Jumat, 30 Januari 2009

Tripartit bahas korban tsunami

Thursday, 29 January 2009 11:18 WIB
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Menyikapi nasib korban tsunami asal Aceh Barat yang tak jelas penanganannya, Kaukus Barat Selatan mendesak pertemuan tripartit untuk membahas hal itu. Ketiga lembaga tersebut Pemerintah Aceh, DPRA dan BRR Aceh-Nias.

Jurubicara Kaukus Barat Selatan, TAF Haikal kepada Waspada, tadi pagi mengharapkan ketiga elemen bisa duduk berembuk mencari solusi. Sampai saat ini 150 korban tsunami tergabung dalam forum Gerakan Pejuang Rumah Tsunami (GPRS), masih bertahan di Banda Aceh, sejak pekan silam.

Selama di Banda Aceh mereka sudah mengadu ke Pemerintah Aceh dan DPR serta BRR Aceh-Nias. "Ini jangan dibiarkan, jika tanpa solusi para korban tsunami akan bertahan di Banda Aceh," sebut dia.

"Cukup empat tahun korban tsunami bersabar menanti haknya, saat ini sudah sepantasnya mereka mendapat rumah yang layak seperti dijanjikan," tambahnya.

Karena itu Haikal mendesak Pemerintah Aceh memprakarsai lahirnya kesepakatan-kesepakatan dengan korban tsunami di Aceh. "Sebab setelah berakhirnya masa kerja BRR, maka tugas kelanjutan rehabilitasi dan rekonstruksi dilanjutkan Pemerintah Aceh," urainya.

Lalu, pihaknya juga mendesak BRR terbuka kepada korban tsunami serta menjelaskan apa yang menyebabkan mereka belum mendapatkan haknya. "BRR harus bertanggungjawab terhadap kesalahannya atas tidak terpenuhinya hak para korban," ungkap Haikal lagi.

"Padahal kita tahu ada triliunan dana mengalir ke Aceh dan dikelola badan yang diberi nama BRR, tapi kenapa masih ada korban tsunami belum menerima haknya."
(sit/b05)


http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=64434&Itemid=26

Senin, 26 Januari 2009

Pemerintah Diminta Segera Cari Solusi * Terkait Hak Korban Tsunami

• 27/01/2009 08:55 WIB

[ rubrik: Kutaraja | topik: Aktifitas Masyarakat ]
BANDA ACEH - Pemerintah Aceh diharapkan segera mencari solusi terhadap persoalan seputar proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami, terutama terkait dengan banyaknya korban tsunami yang belum mendapatkan rumah bantuan.

“Kaukus Pantai Barat Selatan (KBPS) mendesak Pemerintah Aceh, BRR dan DPRA untuk segera melakukan pertemuan tripartit guna membahas persoalan ini,” tulis Juru Bicara KBPS, TAF Haikal dalam siaran persnya kepada Serambi, Senin (26/1).

Hal itu disampaikan TAF Haikal mengomentari aksi demontrasi para korban tsunami asal Aceh Barat yang menuntut bantuan perumahan ke berbagai lembaga terkait di Banda Aceh beberapa hari lalu. “Hingga empat tahun bencana itu berlalu, hak mereka belum jelas, sementara masa tugas BRR di Aceh akan berakhir pada April 2009,” kata dia.

Persoalan hak korban tsunami, ujar Haikal, khususnya bantuan perumahan menjadi permasalahan mendasar yang dirasakan oleh para korban. Padahal, triliunan dana mengalir ke Aceh dan dikelola oleh BRR. “Demontrasi yang dilakukan korban tsunami di Aceh adalah sebagian kecil dari permasalah hak korban tsunami yang belum terpenuhi. Mungkin ada banyak lagi korban yang belum menerima bantuan rumah tsunami. Belum lagi persoalan kualitas rumah yang tidak layak,” kata dia.

Haikal berharap BRR berjiwa besar menampung aspirasi dari korban tsunami di Aceh. BRR juga harus mengingat bahwa kehadiran BRR di Aceh karena adanya tsunami, sehinggga sudah menjadi tanggung jawab BRR dalam pemenuhan hak korban tsunami.

Atas dasar itu, KPBS meminta Pemerintah Aceh untuk menginisiasi lahirnya kesepakatan-kesepakatan dengan korban tsunami di Aceh. “Sebagaimana kita ketahui bahwa setelah berakhirnya masa kerja BRR, maka tugas kelanjutan rehabilitasi dan rekontruksi akan dilanjutkan oleh Pemerintah Aceh,” ujarnya.

Ia juga mendesak BRR untuk mengambil tindakan yang strategis dalam memenuhi hak korban tsunami. Juga bertanggung jawab terhadap kesalahan yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak korban tsunami di Aceh. “Sudah cukup empat tahun korbann tsunami bersabar menanti haknya. Kami berharap dalam waktu yang tidak begitu lama, solusi ini akan segera dihasilkan dan benar-benar diwujudkan, bukan hanya janji-janji,” tulis TAF Haikal.(*/nal)

http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&rubrik=3&topik=44&beritaid=62886

Bahas Korban Tsunami Tiga Unsur Di Aceh Harus Bertemu

Junaidi | The Globe Journal

Banda Aceh – Pemerintah Aceh, DPRA dan BRR Aceh-Nias diharapkan duduk bersama mencarikan solusi terhadap korban tsunami Aceh yang hingga saat ini belum mendapatkan rumah

“Pemerintah Aceh, DPRA dan BRR Aceh-Nias harus melakukan pertemuan tripartite dalam mencari solusi atas tuntutan korban tsunami yang saat ini masih bertahan di Banda Aceh,” ujar Jurubicara Kaukus Barat Selatan, Taf Haikal kepada The Globe Journal, Senin (26/1) di Banda Aceh.

