Senin, 28 Desember 2009

Masalah perumahan pasca tsunami

BBC
Terbaru 26 Desember 2009 - 10:51 GMT

Lima tahun setelah tsunami dan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi, BRR, sudah dibubarkan namun rupanya masih ada masalah perumahan bagi para korban yang selamat dari bencana itu.
Kekecewaan diungkapkan oleh Nurasyiah, seorang waraga di Desa Baruh, Blang Rimung, Aceh Utara, sambil memperlihatkan rumah darurat yang dihuninya.
Banyak lubang di dindingnya dan rumah itu dibangun dengan menggunakan kayu hanyut yang ditemukan karena terbawa ombak, bukan papan baru.
Nurasyiah, yang sehari-harinya mendapatkan nafkah dengan bertani dan melaut, masih tetap menunggu bantuan seperti dijelaskannya dalam bahasa daerah kepada koresponden lepas BBC Indonesia, Syaiful Djunet.

Tukar format AV

Menurut Sekretaris Desa, Aswir, mereka tidak pernah mendapatkan bantuan yang cukup walaupun puluhan rumah warga rusak.
"Bantuan yang kami peroleh itu hanya berupa makanan ataupun pakaian dan jaminan hidup selama enam bulan."
"Kami kecewa karena melihat di kampung sebelah yang dibangun."
Upaya hukum

BRR sendiri mengaku ada yang tidak berhak namun mendapatkan rumah.
Taf Haikal
Setelah BRR dibubarkan karena dianggap tugasnya sudah selesai, dibentuk badan lain yang bernama Badan Kelanjutan Rekonstruksi Aceh.
Namun badan baru ini tidak berfungsi, seperti dijelaskan seorang pegiat bantuan tsunami, Taf Haikal.
"BRR sendiri mengaku ada yang tidak berhak namun mendapatkan rumah. Perlakuan ini apa? Dan masih ada orang-orang yang tinggal di barak," tambahnya.
Dia mengatakan diambil tindakan hukum karena masih banyak korban tsunami yang belum mendapatkan rumah.
"Terhadap rumah-rumah yang sudah diduduki oleh orang-orang yang tidak berhak, negara harus mengambil upaya hukum."
Namun pemerintah daerah menegaskan sudah menempuh berbagai upaya agar persoalan paska tsunami ini bisa diselesaikan.
Dalam salah satu laporan akhirnya, BRR mengatakan diperlukan pembangunan sekitar 120.000 rumah untuk masyarakat korban tsunami di Aceh.
Sejauh ini lebih dari 100.00 sudah dibangun walau masih ditemukan berbagai persoalan di lapangan dalam pembagiannya.


http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2009/12/091226_tsunamiaceh.shtml

Minggu, 27 Desember 2009

BKRA Dinilai belum Mampu Selesaikan Sisa Pekerjaan

Harian Serambi Indonesia
26 December 2009, 12:26

Utama
BANDA ACEH - Hari ini, 26 Desember 2009, masyarakat Aceh memperingati peristiwa dahsyat yang terjadi lima tahun lalu, gempa dan tsunami. Salah seorang aktivis LSM di Aceh, TAF Haikal menilai Badan Kelanjutan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BKRA) belum mampu menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Wagub Aceh Muhammad Nazar yang dimintai tanggapannya atas berbagai kritikan itu menyatakan bisa menerima sejauh bersifat konstruktif sebagai wujud tanggung jawab bersama untuk mempercepat pembangunan Aceh. Namun, mengenai BKRA, kata Nazar, dari segi penyerapan dana, sudah berjalan baik. Meski begitu, ke depan diharapkan lebih fokus lagi untuk mempercepat program pembangunan.

Sedangkan Kepala Badan Kelanjutan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BKRA), Iskandar yang dihubungi terpisah mengatakan, tugas yang diberikan kepada lembaga yang dipimpinnya berbeda dengan BRR. Berdasarkan mandat, BKRA hanya melakukan monitoring dan evaluasi rehab-rekon yang dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga terkait serta Pemerintah Aceh. “Maka saya heran kalau ada pihak yang mengatakan kinerja kita buruk,” kata Iskandar menanggapi penilaian BKRA belum mampu selesaikan sisa pekerjaan. Dalam siaran pers-nya kepada Serambi, Haikal menuliskan renungan lima tahun tsunami dan catatan akhir tahun untuk Pemerintah Aceh. Khusus untuk Pemerintah Aceh, Haikal menilai tidak ada terobosan yang fundamental untuk pembangunan daerah ini. “Sedangkan pasca-BRR, BKRA belum mampu menyelesaikan pekerjaan yang masih tersisa,” tulis Haikal.

