Senin, 30 Mei 2011

Pemprov Aceh Janji Cabut Izin Tambang Tak Sesuai Prosedur

lavinda |
Sabtu, 28/05/2011 01:01 WIB

Jakarta - Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Provinsi Aceh Said Ikhsan menegaskan pihaknya sedang berupaya mencabut izin pertambangan yang tidak sesuai prosedur di wilayah Aceh.

"Sekarang kami sedang meminta kabupaten untuk mencabut izin pertambangan yang dikeluarkan tidak sesuai prosedur," tegas Said seperti tertulis dalam siaran pers yang diterima www.today.co.id, Jumat (27/5/2011).

Pernyataan ini diungkapkan untuk menanggapi desakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan beberapa LSM lain yang sebelumnya meminta Pemerintah Provinsi Aceh berhati-hati dalam mengeluarkan izin penambangan di wilayah tersebut.

Tak hanya itu, Juru bicara Kaukus Pantai Barat-Selatan TAF Haikal menyayangkan aparatur pemerintah yang dengan mudah mengeluarkan izin tambang, tetapi tak mampu mengontrolnya.

"Wajar saja jika investor tambang mempertahankan assetnya kalau ada masalah, pemerintah diam saja," katanya.

Selain WALHI dan Kaukus Pantai Barat-Selatan, LSM lain yang turut dalam audiensi kali ini ialah Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan ACSTF.

Pada dasarnya, Aceh merupakan satu-satunya daerah yang telah memiliki dan dapat mengontrol Izin Usaha Penambangan (IUP)-nya sendiri. Oleh karena itu, saat ini pemerintah Provinsi Aceh meminta kabupaten untuk mencabut izin pertambangan yang tak sesuai prosedur.
(lav/lav)


http://today.co.id/read/2011/05/28/34844/pemprov_aceh_janji_cabut_izin_tambang_tak_sesuai_prosedur

Izin Pertambangan Merajalela ; Barat Selatan Aceh Terancam Bencana Besar

Banda Aceh, (Analisa)

Masyarakat di kawasan pantai barat selatan Provinsi Aceh saat ini merasa khawatir akan terjadinya bencana alam besar yang akan mengancam kehidupan mereka di masa yang akan datang menyusul akan beroperasinya sejumlah perusahaan pertambangan di daerah mereka.

Beroperasinya belasan perusahaan tambang khususnya yang bergerak di bidang eksplorasi dan ekspoitasi bijih besi dan emas tersebut, menyusul izin dikeluarkan baik oleh Pemerintah Provinsi Aceh maupun pemerintah kabupaten/kota setempat.

Pemberian izin tersebut terkesan telah mengabaikan sikap penolakan dan protes yang dilancarkan oleh masyarakat di beberapa kabupaten/kota di barat selatan ini seperti Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Subulussalam, dan Aceh Jaya. Pemerintah pun dinilai tak peduli lagi terhadap keselamatan warganya yang merasa terancam.

”Kita sangat menyayangkan pemberian izin pertambangan yang saat ini begitu merajalela, yang dilakukan Pemprov Aceh maupun beberapa kabupaten/kota. Seharusnya, mereka lebih mengutamakan keselamatan rakyatnya dari ancaman bencana ketimbang mencari untung dari sektor pertambangan,” ujar Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal kepada wartawan, Sabtu (28/5).

Ia mencontohkan, warga dari enam Desa di Kecamatan Jeumpa Aceh Barat Daya telah mengirimkan surat kepada Gubernur Aceh. Surat yang ditandatangani masing-masing Geucik setempat, menolak kehadiran PT Juya Aceh Minning (JAM) dan perusahaan tambang lainnya yang akan melakukan eksploitasi dan eksplorasi bijih besi di kawasan mereka.

Selain itu, mereka meminta Gubernur Aceh agar tidak mengeluarkan izin apa pun terkait aktifitas pertambangan di kawasan mereka. “Masyarakat sepakat menolak daerah mereka dieksploitasi dan hancur atas nama pertumbuhan ekonomi semu. Bukti-bukti kerusakan akibat kegiatan penambangan seperti di Manggamat tampak nyata, mengapa masih juga mengizinkan tambang,” kecamnya.

