Rabu, 04 Agustus 2010

Pembangunan Aceh Barat Lamban

Gerak Aceh Barat : Alokasi Anggaran Fokus ke Aparatur
Selasa, 3 Agustus 2010 | 13:41
Harian Rakyat Aceh
Meulaboh – Pembanguanan di kabupaten Aceh Barat terkesan minim progres (lamnan) dan tak berpihak pada publik. Hanya sejumlah infrastruktur pembiayaan era rehabilitasi – rekontruksi Aceh pasca tsunami yang terlihat berdiri kokoh.

Indikator tidak berpihak pada publik dapat dilihat dari statistik alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Bumi Teuku Umar selama beberapa tahun, lebih condong kepada pembiayaan “tidak langsung” (Aparatur, red), ketimbang plottan biaya langsung (publik, red).

Pembangunan sebuah daerah memang tidak lepas dari visi dan misi pemimpin. Paradigma pemimpin dan perangkatnya selaku pelaksana dan penyusun program kerja daearah untuk menuntaskan masalah yang ada di tengah masyarakat, perlu disusun sebagai solusi.

Perspektif Akselerasi pembangunan segala sektor perlu dimiliki oleh aktor pada Pemerintahan, sehingga proses pembangunan tetap berlangsung sesuai aspirasi masyarakat. “Makanya ada namanya Musrenbang, jadi tahu apa kebutuhan riil di tengah masyarakat,” ujar Taf Haikal, Jubir Kaukus Pantai Barat Selatan, Senin (2/8).

Pertumbuhan pembangunan segala sektor, seperti Infrastruktur, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan masyarakat, pada hakekatnya harus mencerminkan perubahan secara total. Mememang prosesnya tetap step by step, karena menuntaskan pembangunan yang menjadi solusi sebuah masalah, tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Tapi, Pembangunan di Kabupaten Aceh Barat tergolong minim progress. Contonya kerap terekspos pada sejumlah media terbitan lokal, maupun nasional, tentang kondisi masyarakat menghadapi sejumlah masalah. Padahal, permasalahan itu merupakan, penyakit yang terjadi secara berulang-ulang tiap tahun, tapi tidak disusunya program pencegahan. Seperti banjir dan keluhan infrastruktur jalan, serta jembatan yang rusak parah.

“Jadi Pemkab Aceh Barat perlu memantapkan lebih ekstra proses pembangunan pada daerah mereka,” harap Taf Haikal.Anehnya, Pembangunan di Bumi Teuku Umar, perjelas Taf Haikal, kalah pesat dengan Kabupaten tetangganya.

Padahal, Bumi Teuku Umar merupakan kabupaten tertua di wilayah Pantai Barat Aceh. Sehingga proses pembangunan dapat disimpulkan jalan ditempat.

Memang, lanjut Taf Haikal, sebuah pembangunan tak lepas dari alokasi dana dan sumber daya manusia (SDM) yang ada di Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, hingga sebuah terget transformasi dapat dicapai seefesien mungkin. “Makanya penggunaan APBK daerah itu, harus lebih condong pada kebijakan publik, dalam menyikapi hasil Musrenbang,” pinta Taf Haikal.

Tak Berpihak Rakyat
Mulyadi, Koordinator Gerak Aceh Barat mengatakan, melakukan pembangunan tentunya membutuhkan pembiayaan. Berbicara soal soal anggaran, memang dilihat pada pengalokasian sejak tahun 2006 hingga 2010, APBK Aceh Barat mangkin condong berpihak pada plottan biaya aparatur (Biaya tidak langsung, red), ketimbang

pembiayaan publik (langsung, red).
Salah satunya seperti pada Tahun 2010, lanjut Mulyadi. Total anggaran Aceh Barat tersedia Rp 443.419.004.994. Dari anggaran tersebut komposisi untuk belanja tidak langsung sebesar Rp. 314.276.221.389, atau 71 %, sedangkan belanja langsung 129.142.783.605 atau 29 % dari total APBK.