Pekerjaan-pekerjaan yang masih tersisa itu--yang seharusnya menjadi tugas BKRA--menurut Haikal, antara lain memastikan dan memaksimalkan infrastruktur yang sudah dibangun oleh BRR tapi belum selesai (jalan Banda Aceh-Calang) atau fasilitas yang belum dimanfaatkan (Museum Tsunami Aceh). Pekerjaan lainnya, lanjut Haikal, memfasilitasi masyarakat korban yang masih di barak serta melakukan penyitaan rumah, baik yang mendapat lebih dari satu maupun yang tidak berhak.

Haikal juga menilai adanya keinginan BKRA yang terlalu maju dalam menjalankan mandatnya yaitu melahirkan blue print Aceh. “Bagaimana lembaga yang sifatnya adhoc mau melahirkan cetak biru Aceh, kalau hanya sebatas masukan ke Bappeda, oke-oke saja,” katanya. “Seumpama pesta, BRR-lah yang punya hajatan. Setelah pesta berakhir, harusnya BKRA bukan mau mengulang pesta yang sama, tetapi membereskan sisa-sisa piring yang pecah atau kotor,” lanjut siaran pers itu.

Pendekatan yang sesuai
Kepada Pemerintah Aceh, aktivis LSM asal Aceh Selatan itu menyarankan agar infrastruktur yang sudah dibangun pada masa rehab rekon bisa dirawat secara maksimal. Juga diminta memberikan nilai tambah atau membangun infrastruktur pendukung pada infrastruktur yang sudah ada sehingga maksimal pemanfaatannya. Berikutnya juga disarankan membangun perencanaan Aceh dengan pendekatan kawasan yang sesuai karakteristik (daya dukung) geografis, topografis, SDA, SDM, kebencanaan, dan anggaran. Artinya, sekecil apapun pembangunan atau infrastruktur yang dibangun, bisa digunakan bersama dalam sebuah kawasan. “Tentunya harus diikuti dengan alokasi anggaran yang senergis mulai dari APBK, APBA, APBN, dan swasta/investor pada kesepakatan fokus yang sama,” tandas siaran pers itu.

Haikal mengkritisi daya serap anggaran yang rendah serta kurangnya pelibatan dan koordinasi dengan kabupaten/kota. Akibatnya sering mencuat keluhan adanya program atau proyek yang dikerjakan oleh provinsi tidak diketahui oleh bupati/walikota atau SKPD di lokasi. “Koordinasi dengan kabupaten/kota menjadi syarat mutlak untuk mendorong daya serap anggaran, terlepas dalam UUPA titik berat otonomi adalah di provinsi. Terobosan pelimpahan wewenang atau tugas perbantuan harus ditempuh oleh Pemerintah Provinsi karena jumlah anggaran yang dikelola relatif besar. Pemerintah Provinsi harus segera melakukan evaluasi SKPA dan badan menjelang pengesahan APBA 2010,” demikian Haikal.

Bisa menerima
Wagub Aceh, Muhammad Nazar menyatakan, di satu sisi diakui adanya kelemahan dan kelebihan dalam melaksanakan berbagai program pembangunan di Aceh, termasuk yang dilaksanakan oleh BRR Aceh-Nias. Khusus terhadap kinerja BKRA, Wagub Muhammad Nazar menilai sudah berjalan baik. Meski begitu, ke depan diharapkan lebih fokus mempercepat program pembangunan. “Mulai 2010, kami mengusulkan kepada Pusat, sisa dana yang ditinggalkan BRR supaya dapat mempercepat pembangunan secara lebih khusus di Aceh,” kata Nazar. Menurut Nazar, permasalahan mendasar penghambat pembangunan di semua daerah, termasuk di Aceh karena tata ruang daerah yang tidak ideal. Karena itu, Nazar mengajak semua komponen masyarakat bersama-sama membangun Aceh. “Terutama kepada bupati/walikota benar memperhatikan setiap hendak melakukan pembangunan infrastruktur, maupun gedung. Alasannya pemberian Hak Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sepenuhnya ada di tingkat kabupaten/kota,” ujarnya.

