Sabtu, 20 Februari 2010

Warga Sambut Baik Kelanjutan Pembangunan Jalan USAID

Minggu, 21 Februari 2010
(Berita Daerah - Sumatra) - Warga pesisir pantai barat dan selatan menyambut baik rencana pembangunan kembali ruas jalan seksi IV sepanjang sekitar 13 kilometer di kawasan Lamno-Kuala Unga (Aceh Jaya), yang didonasi lembaga bantuan internasioal Amerika Serikat (USAID).

"Kami memberikan apresiasi terhadap komitmen USAID yang akan melaksanakan pembangunan kembali ruas jalan yang menghubungkan pesisir barat selatan Aceh, setelah sekitar dua tahun dihentikan," kata juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KBPS), TAF Haikal, di Banda Aceh.

Kendati demikian, ia berharap kedepan tidak terjadi lagi penundaan dalam pelaksanaan pembangunan ruas jalan yang sangat strategis sebagai upaya percepatan pertumbuhan ekonomi, khususnya di pesisir barat dan selatan Aceh yang saat ini masih tertinggal.

"Jalan pesisir barat selatan itu merupakan salah satu urat nadi penting bagi percepatan pertumbuhan ekonomi dan mobilitas masyarakat ke ibukota provinsi, Kota Banda Aceh," tambahnya.

Ia juga berharap agar pihak donor (USAID) memberikan penjelasan secara terbuka, sehingga masyarakat bisa mengerti tentang pentingnya kelanjutan pembangunan ruas jalan tersebut.

"Kalau masyarakat tahu dan mengerti, maka saya kira tidak akan terulang lagi kendala di lapangan untuk kelanjutan pembangunan ruas jalan tersebut," kata dia menambahkan.

Ruas jalan pesisir barat selatan Aceh hancur akibat tsunami pada 26 Desember 2004. Bencana alam dahsyat di abad 21 itu juga mengakibatkan sekitar 250 ribu orang meninggal dunia dan dinyatakan hilang.

Sementara itu, pihak USAID telah melakukan pelelangan terhadap pekerjaan pembangunan kembali ruas jalan Banda Aceh-Calang (Aceh Jaya) di seksi IV yang sebelumnya dihentikan.

Pejabat USAID, Roy Ventura, mengatakan, pengumuman lelang tersebut sebagai bukti bahwa lembaga donor (Amerika Serikat) komit terhadap apa yang telah dijanjikan kepada masyarakat Aceh,

Sementara itu, Wakil Bupati Aceh Jaya, Zamzami AR, mengatakan, semua masalah yang dapat menghambat penyelesaian kelanjutan proyek jalan pada seksi IV itu telah diselesaikan, terutama pembebasan tanah.

"Semua tanah masyarakat yang terkena pelebaran jalan itu sudah dibayar. Para pemilik tanah yang terkait dengan masalah keluarga maka uang ganti ruginya sudah dititipkan di pengadilan," kata dia.
(fb/FB/ant)


http://beritadaerah.com/news.php?pg=berita_sumatra&id=18712&sub=column&page=1

Anggaran Belum Jelas, Proyek RAPBA 2010 Sudah Ditender

Banda Aceh, (Analisa)
Meskipun alokasi anggaran hingga kini belum jelas karena Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) tahun 2010 masih dibahas siang dan malam di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA),

namun Pemerintah Aceh sudah mengambil suatu kebijakan untuk melakukan tender terbuka ribuan paket proyek mulai 18 Februari 2010.

Sebagian kalangan menilai, kebijakan Pemerintah Aceh tersebut terlalu memaksakan diri untuk melaksanakan anggaran secepat-cepatnya terhadap berbagai kegiatan proyek RAPBA 2010, yang masih sebatas usulan sepihak dari eksekutif, tapi belum mendapatkan persetujuan dari legislatif.

Koordinator Badan Pekerja Gerakan Anti Korupsi (GeRaK Aceh), Akhiruddin Mahjuddin menilai, meskipun alasan mempercepat pembangunan, namun tender mendahului pengesahan anggaran di dewan dikhawatirkan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum dan menimbulkan masalah di kemudian hari.

"Jika ini yang dilakukan, maka akan mengakibatkan ketidakpastian bagi penyedia barang dan jasa (kontraktor) dan berpotensi adanya gugatan hukum terhadap pemerintah jika ada kontraktor yang merasa dirugikan sehingga dapat menimbulkan ketidakstabilan," ujar Akhiruddin kepada wartawan, Kamis (18/2).