Haikal mengatakan, dari 109 data perusahaan tambang tahun 2010 lalu, sedikitnya 66 perusahaan yang menjalankan pertambangan di wilayah Barat Selatan. Kemudian ada tiga perusahaan yang sudah mengantongi AMDAL-nya, yaitu di Aceh Jaya, Subulussalam dan Aceh Selatan.

Peruntukkan izin-izin investasi pertambangan di Aceh jangan diberikan seenaknya. Pemprov Aceh harus mengkaji lebih dalam lagi karena termasuk daerah yang rawan terhadap bencana. Pasalnya, kalau HPH menebang di atas permukaan bumi, tapi kalau pertambangan itu bisa mengorek bumi dan sangat besar resiko terjadinya bencana.

Ia juga mengecam pemilihan sektor tambang sebagai basis pembangunan Aceh sebagaimana yang disebutkan Gubernur Irwandi Yusuf dalam pembukaan Musrenbang RKPA beberapa waktu lalu, karena itu solusi keliru untuk mensejahterakan masyarakat.

”Fakta menunjukkan tidak ada daerah makmur karena tambang. Di Indonesia banyak contoh, seperti Bangka Belitung yang tinggal lubang-lubang besar peninggalan tambang timah, Papua yang gunungnya sudah menjadi danau dikeruk oleh Freeport, tapi masyarakat setempat tetap miskin.

Banyak Konflik

Juga bisa dilihat mulai dari Aceh Selatan hingga Tamiang, banyak terjadi konflik akibat pertambangan. Dari sisi PAD tidak jelas pemasukan dari sektor pertambangan yang masuk ke kas pemerintah. Dari sisi tenaga kerja juga tidak banyak pekerja yang terserap mengingat tambang di Aceh hanyalah tambang mengeruk semata tanpa pengolahan lebih lanjut (pabrik). Pertambangan di Aceh adalah keruk tanah sedalam-dalamnya (penambangan terbuka/open pit), ambil, ekspor dan lalu bekas tambang ditinggalkan begitu saja.

Sementara Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan pada Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Armia SH menyatakan aktivitas pertambangan sudah sangat jelas akan merusak lingkungan, dan akan menimbulkan dampak seperti terjadinya berbagai bencana.

”Jelas merusak dan berpotensi besar mengundang bencana. Seperti kawasan hutan dan gunung, kita rusak dan mengambil bahan galian. Kerusakan tidak hanya sekitar, tapi juga meluas kemana-mana, apalagi jika tidak diikuti dengan reklamasi kerusakan tersebut,” ungkapnya.

Menurutnya, untuk menghindari bencana alam, pemerintah harus benar-benar bersikap tegas kepada perusahaan. Bagi perusahaan penambang, kata dia, penutupan tambang usai pemanfaatan sudah merupakan keharusan dengan menganggarkan dana penutupan itu dalam komponen biaya perusahaan hingga masa izin berlaku.”Pemerintah, harus benar-benar bisa memastikan apakah perusahaan itu sudah menjalankan kewajibannya melakukan penutupan bekas tambang,” terang Armia. (mhd)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=97117:izin-pertambangan-merajalela--barat-selatan-aceh-terancam-bencana-besar&catid=1020:30-mei-2011&Itemid=216

Stop Izin Tambang Jika tak Mampu Kontrol

Sun, May 29th 2011, 10:02
Utama
BANDA ACEH – Aktivis lingkungan dari beberapa LSM mengingatkan pemerintah tentang berbagai persoalan tambang dan dampak buruk pertambangan di Aceh. Salah satu warning yang dikeluarkan elemen sipil tersebut adalah jangan keluarkan izin tambang kalau pemerintah tak mampu mengontrolnya.

Berbagai persoalan seputar masalah pertambangan mengemuka ketika audiensi aktivis lingkungan dari beberapa LSM dengan Kepala Dinas Pertambangan & Energi (Distamben) Aceh, Said Ikhsan, Jumat (27/5). Audiensi yang berlangsung secara dialogis tersebut mendiskusikan berbagai persoalan tambang di Aceh.

Aktivis lingkungan yang melakukan audiensi tersebut adalah Walhi Aceh, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS), dan ACSTF.

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS), TAF Haikal secara filosofis mengatakan, sejak dahulu bencana memang sudah ada, tak terhindarkan. “Bencana adalah siklus alam. Tapi jangan pula kita memperparah dengan merusak alam seperti penambangan. Tambang itu kan udah dipotong di atas, dikeruk lagi di bawah,” katanya.