Terkait dengan peringatan lima tahun tsunami, Wagub mengimbau masyarakat agar bisa mengambil pelajaran dari setiap musibah. “Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang tidak mempan dengan peringatan,” katanya sambil menyitir satu hadih maja Aceh; Meudoa watee saket, meuratep watee geumpa, seumayang wajeb uroe Jumeuat, seumayang sunat uroe raya. “Saya pikir masyarakat Aceh cukup mengerti hadih maja itu,” demikian Wagub Muhammad Nazar.

Heran
Kepala BKRA, Iskandar mengaku heran kalau ada pihak yang mengatakan kinerja BKRA buruk dan tidak mampu melanjutkan sisa pekerjaan.
Dia menjelaskan, menyangkut penyelesaian pembangunan ruas jalan Banda Aceh-Calang, pihak USAID telah berkomitmen untuk menyelesaikan proyek tersebut pada 2010. “Bahkan kita telah memindahkan tiang listrik yang sebelumnya menjadi kendala untuk proyek jalan itu. Juga pembebasan tanah telah dilakukan bersama pemerintah,” katanya. Bahkan Pemerintah Aceh telah memperoleh dana dari MDF untuk proyek pembangunan Jalan Meulaboh-Calang sebesar Rp 360 miliar yang akan dimulai tahun 2010. “Proyek ini termasuk pembangunan jembatan Kuala Bubon,” ujarnya.

Sedangkan mengenai persoalan rumah korban tsunami, katanya, sudah tuntas dibangun oleh BRR dan telah diserahterimakan pada tahun 2008 dengan Pemerintah Aceh. Kalau belakangan ada korban tsunami yang masih di barak, itu bukan lantaran rumah tidak ada, tetapi ada terjadi penerima ganda atau yang tidak berhak. “Untuk verifikasi data rumah ganda tersebut bukan tugas BKRA tetapi pemerintah daerah di kabupaten/kota bersama camat dan kepolisian,” ujar Iskandar. Menurutnya, BKRA akan berakhir tugas pada 31 Desember 2009.(nas/sup/sal)


http://www.serambinews.com/news/view/20562/bkra-dinilai-belum-mampu-selesaikan-sisa-pekerjaan

Bitterness for Some Over Long Wait for Post-Tsunami Housing

Jakarta Globe
December 26, 2009
Nurdin Hasan

Banda Aceh. Today, the people of Aceh commemorate the most tragic day in our history with prayers, memories and visits to the mass graves that hold the unidentified remains of thousands of our loved ones, neighbors and friends. One center of the fifth anniversary ceremonies is the Ulee Lheue seaport, ground zero on the day the waves crashed into the province. To look at it today you might not immediately realize the tragedy that occurred here.

Prior to the tsunami, Ulee Lheue was a fishing village of some 1,500 people in the Meuraxa subdistrict of the city. Its roads were narrow and potholed, most of the simple houses were built from wood, children bathed in the nearby ocean.

Now there is a new seaport at Ulee Lheue, the destroyed homes have been cleared away and the newly paved two-lane road is smooth. Every weekend children swim in the new man-made lake and families gather at sunset to eat at snack stalls. The ocean’s waves are muted by large rocks that have been put in place to protect the coastline.

There is no denying the new seaport is attractive. The local government wants the area to become a tourist destination and a place to recall the tsunami. But there is some still unfinished business here and some of the original villagers feel left out.

When the waves crashed into the village, all but 500 residents were killed. Most of the survivors are now living in several new villages. However, two ramshackle temporary wooden barracks still remain along the new road to the seaport. They are home to dozens of tsunami victims who seem to have been overlooked in the reconstruction of the area.

Ironically these people were among the first hit by the tsunami on Dec. 26, 2004, but they have yet to receive any of the assistance promised them.

Mairia, 28, and her husband, Hendra Setiawan, 36, live with their family in one of the faded-pink barracks. Each family has an area about 5 x 4 meters, divided by plywood for privacy. Outside, plastic lines are used for hanging clothes to dry. Trash is piled up in the yard, flies circle the area. A few people have built chicken coops under the barracks, which are one meter off the ground. Children play nearby.

Mairia and Hendra were married just 10 days before the tsunami. When the waves struck she and most of her family members, including her mother, were at the beach, selling food to the usual crowd of Sunday morning visitors from Banda Aceh.