Menurut Taf Haikal, sudah cukup empat tahun korban tsunami bersabar menanti haknya, saat ini sudah sepantasnya mereka mendapatkan perumahan yang layak seperti yang pernah dijanjikan sebelumnya. “Kami berharap dalam waktu yang tidak begitu lama, solusi ini akan segera dihasilkan dan benar-benar diwujudkan, bukan hanya janji-janji seperti dulu,” sebut Taf Haikal.

Aksi demontrasi yang terjadi di kantor BRR oleh para korban tsunami yang berasal dari Aceh Barat menuntut bantuan perumahan yang hingga saat ini, hak mereka belum jelas, sementara masa tugas BRR di Aceh akan berakhir pada april 2009.

“Persoalan hak korban tsunami, khususnya bantuan perumahan menjadi permasalahan mendasar yang dirasakan oleh para korban, padahal, triliunan dana mengalir ke Aceh dan dikelola oleh badan yang diberi nama BRR,” jelasnya.

Taf Haikal menilai, demontrasi yang dilakukan korban tsunami Aceh adalah sebagian kecil dari permasalah hak korban tsunami yang belum terpenuhi, belum lagi persoalan kualitas rumah yang tidak layak. Persoalan ini harus segera dicarikan solusi.

Taf Haikal selaku jurubicara Kaukus Barat Selatan meminta Pemerintah Aceh untuk menginisiasi lahirnya kesepakatan-kesepakatan dengan korban tsunami di Aceh. Sebagaimana diketahui bahwa setelah berakhirnya masa kerja BRR, maka tugas kelanjutan rehabilitasi dan rekontruksi akan dilanjutkan oleh pemerintah Aceh.

“Kaukus Barat Selatan mendesak BRR untuk terbuka kepada korban tsunami. Apa yang menyebabkan mereka belum mendapatkan haknya. BRR harus bertanggungjawab terhadap kesalahan yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak korban tsunami di Aceh,” sebutnya.(002)

http://tgj.co.id/detilberita.php?id=1524

Jumat, 23 Januari 2009

DIREKTUR ACEH JUDICIAL MONITORING INSTITUTE DISIDANG

Senin, 5/1/09 18:30 WIB

Banda Aceh,(Modus.or.id). Hendra Budian, Direktur AJMI (Aceh Judicial Monitoring Institute) hari ini menjalani persidangan sebagai tersangka kasus pemecahan kaca Pengadilan Tinggi Banda Aceh, dimana dalam persidangan ini dihadiri sejumlah aktivis Aceh antara lain Taf Haikal, Juru Bicara Kaukus Barat Selatan, Asiah Uzia, Focal Point Kontras Aceh, Aguswandi, Ketua Umum Partai Rakyat Aceh, Rahmad Jailani, Ketua Bapilu Partai Rakyat Aceh serta sekitar 100 pendukung Hendra yang terdiri dari masyarakat korban konflik dari Aceh Tengah dan Bener Meriah

Sidang itu sendiri dipimpin Jamaluddin SH sebagai Hakim Ketua, Arfan Yani, SH dan Rahmawati, SH sebagai hakim anggota, dimana persidangan yang semula dijadwalkan berlangsung pukul 09.00 Wib akhirnya baru dilaksanakan pukul 12.00 Wib hanya mendengarkan pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum serta sidang akan dilanjutkan tanggal 12 Januari 2009.

Sementara itu, di Simpang Lima Banda Aceh berlangsung aksi unjuk rasa sebanyak 50 orang masyarakat korban konflik dari Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Tengah yang datang ke Banda Aceh untuk memberikan dukungan kepada Hendra Budian yang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Banda Aceh dengan koordinator lapangan Fauzan.

Dalam orasinya Agusta, salah seorang aktivis mahasiswa menuntut Hendra Budian jangan dijadikan tersangka dan tidak berhak berada di penjara karena Hendra Budian hanya seorang aktivis yang memperjuangkan rakyat.

"Yang perlu ditangkap adalah koruptor-koruptor yang ada di Aceh Tengah dan Bener Meriah karena merekalah yang membuat masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah menderita," ujar Agusta.

Di tempat terpisah, Kurniawan Adiraja seorang mahasiswa berpendapat bahwa hukum di Indonesia harus ditegakkan tanpa pandang bulu, bahkan terhadap aktivis ataupun pekerja HAM itu sendiri, apalagi jika dalam melaksanakan aksinya mereka tidak menghargai hak-hak orang lain termasuk kewibawaan instansi Pemerintah.
"Tidak ada keistimewaan bagi pekerja HAM di mata hukum karena ada prinsip equality before the law dalam hukum artinya semua masyarakat sama di depan hukum. Hendra Budian harus menerima keputusan hukum nantinya dan sebaiknya pendukungnya atau koleganya tidak perlu melakukan aksi unjuk rasa dalam rangka mempengaruhi keputusan hakim sebab bisa saja itu malah memberatkan Hendra Budian nantinya," ujarnya. (Opie/Heri)

http://www.modus.or.id/hukum/disid.html

Jalan Banda Aceh-Calang Harus Dituntaskan

23/01/2009 16:00 WIB

[ rubrik: Serambi Nusa | topik: Transportasi ]
BANDA ACEH - Masyarakat di pantai barat selatan Aceh yang tergabung dalam Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) mengharapkan kepada Pemerintah Aceh, BRR, dan USAID, untuk menuntaskan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang. Pembangunan jalan ini dinilai sebagai salah satu indikator bagi pelaksanaan rekonstruksi Aceh pascatsunami.