Hal lainnya adalah mengakibatkan inefisiensi atau pemborosan anggaran, jika nantinya DPRA menolak program (proyek) yang diusulkan pemerintah, sehingga akhirnya tender menjadi sia-sia dan harus diulang.

Menurutnya, berbicara mengenai pengelolaan keuangan daerah, haruslah mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 4 ayat (2) Pengelolaan Keuangan Daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah (qanun).

Kemudian pasal 54 Ayat (1) dimana SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja daerah untuk tujuan yang tidak tersedia anggarannya, dan/atau yang tidak cukup tersedia anggarannya dalam APBD, serta Pasal 61 Ayat (2) dimana pengeluaran kas yang mengakibatkan beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum rancangan tentang APBD ditetapkan dan ditempatkan dalam lembaran daerah.

Selain itu, ada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.13 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengelolaan Keuangan Daerah. Dengan kata lain, bahwa APBD atau APBA bukanlah sebuah entitas melainkan satu rangkaian kegiatan dari proses penatakelolaan keuangan daerah agar keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masya-rakat.

Semestinya Tidak Terjadi

Karena itulah pengumuman pelelangan yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh melalui SKPA semestinya tidak terjadi, karena pengumuman tersebut telah melanggar sejumlah dasar-dasar hukum penganggaran. Substansi pelanggarannya yakni sebelum pengumuman pelelangan dilakukan seharusnya APBA 2010 sudah disahkan dalam bentuk produk Qanun APBA Tahun 2010.

Bahwa praktik melakukan pelelangan yang dilakukan sebelum penetapan APBA, menurut GeRAK Aceh sangatlah berbahaya karena melanggar aturan hukum. "Apakah bisa dijamin daftar mata anggaran yang dilelang tersebut akan disetujui oleh DPR Aceh," sebutnya.

Begitu pun GeRAK Aceh sependapat dengan semangat mempercepat pembangunan Aceh, namun ini harus dilihat dalam bingkai aturan hukum. Jika sebuah proses yang dilakukan menabrak aturan hukum yang berlaku, tentu saja patut dicurigai mungkin ada motif lain dibalik pelelangan yang melanggar ini.

Tindakan Janggal

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal menyatakan, mestinya harus ditelaah lagi apakah tender sebelum RAPBA 2010 disahkan bisa dilakukan. "Ini suatu tindakan yang janggal alasannya, jumlah anggaran untuk itu belum jelas, tindakan seperti itu menyalahi aturan anggaran yang baik dan bertentangan dengan kebijakan aturan Permendagri No. 13/2006 dan Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2006 tentang kebijakan penganggaran daerah yang baik," jelasnya.

Dikatakan, jika tender proyek dilakukan di muka tapi anggaran belum disahkan, maka ini berpotensi terjadi tindakan ilegal yang bertentangan dengan aturan terutama Keppres No. 80/2003 tentang pengadaan barang dan jasa, sebab secara implikasi tindakan pengumuman tender di muka juga berpotensi adanya upaya pemaksaaan kehendak atas anggaran yang belum disahkan oleh legislatif.

"Kita sangat memahami pengumuman tender hari ini untuk mensiasati agar implementasi pelaksanaan pembangunan tidak terlambat. Tapi sayang sekali bila langkah yang dilakukan tidak mengacu kepada peraturan yang ada dan justru menjadi salah," ungkapnya.

Pemerintah Aceh Kamis (18/2), mengumumkan 2.536 buah paket proyek RAPBA 2010 dengan nilai total Rp2,1 triliun. Gubernur Irwandi Yusuf mengatakan, pengumuman tender itu dipercepat dan disekaliguskan untuk mengejar waktu dan mempercepat realisasi proyek pembangunan APBA 2010.

"Semakin cepat proyek APBA 2010 ditender secara terbuka, maka pelaksanaannya bakal lebih cepat dari tahun lalu dan diharap akan memberikan dampak ekonomi yang sangat luas terhadap pemberdayaan ekonomi rakyat di provinsi ini," ujarnya. (mhd)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=44874:anggaran-belum-jelas-proyek-rapba-2010-sudah-ditender&catid=566:19-februari-2010&Itemid=207

Minggu, 14 Februari 2010

Eksploitasi Perempuan Berunjukrasa, Bentuk Kepanikan Pemerintah Aceh

Banda Aceh, (Analisa)
Pemerintah Aceh di bawah kendali Gubernur Irwandi Yusuf dan Wakil Gubernur Muhammad Nazar dinilai panik menghadapi kritikan-kritikan yang selama ini dialamatkan terhadap masa kepemimpinan mereka yang memasuki tiga tahun pada 8 Februari lalu.

