Rabu, 19 Desember 2012

80 Kasus Korupsi Menggantung

Senin, 10 Desember 2012 09:50 WIB
101212_8.jpg


 BANDA ACEH - Diskusi publik dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi, 9 Desember 2012 di Banda Aceh memunculkan  data yang bertolak belakang dengan semangat antikorupsi itu sendiri. Pasalnya, di Aceh saja, menurut data yang dikumpulkan LSM antikorupsi, ada 80 kasus korupsi yang prosesnya menggantung.

Masyarakat Transparan Aceh (MaTA) bersama Transperancy Internasional Indonesia Banda Aceh memperingati Hari Antikorupsi dengan menggelar diskusi mengangkat berbagai kasus dugaan korupsi yang terjadi di Aceh. Diskusi berlangsung di Restoran Geumuloh, Banda Aceh.

Koordinator Bidang Advokasi Korupsi MaTA, Baihaqi didampingi Koordinator Bidang Peneliti, Arman Fauzi dan Alfian mengungkapkan, kasus korupsi di Aceh mereka kumpulkan dari berita korupsi yang dilansir berbagai media serta yang ditangani BPK, BPKP, jaksa, dan polisi. “Ternyata sampai akhir 2012 masih ada 80 kasus dugan korupsi yang belum tuntas diselesaikan,” ungkap Baihaqi.

MaTA mencontohkan kasus Rp 220 miliar di Aceh Utara. Kasus pembobolan deposito dan kasus korupsinya telah diselesaikan oleh pengadilan di Jakarta dan Banda Aceh. Tapi, menurut Baihaqi, masih ada sisa dana sebesar Rp 80 miliar--dari Rp 178 miliar yang disita polisi di Jakarta--belum dikembalikan ke Kasda Aceh Utara.

Contoh lainnya, kasus mark up/penggelembungan harga pengadaan MRI RSUZA Banda Aceh yang merugikan keuangan daerah sekitar Rp 8,2 miliar, korupsi beasiswa mahasiswa Unsyiah Rp 2,5 miliar, pengadaan alat kesehatan Lhokseumawe Rp 3,5 miliar, hibah rehab rekon Simeulue Rp 3,1 miliar, dan pembangunan pendopo bupati serta wakil bupati Aceh Jaya Rp 4 miliar.

“Kasus-kasus yang kami beberkan itu merupakan kasus korupsi yang mencuat dari hasil audit BPK, BPKP, polisi, dan kejaksaan yang diberitakan berbagai media di Aceh. Total kasusnya mencapai 80 kasus, sedangkan nilai kerugiannya sekitar Rp 275,4 miliar,” ujar Baihaqi.

MaTA juga melihat, dari 80 kasus korupsi yang mereka kumpulkan, kerugian paling banyak terjadi di lembaga eksekutif mencapai Rp 259,5 miliar, disusul universitas Rp 5 miliar, serta Komisi dan BUMD Rp 3,5 miliar.

Dilihat dari aktor pelakunya, lanjut MaTA, yang paling banyak juga dari eksekutif. Yang telah ditetapkan tersangka oleh penyidik mencapai 89 orang dari 80 kasus korupsi yang sedang berjalan, mulai dari penyidikan sampai pada proses penyidangan dan banding.

Berikutnya, aktor pelaku dari kalangan swasta sebanyak 49 orang, Komisi/Badan Daerah 7 orang, legislatif 5 orang, BUMD 4 orang, universitas 3 orang, polisi 1 orang, BUMN 1 orang, Komisi dan Badan Pusat 3 orang.  

Dari sisi wilayah, menurut MaTA, untuk sementara Aceh Utara menduduki peringkat teratas sebanyak 11 kasus disusul Kota Lhokseumawe 8 kasus, dan Aceh Barat 8 kasus. Sedangkan di tingkat provinsi tercatat 7 kasus.

Dari modus operandinya, menurut MaTA, kasus penggelapan dana masih peringkat tertinggi dengan nilai kerugian Rp 233,2 miliar, disusul  mark up/penggelembungan harga Rp 22,5 miliar, dan penyalahgunaan anggaran Rp 5,3 miliar.

