Minggu, 28 Desember 2008

Gelombang Raya Itu Masih Melekat

Sabtu, 27 Desember 2008 pukul 08:10:00
Republika online

Masih lekat dalam ingatan Azhar Hanafiah (47 tahun), saat gelombang raya itu menyapu, empat tahun silam. Hantaman bah air laut pada Ahad, 26 Desember 2004, pukul 07.58.53 WIB itu membuatnya berpisah selamanya dengan ibu, istri, dan kedua anaknya.

Gelombang tsunami yang didahului gempa 9,3 skala Richter (SR) di Samudra Hindia, lepas barat Aceh itu merenggut 200 ribu korban jiwa. Di antara keluarganya, hanya dialah yang selamat.

''Saya berziarah dan berdoa untuk ibu, istri, serta kedua anak saya yang menjadi korban tsunami,'' kata Azhar saat ditemui di pemakaman massal Lambaro, Kabupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jumat (26/12).

Dia memilih berziarah ke makam Lambaro, bukan karena yakin jasad kerabatnya itu dimakamkan di sana. Warga Punge, Kota Banda Aceh, ini memang tak punya tujuan lain.

Selepas gelombang raya itu, tsunami disebutnya dengan gelombang raya, dia tak pernah menemukan jenazah kerabatnya. Karena tak yakin itulah, dia menumpahkan kerinduannya di Lambaro--tempat dikebumikan 50 ribu korban tsunami--meski terkadang menyempatkan ziarah ke pemakaman massal di Ulelheue. ''Hanya doa yang dapat saya berikan kepada mereka,'' katanya, sembari meneteskan air mata.

Dengan alasan yang hampir sama, Hj Zubaidah mendatangi pemakaman di Lambaro. Hanya di tempat itulah, dia bisa mengenang saudaranya. Delapan anggota keluarnya hilang disapu tsunami yang gelombangnya bahkan sampai di pantai Thailand, Srilanka, Myanmar, dan India.

Pada tahun keempat pascatsunami ini, peristiwa itu bukan makin dilupakan, tapi justru semakin lekat dalam ingatannya. ''Saya ziarah tidak hanya saat 26 Desember, tapi ketika teringat, saya langsung ke kuburan massal,'' katanya.

Azhar dan Zubaidah hanyalah di antara ratusan warga korban tsunami yang berziarah di Lambaro. Kemarin, tepat empat tahun pascatsunami, lantunan zikir dan doa terdengar sejak pagi di tempat pemakaman 50 ribu jiwa syuhada tsunami.

Gelar zikir dan doa di tempat pemakaman itu dipimpin ulama Aceh, Tgk Muhibuddin Waly. Ulama yang akrab disapa Abuya itu mengingatkan musibah yang memorak-porandakan wilayah Aceh dan sekitarnya tersebut sebagai bentuk cobaan dari Allah SWT.

Saat Abuya membacakan doa keselamatan bagi para korban tsunami, ratusan peziarah yang memadati area Lambaro tak kuasa menahan tangis. Air mata pun mengalir di pipi mereka.

Dalam khutbah Jumat di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Tgk Raihan Iskandar, menguraikan agar semua pihak menyikapi tragedi yang mengakibatkan anak-anak menjadi yatim piatu, perempuan menjanda, dan lainnya kehilangan sanak keluarga itu dengan tabah dan tegar.

''Ada di antara mereka yang bertanya-tanya, apakah sanak keluargaku masih hidup atau benar-benar meninggal dunia. Dan di mana mereka dikuburkan,'' paparnya.

Memang, katanya, kesedihan itu sesuatu yang manusiawi. Namun, larut dalam kesedihan tidak akan menyelesaikan masalah, dan itulah yang mesti dihindari. ''Apalagi menjadikan apatisme, malas, dan tak produktif,'' tambahnya.

Yang patut direnungkan selanjutnya, kata Raihan, adalah menyusun agenda kerja dengan mengisi lembaran kebersamaan dalam membangun Aceh serta menegakkan syariat Islam.

Pada Kamis (25/12) malam, gelaran zikir dan doa di Masjid Baiturrahman dipimpin oleh Ustadz Arifin Ilham. Ribuan warga berpakain putih-putih yang menyemut di masjid kebanggaan rakyat Aceh itu dengan khusyuk mengikuti lantuan zikir dan doa untuk para korban tsunami.