Mairia has two sons now, a toddler 18 months old and a 5-year old, but her mother, four sisters, a brother and five nephews were all lost to the tsunami; their bodies were never found. She looked for her family for months, traveling as far as Medan hoping to find them in one of the many refugee camps that sprung up after the tsunami displaced everything. Her search was in vain.

After three months, she and her new husband decided to return to their hometown with several other people, living in tents until the government built these “temporary” barracks. Borrowing Rp 1 million ($110) from her surviving brother, Mairia started a small business selling noodles and grilled corn from a tiny stall on a dusty street as she waited for the new road, which finally opened a month ago, to be completed.

“I never received any assistance from the government or an NGO,” Mairia said with tears in her eyes. “I started from zero. People said there was a lot of aid for tsunami victims, but I never got anything, other than food and clean water.”

Mairia and the other residents of the barracks know they will be relocated in the future. The city has constructed some tourism facilities and a new police station in the showcase area, but no new houses are to be built here.

Mairia is worried that her family will not receive help in building a new home once they are resettled. “Our tears are of no use. Our voices are never heard,” she said.

The family was registered with the authorities after the disaster and subsequently declared eligible for housing in Labuy Hill, a resettlement site for tsunami victims about 15 kilometers north of the city center. But when they arrived there, they found the housing had been already occupied so they returned to the barracks. Dozens of other families living in makeshift structures here and elsewhere have reported similar incidents in which housing promised them was stolen, forcing them to return to the temporary shelters.

Iskandar, the head of the Aceh Sustainability Reconstruction Agency (BKRA), said that thousands of people had yet to receive promised housing in various districts. He said data on many victims still needed to be verified before the aid could be released.
The agency was established when the Aceh-Nias Rehabilitation and Reconstruction Agency (BRR) ended its work on April 16. But now the stopgap BKRA office is to be closed at the end of year, leaving the fate of the tsunami victims still needing housing assistance uncertain.

Iskandar said he suspected that some of the residents in the temporary barracks were not really tsunami victims, despite claims by many of them that they have been listed in a document issued by the BRR approving their requests for aid.

The reality of the situation is unclear and difficult to determine. Iskandar is also concerned by reports that thousands of people have received more than one house, while others go wanting.

“They should return the extra houses so they can be used by other people,” he said. In other areas, he added, there were houses still empty, perhaps because they were of substandard quality.

He noted that over 140,000 houses were built after the disaster, more than enough to fulfill tsunami victims’ housing needs.
“It is strange if there are victims who say they have not received housing aid,” he said.

TAF Haikal, a local activist, blamed the BKRA for neglecting victims.

“They are busy with other issues that are not within the principal mandate of the agency, like preparing the future blueprint for Aceh, the usefulness of which is still in doubt,” he said.

“The BKRA should help these people stuck in barracks and confiscate houses from those who received more than one unit,” he said. “It is sad that after five years there are tsunami victims who live in rotten barracks.”

Haikal is himself a victim of the disaster. His wife and two children were killed in the tragedy. He said he had also missed out on housing aid.

“It is ironic and disheartening since many parties have praised the extraordinary success of Aceh’s reconstruction and rehabilitation, but there are still victims living in barracks,” said Haikal, who has remarried and started a new family. “One indicator of success would be if all victims received the help they are due.”

To commemorate the anniversary the BKRA is holding a photo exhibition on reconstruction and a cultural show at the new Tsunami Museum. The museum, established by the BRR at a cost of Rp 89 billion, is still empty and was only opened for the memorial event. The ceremony also included a visit to mass burial sites, the largest of which is near Banda Aceh airport and is the size of two football fields. 46,718 victims are buried there.

Mairia and Hendra decided not to attend any official commemoration ceremonies. Instead, the couple marked the occasion with a visit to a mass grave near Baiturrahim mosque to pray for Mairia’s mother and other family members. The mosque withstood the tsunami, and has now been completely renovated. The mass grave there holds the bodies of 14,264 tsunami victims.

Mairia has no idea where the bodies of her family are.

