapal memang rutin membawa gula dan beras dari Thailand ke Sabang setiap bulan Ramadan.(Ant/wtr6)

http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/08/03/100798/Kapal-KM-Artika-Tenggelam-di-Perairan-Aceh/6

Irigasi Lebih Penting dari Kereta Api

2 Agustus 2012 oleh Redaksi kanal Nanggroe dengan 0 Komentar
Banda Aceh — Kaukus Pantai Barat dan Selatan Aceh (KPBS) menilai pembangunan dan perbaikan irigasi di wilayah potensial pertanian lebih penting dari membangun jalur kereta api yang telah digagas sejak beberapa tahun lalu di provinsi itu.
“Membangun irigasi agar potensi pertanian di Aceh bisa bergerak lebih baik dari pada pemerintah mengeluarkan dana dan pikiran untuk menyelesaikan pembangunan rel kereta api di daerah ini,” kata juru bicara KPBS TAF Haikal di Banda Aceh, Rabu (01/08).
Hal tersebut disampaikan menanggapi pernyataan Gubernur Aceh Zaini Abdullah yang meminta agar dana pembangunan kereta api dialihkan ke irigasi di provinsi itu.
“Kami sangat mendukung rencana dan gagasan yang disampaikan Gubernur Aceh untuk pengalihan anggaran pembangunan dari kereta api ke irigasi. Kita harapkan mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat daerah ini dan pemerintah pusat,” katanya menambahkan.
Apalagi, TAF Haikal menjelaskan, program pembangunan jalur kereta api yang dimulai sekitar tahun 2000 sebenarnya diputuskan dalam kondisi politik di Tanah Air yang lemah.
“Artinya, karena adanya tuntutan tokoh masyarakat agar Pemerintah Pusat membangun kembali jalur kereta api di Aceh, sehingga program tersebut sarat politisnya, bukan atas dasar hasil penelitaan dan kelayakan,” kata dia menambahkan.
Untuk membangun jalan saja, ia menjelaskan harus dilihat dari tingkat kebutuhan masyarakat terhadap layanan transportasi daratnya.
Apalagi membangun jalur kereta api di pesisir timur itu memang dalam kondisi saat ini tidak dibutuhkan.
Oleh karena itu, Haikal menyatakan apa yang disampaikan Gubernur Aceh untuk mengalihkan dana pembangunan kereta api ke irigasi tersebut harus benar-benar menjadi prioritas pemerintahan Aceh.
“Untuk program pembangunan irigasi, saya juga mengharapkan pemerintah dapat melihat sisi kebutuhan, dan luas areal sawah produktif serta termasuk sumber airnya yang memadai. Jangan sampai irigasi ada, sawah tidak ada atau irigasinya ada namun debit airnya terbatas,” kata juru bicara KPBS itu. (ant)

http://seputaraceh.com/read/10341/2012/08/02/irigasi-lebih-penting-dari-kereta-api

140 OMS Aceh Perkuat Konsolidasi

Selasa, 31 Juli 2012 14:00 WIB
BANDA ACEH - Sebanyak 140 perwakilan organisasi masyarakat sipil (OMS) Aceh, Senin (30/7) menggelar diskusi dan silaturahmi dirangkai dengan buka puasa bersama di Oasis Hotel Banda Aceh. Dalam pertemuan ini, para aktivis gerakan masyarakat sipil ini sepakat untuk memperkuat konsolidasi dalam rangka mengawal kepentingan rakyat Aceh.

OMS merupakan kelompok kritis terhadap kebijakan pemerintah dalam mendorong perubahan yang rutin melaksanakan silaturahmi dan diskusi menyikapi berbagai persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Dalam diskusi yang berlangsung sekitar 160 menit menjelang buka puasa bersama, kemarin, kepanitiaan bersama dari Walhi Aceh, Koalisi NGO HAM, dan Forum LSM Aceh menghadirkan dua pembicara, yaitu TAF Haikal (mantan Direktur Eksekutif Forum LSM Aceh) dan Suraiya Kamaruzzaman (aktivis perempuan). Kedua pembicara, termasuk seorang pembicara lainnya yang didaulat secara spontan yaitu Rafli Kande menyampaikan berbagai hal tentang refleksi perjalanan gerakan masyarakat sipil/OMS bertajuk; Membangun Sinergi Gerakan Masyarakat Sipil di Aceh.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar menyampaikan paparan singkat mengenai gerakan dan semangat masyarakat sipil yang tidak mundur ke belakang.

Menurut Zulfikar, sinergi dengan semua pihak terutama organisasi masyarakat sipil harus terjaga dengan baik, sehingga kekuatan OMS tidak mudah dihancurkan oleh pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepentingan.

Sekjen Forum LSM Aceh, Roys Vahlevi Mahfud mengatakan, Forum LSM Aceh akan terus melakukan kera membangun gerakan guna mengawal dan mendorong pemerintah yang bersih demi terwujudnya masyarakat yang makmur, adil, dan bermartabat.

Zulfikar Muhammad dari Koalisi NGO HAM Aceh menyebutkan, kasus HAM berat yang pernah terjadi di Aceh akan menjadi salah satu bukti bahwa Aceh masih terus menjadi salah satu wilayah berkonflik dan tidak akan terulang lagi jika semua pihak sepakat untuk menjaga kedamaian. “Sinergi masyarakat sipil harus terus saling bahu-membahu membangun Aceh ke arah yang lebih baik,” tandas Zulfikar.

Dalam forum tersebut juga dilaporkan, Forum LSM Aceh dan Koalisi NGO HAM baru saja melakukan sitikjab/serah terima pengurus Forum LSM Aceh dari pengurus sebelumnya, Sudarman yang berakhir pada 2012 kepada penerusnya, Roys Vahlevi untuk periode 2012-2016. Sedangkan Koalisi NGO HAM juga melakukan serah terima kepengurusan dari kepemimpinan Evi Zainarty kepada Zulfikar Muhammad untuk periode 2012-2015.(nas)
 
 
http://aceh.tribunnews.com/m/index.php/2012/07/31/140-oms-aceh-perkuat-konsolidasi