Bentuk kepanikan tersebut, menurut tokoh muda Aceh Taf Haikal, terlihat dengan upaya mengeksploitasi kaum perempuan dengan memobilisasi para nyak-nyak dari berbagai kampung di Aceh untuk menggelar aksi unjukrasa sebagai bentuk dukungan terhadap kepemimpinan Irwandi yang dinilai telah sukses.

"Ini jelas ekspoitasi kaum perempuan, karena banyak dari nyak-nyak yang datang ke Banda Aceh merasa tertipu, karena sebelumnya disampaikan akan ada dzikir akbar," ungkap Haikal kepada wartawan di Banda Aceh, Jumat (12/2).

Dikatakan, kalau menjawab kritikan-kritikan selama ini terhadap pemerintahan Irwandi-Nazar (IRNA) dengan mobilisi massa, ini menandakan Pemerintah Aceh selama ini memang belum bekerja maksimal kecuali reaksional dalam menghadapi publik.

"Konon lagi mobilisasi massa perempuan yang notabene banyak yang tidak mengerti untuk apa mereka ke Banda Aceh. Jangan dieksploitasi emosi perempuan Aceh dengan cara-cara yang tidak terpuji," ujar Haikal yang juga aktivis angkatan 98 tersebut.

Semestinya, ujar Haikal, Pemerintah Aceh harus mampu memberikan pendidikan politik yang lebih sehat. Sebenarnya itu tidak jadi masalah, bila mereka (kaum perempuan) datang ke Banda Aceh dengan kesadaran penuh, tanpa iming-iming tertentu.

"Jelas ini bentuk kepanikan yang tidak beralasan dari Pemerintah Aceh. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba menurunkan ribuan massa perempuan. Apa tidak ada kerjaan lain," katanya.

Jadi Bumerang

Hal ini bisa jadi bumerang bagi Pemerintah Aceh, yang seharusnya mengajak semua stakeholder berperan dan memberikan kontribusi dalam pembangunan. Konon pula yang dieksploitasi orang tua dan perempuan.Ini sangat memalukan, ujar Haikal sembari menambahkan, tidak seharusnya melakukan tindakan seperti itu kalau merasa pemerintah IRNA sukses.

Eksploitasi massa ini sama saja bentuk kekonyolan. Sebab bentuk-bentuk aksi seperti mobilisasi massa merupakan cara-cara yang sering dilakukan oleh mahasiswa dan parlemen jalanan. Hal ini tak elegan dilakukan seorang pemimpin.

Menurut Haikal, banyak cara lain yang bisa dilakukan, seperti dialog dengan komponen masyarakat, membuat laporan di media baik kemajuan dan kekurangan serta banyak cara-cara lain yang lebih elegan dan berwibawa bisa dilakukan.

Pemerintah Aceh harus berani menyampaikan apa saja keberhasilan dan juga kekurangannya secara transparan kepada masyarakat. Jika perlu minta dukungan masyarakat secara nyata dan langsung untuk memperbaiki kekurangan.

Jangan hanya berani menyampaikan keberhasilan, tapi tidak kesatria mengakui kekurangan atau kelemahan dan minta dukungan rakyat. (irn)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=44174:eksploitasi-perempuan-berunjukrasa-bentuk-kepanikan-pemerintah-aceh&catid=561:13-februari-2010&Itemid=207

Pembangunan Daerah Tertinggal Dinilai Masih Setengah Hati

Banda Aceh, (Analisa)
Keberpihakan Pemerintah Provinsi Aceh dalam mempercepat pembangunan daerah tertinggal seperti kawasan pantai barat selatan dan tengah tenggara Aceh, hingga kini dinilai masih setengah hati.

Hal itu ditandai dengan masih minimnya alokasi anggaran pembangunan tiap tahunnya, jika pun ada dialokasikan sangat sedikit dan dalam pelaksanaan di lapangan kurang terealisasi dengan baik, sehingga program membangun daerah tertinggal terus menjadi retorika semata.