Ustadz Arifin menyampaikan bahwa musibah tsunami itu cobaan dari Allah SWT. Setiap cobaan pasti ada tujuannya. Karena itu, masyarakat diharapkan tidak larut dalam kesedihan berkepanjangan.

Para korban tsunami yang meninggal, menurut Ustadz Arifin, telah hidup tenang di alam baka. ''Karena mereka yang wafat tenggelam sebagai syuhada.''

Memperingati empat tahun tsunami, warga di provinsi berjuluk Serambi Makkah itu mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang selama tiga hari, mulai Kamis (25/12).

Seruan membangun Aceh selepas tsunami, memang belum sepenuhnya selesai. Kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai proses rekonstruksi dan rehabilitasi Provinsi NAD empat tahun pascatsunami kurang memuaskan.

''Kami menilai belum menggembirakan karena ada infrastruktur dasar yang belum selesai dikerjakan,'' kata juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal, di Banda Aceh, kemarin.

Belum kelarnya pembangunan ruas jalan penghubung Kota Banda Aceh-Calang (Aceh Jaya) yang didanai Pemerintah Amerika Serika (USAid) merupakan salah satu contohnya. Padahal, ruas jalan itu merupakan infrastruktur penting mendongkrak percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Aceh, khususnya pesisir barat dan selatan.

''Meski, kami memaklumi banyaknya kendala dalam menyelesaikan pembangunan jalan tersebut,'' ucapnya. Lainnya, dia mengimbau Pemprov NAD dan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias mengedepankan pemenuhan hak-hak korban, terutama dalam mengatasi pengangguran.

Saat peringatan acara empat tahun tsunami, Kepala Badan Pelaksana BRR, Kuntoro Mangkusubroto, menyatakan permintaan maaf jika ada ketidaksempurnaan penanganan proyek-proyek BRR.

''Kami menyadari, menangani ratusan proyek pembangunan dalam waktu sangat singkat pasti ada kekurangannya,'' kata Kuntoro dalam kata sambutannya yang dibacakan Deputi Kelembagaan BRR, Iqbal Faraby, di Meulaboh, Aceh Barat.

Per 16 April 2009, sesuai UU No 10/2005, BRR akan ditutup dan program kerjanya selesai. Selepas bertugas selama 3,5 tahun, BRR telah membangun 124.454 unit rumah, jalan sepanjang 3.005 kilometer, 266 jembatan, 954 unit puskesmas, rumah sakit, dan poliklinik. Lainnya, 1.450 unit sekolah selesai dibangun, 979 unit kantor pemerintah, 12 unit bandara, 20 unit pelabuhan laut, dan 103.273 hektare lahan pertanian.

Adapun sisa anggaran BRR sekitar Rp 4 triliun telah disiapkan untuk menjamin keberlanjutan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias. Dana itu akan diserahkan pengelolaannya kepada Pemprov NAD dan lembaga-lembaga kementerian terkait. ant/has

http://www.republika.co.id/koran/0/22840.html

Empat Tahun Tsunami Ribuan Korban Masih Tempati Barak Pengungsi

SUARA PEMBARUAN DAILY

AP /Heri Juanda

Warga Aceh berdoa di bawah perahu sisa gelombang tsunami 26 Desember 2004 di Desa Lampula, Banda Aceh, Jumat (26/12). Warga memperingati 4 tahun terjadinya bencana gempa dan tsunami dengan berdoa bersama.

[MEULABOH] Ribuan korban gempa bumi dan tsunami Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004 hingga saat ini belum mendapat fasilitas perumahan. Mereka masih tinggal di barak yang tersebar di sejumlah kabupaten/kota. Sementara itu, pihak Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias mengaku, sudah membangun rumah untuk korban bersama lembaga donor dan NGO Internasional. Pemerintah pusat dan pemerintah se-Indonesia sudah melebihi dari kebutuhan.

Di Aceh Barat, ada 2.106 kelapa keluarga (KK) korban tsunami, hingga saat ini belum mendapat rumah bantuan. "Bahkan, ada di antara korban adalah anak yatim yang sudah tidak memiliki orangtua belum mendapatkan perhatian," ujar Bupati Aceh Barat Ramli MS kepada SP, Jumat (26/12) di Meulaboh.

