Rabu, 06 Juli 2011

Mengemuka Opsi Jeda Pemilukada 2011

Banda Raya - 6 July 2011 | 5 Komentar
Banda Aceh | Harian Aceh – Perbedaan dasar hukum dalam pelaksanaan Pemilukada Aceh 2011 dianggap sebagai konflik regulasi yang perlu dicari solusinya. Karena itu, perlu dicapai kesepahaman semua stakholder guna menyatukan sikap untuk memilih satu opsi, yakni jeda Pemilukada Aceh.Satu dari tiga kesimpulan yang dihasilkan ini mengemuka dalam diskusi terbatas yang digelar Forum LSM, Selasa (5/7).

Tokoh politik Aceh, Taf Haikal yang hadir sebagai peserta diskusi mengatakan, tiga pihak yang dianggap sedang berseteru saat ini, yakni, eksekutif, legislatif dan KIP sebaiknya bersepaham untuk duduk berunding dengan mengesampingkan muatan-muatan kepentingan.

“Jadi bertemu bukan dalam kapasitas klik kepentingan, tapi klik perdamaian,” katanya.

Saat ini, kata dia, sebagian berpendapat tahapan Pemilukada Aceh yang sedang berlangsung saat ini memiliki dasar hukum kuat. Di sisi lain, proses yang sudah berjalan tersebut dianggap cacat karena tak sesuai undang-undang, khususnya beberapa pasal di UUPA.

“Hal ini penting untuk menurunkan tensi politik yang cenderung memanas, di samping mencari win-win solusi agar hajatan rakyat lima tahunan ini berjalan sesuai kepentingan rakyat Aceh,” kata Taf Haikal.

Sayangnya opsi jeda Pemilukada ini ditolak M. Jafar yang hadir dengan kapasitas Staf Ahli Bidang Politik dan Hukum Gubernur Aceh. Sedangkan dua pembicara kunci lainnya, masing-masing, Mukhlis Mukthar dan Anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh Abdullah Saleh, menyatakan sepaham dengan opsi jeda.

Penolakan Jafar tadi didasari ketentuan yuridis bahwa pemilu hanya dapat ditunda dengan alasan, karena faktor gangguan stabilitas keamanan, bencana alam dan tak adanya anggaran. “Tak bisa menggunakan alasan-alasan politik,” kata Jafar.

Apalagi, menurut Jafar, bila melakukan jeda, artinya sama saja dengan menghentikan tahapan-tahapan yang sudah dijalankan KIP Aceh. “Pertanyaan lainnya, lembaga mana yang berwenang untuk melakukan jeda pemilukada ini? Tak ada,” katanya. Karena itu, pelaksanaan Pemilukada harus diteruskan.

Sedangkan Mukhlis Mukthar mengatakan, konflik regulasi di Aceh sebenarnya dapat dijadikan alasan untuk penundaan Pemilukada. Menurut dia hal ini masuk dalam koridor yuridis, dan dikategorikan dalam bentuk gangguan Lain, selain keamanan, bencana dan ketiadaan dana.

Kecuali itu, ketiga pembicara sepakat sebuah peraturan perundang-undangan (Perpu) yang diterbitkan presiden dapat menjawab silang pendapat Pemilukada Aceh ini. Usulan Perpu disampaikan Mukhlis Mukthar. Menurut dia, Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI) menawarkan Pemerintahan Aceh dan DPRA untuk mengajukan usulan Perpu pada presiden untuk melaksanakan Pemilukada Aceh berdasarkan sistem nasional. “Kamis pekan ini, GNCI Pusat akan sampaikan dalam pertemuan dengan KPU,” katanya.(dad)


http://harian-aceh.com/2011/07/06/mengemuka-opsi-jeda-pemilukada-2011?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter

Akhiri Polemik, Sipil Aceh Tawarkan Jeda Pilkada

Oleh: Radzie - 06/07/2011 - 01:49 WIB
BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Aktivis sipil menyerukan agar jajaran eksekutif, legislatif, dan Komisi Independen Pemilihan Aceh untuk bertemu untuk menemukan solusi mengakhiri kekisruhan regulasi pilkada Aceh. Mereka juga meminta agar diberlakukan jeda pelaksanaan pilkada.