“Although I do not know where they are buried, I just want to pray for them” she said.


http://thejakartaglobe.com/news/bitterness-for-some-over-long-wait-for-post-tsunami-housing/349350

Kamis, 17 Desember 2009

Pimpinan Dewan Tolak Teken Kontrak Politik

17 December 2009, 15:04
* TAF Haikal: Kita Tunggu APBA Berpihak Rakyat
Utama
BANDA ACEH - Pelantikan Pimpinan DPRA 2009-2014 di Gedung DPR Aceh, di Banda Aceh, Rabu (16/12) diwarnai aksi demo puluhan mahasiswa Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry yang menamakan diri Gerakan Mahasiswa Penyelamat Uang Rakyat (Gempur). Aksi demo tersebut juga ditandai dengan penyerahan dokumen kontrak politik yang sudah disiapkan mahasiswa namun tak bersedia diteken oleh Pimpinan DPRA. Mahasiswa berada di luar Gedung DPRA sekitar pukul 10.00 WIB dengan pengawalan ketat aparat kepolisian dan Satpol PP. Mereka tidak diizinkan masuk ke halaman DPRA, namun diizinkan berorasi di luar pagar gedung.

Demonstran membawa poster dengan aneka macam tulisan, di antaranya; “jangan langgar hukum dan mau dikemanakan UU Nomor 27 Tahun 2009.” Ada pula poster lain bertuliskan; “kasus besi rangka baja harus diusut tuntas.” Para pendemo menyatakan, terlepas baik buruknya proses pemilihan, dewan gagal menjalankan tugas dengan baik. “Ini akibat ego golongan yang telah menjebak mereka. Tiga bulan pascapelantikan hanya dihabiskan untuk membahas tatib penentuan pimpinan dewan,” teriak Koordinator Aksi, Wira Winardi.

Menurut Wira, dalam membahas penentuan empat pimpinan dewan, diajukan dua orang dari partai yang sama (PA). Karena kontroversi antara UUPA dan UU Nomor 27 Tahun 2009, Mendagri tidak bisa mensahkan langsung keempat pimpinan yang diajukan itu. Padahal operasional pembahasan tatib itu menggunakan uang rakyat. “Uang rakyat dimakan,” tegas Wira.

Teatrikal
Saat aksi berlangsung, Ketua DPRA Hasbi Abdullah, Wakil Ketua Sulaiman Abda, dan beberapa anggota menjumpai massa. Saat itu, empat mahasiswa yang memakai topeng, seorang di antaranya berperan sebagai Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, sedangkan tiga lainnya sebagai Pimpinan DPRA. Dalam teatrikal itu, mahasiswa yang berperan sebagai gubernur memegang seutas tali yang diikatkan pada tiga Pimpinan DPRA lalu menarik-narik tali tersebut. Aksi ini sebagai penggambaran bahwa legislatif tidak mempunyai komitmen, sehingga bisa diatur sesuka hati gubernur.

Tolak teken
Selanjutnya, Presiden Mahasiswa Unsyiah, Mujiburrahman meminta DPRA menandatangani lima kontrak politik mahasiswa dengan DPRA. Sebelum diteken, ia membacakan kelima poin kontrak politik tersebut. Kelima poin tersebut masing-masing, DPRA harus menjalankan prosedur hukum sesuai aturan yang mengatur tentang susunan dan kedudukan dewan, DPRA didesak segera menuntaskan pembentukan perangkat dewan paling telat seminggu setelah pelantikan, DPRA harus menuntaskan penyusunan RAPBA 2010 paling telat 31 Desember 2009. DPRA didesak mengawasi kinerja eksekutif melalui rapat kerja dengan mitra sejajar, rapat dengar pendapat, dan rapat dengar pendapat umum secara berkala.

Pada poin terakhir, mahasiswa mendesak DPRA bertindak nyata memberantas korupsi. Karena berdasarkan data, 21 kasus di Aceh tidak tersentuh hukum, yang paling besar kasus penjualan delapan set besi jembatan diduga melibatkan orang nomor satu di Aceh. Ketua DPRA, Hasbi Abdullah diminta menandatangani kontrak politik. Suasana pun sempat tegang ketika anggota DPRA, Abdullah Saleh merebut mike dari demonstran. “Kalian jangan memaksakan kehendak. Kalian jangan ‘membonceng’ kepentingan pihak tertentu,” teriak Abdullah Saleh berapi-api.

Mahasiswa tersinggung dengan pernyataan Abdullah Saleh. “Kami memang ditunggangi oleh kepentingan rakyat karena wakil rakyat takut menjalankan amanah rakyat. Jangan menuding kami dengan gaya intimidasi,” balas Faisal, seorang orator aksi. Saat itu, Pimpinan DPRA meninggalkan pendemo. Suasana di DPRA masih cukup ramai. Kemudian, lima perwakilan mahasiswa diizinkan masuk untuk berdiskusi di salah satu ruangan di ruang panitia anggaran DPRA.