Menurutnya, masalah ini menjadi ironis dan perlu ada perhatian dari semua pihak agar para korban, bisa mendapatkan haknya dalam sisa waktu proses rehabilitasi dan rekonstruksidi Aceh. Banyaknya korban yang belum mendapat perhatian akibat dari banyak komitmen lembaga donor dan BRR tidak merealisasikan janjinya.

Selain masalah rumah, Ia mengungkapkan di Aceh Barat berbagai laporan dari masyarakat mengungkapkan banyak bangunan yang dikerjakan BRR tidak layak digunakan. Misalnya, kantor camat dan kantor transmigrasi tak digunakan karena bangunan tak berkualitas. Laporan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyatakan, 70 persen bangunan dari BRR berkualitas kurang bagus. Senada dengan Bupati Ramli, Wakil Ketua DPR Aceh Barat Cut Agam saat dikonfirmasi terpisah mengatakan, banyak bangunan tak berkualitas sehingga tak digunakan. Ia minta pihak BRR untuk memperbaikinya.

Sementara itu, di barak, Aleu Penyaring mengaku sudah empat tahun menempati barak pengungsi, tetapi belum ada kejelasan akan mendapatkan bantuan rumah. Hal senada juga diungkapkan Dedek (33) korban asal Kampung Belakang Meulaboh juga mengalami nasib sama, ia mengaku hingga saat ini belum ada rumah bantuan, sedangkan sejumlah korban lain di desa yang sama sudah mendapat bantuan.

Prihatin

Abdul Jali, aktivis LSM GSF Aceh Barat, mengaku prihatin dengan nasib korban yang belum mendapat rumah, bahkan ada anak yatim yang orangtuanya sudah tidak ada, tega dibiarkan hidup terus merana, ini menjadi sesuatu yang ironis di saat Aceh banyak dana atas bantuan dari berbagai lembaga donor NGO Internasional, Badan PBB dan juga lembaga dalam negeri, jika dilihat dari jumlah dana yang dikirim ke Aceh dan juga dikelola BRR mestinya pada tahun ini tidak didengar lagi ada korban yang hidup menderita. Tetapi, anehnya lagi BRR setiap tahun tidak mampu menghabiskan anggaran untuk melaksanakan program rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh.

Juru Bicara Kaukus Barat Selatan TAF Haikal menyebutkan, pada usia empat tahun tsunami harapan besar dari masyarakat, sangatlah sederhana, berikan mereka rumah, hidupkan ekonomi rakyat dengan memperbaiki semua infrastruktur jalan dan jembatan, tetapi harapan tersebut tidak terwujud.

Ketua DPR Aceh Said Fuad Zakaria menyebutkan, empat tahun tsunami ada sejumlah kemajuan dicapai, tetapi masih ada sejumlah kelemahan dan juga kekurangan yang membutuhkan perhatian kembali di masa mendatang.

Juru Bicara BRR Aceh-Nias Juanda Jamal menyebutkan, jumlah rumah bantuan dari rencana awal 600.000 unit semua telah dibangun. Bahkan, saat ini total rumah sudah melebihi dari perkiraan sebelumnya, jumlah hampir mencapai 700.000 unit rumah. Tetapi jika masih juga ditemukan korban belum mendapat rumah bantuan itu, harus didata kembali dan BRR dalam sisa waktu tersedia akan menuntaskan. [147]

Last modified: 27/12/08

http://202.169.46.231/News/2008/12/27/Nusantar/nus01.htm

Korban Tsunami Tetap Miskin Pembangunan Fisik dan Kesejateraan Belum Imbang

Sabtu, 27 Desember 2008 | 06:35
Pemerintah Aceh ke depan berupaya mengimbangi kesejahteraan masyarakat dengan pembangunan fisik. Prosentasenya selisih keduanya terlihat sekitar 70 – 30. Ke depan, diharapkan mampu menaikkan angka tersebut untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.

Masih banyaknya masyarakat Aceh terutama korban tsunami belum memperoleh pekerjaan dan miskin, belum lagi korban konflik secara bersamaan masuk didalamnya sebagai penerima manfaat. Sedangkan pembangunan fisik justru meningkat secara signifikan.