Hal itu mencuat dalam diskusi publik yang dihadiri Abdullah Saleh (anggota Fraksi Partai Aceh), Mukhlis Mukhtar (mantan anggota DPRA), Muhammad Jafar (staf ahli gubernur Aceh), serta belasan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, di Forum LSM Aceh, Selasa (5/7). LSM yang hadir di antaranya Koalisi NGO HAM, KontraS, Walhi, dan Katahati Institute.

T.A.F Haikal, juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan, mengusulkan agar diberlakukan jeda pilkada agar ketegangan politik bisa diturunkan. “Jeda pilkada untuk menurunkan tensi. Sekarang semua pada tinggi tensinya, pada naik terus,” kata Haikal.

Pada masa jeda pilkada, kata Haikal, KIP bersama eksekutif dan legislatif untuk bertemu dan membahas regulasi pilkada yang bisa diterima semua kalangan. “Pertemuan tetap konsern pada klik perdamaian, bukan pada klik kekuasaan,” ujar Haikal.

Kekisruhan pilkada 2011 terjadi karena tarik-menarik regulasi yang dipakai. Eksekutif dan KIP ngotot menggunakan Qanun No 7/2006 yang membolehkan calon perseorangan ikut pilkada. Sedangkan DPRA pun ngotot, agar pilkada dilaksanakan dengan payung hukum Qanun Pilkada yang baru saja mereka sahkan. Namun, di qanun ini tak ada klausul calon independen. Nah, di sinilah mereka berselisih paham.

Mantan anggota DPRA, Mukhlis Mukhtar, meminta agar pelaksanaan pilkada ditunda, karena ketidakjelasan payung hukum. Menurut Mukhlis, Qanun No 7/2006 tidak bisa dijadikan rujukan hukum KIP melaksanakan pilkada 2011. Sebab, seperti halnya di pasal 256 UU Pemerintahan Aceh, Qanun Pilkada 2006 hanya membolehkan calon perseorangan sekali saja.

“Jadi, selesaikan dulu aturan-aturan yang normatif (baru kemudian pilkada digelar),” kata Mukhlis.

Politisi senior ini menyebutkan bahwa kekisruhan pilkada telah menyebabkan terjadinya konflik regulasi. Karenanya, ia meminta agar para pihak yang tengah berseteru mencari solusi untuk mengakhiri konflik regulasi.

“Semua yang sedang berseteru harus menurunkan sedikit tensinya, agar rakyat tidak gamang,” ujarnya.

Senada dengan Mukhlis, Abdullah Saleh juga meminta agar tahapan pilkada yang telah diumumkan oleh KIP ditunda. Apalagi, selama ini KIP tak pernah berkonsultasi dengan DPRA untuk membahas pelaksanaan pilkada.

“Padahal, sejumlah tahapan kan harus melibatkan DPRA, seperti soal penetapan hasil, penyampaian visi dan misi kandidat, dan pembentukan panitia pengawasan pemilihan,” kata mantan politis Partai Persatuan Pembangunan ini.

Sementara Muhammad Jafar, staf ahli gubernur, menilai tahapan pilkada yang telah dijalankan KIP bisa terus dilanjutkan, sembari menyempurnakan regulasi. “Perubahan regulasi dan kegiatan KIP bisa dilakukan bersamaan. Saling bersinergi,” kata Jafar.

Menurut Jafar, sesuai dengan UU No 32/2004 pilkada memungkinkan untuk ditunda karena alasan gangguan keamanan, perang, dan bencana alam. Namun, “kalau ada kesepakatan politik untuk ditunda, misalnya dengan Peraturan Pengganti Undang-undang, bisa saja ditunda,” ujar Jafar yang mantan ketua KIP Aceh. []


http://www.acehkita.com/berita/akhiri-polemik-sipil-aceh-tawarkan-jeda-pilkada/

Membabat di Atas, Menguras di Bawah

Firman Hidayat I The Globe Journal | Minggu, 03 Juli 2011
Saat orang-orang lebih sering berbicara tentang pemanasan global di ruangan yang dingin dengan AC. Jojo yang berusia delapan tahun tertarik menonton film dokumenter Animal Planet yang secara khusus menggambarkan satwa-satwa dan lingkungan hidup sekitar hutan dan keanekaragaman hayati lainnya.