"Kami menilai masih setengah hati keperpihakan provinsi dalam membangun daerah tertinggal," ujar Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal kepada wartawan, Rabu (10/2).


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=43989:pembangunan-daerah-tertinggal-dinilai-masih-setengah-hati&catid=559:11-februari-2010&Itemid=207
Sebelumnya, Gubernur Irwandi Yusuf menyatakan wilayah pantai barat selatan tidak dianaktirikan. Menurut Irwandi, bukti yang paling nyata adalah besarnya alokasi dana otonomi khusus (Otsus) yang diberikan kepada daerah pantai barat selatan. Bahkan menurutnya, alokasi dana tersebut lebih besar dari kawasan timur-utara Aceh.

Menyikapi persoalan itu, KPBS menyatakan pendapat yang berbeda dengan pandangan Gubernur Aceh. Menurut Haikal, dana otonomi khusus yang selama ini dialokasikan memang sudah sangat jelas mekanisme pembagian dan pengalokasian.

Ketentuan ini diatur dalam Qanun No.2 Tahun 2008 tentang tata cara pengalokasian tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan dana otonomi khusus.

Dalam qanun tersebut, sudah mengatur secara jelas porsi dari suatu daerah dengan menggunakan indikator jumlah penduduk, luas wilayah indeks kemiskinan, dan lain-lain.

Jadi, hal ini bukan merupakan kebijakan sepihak dari Pemerintah Aceh, tapi lebih pada melaksanakan kebijakan yang sudah ada sebagaimana diatur dalam qanun tersebut.

Alokasi APBA

"Menurut kami, untuk melihat keberpihakan dari pemerintah provinsi, maka yang harus diperhatikan adalah apakah alokasi dari APBA murni sudah dialokasikan untuk program dan kegiatan bagi wilayah pantai barat selatan. Justeru dalam APBA murni inilah wilayah "pertaruhan" untuk melihat komitmen Pemerintah Aceh dalam upaya mengurangi gap atau ketertinggalan pembangunan di Aceh," ujar Haikal.

Dari Rancangan APBA sebesar Rp6,9 triliun, sebesar Rp3,9 triliun yang sumber dananya dari dana otonomi khusus, dengan sisanya Rp3 triliun APBA murni inilah seharusnya Pemerintah Aceh punya keberpihakan yang kongkrit. Jadi memang sangat naif jika kita hanya melihat pengalokasian dana otonomi khusus.

"Kami mendorong dibentuknya unit dan institusi yang bersifat Ad Hoc (sementara) yang berfungsi untuk menjamin pelaksanaan pembangunan daerah khususnya pengelolaan dana Otsus dan Tambahan Bagi Hasil Migas. Institusi ini penting untuk mengawal perencanaan yang terintegrasi dan menciptakan mekanisme pengawasan dan monitoring pembangunan," katanya.

Untuk mengefektifkan lembaga ini, maka keberadaan institusi ini mesti berada di bawah kendali Bappeda Aceh, sehingga lebih memudahkan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan.

Disamping itu, diperlukan juga komite-komite khusus untuk mempercepat upaya mengurangi gap pembangunan tersebut, misalnya Komite Pantai Barat Selatan, Komite kawasan Tengah Tenggara dan Komite Kawasan Timur-Utara.

Penanganan pembangunan untuk wilayah-wilayah yang memang sudah tertinggal sejak dulu sebenarnya sudah ada contoh, bagaimana Indonesia memperlakukan Aceh dengan memberikan perlakukan khusus.

Sehingga wilayah-wilayah yang tertinggal tersebut dapat mengejar ketertinggalan mereka selama ini. Bila itu tidak pernah dilakukan, kami berpendapat Pemerintah Aceh setengah hati dalam melihat pantai barat selatan dan jelas dianaktirikan. (mhd)

Kamis, 11 Februari 2010

Provinsi Setengah Hati

Terkait ‘Menganaktirikan’ Daerah Tengah dan Barat Selatan

Kamis, 11 Februari 2010 | 10:57
Banda Aceh-Terkait anggapan ‘menganaktirikan’ daerah Tengah dan Barat Selatan Aceh, Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh TAF Haikal, angkat bicara. TAF Haikal menilai pembagian ‘porsi’ dana otonomi khusus dan migas ke kawasan Barat Selatan, provinsi masih setengah hati.