"Ini PR utama Pemda Aceh ke depan, apalagi seiring berakhirnya BRR, bagaimana peningkatan kesejahteraan masyarakat bangkit dari kemiskinan, sehingga imbang dengan pembanguan fisik," ujar Tafh Haikal, juru bicara Kaukus Pantai Barat – Selatan di Banda Aceh, Jumat (26/12).

Menurutnya, sudah saatnya program kesejahteraan masyarakat diprioritaskan, misalnya dengan pemberian bantuan modal kerja dengan pinjaman lunak melalui lembaga perbankan maupun melalui dinas/badan terkait serta badan usaha milik daerah dan lembaga swasta lainnya.

Disebutkannya, data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, selama dua tahun terakhir meski jumlah penduduk miskin terus menurun 46 persen menjadi 26 persen, tetapi, jika dilihat secara kasat mata umumnya di daerah justru sangat memprihatinkan.

Ia menyebutkan, meski program Pemerintah pusat telah memberikan bantuan dana konpensasi BBM sebesar Rp 100/bulan masing-masing keluarga dinilai telah membantu beban keluarga, tetapi, sifatnya temporer.
"Yang diharapkan adalah komitmen dari Pemerintah Aceh, bagaimana program mengangkat masyarakatnya dari kemiskinan," tandasnya.

Memang diakui, saat ini telah ada program dengan nama kredit ‘Peumakmue Nanggroe’ namun, dalam pelaksanaannya justru tidak cukup terakomodir semuanya, pasalnya, jumlah calon penerima manfaat dengan dana tersedia di perbankan jumlahnya sangat terbatas.

"Berapa banyak dana yang dianggarkan Pemda Aceh dan berapa pula calon penerima manfaat memperolehnya, bahkan, masih ada hingga kini belum mendapatkan bantuan tersebut," ungkap Anwar lagi.

Dengan dana yang melimpah, seharusnya Pemda Aceh konsern untuk melakukan itu, sebab, sudah 30 tahun lebih masyarakat Aceh menderita konflik ditambah bencana gempa dan gelombang tsunami 26 Desember 2004 lalu.

Makin Berat

Sementara Wakil Gubernur Aceh, M Nazar mengakui kalau beban kerja ke depan semakin berat. Namun, katanya, tugas ini telah disiapkan dengan membuat program peningkatan kesejahteraan di semua dinas/badan maupun lembaga swasta yang ada.

Pemerintah Aceh, katanya sangat konsern untuk mengangkat masyarakatnya dari kemiskinan dan pengangguran, sebab, Aceh punya banyak sumber daya alam dan potensi lain yang belum tergarap dengan baik. "Insya Allah ke depan terus dilakukan dengan menggajak investor menanamkan modalnya ke Aceh," ujar Nazar.

Nazar juga menghimbau, "masyarakat Aceh agar saling mendukung program Pemerintah Aceh, salah satu kuncinya daerah ini aman dan kita harus jujur," demikian Nazar. (imj)

http://www.rakyataceh.com/

Proses Rehab-Rekon belum Selesai

· 26/12/2008 09:35 WIB

[ rubrik: Serambi | topik: Rekontruksi & Rehabilitasi Aceh ]

BANDA ACEH - Hari ini, Jumat (26/12), bencana gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan sebagian Aceh, genap empat tahun. Ini merupakan tonggak sejarah yang perlu direnungi dan dikenang setiap tahun. Meski, proses rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) akibat peristiwa 26 Desember 2004 lalu itu, yang selama ini dimotori BRR NAD-Nias, masih menyisakan banyak masalah.

Demikian sari pendapat yang disampaikan oleh berbagai komponen masyarakat seperti Sekjen Panglima Laot Aceh M Adli Abdullah, Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal, dan Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, terkait peringatan empat tahun tsunami, kepada Serambi, Kamis (25/12).

Menurut Adli Abdullah, rakyat Aceh diingatkan, saat ini ada proses rehab rekon yang belum selesai meskipun sudah empat tahun proses rekontruksi berlangsung di Aceh. “Paling kurang masih ada 3.000 korban tsunami yang masih tinggal di barak. Kita perlu ingat ini harus dituntaskan sebelum BRR bubar,” ujarnya.