“Jika jalan ini belum mampu diwujudkan, maka menurut kami ini menciderai harapan ribuan korban tsunami di Aceh, terutama masyarakat yang berada di pesisr pantai barat selatan,” tulis Jubir KPBS, TAF Haikal dalam siaran persnya kepada Serambi, Kamis (22/1).

Ia mendesak Pemerintah Aceh segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk menuntaskan proses pembebasan tanah. “Jika proses ini diharuskan menempuh jalur hukum, maka kami mendesak pemerintah untuk menempatkan dana tersebut di pengadilan. Biarkan mekanisme hukum yang menyelesaikannya,” kata dia.

Haikal juga mendesak USAID dan kontraktornya untuk segera menyelesaikan pembangunan jalan tersebut, khususnya di section IV. Dikatakan, kalau alasan keamanan yang dikeluhkan, maka USAID dan kontraktornya harus berkoordinasi dengan pemerintah, baik pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Aceh Jaya.

“Jika hal ini dirasakan juga belum cukup, maka diperlukan pengamanan yang lebih strategis. Pada prinsipnya, jangan sampai persoalan tersebut menyebabkan terhambatnya pembangunan jalan tersebut,” ujar Haikal.

Ia juga mendesak DPR Aceh untuk segera mengambil langkah nyata. Menurut dia, jika persoalan ini juga belum mampu diselesaikan, maka kekecewaan masyarakat tidak akan berhenti.(nal)


http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&rubrik=2&topik=27&beritaid=62753

Aceh Masih “Berlangganan” Banjir dan Tanah Longsor

Oleh Syahruddin Hamzah

Pasca gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004, masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) semakin akrab dengan banjir dan tanah longsor.

Setidaknya, sebanyak 19 dari 21 kabupaten/kota di provinsi ujung paling barat Indonesia ini hinga akhir 2008 masih rawan banjir dan longsor.

Hanya Kota Banda Aceh dan Sabang, Pulau Weh, yang termasuk dalam “peta” daerah bebas kedua jenis fenomena alam itu.

Kepala Bidang Bantuan dan Jaminan Sosial (Banjamsos) pada Dinas Sosial Nanggroe Aceh Derussalam (NAD) Bukhari menyebutkan, banjir bandang dan tanah longsor setiap tahun “berlangganan” dengan daerah itu antara September, Oktober, Nopember, dan Desember.

Sepanjang Nopember dan Desember 2008, tercatat 19 kabupaten/kota di provinsi ujung paling barat wilayah Indonesia itu berulang kali menerima banjir dan tanah longsor, walau tidak ada korban jiwa manusia dalam musibah tersebut.

Banjir bandang pertama, awal Nopember, melanda hampir semua kecamatan dalam wilayah Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Naga Raya yang berlangsung selama sepekan, kemudian disusul permukiman penduduk Trumon Timur dan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan.

“Trumon Timur dan Trumon menerima banjir kiriman karena meluapnya Sunagi Alas akibat tingginya curah hujan di kawasan Taman Nasional Guneung Leuser (TNGL)”, katanya.

Banjir bandang yang melanda kedua wilayah di Aceh Selatan itu selain termasuk parah juga berlangsung cukup lama, hampir 15 hari, sehingga ratusan warga bekas transmigran itu terpaksa merayakan Lebaran Idul Adha 2008 di pengungsian.

“Walaupun berada di lokasi pengungsi, mereka tetap ceria merayakan hari sakral ini karena semua kebutuhannya tersedia cukup”, kata Bukahri mengisahkan pengalamannya yang ikut berlebaran bersama para pengungsi di Trumon Timur.

Menurut Bukhari, setelah banjir di Aceh Selatan Surut, bencana serupa melanda wilayah pantai utara NAD yang mencakup Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bireuen, dan Aceh Timur.

Banjir bandang berikutnya melanda sebagian wilayah kota Sibulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil karena intensitas hujan yang terjadi memasuki pekan kedua Desember 2008 cukup tinggi, sehingga sebanyak 4.000 warga terpaksa mengungsi.

Setelah banjir di Aceh Singkil mereda, bencana serupa kembali melanda Aceh Utara, Bireuen, Kabupaten Pudie dan Pidie Jaya. Ratusan warga sempat dua hari berada di pengungsian.
Selain banjir, bencana tanah longsor setiap tahun melanda “Aceh Dalam” yang menyebabkan beberapa unit rumah penduduk roboh serta transportasi darat terputus beberapa saat sebagai dampak buruk dari tingginya curah hujan.

Bencana tanah longsor tersebut antara lain melumpuhkan transportasi darat lintas Bireuen-Takengon, Pidie-Aceh Barat karena lintas Geumpang-Tutut terputus, serta Aceh Tenggara-Gayo Lues.

Pembalakan liar

Sementara itu, Ketua DPR Aceh H. Sayed Fuad Zakaria menyebutkan, masih seringnya banjir dan tanah longsor melanda sejumlah kabupaten/kota di NAD semakin memperkuat dugaan menurunnya fungsi hutan sebagai akibat masih maraknya kegiatan pembalakan liar.