Jojo bersemangat menonton film gajah yang memporak-porandakan rumah masyarakat. Sesekali dia menyaksikan harimau memangsa manusia. Terkadang bencana banjir bandang dan longsor yang juga tak luput dari tontonan bocah itu. Ketika mendengar suara raungan sepeda motor diluar, ia berlari dan dilihatnya seseorang yang sangat ia kenal.

“Abi” teriaknya sambil berlari keluar rumah tanpa memakai sandal. dia naik ke atas kenderaan dan memeluk abi nya. “Ayo jalan-jalan, Jojo pengen jajan,” ajak bocah. “Iya, nanti kita jalan-jalan, abi kan istirahat dulu baru pulang,” jawab sang ayah. Kemudian begitu masuk dalam rumah, abi bertemu dengan umi dan Tata adeknya Jojo.

Ketika bercengkrama, sang ayah melihat tayangan yang ditonton oleh Jojo dan adeknya. Bahkan uminya ikut menyaksikan tayangan film dokumenter Animal Planet itu. Mereka menonton cuplikan sekelompok warga menambang emas di kawasan hutan.

Lalu sang ayah bercerita kepada Jojo sambil menikmati tontonan tersebut.

“Lihat itu nak, kalau hutan rusak, kayu-kayu ditebang, lahan dibuka lebar-labar, hutan dikorek, maka hutannya akan binasa dan orang-orang disekitarnya menjadi miskin,” jelas sang ayah.

Si anak tak mau kalah,

”Kayu diambil untuk dijual, uangnya bisa buat rumah, beli kenderaan. Kalau banyak kayu ditebang, banyak uang, “ cetus Jojo.

Sang ayah bingung menjawab. Jojo sedikit heran,

“Kita tidak boleh merusak hutan, menebang kayu, supaya bencana tidak mengganggu kita. Kalau kita banyak tebang pohon nanti kalau hujan cepat banjir,” jawab ayah menyakinkan Jojo.

“Kita harus bisa sejahtera tanpa merusak lingkungan,” pintanya.

Sesi tanya jawab semakin seru.

“Kenapa kalau tebang pohon bisa banjir?” tanya Jojo ingin tahu.

Abi mengajak mata si anak ke arah TV, “Tuh lihat, air di gunung turun dengan deras menghancurkan rumah-rumah penduduk, tuh lihat hutan sudah botak, banyak pohon yang ditebang,” kata sang ayah.

Anak mengangguk-angguk, iya, iya.

“Jahat sekali orang yang tebang kayu itu ya?” cetus Jojo.

Ayah mengalirkan emosionalnya kepada buah hatinya.

“Coba bayangkan kalau rumah kita rusak karena bencana itu, kita mau tinggal di mana?” Kini giliran Jojo yang bersedih.

“Kalau Jojo besar, nanti harus jaga hutan supaya kita aman.” Mereka pun ke peranduan setelah mematikan televisi.

Mari kita beranjak ke tempat lain. Kekayaan negara Indonesia khususnya Aceh sangat luar biasa dari sumber daya alamnya. Kalau kita kilas-balik ke beberapa dekade lalu, atau masa marak HPH di bumi Aceh, alangkah banyak pohon yang ditebang dengan dalil menyumbang devisa bagi negara.

Berapa juta kubik kayu yang diambil para pengusaha dan pejabat orde baru waktu itu. Pasca gempa dan tsunami yang menghantam Aceh pada Minggu, 26 Desember 2004, kebutuhan kayu justru dipasok dari luar negeri seperti Australia.