Dikatakannya, masyarakat Aceh di pesisir harus siap mengantisipasi bom waktu seiring berakhirnya mandat BRR NAD-Nias pada April 2009. Di antaranya, masih ada proyek infrastruktur, termasuk rumah yang rusak karena mutu bangunannya di bawah standar. “Semua ini menjadi kerja tambahan bagi Pemerintah Aceh,” tegasnya.

Pada peringatan empat tahun tsunami ini, Panglima Laot juga mengingatkan agar para nelayan di seluruh Aceh untuk tidak melaut pada 26 Desember dan memperbanyak doa untuk mengenang para korban yang meninggal.

Sementara sorotan kepada BRR juga datang dari Gerak Aceh. Pjs Gerak Aceh, Askhalani menyebutkan, empat tahun tsunami Aceh ternyata masih banyak ditemukan proses rehab-rekon yang belum tuntas dan makin tingginya terjadi kasus yang berpotensi korupsi. “Kedua persoalan ini adalah kegagalan yang terstruktur. BRR NAD-Nias harus bertanggung jawab,” ungkapnya.

Berdasarkan hasil monitoring pihaknya, sebut Askhalani, masih banyak rumah bagi para korban tsunami yang belum selesai dibangun, di antaranya di Aceh Barat, Aceh Jaya, Singkil, dan Simeulue dengan kebutuhan rata-rata di atas seribu unit tiap-tiap kabupaten.

Sementara itu Juru Bicara KPBS, TAF Haikal menyorot, hingga kini salah satu persoalan yang dihadapi masyarakat di kawasan itu terkait belum tuntasnya pembangunan lintasan Banda Aceh-Meulaboh yang didanai USAID.

Menurutnya, jalan yang menghubungkan ibukota Provinsi Aceh menuju Kota Meulaboh belum juga menunjukkan perkembangan yang pesat. “Banyak persoalan yang dihadapi dalam menyelesaikan pembangunan jalan tersebut. Menurut kami jalan ini sangat strategis dan penting untuk menjadi prioritas,” tegasnya.

Dia sebutkan, saat ini terdapat tiga jalur menuju pantai barat-selatan Aceh. Jalur dari Medan melalui Aceh Selatan, jalur tengah melalui Geumpang dan Calang. Namun, katanya, ketiga jalur ini kondisinya sangat memprihatinkan. “Jika jalur ini putus akibat banjir dan longsor, hal ini akan berakibat pada melonjaknya harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, jalan strategis itu mutlak harus diselesaikan,” kata Haikal.

Dia juga menambahkan, sisa waktu sebelum BRR bubar, diharapkan program pembangunan rumah bagi korban tsunami harus dituntaskan dengan tetap mengacu pada kualitas rumah yang dibangun.(sar/nal)


http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&rubrik=1&topik=45&beritaid=61103http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&rubrik=1&topik=45&beritaid=61103

Penuhi hak korban tsunami

Friday, 26 December 2008 05:10 WIB
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Memperingati empat tahun tsunami, semua elemen diharapkan merenungi kembali apa yang sudah dilakukan untuk korban. Untuk itu, perlu diasah sensitifitasnya agar persoalan pemenuhan hak korban tsunami terpenuhi.

Harapan itu diungkapkan TAF Haikal, juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) kepada Waspada, tadi malam. Kita harapkan BRR memprioritaskan pemenuhan hak korban tsunami. Sisa waktu beberapa bulan ini, program mereka harus pada peningkatan kualitas bantuan bagi korban tsunami," ujarnya.

Dia menyebutkan, setelah empat tahun berlalu, harapan akan perubahan kearah lebih baik menjadi cita-cita kita semua. Bukan hanya bagi korban, akan tetapi bagi seluruh rakyat Aceh, Indonesia dan bahkan masyarakat internasional. "Pemenuhan hak korban menjadi kata kunci keberhasilan rekonstruksi," sebutnya.

Namun, kata Haikal, pada saat yang sama, korban dihadapkan pada persoalan-persoalan yang sulit diselesaikan, kendati pascabencana, pemerintah membentuk sebuah badan yang diberi nama BRR. "Akan tetapi proses rekonstruksi Aceh juga belum begitu mengembirakan. Berbagai infrastruktur dasar belum selesai," lanjut dia.