Dalam diskusi sekitar satu jam itu, Hasbi Abdullah tetap tidak mau menandatangani kontrak politik yang disampaikan mahasiswa. Ia berjanji menampung aspirasi mahasiswa. Hal itu diperkuat oleh anggota DPRA, Adnan Beuransyah. Adnan meminta Ketua DPRA tidak meneken kontrak politik karena menurutnya DPRA memang berkomitmen untuk melakukan lebih baik dari apa yang diminta mahasiswa. “Tak perlu diseret seperti itu,” kata Adnan.

Perdebatan politik mahasiswa dengan anggota dan Pimpinan DPRA berlangsung alot. Dua dari lima perwakilan mahasiswa meninggalkan ruangan dan mengancam akan melakukan aksi serupa dengan jumlah massa lebih banyak. “Ketua DPRA seperti boneka. Beliau tidak ada argumen. Beliau bisa diatur-atur oleh anggotanya. Kami akan melakukan aksi serupa ke DPRA,” tegas Presiden Mahasiswa Unsyiah. Pada pukul 12.15 WIB, aksi berakhir ketika semua mahasiswa meninggalkan Gedung DPRA.

APBA berpihak rakyat
Secara terpisah, seorang aktivis LSM yang juga pengamat sosial, TAF Haikal mengatakan, ada tiga agenda prioritas DPRA pascapelantikan pimpinan yang berlangsung Rabu (16/12). Prioritas pertama, menurut Haikal--setelah terbentuk alat kelengkapan Dewan--adalah membahas dan mensahkan APBA 2010. “Kita menunggu APBA yang berpihak publik berdasarkan skala prioritas,” tulis Haikal dalam siaran pers-nya. Prioritas kedua yang tak kalah penting, menurut Haikal adalah evaluasi anggaran 2009 yang akan segera berakhir. Sedangkan yang ketiga melakukan pembahasan kebijakan-kebijakan atau qanun yang

sudah masuk dalam prolega, termasuk memaksimalkan UUPA dalam kerangka mendorong percepatan pembangunan Aceh seperti Freeport Sabang. “Kalau ketiga prioritas ini bisa terlaksana, ini otomatis Dewan sudah menjalankan tiga fungsi,” demikian TAF Haikal yang juga dikenal sebagai Jubir Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS). (sal/swa/nas)

http://www.serambinews.com/news/view/20039/pimpinan-dewan-tolak-teken-kontrak-politik

Sabtu, 12 Desember 2009

Dipertanyakan, Komitmen USAID Selesaikan Jalan Banda Aceh-Calang


Banda Aceh, (Analisa)

Sejumlah pihak mempertanyakan komitmen dari USAID untuk melanjutkan kembali hingga selesai pembangunan ruas Jalan Banda Aceh-Calang yang sudah lama ditinggalkan,terutama pada section IV termasuk pembangunan jembatan Lambusoe.

Penyelesaian tersebut sudah sangat mendesak, karena dengan selesainya pekerjaan jembatan Lambusoe itu, arus transportasi Meulaboh-Banda Aceh sudah bisa lancar kembali, sehingga pelaksanaan pembangunan untuk wilayah pantai barat selatan Aceh sudah tidak terkendala. Apabila tidak segera ditangani akan mengakibatkan transportasi menuju ke barat selatan Aceh akan terus bermasalah.

Jembatan Lambusoe di Aceh Jaya seharusnya telah selesai dikerjakan PT Wijaya Karya, jika pada Februari 2008 pihak USAID selaku penyandang dana, tidak menghentikannya. Akibat penghentian, sampai saat ini jembatan itu belum ada tanda-tanda dilanjutkan/diselesaikan.

Padahal janji USAID saat itu, setelah dua bulan penghentian, pekerjaan jembatan akan dilanjutkan. Tapi, sekarang ini belum ada tanda-tanda dikerjakan kembali.

Informasi terakhir yang diterima dari mantan Deputi Infrastruktur BRR Aceh-Nias, Bastian Sihombing menyatakan, pekerjaan jembatan Lambusoe akan dilanjutkan kembali dan ditender ulang. Hal sama juga pernah dilontarkan Roy Ventura, pengawas lapangan pekerjaan jalan Calang-Banda Aceh dari USAID. Tapi hingga kini, hanya janji belaka.

