Kamis, 26 Maret 2009

PAN Abdya Gelar Kampanye Dialogis


* Minta Maaf atas Kesalahan Kebijakan Masa Lalu
22 Maret 2009, 09:06 Pemilu 2009 Administrator

BLANGPIDIE - Massa yang terdiri dari kader dan simpatisan Partai Amanat Nasional (PAN) di Aceh Barat Daya (Abdya), kemarin menghadiri kampanye dialogis yang digelar di kantor baru DPD PAN Abdya, di Padang Baru, Susoh, Sabtu (21/3) pagi. Kampanye dialogis yang dirangkai dengan kegiatan peusijuekkantor baru DPD PAN Abdya itu, dihadari massa yang meluber hingga ke halaman kantor.

Kampanye tersebut diisi oleh Ketua DPD PAN Abdya, Said Syamsul Bahri, pengurus DPW PAN Aceh Almanar SH, serta caleg PAN untuk DPR RI TAF Haikal yang menyampai orasi politik, dan seluruh caleg DPRD Abdya antara lain, Elizar Lizam, Syahrol Fadli, Muslizar MT.

Dalam kesempatan tersbeut, Ketua DPD PAN Abdya, H Said Syamsul Bahri menyampaikan permohonan maaf kepada semua kader partai atas kesalahan kebijakan pada masa lalu. Menurut Said, kesalahan kebijakan partai pada masa lalu tidak perlu disesali lagi, melainkan menjadi sebuah pelajaran sangat berharga sehingga tidak terulang lagi.

Selain itu, Said Syamsul juga mengatakan, kader yang sudah dibesarkan partai, kemudian melakukan pengkerdilan atau berpaling dinilai tidak beres. “Kader seperti itu dapat disebut sudah durhaka terhadap partai,” tegasnya.

Sorotan Ketua DPD PAN Abdya terhadap kader partai yang dinilai durhaka mendapat dukungan dari Almanar SH, caleg PAN untuk DPR Aceh. Pihaknya sangat menyesalkan, terhadap oknum kader partai yang tidak tahu balas budi, padahal sudah dibesarkan PAN.

Ketua Pokja Kampanye KIP Abdya, Ir T Umar dihubungi Serambi, Sabtu kemarin menjelaskan, sesuai jadwal yang sudah disusun, Sabtu (21/3) kemarin, PAN mendapat jatah kampanye terbuka di tiga lokasi, lapangan Pasar Kota Bahagia, Kecamatan Kuala Batee 1 (DP I), lapangan Cot Manee, Kecamatan Jeumpa (DP II) dan lapangan Gunong Cut, Kecamatan Tangan-Tangan (DP III) antara pukul 09.00 sampai pukul 12.00 WIB. Tapi PAN memilih melaksanakan kampanye dialogis di Kantor DPD di Padang Baru, Susoh.

Masih sepi
Sementara itu, memasuki hari kelima pelaksanaan kampanye terbuka, Sabtu (21/3), kemarin, seluruh panggung kampanye yang tersedia baik untuk parpol dan calon anggota DPD di Kabupaten Abdya, tampak masih kosong melompong. Sebenarnya, sesuai jadwal, kemapnye hari kelima, kemarin, dua calon anggota DPD, HT Bachrum Manyak dan H Bustami Usman menjatah kampanye terbuka di lapangan Pulau Kayu, Susoh, tapi menurut Ketua Pokja Kampanye KIP Abdya, T Umar, kesempatan tersebut tidak dimanfaatkan sehingga panggung kampanye menjadi sepi.

Bukan hanya itu, kata T Umar, sejak hari pertama sampai hari kelima, Sabtu kemarin, belum satu pun calon anggota DPD menggelar kampanye terbuka di Abdya.

Demikian juga parpol, hanya dua partai melaksanakan kampanye terbuka, Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS) menggelar kampanye di lapanganSeunaloh, Blangpidie pada hari pertama, Selasa (17/3) lalu Kemudian Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melaksanakan kampanye terbuka di lapangan Pantee Perak, Susoh pada hari keempat, Jumat (20/3) sore.

Sedangkan Partai Daulat Aceh (PDA) yang sedianya Jumat (20/3) sore, menggelar kampanye di lapangan Seunaloh, Kecamatan Blangpidie untuk DP II, tapi akhirnya batal karena sudah melewati pukul 16.00 WIB sehingga dilarang oleh KIP dan Panwaslu setempat.(nun)

http://serambinews.com/news/pan-abdya-gelar-kampanye-dialogis

Rabu, 11 Maret 2009

Selangkah Lagi…

Selasa, 2009 Maret 03
ADVENTORIAL-Taf Haikal

JELANG senja, kala hendak memulai rehat, telepon gengamnya bergetar. Seorang teman, di pantai barat Aceh, mengabarkan alat kampanye hilang. Bicaranya tergesa-gesa, memendam murka. TAF Haikal, tersenyum sambil menunggu pendukungnya itu selesai laporan.