“Semuanya jelas. Dana otonomi khusus yang selama ini dialokasikan memang sudah sangat jelas mekanisme pembagian dan pengalokasian. hal ini bukan merupakan kebijakan sepihak dari pemerintah Aceh, tapi lebih pada melaksanakan kebijakan yang sudah ada sebagaimana diatur dalam Qanun aceh tersebut, ” kata Jubir KPBS, TAF Haikal kepada wartawan, Rabu (10/2) di Banda Aceh.

Sekali lagi, ia menilai pendapat gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang menampik ‘penganaktirian’ kawasan, itu tidak benar dan pihaknya berbeda 180 derajat dengan apa yang dikatakan gubernur itu. Menurutnya, ketentuan pembagianitu, diatur didalam Qanun No 2 Tahun 2008 tentang tata cara pengalokasian tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan dana otonomi khusus.

Dalam qanun tersebut sudah mengatur secara jelas porsi dari suatu daerah dengan menggunakan indikator jumlah penduduk, luas wilayah indeks kemiskinan.
Kedua, ujarnya, pihaknya melihat keberpihakan pemerintah provinsi, maka yang harus diperhatikan adalah apakah alokasi dari APBA murni sudah dialokasikan untuk program dan kegiatan bagi wilayah Pantai Barat Selatan.

Justeru dalam APBA murni inilah wilayah “pertaruhan” untuk melihat komitmen pemerintah Aceh dalam upaya mengurangi GAP atau ketertinggalan pembangunan di Aceh.
Dari RAPBA sebesar Rp 6,9 triliun sebesar Rp 3,9 triliun bersumber dari dana otonomi khusus, sisanya Rp 3 triliun APBA murni inilah seharusnya Pemerintah Aceh punya keberpihakan yang konkrit.

Jadi memang sangat naif jika kita hanya melihat pengalokasian dana otonomi khusus. Ketiga: pihaknya menganggap perlu upaya mendorong dibentuknya unit dan institusi yang bersifat ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menjamin pelaksanaan pembangunan daerah khususnya pengelolaan dana otsus dan Tambahan Bagi Hasil Migas.

Disamping itu, diperlukan juga komite-komite khusus untuk mempercepat upaya mengurangi gap pembangunan tersebut, misalnya komite Pantai Barat Selatan, komite kawasan Tengah Tenggara dan Komite Kawasan Timur-Utara. (ian)


http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=15374&tit=Berita%20Utama%20-%20Provinsi%20Setengah%20Hati

Perlu unit khusus pantau pengelolaan dana Otsus

Thursday, 11 February 2010 18:41
Warta - Aceh
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Pemerintah Provinsi Aceh perlu membentuk unit khusus bersifat sementara (ad hoc), yang berfungsi untuk menjamin pengelolaan dana otonomi khusus (otsus) ,dan tambahan bagi hasil minyak dan gas (migas).

"Kami mendorong dibentuknya unit sementara karena institusi itu penting guna mengawal perencanaan terintegrasi dan menciptakan mekanisme pengawasan serta monitoring pembangunan yang sumber dananya dari otsus dan migas," kata aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), TAF Haikal, di Banda Aceh, tadi sore.

Untuk mengefektifkan institusi sementara tersebut, maka keberadaannya harus dibawah Badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda). "Keberadaan institusi sementara itu dibawah Bappeda bertujuan untuk memudahkan koordinasi, dan sinkronisasi perencanaan pembangunan," tambahnya.

Selain itu, untuk memantau pengelolaan dana otsus dan migas, maka diperlukan juga komite khusus guna mempercepat upaya mengurangi jurang pemisah pembangunan antara kawasan pesisir timur-utara, pantai barat-selatan, dan wilayah tengah-tenggara Aceh.

Menurutnya, penanganan pembangunan wilayah-wilayah tertinggal sejak dulu sebenarnya sudah dilakukan, misalnya bagaimana pemerintah pusat terhadap Aceh dengan memberikan perlakukan khusus.

"Dengan perlakuan Pemerintah pusat terhadap Aceh itu, maka ketertinggalan pembangunannya dari provinsi lain dapat terkejar. Karena itu seharusnya Pemerintah Aceh memberlakukan sistem tersebut terhadap kabupaten/kota di daerah ini yang masih tertinggal," katanya.