Haikal memberi contoh, pembangunan jalan Banda Aceh-Meulaboh yang didanai oleh USAID. Jalan yang menghubungkan ibukota Provinsi Aceh (Banda Aceh) menuju Kota Meulaboh belum juga menunjukkan perkembangan yang pesat.

"Memang banyak persoalan yang dihadapi dalam menyelesaikan pembangunan jalan tersebut. Tapi menurut kami, jalan ini sangat strategis dan penting untuk menjadi prioritas. Jalur ini mutlak diperlukan, mengingat sarana ini amat vital," imbau dia.

Untuk saat ini, tambah Haikal, ada tiga jalur alternatif menuju pantai barat-selatan Aceh, yakni jalur dari Medan melalui Aceh Selatan, jalur tengah melalui Geumpang, Pidie dan jalur Calang, Aceh Jaya. Tapi, kata dia, ketiga jalur itu kondisinya sangat memprihatinkan.

"Jika jalur ini putus akibat banjir dan longsong, hal ini akan berakibat pada melonjaknya harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, Jalan strategis itu mutlak harus diselesaikan," ujar dia.

Menjelang berakhirnya BRR, Kaukus Pantai Barat Selatan mendesak pemerintah untuk menyiapkan strategi menghadapi berakhirnya proses rekonstruksi di Aceh. Tentu dengan berbagai sumber daya dan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh saat ini, katanya.

KPBS juga mengharapkan pemerintah Aceh serius dalam memikirkan persoalan social yang muncul dikemudian hari pasca rekosntruksi. Bukan hanya itu, lanjut dia, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat pun harus serius dan berkomitmen dalam melanjutkan rekonstruksi Aceh.

"Jangan polemik yang terjadi berlarut-larut dan menghambat program rekonstruksi yang dijalan. Oleh karena itu, sudah selayaknya tim pemerintah Aceh melakukan koordinasi dengan "Jakarta" dalam merumuskan kelanjutan program Rekonstruksi Aceh," kata dia.

Gempa bumi dan tsunami yang menghantam Aceh pada 26 Desember empat tahun silam menyisakan luka mendalam. Tak kurang dari 125.000 rakyat Aceh menjadi korban, berbagai infratruktur hancur. Ribuan jiwa kehilangan tempat tinggal. Dan bahkan sampai kini masih ada yang tinggal di barak-barak.
(wir/b20/b05)


http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=58406&Itemid=26

Aceh, residu tsunami empat tahun lalu

Sunday, 28 December 2008

Empat tahun silam, gempa bumi dan tsunami melanda wilayah Aceh dan peristiwa itu hingga kini masih membekas dalam benak warga provinsi ujung barat Indonesia tersebut.

Active ImageBencana alam dahsyat pada 26 Desember 2004 sebanyak 200 ribu penduduk meninggal dunia dan kini para syuhada tersebut bersemayam abadi di sejumlah kuburan massal.

Jumat, 26 Desember 2008, termasuk hari "bersejarah" bagi masyarakat khususnya keluarga korban. Warga berziarah di sejumlah kuburan massal seperti di Ulee Lhue (Banda Aceh), Lambaro dan Lampenerut (Aceh Besar).

Cara lain mengenang peristiwa itu, masyarakat menggelar doa bersama serta yasinan agar almarhum dan almarhumah diterima di tempat yang layak disisi Allah SWT.

Refleksi empat tahun tsunami, ratusan ribu masyarakat di Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie dan Bireuen serta Lhokseumawe, menuju masjid dan mushalla untuk berzikir, tahlil dan yasinan.

"Kesedihan masih terasa di kalangan keluarga dan teman yang menghadap Illahi, tapi mengirim doa dengan harapan agar mendapat tempat layak disisi Allah SWT lebih baik," kata Imam Masjid Baiturrahim Lampoh Daya Tgk Yusri.

Namun, katanya, paling penting adalah meneruskan cita-cita para syuhada agar Aceh ke depan lebih baik, bermartabat dan tegaknya syariat Islam secara kaffah (menyuluruh) di tanah "Serambi Mekah ini.

"Saya ingat betul pesan para orangtua yang telah meninggal saat tsunami, yakni selalu berharap agar situasi Aceh tetap aman dan damai. Syariat Islam harus benar-benar membumi di daerah ini," tambahnya.