Terus Menunggu

Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Aceh, Ir Muhyan Yunan menyatakan, hingga kini Pemerintah Aceh masih terus menunggu komitmen dari USAID untuk melanjutkan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang.

"Beberapa waktu lalu kita dengar ada komitmen dari USAID untuk melanjutkan. Ini sudah sangat mendesak dan harus segera ditangani untuk mengatasi hambatan transportasi barat selatan Aceh," ujar Muhyan Yunan kepada wartawan, Selasa (17/11).

Dia sudah mengkonfirmasi USAID, dan berjanji segera ditangani. Namun demikian, jika hanya sekadar janji-janji saja, tentu Pemerintah Aceh punya batas kesabaran.

"Kalau sampai Desember 2009, juga belum ditangani tentu akan kita ambil alih. Kita akan siapkan dana baik dari APBN maupun APBA. Kasihan masyarakat kalau begini terus," kata Muhyan.

Sebelumnya, Konsul Jenderal (Konjen) Amerika Serikat di Medan, Stanley Harsha, saat berkunjung ke Banda Aceh, menyatakan, Amerika Serikat (AS) sebagai negara penyandang dana pembangunan jalan lintas Calang-Banda Aceh melalui USAID memastikan komit untuk membiayai pembangunan jalan tersebut hingga selesai.

"Jalan USAID masih dikerjakan, kami masih meneruskan dialog dengan pemilik tanah dan mencari pemecahan mengenai segala masalah yang kami temui di lapangan. Saya kemari mewakili Amerika Serikat untuk banyak masalah, termasuk penyelesaian jalan lintas Calang-Banda Aceh. Target memang sudah lewat, tapi kami tetap komit menyelesaikannya," tegas Stanley.

Mendesak

Sementara itu, anggota DPR Aceh juga mendesak agar pembangunan jalan lintas barat Aceh yang rusak akibat tsunami itu segera dilanjutkan. "Supaya ruas jalan Banda Aceh-Calang tidak dijadikan komoditas politik, maka Pemerintah Aceh dan pimpinan DPRA perlu membentuk pansus dan mempertanyakan kembali komitmen USAID untuk melanjutkan pekerjaan Section IV jalan Banda Aceh-Calang yang pekerjaannya telah lama ditinggalkan," ujar anggota DPRA dari Partai Demokrat, Iskandar Daoed.

Menurut Iskandar, akibat USAID belum melanjutkan pekerjaan ruas jalan pada Section IV, sepanjang 13 km pembukaan rute baru bersama pelebaran badan jalan, telah membuat masyarakat pantai barat-selatan Aceh susah. Pada musim hujan mereka mandi lumpur, pada musim kemarau mandi debu.

Untuk itu, kata Iskandar, Pemerintah Aceh bersama DPRA perlu mempertanyakan kepada USAID tentang komitmennya melanjutkan kembali pembangunan jalan itu.

Ketua DPRA, Hasbi Abdullah menyatakan, Pansus Kelanjutan Jalan Banda Aceh-Calang akan dibentuk setelah pimpinan definitif DPRA periode 2009-2010 dilantik.

Juru Bicara (Jubir) Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS), TAF Haikal berharap, siapa pun nantinya yang akan membantu pendanaan ruas jalan tersebut, yang penting jangan sampai terulang seperti pengalaman USAID membangun ruas jalan Banda Aceh-Calang.

Agar pengalaman USAID tidak terulang, menurut Haikal, Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota selaku ujung tombak keberhasilan pembangunan di Aceh diharapkan benar-benar sinergis. Berbagai potensi munculnya masalah harus secepatnya dituntaskan. "Jangan biarkan masalah kecil berkembang yang akhirnya sulit diatasi. Tak ada yang sulit dengan masyarakat, sejauh cara pendekatannya menggunakan bahasa rakyat," katanya. (mhd)

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=35157:dipertanyakan-komitmen-usaid-selesaikan-jalan-banda-aceh-calang-&catid=479:18-november-2009&Itemid=222

Rabu, 09 Desember 2009

KPI: RRI harus konsinten sebagai lembaga penyiaran publik

Wednesday, 09 December 2009 20:48
Warta - Aceh
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Radio Republik Indonesia (RRI) diingatkan untuk tetap konsisten sebagai salah satu lembaga penyiaran publik sehingga terwujud masyarakat Indonesia yang demokratis.

"Sebagai lembaga penyiaran publik, RRI harus mengedepankan independensi, netralitas, mandiri dan profesional," kata ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Aceh, Safir, di Banda Aceh, malam ini.