Kenyataan itu terlihat dari fakta bahwa banjir terjadi akibat tingginya curah hujan di daerah pegunungan, sementara kondisi hutan semakin gundul, sehingga beberapa jam saja hujan daerah aliran sungai sudah meluap menjadi bencana.

Sebagai contoh disebutkan, banjir yang melanda wilayah Trumon Timur dan Trumon di Aceh Selatan serta Singkil lebih sebabkan dari penurunan fungsi hutan di kawasan TNG Leuser di Aceh Tenggara sehingga malepetaka setiap tahunnya menimpa mereka.

Dampak lain dari penurunan fungsi hutan di kawasan TNG Leuser yang tertidur memanjang hingga ke pesisir barat Aceh juga dirasakan masyarakat pedalaman Lokop (Aceh Timur), Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Aceh Utara, dan Bireuen.

“Banjir lumpur dan tanah longsor yang setiap tahun melanda Aceh Tenggara dan Gayo Lues merupakan salah satu bukti penurunan fungsi hutan di kawasan TNG Leuser”, kata politisi Pantai Golkar NAD itu.

Menurut dia, diakui atau tidak, fenomena alam yang masih menjadi momok bagi masyarakat pesisir Aceh saat ini bukan saja karena penurunan permukaan tanah setelah bencana tsunami lalu, tetapi erat kaitannya dengan aksi perambahan hutan secara tidak terkendali.

“Bencana alam yang selama ini semakin akrab dengan masyarakat Aceh akibat masih maraknya illegal logging”, kata juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan NAD TAF Haikal.

Aktivis lingkungan itu juga menuding Pemerintah Aceh masa lalu sepertinya “lesu” darah dalam mengawal hutan, sehingga kawasan yang seharusnya dilindungi kini telah habis digerogoti mafia kayu, termasuk hutan penyangga di sebelah barat TNG Leuser.

Bukan itu saja, kawasan hutan lindung Jantho, Kabupaten Aceh Besar yang berada sekitar 60 km dari jantung Banda Aceh juga tidak luput dari penjarahan karena aparat penegak hukum di lapangan tidak mampu mengendalikan diri dari pengaruh rupiah.

“Sepanjang aparat penegak hukum tidak mampu mengendalikan diri dari pengaruh rupiah, banjir dan tanah longsor tetap akrab dengan masyarakat Aceh”, katanya.

Kebijakan Pemerintah Aceh merekrut ribuan anggota jagawana kontrak (polisi khusus kehutanan) untuk menyelamatkan hutan, katanya, bakal sia-sia kalau oknum penegak hukum masih “main mata” dengan mafia kayu.

Kalau itu yang terjadi, banjir dan tanah longsor masih mengancam daerah ini hinga tahun-tahun mendatang. (ant)

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4183:aceh-masih-berlangganan-banjir-dan-tanah-longsor&catid=180:18-januari-2009&Itemid=135

Jadwal Terbang SMAC Sering Tertunda

30/12/2008 09:16 WIB

[ rubrik: Serambi Bisnis | topik: Aktifitas Masyarakat ]
BLANGPIDIE - Maskapai Penerbangan Sabang Marauke Air Charter (SMAC) yang melayani rute penerbangan perintis Blangpidie-Medan-Banda Aceh, dilaporkan sering mengalami penundaan jadwal terbang tanpa sebab yang jelas.

Para calon penumpang mengaku sangat kecewa dengan pelayanan yang diberikan tersebut. Bahkan beberapa calon penumpang yang telah membeli tiket, terpaksa menggunakan jasa transportasi darat untuk menuju Medan. Selama ini, SMAC terbang dari dan ke wilayah ini sebanyak dua kali seminggu, yakni Selasa dan Sabtu.

Selama sepekan terakhir saja, sudah dua kali terjadi penundaan. Pertama pada hari Selasa (23/12) lalu yang ditunda ke hari Minggu (28/12), dan kedua jadwal terbang hari Sabtu (27/12) yang ditunda ke hari Kamis (1/1) awal 2009 nanti.

Seorang calon penumpang, Devi Satria Putra, kepada Serambi,mengaku terpaksa berangkat ke Medan menggunakan transportasi darat setelah secara tiba-tiba pihaknya mendapatkan informasi dari Agen SMAC Blangpidie bahwa penerbangan ditunda.

Hal yang lama juga diakui calon penumpang lainnya, TAF Haikal. “Pihak manajemen SMAC harus memperbaiki pelayanannya karena jadwal penerbangan yang sering ditunda ini sangat merugikan masyarakat, terutama di kawasan pantai barat selatan Aceh ini,” ujarnya.

SMAC sebagai pemenang tender, diminta komit dengan kontrak yang telah disepakati sebelumnya. Demikian juga dengan pemerintah Aceh yang berkeharusan mengontrol pelayanan yang diberikan oleh SMAC. “Penerbangan merupakan alternatif bagi masyarakat Aceh yang ingin ke luar daerah, terutama di tengah suasana jalur darat yang terganggu,” tambahnya.