Namun dia tak gusar. “Tidak apa-apa, jangan marah. Satu dua orang tak senang itu biasa,” begitu nasihatnya. Sehari kemudian, “baliho dipasang kembali, orang yang menurunkan juga meminta maaf.”

Calon anggota legislatif (Caleg) nomor urut tiga Partai Amanat Nasional (PAN) untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ini tak cemaskan hilangnya poster dan baliho. Bukan sebab sumbangan dari rekan-rekannya, melainkan publikasi diri, bukan faktor utama. “Asal cukup masyarakat tahu, saya mencalonkan diri,” ujarnya.

Lagi pula, namanya berkibar seantero Aceh jauh sebelum balihonya bertebar. Teranyar, dia dikenal lantang menyuarakan percepatan pembangunan di barat dan selatan Aceh. Media massa baik lokal, nasional bahkah internasional kerap mengutip ucapannya sebagai jurubicara Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS).

Keseriusan Haikal memperjuangkan percepatan pembangunan pesisir barat dan selatan Aceh, sempat menarik perhatian para calon bupati Aceh Selatan untuk meraup suara dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) lalu. Beberapa kandidat meminangnya menjadi wakil. “Semua saya tolak. Saya memilih berjuang dengan kawan-kawan di kaukus untuk memperjuangkan ketertinggalan pembangunan di daerah itu,” jelasnya.

Sebelum di KPBS, nama Haikal juga sudah sering terpampang di media. Saat Aceh dibalut kecamuk, sudah dikenal sebagai penentang perang, musuh para perusak lingkungan dan maling uang negara. “Sudah 13 tahun saya aktif di lembaga sosial,” tegasnya.

Dia tak hanya dikenal sebagai ‘tukang kritik’ pemerintah. Saban alam murka, pria kelahiran ini sering lebih dulu menjulur bantuan. Tak hanya di Aceh, bahkan saat Yogyakarta diremuk gempa tahun 2006, ia membangun aliansi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kemudian diberi nama, ”Poros Kemanusiaan Aceh untuk Yogya.” Ia sendiri menjadi koordinator.

”Meski Aceh sedang bangkit dari bencana gempa dan tsunami, tetapi kita perlu menyisihkan sedikit sumbangan bagi saudara-saudara kita di Yogya sebagai bentuk kepedulian rakyat Aceh,” ujarnya saat itu. ”Saya kecanduan membantu orang dan akan berusaha terus membantu orang lain,” ujarnya jauh sebelum ikut bertarung untuk kursi DPR-RI.

Walau belum menjadi anggota parlemen, Haikal sudah berkecimpung dalam urusan legislasi sejak lama. Suksesnya Pilkada Aceh, juga tak lepas dari kerja kerasnya dalam tim legal drafting revisi Qanun No. 2/2003 menjadi Qanun No. 2/2004, tentang Pilkada.

Selanjutnya, terlibat dalam tim lobbi revisi Qanun No. 2/2003 dan No. 3/2004 tentang Pilkada Aceh Juni-Agustus 2006 menjadi Qanun No 7/2006. Ia juga terlibat dalam tim masyarakat sipil pembuatan Prolega (Program Legeslasi Aceh).

Dalam media 2007-2008, setidaknya dia terlibat dalam penyusunan tujuh draft qanun, di antaranya Pilkada, tata cara penyusunan qanun dan tranparansi penyelenggara pemerintahan Aceh dan partisipasi di Aceh.

Selain itu, dia juga terlibat dalam tim drafting qanun No 7 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilihan umum di Aceh, qanun pelayanan kesehatan di Aceh, serta qanun adminstrasi dan kependudukan Kabupaten Pidie.
Jauh sebelumnya, ia telah terlibat dalam serangkaian pendampingan pembuatan aturan di Aceh. “Saya paham cara kerja DPR RI. Kental proses politik, makanya butuh pengawalan yang ketat. Untuk itu saya mencalonkan diri menjadi caleg,” tukasnya.

Bila dia dipilih rakyat Aceh, dua hal penting yang harus segera dilakukan. “Menjaga UUPA terealisasi sepenuhnya dan hasil pengelolaan sumberdaya alam harus dibagi adil,” jelas mantan Direktur Eksekutif Forum LSM Aceh periode 2003-2006 itu. “Untuk menghindari konflik butuh pemerataan dan keadilan.”

Komitmen para wakil rakyat Aceh di Senayan kelak, menurutnya, haruslah benar-benar teruji mendukung perdamaian. Selain itu, kemampuan meyakinkan anggota parlemen dari daerah lain untuk mendukung perdamaian agar tetap abadi di Aceh. Sebab, perdamaian Aceh masih labil dan baru memasuki usia empat tahun.