Kayu-kayu pinus yang sudah dipoles cantik itu didatangkan dari Australia untuk menutup kekurangan kebutuhan kayu pada masa rehab rekon Aceh pasca tsunami. Jujur saja secara kasat mata kalau kita melihat kondisi hutan yang ada di Aceh banyak dijumpai lahan yang sudah tandus yang ditumbuhi padang ilalang saja. Atau kalau ada tumbuhan itu hanya semak-semak kecil yang hampir semuanya sudah gundul. Pengusaha HPH mesti bertanggung jawab memperbaiki hutan yang telah ditebang itu.

Berbagai lembaga swadaya masyarakat terus bersuara. Sebut saja TAF Haikal putra Bakongan Aceh Selatan yang juga Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) terus bersuara tentang keselamatan lingkungan hidup di Aceh. Pada Jum’at, 27 Mei 2011, sejumlah pegiat lingkungan Aceh bertemu dengan pejabat-pejabat penting di Kantor Pertambangan dan Energi Aceh. Haikal mengatakan masih untung HPH di Aceh pada masa orde baru lalu, karena pengusaha itu hanya merusak di atas permukaan bumi saja. “Tapi bagaimana hancurnya Aceh karena izin-izin tambang yang sengaja dikeluarkan pemerintah untuk mengorek isi yang ada didalam kandungan bumi di Aceh ini?” gugat Haikal serius.

“Saya akan sampaikan kepada rakyat untuk berunjuk rasa menghentikan tambang ini,” kata Haikal menyakinkan sang Kepala Dinas Distamben Aceh itu. Tak heran, lima hari berselang dari pertemuan itu, ratusan rakyat bergabung dan berunjuk rasa mendesak Pemerintah Aceh untuk mencabut izin-izin tambang tersebut.

Pekan itu, pemberitaan media masa di Aceh tentang pertambangan semakin sering diberitakan. Tolak-tarik pernyataan dari pemerintah dan LSM tentang tambang sangat menarik untuk diikuti. Bahkan Wali Nanggroe Malek Mahmud menyerukan kepada rakyat Aceh untuk bersatu memindahkan pemimpin Aceh yang tidak bertanggung jawab karena sudah menghancurkan bumi Aceh akibat pertambangan.

Seperti dikutip dari situs The Globe Journal, Kamis (2/6/2011). Harta kekayaan bumi Aceh termasuk hutan harus kita jaga dan dilestarikan. Pelihara yang bagus supaya dapat dinikmati oleh anak cucu untuk masa mendatang.

“Seperti yang saya lihat di Lhoong, Aceh Besar tempat diambilnya tambang biji besi itu,” tukas Malek. Berapa banyak kerugian yang harus di hitung, padahal orang Aceh belum menyentuh sedikitpun harta tersebut. Sehingga dengan cepat bisa jadi milik orang lain secara murah atas izin orang Aceh kita sendiri.

Fenomena itulah yang kini menimpa Aceh. Dulu HPH sekarang pertambangan. Ketika kayu sulit diperoleh, kini giliran perut bumi digali untuk dirampok harta karun. Kemudian setelah itu mau apa lagi? Toh jika ingin sejahtera tanpa merusak maka harus dimulai dari kawasan yang sudah rusak dulu. Dulu mereka membabat yang di atas yakni pohon-pohon, sekarang menguras yang di bawah menyedot berton-ton kekayaan mineral Aceh.

Untuk itu, berdasarkan pengalaman, saya menawarkan alternatif solusi karena maraknya pertambangan. Ujung dari tawaran ini, warga memiliki lahan untuk mencukupi kebutuhannya tanpa merusak perut bumi melalui pertambangan yang tidak peduli pada ekosistem.

Pertama, membangun lahan kritis atau lahan yang tidak produktif. Jika lahan kritis ini dibiarkan dan tidak ada perlakuan perbaikan, maka keadaan itu membahayakan warga. Lahan kritis harus segera diperbaiki melalui rehabilitasi dan konservasi lahan-lahan kritis di provinsi paling ujung pulau Sumatera ini. Upaya penanggulangan lahan kritis ini dapat dilaksanakan untuk pertanian, perkebunan, peternakan dan usaha lain. Kemudian pembuatan teras-teras pada lereng bukit untuk mencegah erosi terhadap tanah.