TAF Haikal menyayangkan aparatur pemerintah yang dengan mudah mengeluarkan izin tambang tetapi kemudian tidak mampu mengontrolnya. “Wajar saja jika investor tambang mempertahankan asetnya kalau ada masalah, pemerintah diam saja. Agar tak memunculkan kerugian terhadap semua pihak, stop mengeluarkan izin tambang kalau memang tak mampu mengontrolnya,” ujar Haikal ketika audiensi maupun dalam keterangan tambahannya kepada Serambi, kemarin.

Dampak buruk
Direktur Eksekutif Walhi Aceh, T Muhammad Zulfikar menyampaikan berbagai persoalan tambang dan dampak buruk pertambangan di Aceh. “Banyak kajian yang menyatakan korelasi antara pembukaan tambang dan lingkungan hidup selalu negatif,” kata Zulfikar.

Walhi mengkhawatirkan kondisi itu, apalagi Aceh termasuk daerah yang rawan bencana, sehingga dampak yang ditimbulkan semakin berganda. “Dari dua sampel pertambangan, PT PSU di Manggamat dan PT LSM di Lhoong, sudah menimbulkan konflik sosial. Kayaknya cuma mimpi ada perusahaan tambang yang bisa menerapkan prinsip-prinsip good mining practices, saya belum pernah lihat,” jelas Zulfikar.

Zulfikar menyarankan agar Aceh memaksimalkan dahulu potensi-potensi yang ada seperti agrobisnis, wisata, perikanan, dan lainnya. Apalagi kini menurutnya semua mata tengah melirik Aceh, menantikan keberhasilan program moratorium logging. “Jangan atasnya hijau tapi bawahnya keropos, bolong-bolong,” kata Zulfikar.

Zulfikar mengingatkan apa artinya jika memiliki banyak emas dari pertambangan tetapi hutan dan alam sebagai sumber air menjadi rusak. “Emas nggak ada arti kalau kita tidak ada air yang bisa diminum. Siapkan emas untuk cadangan terakhir, jika yang lain-lain tidak bisa kita olah lagi,” ucapnya.

Sedangkan Rusliadi dari Jatam mengingatkan, konflik tambang di Aceh masih sangat besar. Ia mengambil contoh tambang di Lhoong, yang kebetulan merupakan kampung halamannya.

Keistimewaan
Menanggapi berbagai sorotan dan warning dari aktivis lingkungan, Kadistamben Aceh, Said Ikhsan, mengatakan bahwa Aceh memiliki keistimewaan sendiri dalam mengontrol tambang. “Aceh merupakan satu-satunya daerah yang telah memiliki qanun yang dapat mengontrol IUP-nya sendiri. Sekarang kami sedang meminta kabupaten untuk mencabut izin pertambangan yang dikeluarkan tidak sesuai prosedur,” tandas Said Ikhsan.

Ia memberi contoh, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), tidak ada tawar menawar. Meski di dalam KEL mengandung banyak sekali potensi tambang namun melarang total pembukaan tambang batu bara atau bijih besi di KEL. “Tapi kalau emas, pemerintah akan mempertimbangkannya. Kalau potensinya (emas-red) sangat besar, kita akan duduk, mau diambil sekarang atau nanti,” katanya.

Tambang, kata Said Ikhsan tetap diperbolehkan asal untuk kemakmuran masyarakat banyak dan sebagai cadangan devisa. Data pertambangan yang diberikan menunjukkan saat ini sudah ada 109 perusahaan tambang yang terdaftar. 19 perusahaan di antaranya telah mendapat izin operasi produksi dan empat perusahaan telah melakukan ekspor yaitu satu di Aceh Besar, dua di Kabupaten Abdya, dan satu perusahaan lagi di Aceh Selatan.(sir/nas)


http://m.serambinews.com/news/view/57389/stop-izin-tambang-jika-tak-mampu-kontrol

Pemerintah Aceh Agar Hati-hati Keluarkan Izin Tambang

Banda Aceh, (Analisa)

Aktivis lingkungan dari beberapa LSM di Aceh meminta Pemerintah Aceh melalui Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) setempat agar hati-hati menerbitkan izin pertambangan. Jika tidak, bencana besar mengancam Aceh.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar, mengungkapkan, banyak kajian yang menyatakan korelasi antara pembukaan tambang dan lingkungan hidup selalu negatif. Ini sangat mengkhawatirkan, apalagi Aceh termasuk daerah rawan bencana, sehingga dampak yang ditimbulkan semakin berganda.