Dalam penyiaran berbagai program melalui udara, RRI diharapkan ikut mendorong terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis di provinsi Aceh.

Untuk tercapainya tujuan tersebut RRI dan berbagai komponen lainnya harus mendorong peran serta masyarakat dalam memberikan kritikan dan saran bagi penyempurnaan program siarannya.

"Saya yakin peran lembaga publik dapat dijalankan RRI sebab lembaga ini terbebas dari jeratan komersialisasi," katanya.

Sementara, aktivis LSM Aceh, TAF Haikal, mengatakan, perubahan status RRI dari lembaga penyiaran pemerintah menjadi lembaga penyiaran publik harus didukung menampilkan paradigma baru, baik dalam manajemen maupun pola penyiaran.

"Perlu dikembangkan dan dibangun komunikasi dialogis antara pemerintah dan masyarakat dalam berbagai program RRI. Informasi yang disiarkan harus sejalan dengan kegiatan pembangunan, kebutuhan masyarakat dan terkait kepentingan publik," katanya.

Kepala siaran RRI, Ahardi Ahmad, mengatakan, dalam usia ke-64, RRI bertekad menjadi radio milik bangsa, acuan terpercaya dan hiburan yang sehat, pemberdaya masyarakat, perekat budaya bangsa dan unggul secara nasional serta bertaraf internasional.

Untuk menjangkau daerah penyiaran, RRI Aceh telah mendirikan 10 repiter FM seperti di Kota Langsa, Subulussalam, KutaCane, Calang, Lamno, Sinabang, Tapaktuan, Beureunun, Sabang dan Jantho.

"Masih ada beberapa daerah di Aceh yang belum terjangkau dengan repiter FM, namun sudah diatasi dengan menggunakan Medium Wave (MW) yang berkapasitas 10 Kw," katanya.

Dikatakan, masih terdapat beberapa permasalahan pada repiter, seperti lemahnya "power" yakni 100 watt dan sering terputusnya aliran listrik sehingga mengakibatkan repiter rusak.
(dat07/ann)

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=72731:kpi-rri-harus-konsinten-sebagai-lembaga-penyiaran-publik&catid=13:aceh&Itemid=26

Penumpang rakit Banda Aceh-Calang trauma


Wednesday, 09 December 2009 03:54
Warta - Aceh
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Para penumpang rakit penyeberangan Banda Aceh-Calang mengaku trauma saat sarana transportasi tersebut mengalami kerusakan mesin, Senin (7/12) pukul 20.15 WIB, lalu.

Seorang penumpang, Yenni (28) di Banda Aceh, mengaku ketakutan ketika rakit penyeberangan terapung-apung sekitar satu jam lebih di tengah sungai Lambeuso, Lamno.

"Saya sangat takut saat mesin rakitnya tiba-tiba mati di tengah sungai, sehingga kami terbawa arus sungai Lambeuso," kata warga Blangpidie, kabupaten Aceh Barat Daya itu.

Akibat matinya mesin perahu yang digunakan untuk menjalankan rakit para petugas terpaksa menggunakan tali menarik rakit ke tempat penurunan mobil, kata ibu yang akan mengikuti wisuda sarjana di salah satu Universitas di Banda Aceh itu,

Ia menyebutkan selain mobilnya, terdapat empat unit mobil lain dan belasan penumpang yang juga ikut terapung-apung di sungai yang lebarnya sekitar 100 meter lebih itu.

Rakit ini merupakan sarana perhubungan darat dari ibukota Provinsi Aceh menuju Calang dan tujuh kabupaten/kota lainnya di pantai barat selatan Aceh pasca bencana alam tsunami akhir 2004.

Sarana yang dikelola masyarakat itu mampu mengangkut enam unit kendaraan roda empat jenis L300 atau tiga unit truk atau bus pada setiap kali penyebrangan.

Juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal yang dimintai pendapatnya mengharapkan instansi terkait dapat melanjutkan pembangunan jembatan yang terhenti sejak satu tahun terakhir.

"Kejadian rakit yang terapung-apung selama satu jam lebih di sungai Lambeuso hendaknya menjadi pelajaran. Kami berharap jembatan permanen dapat dikerjakan kembali," kata TAF Haikal.
(dat07/ann)


http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=72564:penumpang-rakit-banda-aceh-calang-trauma&catid=13:aceh&Itemid=26