Belum diperoleh informasi resmi dari manajemen SMAC di Blangpidie karena hingga kemarin tidak berhasil dihubungi. Sementara dari seorang petugas di Kantor Agen SMAC, Dedek, mengakui adanya pergeseran jadwal tersebut, namun dia tidak tahu persis apa penyebabnya.

http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&rubrik=7&topik=44&beritaid=61324

Giliran FPI Aceh tolak Pergub

Friday, 23 January 2009 07:28 WIB
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Puluhan aktivis Front Pembela Islam (FPI) Aceh berunjukrasa ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Mereka minta DPRA menolak peraturan Gubernur (Pergub) Aceh no. 25 tahun 2007, tentang pendirian gereja.

Yusuf Qardawi, Ketua FPI Aceh dalam orasinya mengatakan, pihaknya meminta DPRA mendesak Pemerintah Aceh mencabut Pergub tentang pendirian rumah ibadah itu. Karena, lanjut dia, dalam Pergub itu mempermudah syarat pendirian gereja di Aceh, misalnya disebutkan, jika sudah ada 250 orang umat kristen maka dibolehkan mendirikan gereja.

Menurutnya, jika Pergub itu diterapkan, dikhawatirkan banyak gereja berdiri di Aceh, karena banyak investor asing berencana masuk Aceh, dan nilai-nilai islami yang dianut masyarakatnya akan hilang. "Jika ini tetap dilaksanakan, maka lihat saja nanti. Jangan bilang kami anarkis," ujarnya kembali tadi malam.

Yusuf menambahkan, Aceh merupakan negeri Islam, berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Pihaknya meminta agar surat keputusan bersama (SKB) sejumlah Menteri tentang pendirian rumah ibadah tak diberlakukan di Aceh. Pemerintah juga diminta tak menyamakan Aceh dengan daerah lain yang membebaskan pendirian gereja.

Sekitar setengah jam berorasi di luar pagar, Ketua DPRA Sayed Fuad Zakaria, didampingi tiga anggota lain, Raihan Iskandar, Zainal Abidin dan Azhari menjumpai massa.

Di depan pendemo, Sayed mengatakan Pergub Aceh no. 25 dibuat justru untuk memperketat persyaratan pendirian gereja atau rumah ibadah lainnya selain umat Islam. "Ini bukan mempermudah, justru memperketat," sebutnya.

Sayed menuturkan, Pergub dibuat sebagai tindak lanjut SKB tiga Menteri, yang membenarkan gereja boleh didirikan jika ada 90 umat kristen. "Karena itu lah, Gubernur membuat Pergub di Aceh bahwa gereja baru bisa didirikan jika ada 250 umat kristen. Inikan justru untuk memperketat," jelasnya.

Selain itu, lanjut Azhari dari komisi F DPRA, untuk mendirikan gereja di Aceh juga harus ada rekomendasi dari Keuchik, Camat dan KUA setempat. "Kita tahu, Keuchik dan KUA di Aceh kan Islam semua, apakah semudah itu mereka mengeluarkan rekom nanti," kata Azhari.

Sayed Fuad menambahkan, terkait peraturan pendirian rumah ibadah, DPRA akan membuat qanun. "Karenanya kita tampung aspirasi dari saudara semua, jika qanun sudah terbentuk, maka Pergub tak berlaku lagi," kata dia.

Sementara Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, mengatakan hal sama. Pergub Aceh lebih ketat dari SKB Menteri. Dalam Pergub no. 25, kata Nazar, 150 umat kristen disyaratkan untuk dapat mendirikan gereja di Aceh merupakan penduduk lokal, ditandai dengan KTP. "Ini tak mudah, Keuchik, Camat dan KUA di Aceh semuanya Islam, mereka juga tak mudah merekom pendirian gereja," sebut Nazar.

Nazar minta masyarakat tak perlu resah berlebihan, dan kepada orang tua agar terus meningkatkan nilai-nilai keislaman pada anaknya. "Jika ada yang mengganjal tolong didiskusikan, kami bersedia. Selama ini, ada kesalahan dalam memahami Pergub itu dan ada yang mempolitisir." katanya.

Sedangkan mantan aktivis Aceh, TAF Haikal di tempat terpisah kepada Waspada, mengingatkan Gubernur Aceh supaya hati-hati mengambil kebijakan yang berkaitan dengan isu sensitif seperti itu. "Sangat bijaksana, sebelum Gubernur mengeluarkan Pergub, mengajak diskusi beberapa ulama yang tepat untuk dimintai pendapatnya," papar dia.

Bahkan, lanjut dia, akan lebih bagus bila ada ketentuan yang mewajibkan Gubernur untuk bermusyawarah dengan ulama dalam mengeluarkan kebijkan yang mengandung sensitifitas keagamaan. "Memang Pergub menjadi kewenangan Gubernur, tapi kita semua sepakat meletakkan syariat Islam bagian keseharian rakyat Aceh."

Menurut dia, dengan UUPA yang memiliki kekhususan Aceh, Pergub tersebut dapat dibuat lebih spesifik atau dibuat qanun, tentunya dengan tidak merugikan non muslim yang ada di Aceh.
(eko)


http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=63278&Itemid=26

Selasa, 20 Januari 2009

KPBS minta usut kasus bibit sawit palsu

Monday, 19 January 2009 23:42 WIB
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) meminta Pemerintah Daerah setempat mengusut beredarnya bibit tanaman kelapa sawit yang diduga palsu yang ditemukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) .

"Kita berharap Pemerintah Aceh dan aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus bibit sawit palsu, jangan sampai ada di antara petani yang tertipu," kata juru bicara KPBS, TAF Haikal, di Banda Aceh, Senin.