Sebagai contoh adalah dua pertambangan di Aceh yang sudah menimbulkan konflik sosial.

Dia menyarankan agar Aceh memaksimalkan dahulu potensi-potensi yang ada seperti agrobisnis, wisata, perikanan dan sebagainya. Apalagi kini semua mata tengah melirik Aceh menantikan keberhasilan program jeda tebang.

"Jangan atasnya hijau tapi bawahnya keropos," ujar Zulfikar saat aktivis lingkungan berbagai LSM melakukan pertemuan dengan Distamben Aceh di banda Aceh, Jumat (27/5).

Diutarakannya, tidak ada artinya memiliki emas banyak dari pertambangan jika hutan dan alam sebagai sumber air menjadi rusak.

Sementara itu Rusliadi dari JATAM menyampaikan, konflik tambang di Aceh masih besar. Selain itu juga menimbulkan dampak kerusakan lingkungan.

"Dampak lain, karang di pinggir pantai rusak akibat terbenam lumpur yang dibawa aktivitas pelabuhan pengiriman tambang," ungkap Rusliadi tentang dampak operasional tambang di kampung halamannya di Aceh Besar.

Jangan Diperparah

Sedangkan juru bicara Kaukus Pantai Barat-Selatan, TAF Haikal secara filosofis mengatakan, sejak dulu bencana memang sudah ada. Bencana adalah siklus alam. Tapi jangan pula memperparah dengan merusak alam seperti penambangan.

Haikal menyayangkan aparatur pemerintah yang dengan mudah mengeluarkan izin tambang tetapi tidak mampu mengontrolnya.

Menanggapi berbagai persoalan tersebut, Kadistamben Aceh, Said Ikhsan, mengatakan, Aceh memiliki keistimewaan sendiri dalam mengontrol tambang. Posisi Pemerintah Aceh dalam sektor pertambangan merupakan satu-satunya daerah yang telah memiliki qanun (Perda) tentang izin usaha pertambangan (IUP).

"Sekarang kami sedang meminta kabupaten untuk mencabut izin pertambangan yang dikeluarkan tidak sesuai prosedur," ujarnya.

Dicontohkannya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Di sini tidak boleh ada konsesi tambang, meski mengandung banyak potensi. Di dalam KEL tidak diperkenankan pertambangan batubara atau bijih besi. Namun, untuk emas, masih dipertimbangkan pemerintah.

"Kalau potensinya (emas) sangat besar. Maka kita akan duduk (mendiskusikannya), mau diambil sekarang atau nanti," katanya.

Tambang menurutnya tetap diperbolehkan demi kemakmuran masyarakat dan sebagai cadangan devisa sesuai perundangan yang berlaku.

Data pertambangan yang diberikan menunjukkan saat ini sudah ada 109 perusahaan tambang yang terdaftar. 19 perusahaan di antaranya telah mendapat izin operasi produksi dan empat perusahaan telah melakukan ekspor yaitu satu perusahaan di Aceh Besar, dua perusahaan di kabupaten Abdya dan satu perusahaan di Aceh Selatan. (irn)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=96875:pemerintah-aceh-agar-hati-hati-keluarkan-izin-tambang&catid=1018:28-mei-2011&Itemid=216

Kamis, 12 Mei 2011

Pemilukada Aceh jangan ditunda

Wednesday, 11 May 2011 08:19
Warta
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Kepastian mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang masih simpang-siur, melahirkan cemas dalam masyarakat setempat.

Masyarakat berharap Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Aceh untuk memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wali kota serta para wakilnya tidak ditunda dikarenakan persoalan ada tidaknya calon independen.

"Saya berharap Komisi Independen Pemilihan (KIP/KPU) terus menyusun tahapan Pilkada sesuai jadwal, sehingga pesta demokrasi itu bisa berlangsung paling lambat akhir 2011," kata tokoh masyarakat barat dan selatan Aceh TAF Haikal di Banda Aceh.

Hal itu disampaikan menanggapi sikap Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh (DPA PA) yang menolak calon independen ikut Pilkada Aceh 2011.
Partai lokal yang sebagian besar pengurusnya mantan kombatan GAM itu juga meminta KIP Aceh agar tidak melaksanakan tahapan Pilkada sebelum disahkan Qanun Pilkada yang saat ini sedang dibahas di DPRA.