“Kasus dugaan korupsi dilihat dari institusi, yang paling banyak dilakukan eksekutif, swasta, dan legislatif,” kata Hendra Budian, seorang peserta diskusi. “Ini terjadi karena ketiga pihak ini melakukan perselingkuhan, antara lain dalam penyusunan APBA maupun APBK,” tandas Hendra.(her)

Isu Dana Aspirasi tak Pernah Mati

SETIAP kali bicara korupsi, termasuk saat memperingati Hari Antikorupsi seperti pada 9 Desember kemarin, isu tentang dana aspirasi dewan tetap saja mencuat menjadi bagian pembicaraan. Itu pula yang mengemuka ketika berlangsung diskusi yang mengangkat berbagai kasus dugaan korupsi di Aceh, di Restoran Geumuloh, Banda Aceh, Minggu (9/12).

Salah seorang peserta diskusi dari kalangan akademisi, yaitu Dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah, Ali Amin secara khusus mengangkat masalah dana aspirasi dewan tersebut di forum. Menurut Ali Amin, dana aspirasi dewan perlu diawasi secara ekstraketat oleh Inspektorat, BPK, dan KPK.

Ali Amin merincikan, jika setiap anggota DPRA dialokasikan dana aspirasi dalam bentuk program sebesar Rp 5 miliar maka jika dikalikan dengan 69 anggota DPRA, total dana mencapai Rp 345 miliar. “Angka itu setengah APBK Kota Langsa atau Kota Sabang,” ujar Ali Amin.

Pengalokasian dan penggunaan dana aspirasi, kata Ali Amin patut dicurigai kemana saja jatuhnya. Ini menjadi tugas pengawas internal pemerintah, Inspektorat dan BKPK serta pengawasan eksternal yakni BPK dan KPK. “Apakah benar dana itu untuk kemakmuran rakyat?,” kata Ali menyiratkan kegalauan.

‘Kekhawatiran’ tentang pengalokasian dan penggunaan dana aspirasi dewan tersebut juga disuarakan oleh sejumlah peserta lainnya seperti Dosen Fakultas Hukum Unsyiah, H Mawardi Ismail dan aktivis LSM, TAF Haikal.

Beberapa kalangan menilai, kasus korupsi masih menjadi isu elit dan baru dilakukan pengusutan setelah mendapat desakan dari berbagai kalangan, termasuk pressure media.

“Seharusnya, tanpa ada desakan, pihak penyidik yakni polisi, jaksa, dan pengadilan memprosesnya dengan cepat, seperti KPK dalam menangani kasus korupsi. Paling lama tiga bulan, kasusnya langsung ke pengadilan tindak pidana korupsi dan sebulan disidang langsung divonis,” begitu tanggapan Koordinator MaTA, Alfian.(her)

Jaksa Tangani 48 Kasus Korupsi

BANDA ACEH - Jajajaran Kejaksaan di Aceh selama kurun waktu 11 bulan terakhir sudah menangani 48 kasus korupsi di daerah ini. Dari jumlah itu, sebanyak 16 kasus sedang dalam proses penuntutan di pengadilan.

“Kami tidak pernah berhenti memerangi tindak pidana korupsi di Aceh. Kita akan terus bekerja memberantas korupsi,” kata Kajati Aceh, TM Syahrizal SH dalam amanatnya saat memimpin apel peringatan Hari Antikorupsi Se-dunia di halaman Kantor Kejati Aceh, Minggu (9/12).

Ucapara peringatan Hari Antikorupsi di Kejati Aceh dihadiri ratusan jaksa dan pegawai kejaksaan dari Kejati, Kejari Banda Aceh, dan Kejari Jantho (Aceh Besar).

Menurut Kajati, untuk mencegah dan memberantas korupsi perlu dukungan semua pihak. Tanpa dukungan semua elemen masyarakat, seperti ulama, LSM, mahasiswa, pemuda, dan politisi, tak mungkin akan berhasil secara maksimal.

“Kalau hanya aparat penegak hukum seperti kejaksaan, kepolisian, dan KPK yang bekerja menangani kasus korupsi, jelas tidak akan mampu kita turunkan angka tindak pidana korupsi,” katanya.

Kajati Aceh mengatakan, korupsi terjadi lantaran sudah mengalami krisis moral. “Bayangkan saja orang tidak malu lagi membeli sesuatu dari uang hasil korupsi. Bahkan ketika ada tersangka kasus korupsi ditangkap aparat penegak hukum ramai-ramai orang mengantarnya, ini juga sebuah hal yang aneh,” katanya.

Padahal, lanjut Kajati Aceh, masyarakat harusnya memberi sanksi sosial pada orang yang terlibat korupsi. “Sanksi sosial dari masyarakat ini sangat efektif untuk membuat orang malu dan jera, sehingga kalau ada orang yang ingin melakukan korupsi akan berpikir ulang tujuh kali, sebab takut akan dikucilkan masyarakat,” ujar Kajati yang putra Samalanga ini.