Ia menyatakan prihatin jumlah bibit tanaman kelapa sawit palsu yang sempat beradar di Aceh sekitar 1,5 juta bibit.

Bibit kelapa sawit yang diduga palsu itu tidak memiliki sertifikat benih dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit yang berkantor di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara.

Informasi yang diperoleh menyebutkan delapan dari 13 perusahaan yang memenangkan tender pengadaan bibit kelapa sawit tersebut diduga menyediakan bibit palsu.

Pemerintah Aceh melalui instansi terkait merencanakan sekitar 1,5 juta bibit tanaman kelapa sawit yang akan disebarkan ke para petani di delapan daerah, yakni Kabupatan Aceh Barat Daya (Abdya), Nagan Raya, Aceh Selata, Simeulue, Aceh Besar, Aceh Utara, Pidie Jaya dan Bener Meriah.

TAF Haikal, mengindikasikan adanya "mafia ekonomi" dari beredarnya bibit kelapa sawit palsu tersebut. "Kita patut menduga adanya mafia ekonomi, apalagi jumlahnya tidak sedikit," tambahnya.

Oleh karena itu, ia menilai tidak menutup kemungkinan bibit kelapa sawit palsu tersebut sudah ada yang ditanam masyarakat penerima manfaat.

"Kalau itu memang terjadi, maka petani khususnya penerima manfaat sangat dirugikan. Karenanya, saya minta Pemerintah Aceh juga perlu menurunkan tim teknis untuk melacak jangan sampai bibit palsu tersebut terlanjur ditanam masyarakat," kata dia.

Artinya, Pemerintah tidak hanya melakukan pemusnahan terhadap bibit yang belum diberikan kepada petani, tapi juga melakukan penelitian teknik terhadap bibit yang telah ditanam, kata TAF Haikal.
(eko/ann)


http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=62619&Itemid=91

Selasa, 13 Januari 2009

APBA Harus Jawab Pemerataan Pembangunan Kawasan

13 Januari 2009 | 12:24 WIB


Banda Aceh ( Berita ) : Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2009 diharapkan dapat menjawab pemerataan pembangunan kawasan, khususnya di pantai barat dan selatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

“Kita berharap triliunan rupiah dana APBA 2009 haruslah menjawab kebutuhan akan pemerataan pembangunan di seluruh Aceh,” kata juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal di Banda Aceh, Senin [12/01] .

Menurut dia, Pemerintah Aceh agar melihat aspek akselerasi pembangunan, sehingga APBA betul-betul dapat dinikmati dalam bentuk pembangunan dan menurunkan angka kemiskinan di Aceh

Dijelaskan, APBA 2009 berbeda antara legislatif (DPRA) dan eksekutif (Pemerintah Aceh). APBA versi Pemerintah Aceh senilai Rp9,5 triliun, sementara menurut DPRA mencapai Rp11,035 triliun. “Terjadinya perbedaan dalam mengajukan anggaran, maka saya berharap Pemerintah dan DPRA agar lebih terbuka dalam pembahasan rencana APBA 2009, sehingga tidak membingungkan masyarakat,” tambah dia.

Karena itu TAF Haikal menyatakan Pembahasan APBA 2009 merupakan ukuran untuk melihat sisi kerakyatan dari Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. “Masyarakat harus mengetahui sejauhmana kualitas program dan kegiatan yang mampu mereka nikmati,” tambah dia.

Dipihak lain, ia menyatakan, polemik dalam pembahasan anggaran di tingkat legislatif juga jangan sampai memperlambat pengesahan, karena bisa memperburuk keadaan di tengah upaya perbaikan ekonomi rakyat. “Saat ini banyak masyarakat Aceh berharap kucuran dana pembangunan dari dana APBA yang begitu besar sesegera mungkin,” kata dia.

Pada bagian lain, TAF Haikal menyatakan prihatin kondisi berbagai infrastruktur di pesisir barat dan selatan Aceh yang hingga kini masih tertinggal dibanding wilayah timur provinsi ujung paling barat Indonesia ini. ( ant )

http://beritasore.com/2009/01/13/apba-harus-jawab-pemerataan-pembangunan-kawasan/

APBA 2009 Harus Menjawab Kebutuhan Rakyat

Junaidi | The Globe Journal

Banda Aceh – Beberapa pihak mengharapkan rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2009 mencapai Rp 9,5 triliun beberapa pihak mengharapkan dana sebesar itu haruslah menjawab kebutuhan akan pemerataan pembangunan di Aceh.

Jurubicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal kepada The Globe Journal, Senin (12/1) menyebutkan, RAPBA 2009 mencapai Rp 9,5 triliun, angka tersebut merupakan usulan dari Eksekutif melalui Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA), akan tetapi, berbeda dengan anggota DPRA melalui pokjanya yang mengusulkan Rp 11,036 triliun. “Berapapun besarnya alokasi APBA tahun ini haruslah menjawab kebutuhan akan pemerataan pembangunan di Aceh, pembangunan yang akan dilakukan mestilah melihat aspek akselerasi pembangunan, sehingga APBA betul-betul dapat dinikmati dalam bentuk pembangunan dan menurunkan angka kemiskinan di Aceh,” ujar Haikal.

Menurut Haikal hal ini masyarakat menanti APBA yang betul-betul memberikan manfaat bagi semua pihak, bukan hanya bagi kalangan pemerintah saja. “Bisa kita lihat, bagaimana penanganan pembangunan di pantai barat-selatan Aceh yang masih sulit ditempuh dengan darat. Selain itu, bagaimana penanganan banjir disebagian wilayah di Aceh. Rakyat Aceh membutuhkan kerja yang cepat dan berkualitas,” sebutnya.