Usaha perluasan penghijauan tanah milik dan reboisasi lahan hutan perlu dilakukan. Lahan bekas pertambangan juga perlu dibuat reklamasi. Kemudian perlu adanya kegiatan sungai bersih atau kebersihan pantai pesisir, pengelolaan wilayah terpadu diwilayah lautan dan daerah aliran sungai (DAS).

Tak ketinggalan juga perlu dilakukan pengembangan keanekaragaman hayati. Proses daur ulang sampah-sampah plastik juga harus dilakukan supaya menghilangkan unsur-unsur yang dapat menganggu kesuburan lahan pertanian. Melakukan pemupukan secara tepat dan terus menerus.

Perlu tindakan tegas bagi siapa saja yang merusak lahan yang mengarah pada terjadinya lahan kritis. Karena meskipun dikelola, produktifitas lahan kritis sangat rendah. Bahkan dapat terjadi jumlah produksi yang diterima jauh lebih sedikit daripada biaya pengelolaanya. Lahan ini bersifat tandus, gundul, tidak dapat digunakan untuk usaha pertanian, karena tingkat kesuburannya sangat rendah. Sehingga perlu dilakukan upaya penyelamatan lahan tersebut secara terus menerus dan berkelanjutan.

Kedua membangun lahan potensial, atau lahan yang belum diolah dan jika diolah akan mempunyai nilai ekonomis yang besar karena memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan mempunyai daya dukung terhadap kebutuhan manusia. Lahan potensial merupakan modal dasar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka harus ditangani dan dikelola secara baik jangan sampai malah merusak lingkungan.

Lahan potensial tersebar di tiga wilayah utama daratan, yaitu di daerah pantai atau kawasan pesisir, dataran rendah dan dataran tinggi. Lahan-lahan di kawasan pesisir didominasi oleh tanah alluvial (tanah hasil pengendapan). Tanah ini cukup subur karena banyak mengandung mineral yang diangkut bersama lumpur oleh sungai kemudian di endapkan di daerah muara sungai. Memisahkan penggunaan lahan untuk pemukiman, industri, pertanian, perkantoran dan usaha-usaha lainnya.

Kemudian membuat aturan yang mengikat terhadap pengalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Melakukan pengkajiaan terhadap kebijakan tata ruang, perijinan dalam kaitannya dengan konversi penggunaan lahan. Perlu usaha pemukiman penduduk dan pengendalian peladang berpindah dengan mengelola secara baik daerah aliran sungai, daerah pesisir dan daerah disekitar lautan.

Kekayaan alam di atas bumi atau dalam perut Aceh harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat sekitarnya dan seluruhnya. Sebab kita bisa sejahtara tanpa harus merusak lingkungan hidup. Mengutip negarawan India, Mahatma Gandhi, bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia, tetapi bumi tidak cukup untuk mencukupi keserakahan manusia. Telah terjadi ketidakseimbangan sistem alam akibat ulah eksploitasi manusia sehingga pada akhirnya menimbulkan bencana.

Penulis adalah wartawan The Globe Journal, dan pernah bekerja di NGO Flora Fauna International (FFI) Aceh Programme. Pernah juga bekerja sebagai Peneliti Eye On Aceh tentang lingkungan. Tulisan ini Untuk Diperlombakan dalam Sayembara Menulis Walhi ; Sejahtera Tanpa Merusak.


http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/membabat-di-atas-menguras-di-bawah.php

TAF Haikal Akan Lawan Gubernur Aceh Soal Tambang

Firman Hidayat | The Globe Journal | Selasa, 28 Juni 2011
Banda Aceh — Pola komunikasi dengan pemerintah harus dikemas jika ingin melakukan advokasi tambang. Menurut TAF Haikal sebaiknya melawan orang-orang yang membuat kebijakan itu, seperti ditingkat pimpinan daerahnya. Tidak ada negosiasi dengan tambang. “Saya tahu kalah lawan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, tapi saya akan lawan. Itu konkrit,” tegas TAF Haikal.