Menurut dia, Aceh pascatsunami memang sudah damai dan berbagai infrastruktur publik juga terbangun. Bahkan pembangunan fisik tersebut sudah sesuai harapan masyarakat.

"Hari ini, kita dapat menyaksikan rumah-rumah beton sudah terbangun, jalan teraspal dan ekonomi masyarakat juga membaik. Namun pembangunan nonfisik juga perlu dilaksanakan," ujar dia.

26 Desember 2004, tak kurang dari 800 km sepanjang garis pantai hancur total. Bangunan, tumbuhan, dan kehidupan di sepanjang garis pantai itu tersapu bersih.


Belum terbangun
Rizal (25), penduduk desa Lamjabat menyatakan meski tsunami berlalu empat tahun dan situasi Aceh secara umum sudah membaik, namun hingga kini dia belum mendapat rumah bantuan.

"Saya masih menampati bekas rumah yang dibangun orangtua, setelah kami merehab bahagian yang rusak akibat tsunami. Sementara rumah bantuan tidak ada," katanya.

Pengakuan yang sama juga diucapkan Evi (23), warga Lamdingin Kota Banda Aceh, menyatakan, sangat kecewa karena Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias belum membangun rumah bantuan baginya.

"Untuk mendapatkan rumah bantuan, kami sudah beberapa kali menyurati Kepala Desa dan pihak BRR, tapi hingga saat ini belum ada kepastian," katanya.

Data terbaru yang diperoleh dari BRR menyebutkan sebanyak 124.454 unit rumah baru terbangun selama 3,5 tahun terakhir di dua wilayah terparah diterjang tsunami tersebut.

Kepala Badan Pelaksana (Bapel) BRR Kuntoro Mangkusubroto mengakui, hingga saat ini masih ada sekitar 800 kepala keluarga (KK) korban tsunami masih tinggal di barak (rumah sementara).

"Mereka akan tetap mendapat rumah, karena sekarang ini sedang dibangun dan Januari 2009 diharapkan sudah selesai, termasuk rumah bantuan Arab Saudi," katanya.

Namun, Kuntoro mengatakan, tugas-tugas yang masih belum diselesai seperti pembangunan irigasi, jalan, jembatan, akan diselesaikan pada penghujung Maret 2009.

"Masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai, tetapi kita tidak akan meninggalkan pekerjaan yang belum selesai, di antaranya rumah," ujarnya.

Total anggaran APBN yang telah dipakai untuk rehabagilitasi dan rekonstruksi sudah mencapai Rp21 triliun sampai bulan Desember 2008. Dari dana APBN itu masih dilanjutkan Rp1,6 triliun pada 2009 akan ditangani Pemerintah Aceh.

Selama kurun waktu 3,5 tahun, BRR NAD-Nias juga telah membangun jalan sepanjang 3.005 kilometer, jembatan 266 unit, 954 unit puskesmas, rumah sakit dan poliklinik.

Pembangunan sebanyak 1.450 unit sekolah, 979 unit kantor pemerintah, 12 unit bandar udara, 20 unit pelabuhan laut, dan 103.273 hektar lahan pertanian.


Belum memuaskan
Kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menilai proses rekonstruksi dan rehabilitasi di Provinsi NAD belum memuaskan.

"Kami menilai proses membangun kembali Aceh belum menggembirakan, karena masih ada infrastruktur dasar yang belum selesai dikerjakan," kata juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal.

Dicontohkan, pembangunan ruas jalan menghubungkan Kota Banda Aceh-Calang (Aceh Jaya) yang didanai Pemerintah Amerika Serikat (Usaid), hingga kini belum menunjukkan perkembangan seperti diharapkan.

Padahal, ruas jalan itu merupakan infrastruktur penting dalam upaya mendongkrak percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Aceh, khususnya pesisir barat dan selatan provinsi ujung paling barat Indonesia ini.

"Tapi, kita memaklumi bahwa banyak persoalan yang dihadapi dalam menyelesaikan pembangunan jalan tersebut," katanya.