Tindak pidana korupsi di Aceh, menurut Kajati, dinilai masih tinggi. Bahkan jajaran kejaksaan dalam 11 bulan terakhir (Januari-November 2012) sudah menangani 48 kasus. Dari jumlah itu, 14 kasus dalam proses penyelidikan, 18 sudah memasuki tahap penyidikan, dan 16 kasus dalam proses penuntutan di pengadilan.

“Dalam waktu dekat ini ada beberapa kasus korupsi baru yang akan muncul dan saat ini sedang dilakukan operasi intelijen. Anda tunggu saja akan ada perkembangan baru dalam waktu dekat,” ujar Kajati TM Syahrizal kepada wartawan usai upacara peringatan Hari Antikorupsi.(sup)


http://aceh.tribunnews.com/2012/12/10/80-kasus-korupsi-menggantung

GAM-AS Tuntut Pemekaran

Jumat, 30 November 2012 10:17 WIB
TAPAKTUAN - Massa yang tergabung dalam Gerakan Aliansi Masyarakat Aceh Selatan (GAM AS), Kamis (29/11), menggelar unjuk rasa di gedung DPRK setempat. Mereka mendesak pemerintah pusat agar mengesahkan provinsi baru, yakni Provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS) pada tahun 2013.

Aksi itu berlangsung sekira pukul 10.00, berakhir pukul 11.30 WIB. Sebelum beranjak ke Gedung DPRK Aceh Selatan, massa berkumpul di halaman Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) atau kantor bupati lama.

Saat melangkah, mereka mengusung sejumlah spanduk. Di antaranya bertuliskan, “Masyarakat Aceh Selatan Menolak Qanun Wali Nanggroe”, “Qanun Bendera dan Lambang Aceh Hanya untuk Kepentingan Kelompok Tertentu”, dan “Segera Wujudkan Provinsi ABAS Demi NKRI”. Spanduk lainnya berisi kritik terhadap Pemerintah Aceh.

Teuku Sukandi, koordinator aksi, dalam orasinya berseru, “Lebih baik berpisah daripada dijajah!” Lewat pernyataan itu ia ajak semua elemen di Aceh Selatan untuk bahu membahu bersama tokoh masyarakat di pantai barat-selatan Aceh memperjuangkan pemekaran Provinsi ABAS, sebagaimana yang sedang diperjuangkan oleh kabupaten lain di wilayah barat selatan Aceh.

Sukandi menyampaikan tiga hal yang menjadi tuntutan mereka yang berunjuk rasa kemarin. Pertama, menolak Rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang berbau separatis, karena rakyat Aceh Selatan khawatir suasana yang sudah tenteram ini akan bergejolak dan timbul konflik politik dan konflik lainnya.

Kedua, meminta pemerintah pusat segera mengesahkan Provinsi ABAS pada tahun 2013. “Ketiga, kami seprinsip menolak Qanun Wali Nanggroe, karena keberadaan lembaga ini hanya akan memboroskan keuangan daerah saja. Terlebih lagi Qanun WN itu dirumuskan atas kehendak suatu golongan saja, bukan kehendak masyarakat Aceh keseluruhannya,” ujar Sukandi.

Teuku Sukandi yang juga mantan anggota DPRK Aceh Selatan ini juga mengatakan, legislatif dan eksekutif Aceh benar benar berpihak kepada rakyat tentunya mereka tidak memprioritaskan qanun qanun yang sama sekali tidak ada manfaatnya bagi mayoritas masyarakat Aceh. Sebab, masih ada janji di masa kampanye yang lebih prioritas untuk diselesaikan ketimbang qanun qanun tersebut.

Dulu, kata Sukandi, pasangan Dokter Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf saat kampanye di sejumlah daerah di Aceh berjanji akan memberi 1 juta rupiah kepada keluarga miskin per bulan. Tapi kenapa janji tersebut sampai saat ini tidak direalisasikan? Kenapa justru qanun yang mementingkan pribadi dan golongan yang lebih diutamakan? “Apakah itu namanya pemerintah yang prokepentingan rakyat? Berangkat dari pemikiran rasional inilah kita ingin memisahkan diri dari Provinsi Aceh. Kita akan hijrah dari Serambi Makkah ke Serambi Madinah. Oleh karenanya, mari bersama sama kita satukan tekad dan semangat untuk mewujudkan cita cita tersebut,” seru Teuku Sukandi bersemangat.