Jika pemerintah Aceh tidak memberi perhatian dan menangani secara khusus terhadap pembangunan kawasan tertinggal, maka ia berpendapat bahwa kawasan pantai barat-selatan masih dipandang sebelah mata dibanding kabupaten/kota lain, yang sudah maju.

Apalagi, sebutnya, dalam Rancangan Anggaran Pembangunan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2010 mencapai sekitar Rp6,9 triliun. "RAPBA yang relatif besar itu seharusnya pemerintah Aceh dapat memberi perhatian khusus bagi percepatan pembangunan daerah tertinggal, khususnya pantai barat, dan selatan Aceh," katanya.

Editor: SATRIADI TANJUNG
(dat01/ann)


http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=89183:perlu-unit-khusus-pantau-pengelolaan-dana-otsus&catid=13:aceh&Itemid=26

Dana Otsus bukan indikator pemerataan pembangunan Aceh

Thursday, 11 February 2010 17:39
Warta - Aceh
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Pemerintah Aceh diminta tidak menjadikan alokasi dana otonomi khusus (otsus), serta bagi hasil minyak, dan gas (migas) untuk kabupaten/kota sebagai indikator adanya pemerataan pembangunan di provinsi itu.

"Alokasi dana otsus dan bagi hasil migas untuk kabupaten/kota sesuai mekanismenya. Jadi itu bukan sebuah indikator pemerintah Aceh sudah melakukan pemerataan, dan berpihak ke daerah tertinggal," kata, TAF Haikal, di Banda Aceh, tadi sore.

Hal itu dikemukakannya menanggapi pernyataan gubernur, Irwandi Yusuf, yang mengatakan, bahwa pembangunan wilayah pantai barat, dan selatan Aceh tidak dianaktirikan.

Juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) itu, menyatakan, pernyataan gubernur tersebut keliru, sebab pengalokasian dana otsus untuk kabupaten/kota telah diatur dalam Qanun (Perda) No 2 Tahun 2008 tentang tata cara pengalokasian tambahan dana bagi hasil migas, dan penggunaan dana otsus.

"Dalam qanun tersebut mengatur secara jelas porsi dari suatu daerah dengan menggunakan indikator jumlah penduduk, luas wilayah indeks kemiskinan, dan lain-lain.Jadi hal itu bukan kebijakan sepihak pemerintah Aceh, tapi melaksanakan kebijakan yang sudah diatur dalam Qanun Aceh tersebut," tambahnya.

Karenanya, katanya, untuk melihat keberpihakan Pemerintah Aceh maka yang harus diperhatikan adalah apakah alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) murni sudah diperhatikan untuk program dan kegiatan bagi wilayah pantai barat dan selatan Aceh.

"Justru dalam APBA murni wilayah 'pertaruhan' untuk melihat komitmen pemerintah Aceh dalam upaya mengurangi jurang pemisah atau ketertinggalan pembangunan di Aceh," tambahnya.

Dari RAPBA 2010 sebesar Rp6,9 triluan, senilai sekitar Rp3,9 triliun diantaranya sumber dananya dari otsus, dan Rp3 triliun adalah APBA murni.

"Artinya, sumber dana APBA murni itulah seharusnya Pemerintah Aceh punya keberpihakan yang kongkrit untuk membangun wilayah pantai barat dan selatan Aceh yang tertinggal dibanding kabupaten/kota lain di provinsi ini," jelasnya.

Editor: SATRIADI TANJUNG
(dat01/ann)


http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=89178:dana-otsus-bukan-indikator-pemerataan-pembangunan-aceh&catid=13:aceh&Itemid=26

USAID diharapkan selesaikan pembangunan jalan

Wednesday, 03 February 2010 16:05
Warta - Aceh
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengharapkan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) berkomitmen menyelesaikan pembangunan ruas jalan Banda Aceh-Calang (Aceh Jaya) bisa direalisasikan.

"Kiranya ruas jalan yang tinggal beberapa kilometer lagi bisa, dan tuntas hingga akhir 2010,” harap wakil ketua DPRA, Sulaiman Abda, sore ini.

Dijelaskan, saat ini sepanjang 13 kilometer ruas jalan, dan jembatan yang menghubungkan transportasi darat Banda Aceh ke wilayah pantai barat, dan selatan Aceh di kawasan Lamno belum dikerjakan.