Juru bicara Kaukus Pesisir Barat Selatan (KPBS) Aceh itu mengharapkan semua pihak khususnya partai politik untuk memberikan dorongan agar pelaksanaan Pilkada Aceh bisa terlaksana lancar dan sesuai jadwal yang ditetapkan.

"Tidak perlu lagi ada pihak memperdebatkan masalah adanya calon perseorangan (independen) atau tidak untuk meramaikan Pilkada Aceh, sebab putusan hukum sudah jelas yakni memperbolehkan calon dari perseorangan," kata aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh itu.

Sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) RI mengabulkan permohonan dari para penggugat agar calon independen tetap ada di Aceh .

"Artinya, MK sebagai lembaga peradilan perundang-undangan tertinggi, maka putusan itu mutlak dan wajib dipatuhi oleh seluruh warga negara. Karenanya siapapun yang membangkang putusan MK itu sama saja melanggar undang-undang negara," kata Haikal.
Dipihak lain, ia juga meminta Pemerintah Pusat dan Aceh segera melaksanakan putusan MK tersebut.

Editor: FAZARIS TANTI
(dat04/antara)


http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=192967&Itemid=

Selasa, 10 Mei 2011

Pemerintah Aceh Dinilai Gagal Ciptakan Lapangan Kerja

Banda Aceh, (Analisa)
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh dalam beberapa tahun terakhir dinilai sejumlah kalangan gagal dalam upaya penciptaan lapangan kerja, sehingga angka pengangguran terus mengalami peningkatan.

Bahkan, anehnya, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf malah meminta agar masyarakat di provinsi itu sebaiknya mencari kerja di daerah lain, tidak sekadar menggantungkan diri dengan daerahnya untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini terkait keterbatasan lapangan kerja di Aceh dibanding jumlah angkatan kerja yang tiap waktu terus bertambah.

"Harus diakui Pemerintah Aceh sampai saat ini gagal menciptakan lapangan pekerjaan bagi warganya. Ini sangat memprihatinkan bagi kita, di tengah uang yang berlimpah masuk ke Aceh," kata Ketua Umum BPD Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Provinsi Aceh, Fakhrizal Murphy kepada wartawan di Banda Aceh, Senin (9/5).

Dia menjelaskan, kondisi riil di Aceh saat ini, angka pengangguran terbuka secara nasional berada di urutan pertama, sedangka angka kemiskinan berada di urutan tujuh secara nasional setelah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Papua Barat.

Ini membuktikan uang yang begitu besar di Aceh seperti anggaran Otonomi Khusus (Otsus), Migas, APBA dan APBK se-Aceh, yang mencapai puluhan triliun setiap tahunnya, belum juga mampu memberikan dampak positif terhadap percepatan pembangunan ekonomi Aceh, yang akhirnya diharapkan dapat menyerap tenaga kerja, menekan angka kemiskinan untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.

"Itu yang belum dilakukan secara optimal dalam mendorong sektor-sektor ekonomi. Ini dikhawatirkan akan menimbulkan konflik sosial baru dan bom waktu di Aceh, karena di tengah uang berlimpah tapi pengangguran masih tinggi," jelas Fakhrizal yang juga Wakil Ketua Umum Kadin Aceh itu.

Disebutkan, kebijakan yang diambil Pemprov Aceh selama ini lebih bersifat politis untuk kepentingan sesaat dari kelompok-kelompok tertentu, dan tidak bersifat ekonomis, bahkan mengajak rakyat untuk berpikir politis.

Hampir semua kebijakan yang diambil bersifat politis. Seperti program pemberian bantuan yang tanpa diikuti pengawasan yang bagus, seperti bibit kelapa sawit dan sapi bantuan. Akhirnya sasaran dari program tersebut tidak tercapai, terangnya.

Menurutnya, ke depan Pemerintah Aceh program pemberdayaan ekonomi rakyat yang benar-benar prioritas. Karena, ketika ekonomi kuat, maka tak ada masalah lagi untuk kesehatan, pangan dan sandang.