Haikal meminta pemerintah Aceh dan DPRA untuk lebih terbuka dalam membahas RAPBA 2009. Jangan ada yang ditutup-tutupi. “Toh, hari ini kita semua bekerja untuk dan demi rakyat. Pembahasan APBA 2009 merupakan ukuran untuk melihat sisi kerakyatan dari Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. Sejauhmana kualitas program dan kegiatan mampu dinikmati oleh rakyat,”

http://tgj.co.id/detilberita.php?id=1431

Senin, 05 Januari 2009

Daerah Diberikan Wewenang

Senin, 5 Januari 2009 | 07:15

Terkait Lambannya Penanganan Bencana
Banda Aceh-Sudah saatnya daerah diberikan wewenang mengelola sendiri dana Otsus. Pasalnya, setiap muncul masalah seperti banjir, justru daerah tidak bisa berbuat banyak karena menunggu bantuan anggaran dari ibukota Provinsi.

Misalnya, kasus banjir bandang di beberapa kabupaten/kota, baik di Trumon, Nagan Raya, maupun di Pidie dan Aceh Timur sehingga puluhan warga terpaksa diungsikan ke tempat lebih aman, dan sekaligus memberikan bantuan makanan dan obat-obatan.

"Daerah tidak punya dana talangan, terpaksa harus menunggu bantuan dana dan bahan makanan dari Provinsi beberapa hari baru tiba, tentunya sangat tidak efektif," ujar juru bicara KPBS, Taf Haikal kemarin.

Melihat beberapa kejadian-kejadian bencana alam di daerah serta lambannya bantuan, Karenanya, Haikal mengimbau kepada Pemerintah Aceh untuk meninjau kembali program pengelolaan dana Otsus tersebut yang dipegang oleh Provinsi.

"Berikan kewenangan kepada daerah, sebab, merekalah yang paling banyak mengetahui kondisi daerahnya. Soal pertanggungjawaban anggaran sudah jelas tidak boleh membuat laporan asal jadi apalagi korupsi," tandasnya.

Akan halnya disampaikan, mantan Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Anas M Adam, menyatakan, kasus banjir bandang juga menyebabkan beberapa sekolah dasar terendam banjir sehingga belajar di tempat lain atau bawah tenda tentunya sangat menyedihkan.

"Saya dapat memaklumi, dinas pendidikan daerah tidak punya anggaran untuk melakukan antisipasi belajar ke tempat lain agar murid tetap belajar dengan aman," ungkapnya.

Anas menambahkan, dahulu, dana Otsus itu diberikan langsung kepada dinas terkait di daerah dengan SK Gubernur dan pada akhir tahun membuat laporannya. Ini dimaksudkan untuk mengantisipasi dan sekaligus mempercepat penanganan jika ada bencana alam.

"Sekarang kan tidak, justru daerah hanya membuat program saja, sementara dana dikelola Provinsi, maka daerah pun sepertinya hanya sebagai penonton saja, sebab, kalau ada bencana alam justru tugas hanya melaporkan ke Gubernur," jelasnya.

Pemprov Bantu Rehab

Sementara itu, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf melalui Kabag Biro Hukum/Humas, A Hamid Zein kemarin menyatakan, Pemda Aceh sangat prihatin terkait musibah banjir di beberapa daerah yang menyebabkan anak sekolah belajar di Meunasah.

Terkait adanya sekolah rusak akibat digerus banjir, kata Hamid, Gubernur meminta Bupati/Walikota melakukan pendataan untuk direhab atau dibangun kembali. "Dana ada dan Pemda Aceh telah mengalokasikan 20 persen dana Otsus," ungkapnya.

Gubernur juga meminta kepada Dinas Pendidikan Aceh agar membuat program kegiatan yang langsung menyentuh hajad hidup masyarakat Aceh dan sekaligus membenahi pendidikan di daerah dan kota.

"‘Pak Gub inginkan tahun 2012 – 2015 masyarakat Aceh terbebas dari problem pendidikan, baik buta aksara maupun meningkatkan kualitas guru dan anak didik," demikian Hamid Zein. (*)

http://www.rakyataceh.com/

GAJAH MENGAMUK, KABAR DUKA AWAL 2009 Oleh Azhari

Banda Aceh, 3/1 (ANTARA) - Kabar duka menjadi pembuka awal tahun baru 2009 di Nangroe Aceh Darussalam; belasan ekor gajah (Po Meurah) mengamuk dan mengobrak abrik perkebunan masyarakat di sejumlah desa di Kabupaten Aceh Timur.

Pada Jumat (2/1), sekitar pukul 13.00 WIB, belasan binatang berbelalai itu keluar dari hutan mengobrak-abrik puluhan hektare perkebunan masyarakat dan menghancurkan sejumlah gubuk di wilayah pegunungan Aceh Timur tersebut.

Aksi belasan gajah liar telah mengakibatkan tanaman kelapa sawit, kakao dan pisang milik masyarakat di beberapa desa di Aceh Timur hancur.

Tidak hanya itu, masyarakat di wilayah tersebut kini dalam kondisi trauma karena gajah liar tersebut tidak hanya menganggu kebun, tapi juga ada yang sempat masuk ke pemukiman penduduk.