"USAID diharapkan segera melanjutkan pembangunan jalan pada section IV di kawasan Lamno, termasuk kelanjutan sebuah jembatan di Lambeuso," katanya.

Dikatakan, hasil komunikasi dengan pihak pelaksana proyek menyebutkan, ruas jalan di section IV itu saat ini sedang dalam proses tender. Sementara, pihak USAID menyebutkan, saat ini sedang dalam tahapan akhir proses tender, dan dipastikan dua bulan mendatang akan dikerjakan.

Sementara, sekitar 45 kilometer dari total sekitar 150 kilometer ruas jalan Banda Aceh-Calang kini dalam tahapan pemadatan yang dikerjakan kontraktor Korea (Sam Young) dan Hutama Karya.

Wilayah pantai barat Aceh merupakan salah satu terparah dihantam bencana tsunami 26 Desember 2004. Sebagian besar ruas jalan dan jembatan hancur akibat bencana alam tersebut.

"Ruas jalan itu sangat dibutuhkan masyarakat sebagai salah satu urat nadi strategis bagi kelancaran aktivitas dan mobilitas masyarakat, khususnya pesisir barat, dan selatan Aceh ke Kota Banda Aceh," katanya.

USAID juga tidak lagi beralasan kendala pembangunan ruas jalan tersebut karena salah satu jembatan penghubung (jembatan Kartika) tidak bisa dilalui kendaraan untuk mengangkut material bangunan.

"Jembatan itu sudah diperbaiki. Kita berharap bukan alasan lagi untuk menunda-nunda penyelesaian pembangunan ruas jalan Banda Aceh-Calang itu," katanya.

Sementara itu, juru bicara Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS), TAF Haikal juga mengharapkan ruas jalan tersebut kini sangat mendesak diselesaikan, sehingga masyarakat di kawasan pesisir tidak terlalu lama terisolasi.

Editor: SATRIADI TANJUNG
(dat01/ann)


http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=86991:usaid-diharapkan-selesaikan-pembangunan-jalan&catid=13:aceh&Itemid=26

Sabtu, 06 Februari 2010

Aktivis: Ganti Wilayatul Hisbah

Banda Aceh, 19 Januari 2010 17:42
Aktivis di Aceh mengusulkan instansi wilayatul hisbah atau polisi syariah, dibubarkan dan diganti unit khusus penanganan pelanggaran syariat Islam di kepolisian.

"Dari pada tumpang tindih di Polda lebih baik dibentuk unit khusus bagi penanganan pelanggaran syariat Islam," kata TAF Haikal, mantan direktur eksekutif LSM Aceh, di Banda Aceh, Selasa (19/1).

Haikal menyatakan hal itu karena melihat penegakan syariat Islam di Aceh masih setengah hati terutama setelah terungkap kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oknum petugas wilayatul hisbah belum lama ini.

Seorang mahasiswi yang diduga berkhalwat dan ditahan di markas Satpol PP dan wilayatul hisbah Kota Langsa diduga diperkosa tiga oknum petugas wilayatul hisbah pada 8 Januari 2010.

Peristiwa tersebut menjadikan insitusi yang seharusnya mengawasi penerapan syariat Islam di Aceh menjadi bahan cibiran masyarakat dan pemerintah dianggap setengah hati menegakkan syariat Islam.

Dalam strategi penegakan syariat Islam jangka panjang menurutnya bisa dilakukan kepolisian melalui unit khusus penanganan pelanggaran syariat misalnya melalui proses rekruitmen spesifik yang berlatar belakang pendidikan pesantren. "Unit khusus bisa direkrut petugas berbasis santri. Proses pelatihannya sama seperti polisi lainnya tapi mungkin perlu ditambah modul khusus tentang syariat Islam," tambahnya.

Dengan unit khusus tersebut, penegakan hukum dan disiplin internal lebih kuat dibanding Satpol PP dan wilayatul hisbah, sehingga diharapkan penerapan syariat Islam di Aceh semakin maksimal. "Perspektif penegakan hukum di kepolisian lebih kuat. Sedangkan Dinas Syariat Islam didorong untuk melakukan sosialisasi dan kampanye syariat Islam sehingga masyarakat lebih memahami hukum Islam," katanya.

Sedangkan untuk jangka pendek, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam harus berani melobi kepolisian agar santri bisa diterima dalam institusi penegak hukum tersebut. [TMA, Ant]


http://gatra.com/2010-01-23/artikel.php?id=134073