Jubir Kaukus Pantai Barat-Selatan tersebut mengatakan komitmennya dihadapan sejumlah aktifis yang hadir dalam acara Diskusi "Benarkah Usaha Tambang Di Aceh untuk Sejahterakan Rakyat” yang digagas Koalisi NGO HAM Aceh di Setui Atjeh Kopi Terminal Setui, Selasa (28/6).

"Kita selalu bicara tutup tambang, komunikasi itu tidak menarik lagi. Oleh karena itu kita tingkatkan lagi komunikasi untuk stop tambang bila pemerintah tidak mampu kontrol. Tutup tambang itu karena selama ini pemerintah tidak melakukan kontrol,” kata TAF Haikal.

TAF Haikal melihat dampak sosialnya semakin menimbulkan banyak masalah. Lihat saja ketika seorang keuchik tidak dipercaya lagi sama rakyatnya. Masyarakat antar gampong sudah saling intip-intip kenapa lahan disana diambil sedangkan lahan disini tidak diambil. Kemudian orang tua gampong tidak dihargai lagi karena ada “preman” gampong yang dibayar. Konon lagi anggota DPRK tidak bisa masuk ke lokasi tambang.

“Inikan suatu hal yang kurang waras, negeri apa ini? Apakah negeri bar-bar,” tukas Haikal lagi.

Putra Bakongan, Aceh Selatan ini mengajak semua aktivis lingkungan agar merubah pola komunikasi menjadi lebih elegan. “Saya pernah tantang Pemerintah Aceh untuk membuat suatu pilot project terhadap dua perusahaan tambang yang ramah terhadap lingkungan di Aceh, yaitu PT. Lhoong Setia Mining dan PT. PSU di Aceh Selatan,” kata Haikal. Ini diplomasi yang dilakukan daripada kita minta Pemerintah Aceh tutup perusahaan tambang itu.

Namun permintaan agar dua perusahaan tambang itu diupayakan ramah lingkungan itupun tidak ada. Pemerintah Aceh tidak menuju kesana, konon lagi disinyalir kedua perusahaan tersebut telah menimbulkan korupsi dan suap. Karena sektor pertambangan lebih mudah terjadi suap menyuap apalagi mau mendekati Pemilukada di Aceh.

Para Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) dalam melahirkan sebuah kebijakan juga tidak memaakai perspektif daya dukung lingkungan. Haikal yang juga salah seorang tokoh masyarakat Aceh Selatan yang pernah melakukan advokasi terhadap HPH mengatakan kebijakan daya dukung lingkungan, SDM, SDA, keuangan dan kebencanaan itu yang harus dilihat. Menurutnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu masih kebijakan yang paradoks.


http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/taf-haikal-akan-lawan-gubernur-aceh-soal-tambang.php

Dikecam, Kartu JKA Bergambar Irwandi Yusuf

Banda Aceh, (Analisa)
Kebijakan memasang gambar Gubernur Irwandi Yusuf pada kartu Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang saat ini sudah dipegang para penerima manfaat fasilitas layanan berobat gratis tersebut, menuai kecaman dari sejumlah kalangan masyarakat.

Pemasangan foto orang nomor satu di Aceh tersebut dinilai sebagai bentuk kampanye terselubung, karena Irwandi Yusuf sebagai kandidat incumbent telah menyatakan akan maju lagi dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) November mendatang.

Hingga saat ini, diperkirakan sudah mencapai puluhan ribu kartu JKA yang dicetak selama setahun sejak Juni 2010 hingga Juni 2011 ini. JKA sendiri menanggung berobat gratis sebanyak 1,2 juta jiwa masyarakat Aceh baik yang kaya maupun miskin.