Orator lainnya, Bestari Raden alias Tgk Rimung Lam Kaluet menambahkan, “Sudah berapa banyak tokoh intelektual yang lahir di wilayah pantai barat selatan Aceh, baik yang di luar negeri maupun yang di dalam negeri. Tapi sampai saat ini wilayah kita masih terlihat dikerdilkan dan dimarginalkan oleh Pemerintah Aceh. Oleh karenannya, mari bersama sama kita bangun kembali Aceh barat selatan ini demi anak cucu kita ke depan supaya tidak terus terusan dikerdilkan dan dimarginalkan,” ajak  dalam orasinya.

Bestari juga meminta DPRK setempat untuk tidak hanya mementingkan nasib sendiri dalam menyikapi prsoalan yang kini sudah jadi polemik di tengah masyarakat Aceh. Dewan dia minta melakukan gebrakan demi terciptanya masyarakat Aceh yang adil dan makmur secara keseluruhan, bukan hanya sebatas memperjuangkan qanun yang sama sekali tak menyentuh kepentingan masyarakat banyak.

“Wali itu lahir dari ulama yang benar benar bisa menyatukan dan menjadi panutan bagi sekalian umat di negeri syariah ini, itu pun dalam keadaan perang. Tapi dalam kondisi damai seperti ini malah Qanun Wali Nanggroe itu yang menjadi prioritas bagi eksekutif dan legislatif untuk dibahas ketimbang qanun yang benar benar menyentuh kepentingan rakyat banyak. Di mana janji Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh saat berkampanye dulu?” gugat Bestari Raden.

Usai keduanya berorasi, Teuku Sukandi menyerahkan pernyataan sikap tertulis GAM AS itu kepada Wakil Ketua DPRK Aceh Selatan dari Partai Demokrat, Marsidiq. Saat itu Marsidiq didampingi anggota DPRK lainnya, yakni Zulfar Arifin SAg (PKPI), Hendriyono (PKPI), dan Teuku Mudasir (Partai Golkar). (tz)

Akan Diprioritaskan

Sejauh yang kita amati, masalah ini (Qanun Wali Nanggroe serta Raqan Bendera dan Lambang Aceh -red) bukan cuma diprotes di Aceh Selatan, tapi juga di beberapa kabupaten dan kota di Aceh. Oleh karenanya, perlu kita tindak lanjuti agar dibahas bersama Komisi A DPRK Aceh Selatan.

Apakah akan kami keluarkan rekomendasi nantinya, itu sangat tergantung pada hasil pembahasan bersama di komisi. Yang pasti, persoalan ini akan kami prioritaskan pembahasannya.
* Marsidiq, Anggota DPRK Aceh Selatan dari Partai Demokrat. (tz)

Jangan Dijadikan Warga Kelas Dua

Di mata TAF Haikal, isu pemekaran yang saat ini kembali disuarakan oleh masyarakat barat-selatan Aceh dengan tuntutan agar segera lahir Provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS), bukanlah hal baru. “Sudah sejak pemerintahan sebelumnya tuntutan seperti ini bergema,” kata Juru Bicara Kausus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh itu menjawab Serambi di Banda Aceh, Kamis (29/11) kemarin.

Lalu, kenapa tuntutan itu kini kembali bergema? “Itu karena apa yang dirasakan masyarakat barat selatan masih belum jauh berbeda dengan apa yang dialami pada masa pemerintahan sebelumnya,” jawab Haikal. Ia menyatakan, bukan Qanun Wali Nanggroe yang memicu maraknya tuntutan pemekaran ini, tetapi lebih karena rasa keadilan, ketimpangan dalam pembangunan, tersendatnya arus aspirasi, dan yang lebih fatal lagi adalah masyarakat barat-selatan merasa dijadikan sebagai warga kelas dua di provinsi ini. “Sedianya, jangan sampai begitu.”

Sebetulnya, menurut Haikal, tuntutan ini tidak perlu ditanggapi berlebihan oleh pemerintah sekarang, tetapi harus dijawab lewat kerja keras dan karya yang nyata. Artinya, berikan rasa keadilan, pemerataan pembangunan, jangan tutup arus aspirasi mereka, dan tempatkan mereka setara dengan warga lain di bagian Aceh lainnya.

“Kalau ini mampu diwujudkan oleh pemerintahan sekarang di bawah kepemimpinan Dokter Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, saya yakin tuntutan pemekaran akan berangsur memudar. Soalnya, apa yang mereka harapkan sudah tercapai,” demikian Haikal. (sup)
 
 http://aceh.tribunnews.com/m/index.php/2012/11/30/gam-as-tuntut-pemekaran