"Gangguan gajah liar di Aceh Timur yang baru kami peroleh laporan itu merupakan kasus pertama di awal 2009. Sementara sebelumnya, wilayah tersebut sering terusik akibat keganasan gajah," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (BKSDA NAD), Andi Basrul.

Ia menjelaskan, kasus gangguan gajah di Aceh tidak hanya berakibat hancurnya usaha pertanian dan perkebunan masyarakat, tapi lebih jauh telah menelan korban jiwa akibat keganasan binatang dilindungi tersebut.

"Saya memperkirakan gangguan gajah liar terhadap pemukiman masyarakat akan terus berlanjut pada 2009," kata dia.

Dia menyebutkan sedikitnya terjadi 200 kasus gangguan gajah liar yang turun dari habitatnya sepanjang 2008 di sejumlah daerah rawan, seperti Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan, Nagan Raya, Aceh Jaya, Pidie dan Bireuen.

Selama 2008, BKSDA NAD telah menangkap lima ekor gajah liar dari sejumlah wilayah dan kini sedang dalam penjinakkan di Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar.

Direncanakan, lima ekor binatang dilindungi tersebut akan dilepas kembali kehabitatnya pada awal 2009 ini.

Andi menyebutkan, pihaknya tidak semua gajah liar penganggu tersebut ditangkap karena keterbatasan dana untuk menggiring dan merawatnya di PLG Saree.

"Sebagian besar, gajah liar penganggu itu kita usir kembali ke habitatnya di hutan karena kita terbatas biaya untuk mengiring dan merawatnya sampai ke PLG Saree," kata dia.

Perlu dukungan

Andi menilai, partisipasi Pemerintah Provinsi NAD melalui Dinas Kehutanan kurang dalam upaya mengusir gajah yang masuk dan menganggu pemukiman penduduk di sejumlah kabupaten wilayah tersebut.

"Kita berharap adanya dukungan dana dari Pemerintah NAD untuk kebutuhan operasi penggiringan gajah itu kembali kehabitatnya, namun tidak mendapat tanggapan dari instansi terkait," kata dia.

Bahkan, ada sekitar Rp600 juta dana dialokasikan Pemprov NAD (APBA 2008) untuk pos operasional gangguan gajah dan harimau yang menganggu pemukiman penduduk di Aceh, namun dana tersebut tidak dicairkan.

Menurut dia, Gangguan gajah liar terhadap manusia diperkirakan akan berakhir jika hutan tempat tinggalnya tidak terganggu kegiatan pembalakan liar atau ileggal logging dihentikan .

"Masalah gangguan gajah tidak akan selesai sebelum "illegal logging" berhenti," katanya.

Gangguan gajah liar terus terjadi di sejumlah daerah di Aceh hingga akhir Desember 2008 mengakibatkan kerusakan gubuk di kebun bahkan hingga mencederai warga akibat diinjak hewan bebelalai itu.

Menurut Andi, BKSDA tidak mampu berbuat banyak untuk mengatasi gangguan satwa tersebut karena tindakan hewan tersebut merupakan reaksi atas gangguan terhadap ekosistemnya.

"Bagaimana mereka tidak masuk ke pemukiman jika "rumah" mereka dirusak," tambahnya.

Karena masyarakat tidak mampu mengatasi gangguan gajah sehingga mengambil jalan pintas dengan meracun. Namun tindakan itu dinilai tidak akan bermanfaat, tapi berakibat mengurangi populasi gajah.

Kerusakan hutan akibat pembalakan liar dinilai menjadi salah satu penyebab konflik antara satwa dengan manusia di Aceh.

Kebijakan Pemerintah Aceh mengenai moratorium logging (jeda tebang hutan) merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kerusakan hutan dan mengurangi dampaknya.

Hentikan pembalakan

Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Provinsi NAD, TAF Haikal juga menilai sepanjang masih maraknya aksi perambahan hutan, maka sulit menghentikan konflik satwa dengan manusia di Aceh.

"Sebuah kenyataan yang merisaukan kita semua bahwa bencana alam banjir dan tanah longsor serta gangguan satwa terus mengancam masyarakat pedesaan, khususnya mereka yang berdomisili di pinggiran hutan di Aceh," katanya.

Bencana alam dan gangguan gajah dan harimau itu suatu bukti bahwa habitat satwa dilindungi di Aceh telah terusik dengan deru gergaji mesin yang merusak tempat tinggal mereka, katanya.

Illegal logging tidak hanya memporak-porandakan habitat, tapi telah mengusik sumber makanan binatang dikawasan hutan akibat nafsu serakah pembalak, tegasnya.

Karena itu, TAF Haikal menilai program "moratorium logging" (jeda tebang sementara) yang dilancarkan Gubernur NAD Irwandi Yusuf, tidak berarti jika semua pihak tidak punya hati nurani untuk menghentikan keserakahan menebang hutan.

Oleh karenanya, ia berharap semua elemen masyarakat bersama aparat penegak hukum termasuk Polsus kehutanan harus bekerja ekstra mengamankan kawasan hutan dengan tidak membiarkan cukong kayu merajarela di Aceh.

Selain itu, Pemerintah, tokoh masyarakat dan adat serta aktivis lingkungan juga diharapkan komit memberdayakan ekonomi rakyat dipinggiran hutan, sehingga mereka bisa hidup dan kawasan hutan lestari. ***3*** (U/A042*BDA1/


Copyright © ANTARA