Pemerhati masalah sosial kemasyarakatan di Aceh, TAF Haikal menyatakan, pemasangan gambar Irwandi Yusuf terkesan mengesahkan sang gubernur memanfaatkan berbagai moment untuk mencari popularitas menjelang Pilkada Aceh.

"Saya mengecam pemasangan gambar Irwandi Yusuf di kartu JKA tersebut. Saya rasa, Presiden sekalipun tidak pernah memasang gambarnya di kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dilaksanakan pemerintah," ujar Haikal kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (30/6).

Menurut Jurubicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh ini, siapapun yang menjadi gubernur memang harus berpikir dan bekerja untuk rakyat, namun bila pada kartu JKA pun masuk foto gubernur, itu tentunya sesuatu hal yang sangat berlebihan.

"Janganlah niat yang sudah baik pada program JKA untuk memberikan fasilitas berobat gratis bagi penduduk Aceh, menjadi perdebatan politis di kalangan publik, sehingga program JKA menjadi program yang diperdebatkan tapi tidak pada subtansinya," sebutnya.

Timbulkan Multitafsir

Aktivis anti korupsi Aceh, Teuku Neta Firdaus menyatakan, aksi pemasangan foto Irwandi Yusuf seperti itu menimbulkan multitafsir, apakah Irwandi ingin memperlihatkan bahwa dia sukses dalam hal memberi kesehatan gratis.

"Pertanyaannya, apa benar pelayanan kesehatan sudah bagus?. Ada gambar Irwandi di Kartu JKA juga memberi kesan seperti kurang modal dalam berkampanye. Sebaiknya melalui iklan di TV atau koran yang lebih menarik dan konkrit," ujarnya.

Koordinator Solidaritas untuk Anti Korupsi (SuAK) Aceh ini menilai, iklan numpang di kartu JKA seakan ada semacam pembodohan politik, apapun itu wujud dan bentuknya. Apakah gambar tersebut melanggar Pasal 84 ayat 1 h UU No.10 tahun 2008, yang berisi tentang larangan penggunaan fasilitas negara dalam kampanye, penjabarannya tentu yang berhak memberi jawaban adalah KPU/KIP.

Ditambahkan, di tengah kondisi masyarakat yang semakin apatis, tantangan riil bagi para kandidat dan tim sukses adalah menemukan strategi kampanye kreatif, yang bisa membuat masyarakat terpikat. Bagaimana memposisikan figur calon ke dalam jarak personal yang sangat dekat, melekat di benak masyarakat, bahkan tak terlupakan hingga hari H pemilih berada di dalam bilik suara.

"Populer saja tidak cukup, apalagi cuma dikenal. Tapi bayangkan sebuah kedekatan yang simpatik seperti ketika kandidat mengunjungi seorang warga di rumahnya. Lalu ia memperkenalkan diri, berbicara dengan akrab dan penuh perhatian serta memberi bingkisan. Dengan sikap santun meminta doa restu serta dukungan," terangnya.

Neta Firdaus menyebutkan, masyarakat kebanyakan memang tak terlalu memperhatikan janji kampanye, visi dan misi, paltform atau program kerja. Masyarakat hanya ingin percaya bahwa calonnya dekat dengan masyarakat dan memperhatikan masyarakat dengan cara sederhana.

Sebelumnya, Kepala Seksi Operasional Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) di PT Askes Cabang Banda Aceh, dr Mohammad Fakhrizal mengatakan, kartu JKA sekarang ini harus memakai foto Gubernur Irwandi Yusuf. "Fotonya harus besar-besar, sedangkan lambang Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh dengan PT Askes berada di sudut gambar kecil kartu tersebut," katanya. Dijelaskan, syarat untuk mendapatkan kartu JKA paling di utama harus ada KTP dan KK Aceh serta rekomendasi dari kepala desa setempat. Semua berkas-berkas KTP dan KK itu masih tersimpan utuh di PT.Akses Banda Aceh. "Aturan itu memang ada dalam Qanun JKA," ujarnya. (mhd)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=100148:dikecam-kartu-jka-bergambar-irwandi-yusuf&catid=1051:02-juli-2011&Itemid=218