TAF Haikal menyebutkan memang ada dua jalur lain dapat ditempuh untuk menghubungkan Banda Aceh dengan pesisir barat dan selatan Aceh, yakni dari Medan melalui Aceh Selatan, jalur Tengah lewat Geumpang (Pidie).

"Kondisi jalan sangat memprihatinkan. Jika kedua lintasan itu terputus misalnya akibat banjir dan tanah longsor maka berakibat pada melonjaknya harga kebutuhan pokok di pesisir barat dan selatan Aceh," kata dia.

Oleh karena itu, jalan lintasan Banda Aceh-Calang dan Meulaboh (Aceh Barat) mutlak harus menjadi prioritas diselesaikan guna memperlancar arus transportasi darat ke pesisir barat dan selatan Aceh.

Dia mengimbau Pemerintah Aceh serta BRR agar mengedepankan pemenuhan hak-hak korban, terutama dalam upaya mengatasi pengangguran yang diperkirakan terus melonjak di daerah ini. IndoFamilyTravel/nl

Source : antara

http://www.indofamilytravel.com/index.php?option=com_content&task=view&id=456&Itemid=29

Badan Rekonstruksi Aceh Diminta Tak Tinggalkan Bom Waktu

Jum'at, 26 Desember 2008 | 17:40 WIB

TEMPO Interaktif, Banda Aceh: Masyarakat Nangroe Aceh Darussalam meminta Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias tidak meninggalkan "bom waktu" di Aceh, seiring berakhirnya masa tugas mereka pada April 2009 mendatang.

Panglima Laot Aceh, lembaga adat laut yang membawahi seluruh nelayan Aceh, meminta Badan Rekonstruksi tidak meninggalkan masalah setelah berakhirnya masa tugas mereka. “Masih ada pekerjaan Badan Rekonstruksi yang belum selesai, termasuk pembangunan rumah dan infrastruktur lainnya,” kata Sekretaris Panglima Laot Aceh, Adli Abdullah, Jumat (26/12).

Menurutnya, peringatan empat tahun tsunami harus bisa dijadikan momentum untuk refleksi dan intropeksi. Adli mengingatkan pekerjaan tersebut harus diselesaikan segera. “Setelah saya keliling Aceh, paling kurang ada 3.000 masyarakat Aceh yang masih tinggal di barak,” ucap dia.

Ia menilai, jika sepeninggal Badan Rekonstruksi banyak pekerjaan yang belum selesai, maka akan membebani Pemerintah Aceh dan berimplikasi pada korban tsunami, terutama masyarakat nelayan sebagai korban terbesar. “Masyarakat Aceh juga harus lebih siap membangun kapasitasnya untuk mengantisipasi ‘bom waktu’ setelah tidak ada lagi Badan Rekonstruksi,” ujar Adly.

Sementara itu, juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan Aceh, Taf Haikal mengatakan proses rehab-rekon di Aceh sesudah empat tahun tsunami, belum memuaskan. “Karena masih ada infrastruktur dasar yang belum selesai dikerjakan,” katanya.

Ia mencontohkan, masih ada warga yang tinggal di barak pengungsi. Kemudian pembangunan jalan yang menghubungkan Kota Banda Aceh-Calang (Aceh Jaya) yang didanai melalui Perwakilan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional (United Stated Agency for International Development/USAID), hingga kini belum rampung.

“Padahal itu merupakan infrastruktur penting untuk mendongkrak percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, khususnya pesisir barat dan selatan Aceh,” ucap Taf Haikal. Dia berharap menjelang berakhirnya masa tugas Badan Rekonstruksi, hak-hak korban seperti rumah dan infrastruktur lainnya dapat segera terpenuhi.

Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani mengharapkan Badan Rekonstruksi untuk transparan terhadap seluruh aset yang dikelola lembaga itu sebelum diserahkan kepada Pemerintah Aceh. “Transparansi atas aset merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dan bukan hanya menjadi ajang seremonial belaka,” kata Askhalani.

Dia meminta Badan Rekonstruksi dapat mempublikasi semua yang menjadi aset dan mudah diakses oleh siapa pun, serta bisa dibuktikan. “Agar tidak ada pembohongan dan Pemerintah Aceh nantinya tidak kena getahnya,” ujar Askhalani.

ADI WARSIDI

Topik :

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2008/12/26/brk,20081226-152655,id.html