Berdasarkan fakta tersebut, dapat disimpulkan pengelolaan APBK telah melanggar Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh, Pasal 190, ayat 1 dan 3, yang mengamanahkan bahwa belanja langsung wajib lebih besar, dari pada belanja tidak langsung dalam sebuah belanja APBK.

Menurut GeRAK Aceh Barat, besarnya alokasi belanja tidak langsung disebabkan oleh beberapa hal, seperti Pemkab kaya struktur organisasi, tapi miskin fungsi dan kerja. Sehingga berdampak bagi tidak efektifnya penggunaan anggaran yang membiayai lima hari kerja.
Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, terkesan terlalu memaksakan diri untuk mengalokasikan dana Tunjangan Prestasi Kerja (TPK).

Padahal, lanjut Mulyadi, pemberian TPK tidak menjadi sebuah kewajiban bagi Pemkab, karena harus melihat keserasian dengan kemampuan keuangan daerah.
”Jadi kalau tidak ada cukup anggaran, TPK hanya bisa diberikan kepada PNS yang bekerja sesuai dengan kebutuhan keahlian dimiliki.

Jadi jangan sampai Kadis pun, yang hanya kerja duduk dan paraf semata, mendapat tunjangan mencapai mencapai Rp. 4 per bulan. Jadi wajar kalau dikatakan kebijakan Pemkab Aceh Barat menutup diri dengan realita kondisi masyarakat,” terangnya.

Dimulai dari Desa ke Kota
Sabki Mustafa Habli, Presiden Mahasiswa Universitas Teuku Umar (UTU) mengakui jika kondisi pembangunan di Kabupaten Aceh Barat terlihat jalan ditempat. Sampai kini, dipersentasikan olehnya, dari 100 persen, diperkirakan sekitar 30 persen lagi infrastruktur yang tak kunjung tuntas pembangunan.

Sementara, infrastruktur diwilayah perkotaan telah didanai oleh dana bantuan rehabilitasi dan rekontruksi pesisir Aceh, pasca bencana tsunami, sedangkan desa tidak tersentuh.Wilayah paling parah, lanjutnya, dapat terlihat dari Dua Kecamatan, seperti Woyla Timur dan Woyla Barat.

Pada kawasan ini, kondisi prasarana jalan dan jembatan mengalami rusak berat, hingga sulit dilalui oleh masayarakat. Seperti kondisi jalan Kuala Bhee, yang dimanfaatkan sebagai koridor penghubung antar kecamatan. “Padahal, jalan ini merupakan hasil pembangunan tahun 1990-an, tapi, sampai sekarang belum ada dilakukan perawatan dan perbaikan ulang oleh Pemerintah,” kata Sabki.

Selain itu, kondisi penyakit banjir yang dialami oleh masyarakat disejumlah pelosok kabupaten Aceh Barat juga telah menjadi penyakit kronis. Namun, terkesan tidak ada upaya pencegahan dilakukan Pemerintah, sementara banjir telah menjadi kopi pagi bagi masyarakat. “Sebenarnya hanya dengan diperlebar atau diluruskan saja koridor sungai itu, tentu keadaan

banjir dapat terminimalisirkan,” ujarnya.
Selain pembangunan sektor infrastruktur, lini pendidikan juga memiliki permasalahan tersendiri, sebab, wilayah Kecamatan Woyla Barat dan Woyla Timur mengalami kekurangan tenaga didik (Guru, red). Diharapkan, pemerintah dapat memperhatikan pembangunan pada sektor pendidikan, sebab generasi muda daerah

ini, merupakan harapan bangsa, ucapnya.
Sebenarnya, dengan Visi dan Misi pemimpin Aceh Barat sangat jelas memulai pembangunan dari Desa ke Kota. Tapi faktanya berkata lain. Banyak perbukiman memiliki infrastruktur memprihatinkan.

Contoh terlihat pada masyarakat Kecamatan Woyla Timur dan Woyla Induk. “Bagi masyarakat setempat, merasa belum merasakan kemerdekaan ini, layaknya sebuah permukiman lain di Aceh,” keluh Sabki. (den)


http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=18338&tit=Berita%20Utama%20-%20Pembangunan%20Aceh%20Barat%20Lamban