Selain menjaga perdamaian Aceh, dirinya kelak akan mengontrol kebijakan minyak dan gas. “Harus ada orang yang mampu memastikannya bahwa hasil yang dibawa pulang dan dibagi-bagikan di Aceh itu sesuai kebutuhan,” tegasnya.

Untuk urusan anggaran, Haikal berjanji, bila diberi kepercayaan oleh rakyat, dia akan memastikan pemerintah Aceh dapat melakukan pekerjaaannya dengan baik. Sehingga mampu mengurangi daerah-daerah terisolir, meningkatkan mutu pendidikan dan mengurangi angka kemiskinan.

Berbekal pengalaman mengurus berbagai organisasi kemasyarakatan, Haikal mengaku tidak sulit memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh di Senayan. Menjadi anggota DPR RI, baginya sama dengan menjalankan aktifitas mengadvokasi di LSM. “Selama ini, saya melakukan kegiatan yang sama seperti dilakukan anggota dewan,” tegasnya.

Tekadnya untuk melenggang ke Senayan, sebenarnya, memuncah akibat sering mendengar keluh kesah masyarakat pedalaman yang sering didatanginya. “Mendengar kesedihan orang lain membuat saya terus bersemangat melakukan perubahan,” jelasnya.

Mungkin karena terlalu banyak memperjuangkan aspirasi rakyat, ia sampai lupa memikirkan nasibnya sendiri. Seharusnya, sebagai seorang korban tsunami, dia berhak memperoleh rumah bantuan. Tapi, hingga menjelang masa tugas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias berakhir, rumah bantuan itu tak didapatnya.

Bukan berarti ia tak punya keresahan, perilaku caleg lain yang gemar membeli suara rakyat sering membuatnya gundah. Ia mengaku budaya yang hangat saban pemilu itu tantangan berat. “Saya masih menentang praktik politik uang. Sayang rakyat, suaranya sangat menentukan,” ujarnya dengan kening bergelombang.

Bagi Haikal, kursi parlemen bukanlah tempat menggali nafkah. Melainkan medan juang yang panas, nasib rakyat ditentukan dari sana. “Dulu berteriak dari luar, sekarang waktu yang tepat berjuang dari dalam sistem.” Yup, Pemilu tinggal menghitung hari. Selangkah lagi…
posted by maimunsaleh @ 21:12

http://www.maimunsaleh.com/2009/03/selangkah-lagi.html

Selasa, 03 Maret 2009

Korban Tsunami Resah Ribuan Rumah Bantuan Belum Jelas Status Hukum Tanah

Banda Aceh, (Analisa)

Status hukum kepemilikan terhadap tanah yang di atasnya telah dibangun ribuan unit rumah bantuan bagi korban bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh setelah dilakukan relokasi, hingga kini ternyata masih banyak yang belum ada kejelasannya.
Jika persoalan ini terus dibiarkan berlanjut tanpa ada kepastiannya, maka dikhawatirkan akan memunculkan masalah besar di kemudian hari setelah berakhirnya program rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca bencana.

Karenanya, pihak Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh meminta kepada pihak terkait khususnya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD–Nias dapat segera mencari solusi terhadap persoalan ini sebelum berakhirnya masa tugas pada 16 April 2009 mendatang.

“Kami meminta kepada BRR, Pemerintah Aceh dan pihak terkait lainnya untuk memperjelas soal kepemilikan rumah dan status hukum tanah korban tsunami yang direlokasi,” ujar Juru Bicara KPBS, TAF Haikal kepada wartawan di Banda Aceh, Senin (2/3).

Menurutnya, status tanah yang di atasnya berdiri rumah bantuan juga menjadi hal krusial di kemudian hari bagi masyarakat yang menempati rumah tersebut, baik yang dibangun oleh Non Goverment Organitation (NGO) maupun yang dibangun BRR.

Penegasan status tanah rumah yang mereka tempati terutama yang relokasi sangat penting untuk jangka panjang jangan sampai para ahli waris yang ditinggalkan di kemudian hari menjadi resah.

“Menurut kami, ini penting untuk memberikan kepastian hukum bagi korban tsunami yang selama ini mendiami rumah bantuan tersebut. Korban tsunami tersebut resah karena belum memiliki sertifikat tanah,” terangnya.

Ia mencontohkan, sebanyak 42 Kepala Keluarga (KK) korban tsunami Desa Ujung Serangga Padang Baru, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) yang direlokasi ke Desa Ladang resah akibat belum memiliki sertifikat tanah.

“Kami butuh kepastian terhadap tanah yang saat ini kami tempati, agar anak cucu kami tidak terkatung-katung di masa mendatang,” kata seorang warga korban tsunami, Muntari (51) di Blangpidie.