Kesalahan Pemerintah

Sementara Pengamat Ekonomi Unsyiah, Ali Amin menilai, tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai akibat kesalahan pemerintah yang tidak mampu menyediakan peluang kerja, sehingga triliunan uang APBA menjadi sia-sia. Lebih anehnya lagi, ketika tidak mampu menyediakan lapangan kerja, malah menyuruh rakyatnya pergi ke daerah lain untuk mencari kerja. Ini kesalahan besar seorang pemimpin Aceh yang tidak bertanggungjawab," tegas Ali Amin.

Sementara pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, TAF Haikal menilai Gubernur Irwandi Yusuf salah minum obat, terkait permintaannya agar orang Aceh mencari kerja di daerah lain.

"Aceh dengan penduduk 4,6 juta dan anggaran rata-rata di atas Rp8 triliun tiap tahun, sebuah keniscayaan keluar penyataan rakyatnya diminta mencari kerja di luar. Rakyat Aceh 60 persen bermata pencaharian sektor pertanian, seharusnya dengan logika sederhana 60 persen alokasi pembangunan didorong pada sektor pertanian, juga regulasi serta mencari investasi pada pertanian," jelasnya.

Menurut Haikal, kondisi ini membuktikan bahwa APBA tidak mampu membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh. Parahnya lagi, dalam pidato Gubernur Irwandi saat pembukaan Musrenbang RKPA 2012, fokus pembangunan Aceh pada isu pertanian, pertambangan dan parawisata.

Justru itu kontradiksi antara pertanian dengan pertambangan, tambang pun yang dilakukan dengan membawa tanah. Artinya tenaga kerja yang terserap pasti sangat sedikit sekali, kata Haikal yang juga Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh.

Sementara aktivis antikorupsi Aceh, Teuku Neta Firdaus menilai, pernyataan "konyol" Gubernur Aceh sosok pemimpin yang tidak bertanggungjawab, karena warga Aceh diminta mencari kerja ke daerah lain, seperti seorang ayah yang mengusir anaknya dari rumah karena orangtua tak mampu memberi makan.

Pernyataan itu mengindikasikan Pemerintah Aceh saat ini gagal. Sebaiknya mundur saja jadi gubernur, begitu banyak lahan di Aceh yang berpotensi dijadikan komoditi, sama sekali tidak bisa diolah. Semua kebutuhan dapur kita masih bergantung dengan Medan.

Pemerintah Aceh juga tidak mampu memfasilitasi investasi modal kepada masyarakat. Akibatnya ekonomi Aceh bergerak mundur. "Konsep yang dijual selama ini masih bersifat teori belaka. Investor hanya berhenti pada penandatanganan MoU, sedangkan realisasi tidak pernah terwujud," kata Neta yang juga Koordinator Solidaritas untuk Anti Korupsi (SuAK) Aceh. (mhd)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=95075:pemerintah-aceh-dinilai-gagal-ciptakan-lapangan-kerja&catid=1001:10-mei-2011&Itemid=216

Sabtu, 07 Mei 2011

JKA Prioritaskan Masyarakat Kurang Mampu

Written by Asep dadi Rahman | 06 May 2011 Share

KBRN, BANDA ACEH : Meskipun semua warga aceh mendapatkan pelayanan kesehatan dan pengobatan gratis melalui JKA (Jaminan Kesehatan Aceh), namun diharapkan warga miskin harus diprioritaskan.

Hal itu disampaikan Aktifis LSM Aceh Taf Haikal di Banda Aceh, Jumat (6/5), menanggapi antrian panjang peserta program JKA seperti di Rumah Sakit Umum Dokter Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh.



Menurut TAF Haikal, yang paling membutuhkan pelayanan kesehatan dan pengobatan gratis program JKA itu adalah masyarakat kurang mampu.

Diharapkan masyarakat yang memiliki kekampuan keuangan yang cukup tidak memamfaatkan program JKA, sehingga warga miskin yang lebih membutuhkannya bisa terlayani dengan baik di rumah-rumah sakit pemerintah.

Pemerintah Aceh mengalokasikan dana dalam Anggaran Pendapat Belanja Aceh (APBA) 2011 untuk program JKA senilai Rp400 milyar, naik dari tahun sebelumnya yang hanya Rp241 Milyar.

Dirincikan TAF Haikal, jika orang kaya tidak dimasukkan dalam penerima manfaat dari program JKA, maka APBA bisa lebih di hemat dan sisanya dapat digunakan untuk membangun sektor publik lainnya di Aceh. (Ridwan Z/ADR/WDA)


http://www.rri.co.id/index.php/component/content/10225?task=view