Hak Pakai

Menurutnya, status tanah yang ditempati warga di pesisir pantai Bali Kecamatan Susoh itu masih hak pakai.
Lebih lanjut TAF Haikal menambahkan, dirinya juga merasa sedih melihat para korban tsunami yang belum mendapatkan haknya yakni rumah. Triliunan dana mengalir ke Aceh. Namun, sangat mahal harga untuk sebuah rumah korban tsunami bagi mereka.

“Kami mendorong BRR dan Pemerintah Aceh untuk mencari solusi bagi korban tsunami yang belum memperoleh rumah. Sebelum BRR bubar di Aceh, Pemerintah Aceh harus menyusun strategi untuk menyelesaikan ‘PR’ rekonstruksi di Aceh,” harapnya.

Ditambahkan, BRR hampir selesai menjalankan mandatnya, dan baru saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan beberapa mega proyek BRR hasil rehab rekon. Banyak mata terkagum-kagum melihat prestasi yang telah dilakukan BRR dan berbagai lembaga donor internasional dan nasional dan ini harus diakui sebuah prestasi.
“Akan tetapi tidak bisa dipungkiri betapa miris hati korban tsunami melihat peresmian tersebut. Sementara mereka belum mendapatkan haknya sebagai korban tsunami,” ungkap Haikal. (mhd)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7986:korban-tsunami-resah-ribuan-rumah-bantuan-belum-jelas-status-hukum-tanah&catid=42:nad&Itemid=112

Senin, 02 Maret 2009

BRR Bubar, Banyak Tugas Belum Selesai

Junaidi | The Globe Journal

Banda Aceh – April 2009 Badan Rehablitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias akan mengakhiri tugasnya setelah empat tahun membangun Aceh dan Nias, namun masih cukup banyak korban tsunami yang belum mendapatkan hak mereka dan masih banyak tugas lembaga bentukan presiden tersebut yang belum bisa diselesaikan.

“BRR Aceh-Nias hampir selesai menjalankan mandatnya, dan baru saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan beberapa mega proyek BRR seperti Bandara Sultan Iskandar Muda dan berbagai proyek yang lain. Banyak mata terkagum-kagum melihat prestasi yang telah dilakukan oleh BRR dan berbagai lembaga donor internasional dan Nasional dan harus diakui sebuah prestasi,” ujar Jurubicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal kepada The Globe Journal, Senin (2/3).

Akan tetapi sebut Haikal, tidak bisa dipungkiri betapa miris hati korban tsunami melihat peresmian tersebut kaena hingga saat ini mereka belum mendapatkan haknya sebagai korban tsunami. Belum lagi masyarakat pantai barat selatan yang hari ini masih berusah payah mendorong berbagai pihak untuk mewujudkan mimpi. “Mimpi itu adalah jalan Banda Aceh- Meulaboh bantuan masyarakat Amerika melalui USAID. Masyarakat pantai barat selatan Aceh masih harus menghirup debu ketika pulang gampongnya, merupakan batu sandungan bagi BRR dibawah kepemimpinan pak Kuntoro,” ungkap Haikal.

Haikal menyebutkan, status tanah yang diatasnya berdiri rumah bantuan juga menjadi hal krusial dikemudian hari bagi masyarakat yang menempati rumah tersebut. Penegasan status tanah rumah yang mereka tempati terutama yang relokasi sangat penting untuk jangka panjang jangan sampai ahli waris yang ditinggalkan dikemudian hari kembali dililit keresahan. “Meskipun BRR telah berbuat banyak untuk merubah wajah Aceh. Kami selaku masyarakat yang beradab tentu mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu Aceh. Dibalik itu, kami juga bersedih melihat saudara-saudara kami korban tsunami yang belum mendapatkan haknya. Triliunan dana mengalir ke Aceh. Namun, sangat mahal harga untuk sebuah rumah korban tsunami bagi mereka,” papar Haikal.

Haikal menambahkan, Kaukus Barat Selatan mendorong BRR dan Pemerintah Aceh untuk mencari solusi bagi korban yang belum memperoleh rumah. Sebelum BRR bubar di Aceh, Pemerintah Aceh harus menyusun strategi untuk menyelesaikan pekerjaan rumah rekontruksi di Aceh. “Kami juga meminta kepada BRR,Pemerintah Aceh dan Pihak terkait untuk memperjelas soal kepemilikan rumah dan status hukum tanah korban tsunami yang relokasi. Menurut kami ini penting untuk memberikan kepastian hukum bagi korban tsunami yang selama ini mendiami rubah bantuan tersebut,” pinta Haikal. [003]

http://tgj.co.id/detilberita.php?id=1780