Senin, 30 Mei 2011

Pemprov Aceh Janji Cabut Izin Tambang Tak Sesuai Prosedur

lavinda |
Sabtu, 28/05/2011 01:01 WIB

Jakarta - Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Provinsi Aceh Said Ikhsan menegaskan pihaknya sedang berupaya mencabut izin pertambangan yang tidak sesuai prosedur di wilayah Aceh.

"Sekarang kami sedang meminta kabupaten untuk mencabut izin pertambangan yang dikeluarkan tidak sesuai prosedur," tegas Said seperti tertulis dalam siaran pers yang diterima www.today.co.id, Jumat (27/5/2011).

Pernyataan ini diungkapkan untuk menanggapi desakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan beberapa LSM lain yang sebelumnya meminta Pemerintah Provinsi Aceh berhati-hati dalam mengeluarkan izin penambangan di wilayah tersebut.

Tak hanya itu, Juru bicara Kaukus Pantai Barat-Selatan TAF Haikal menyayangkan aparatur pemerintah yang dengan mudah mengeluarkan izin tambang, tetapi tak mampu mengontrolnya.

"Wajar saja jika investor tambang mempertahankan assetnya kalau ada masalah, pemerintah diam saja," katanya.

Selain WALHI dan Kaukus Pantai Barat-Selatan, LSM lain yang turut dalam audiensi kali ini ialah Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan ACSTF.

Pada dasarnya, Aceh merupakan satu-satunya daerah yang telah memiliki dan dapat mengontrol Izin Usaha Penambangan (IUP)-nya sendiri. Oleh karena itu, saat ini pemerintah Provinsi Aceh meminta kabupaten untuk mencabut izin pertambangan yang tak sesuai prosedur.
(lav/lav)


http://today.co.id/read/2011/05/28/34844/pemprov_aceh_janji_cabut_izin_tambang_tak_sesuai_prosedur

Izin Pertambangan Merajalela ; Barat Selatan Aceh Terancam Bencana Besar

Banda Aceh, (Analisa)

Masyarakat di kawasan pantai barat selatan Provinsi Aceh saat ini merasa khawatir akan terjadinya bencana alam besar yang akan mengancam kehidupan mereka di masa yang akan datang menyusul akan beroperasinya sejumlah perusahaan pertambangan di daerah mereka.

Beroperasinya belasan perusahaan tambang khususnya yang bergerak di bidang eksplorasi dan ekspoitasi bijih besi dan emas tersebut, menyusul izin dikeluarkan baik oleh Pemerintah Provinsi Aceh maupun pemerintah kabupaten/kota setempat.

Pemberian izin tersebut terkesan telah mengabaikan sikap penolakan dan protes yang dilancarkan oleh masyarakat di beberapa kabupaten/kota di barat selatan ini seperti Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Subulussalam, dan Aceh Jaya. Pemerintah pun dinilai tak peduli lagi terhadap keselamatan warganya yang merasa terancam.

”Kita sangat menyayangkan pemberian izin pertambangan yang saat ini begitu merajalela, yang dilakukan Pemprov Aceh maupun beberapa kabupaten/kota. Seharusnya, mereka lebih mengutamakan keselamatan rakyatnya dari ancaman bencana ketimbang mencari untung dari sektor pertambangan,” ujar Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal kepada wartawan, Sabtu (28/5).

Ia mencontohkan, warga dari enam Desa di Kecamatan Jeumpa Aceh Barat Daya telah mengirimkan surat kepada Gubernur Aceh. Surat yang ditandatangani masing-masing Geucik setempat, menolak kehadiran PT Juya Aceh Minning (JAM) dan perusahaan tambang lainnya yang akan melakukan eksploitasi dan eksplorasi bijih besi di kawasan mereka.

Selain itu, mereka meminta Gubernur Aceh agar tidak mengeluarkan izin apa pun terkait aktifitas pertambangan di kawasan mereka. “Masyarakat sepakat menolak daerah mereka dieksploitasi dan hancur atas nama pertumbuhan ekonomi semu. Bukti-bukti kerusakan akibat kegiatan penambangan seperti di Manggamat tampak nyata, mengapa masih juga mengizinkan tambang,” kecamnya.

Haikal mengatakan, dari 109 data perusahaan tambang tahun 2010 lalu, sedikitnya 66 perusahaan yang menjalankan pertambangan di wilayah Barat Selatan. Kemudian ada tiga perusahaan yang sudah mengantongi AMDAL-nya, yaitu di Aceh Jaya, Subulussalam dan Aceh Selatan.

Peruntukkan izin-izin investasi pertambangan di Aceh jangan diberikan seenaknya. Pemprov Aceh harus mengkaji lebih dalam lagi karena termasuk daerah yang rawan terhadap bencana. Pasalnya, kalau HPH menebang di atas permukaan bumi, tapi kalau pertambangan itu bisa mengorek bumi dan sangat besar resiko terjadinya bencana.

Ia juga mengecam pemilihan sektor tambang sebagai basis pembangunan Aceh sebagaimana yang disebutkan Gubernur Irwandi Yusuf dalam pembukaan Musrenbang RKPA beberapa waktu lalu, karena itu solusi keliru untuk mensejahterakan masyarakat.

”Fakta menunjukkan tidak ada daerah makmur karena tambang. Di Indonesia banyak contoh, seperti Bangka Belitung yang tinggal lubang-lubang besar peninggalan tambang timah, Papua yang gunungnya sudah menjadi danau dikeruk oleh Freeport, tapi masyarakat setempat tetap miskin.

Banyak Konflik

Juga bisa dilihat mulai dari Aceh Selatan hingga Tamiang, banyak terjadi konflik akibat pertambangan. Dari sisi PAD tidak jelas pemasukan dari sektor pertambangan yang masuk ke kas pemerintah. Dari sisi tenaga kerja juga tidak banyak pekerja yang terserap mengingat tambang di Aceh hanyalah tambang mengeruk semata tanpa pengolahan lebih lanjut (pabrik). Pertambangan di Aceh adalah keruk tanah sedalam-dalamnya (penambangan terbuka/open pit), ambil, ekspor dan lalu bekas tambang ditinggalkan begitu saja.

Sementara Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan pada Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Armia SH menyatakan aktivitas pertambangan sudah sangat jelas akan merusak lingkungan, dan akan menimbulkan dampak seperti terjadinya berbagai bencana.

”Jelas merusak dan berpotensi besar mengundang bencana. Seperti kawasan hutan dan gunung, kita rusak dan mengambil bahan galian. Kerusakan tidak hanya sekitar, tapi juga meluas kemana-mana, apalagi jika tidak diikuti dengan reklamasi kerusakan tersebut,” ungkapnya.

Menurutnya, untuk menghindari bencana alam, pemerintah harus benar-benar bersikap tegas kepada perusahaan. Bagi perusahaan penambang, kata dia, penutupan tambang usai pemanfaatan sudah merupakan keharusan dengan menganggarkan dana penutupan itu dalam komponen biaya perusahaan hingga masa izin berlaku.”Pemerintah, harus benar-benar bisa memastikan apakah perusahaan itu sudah menjalankan kewajibannya melakukan penutupan bekas tambang,” terang Armia. (mhd)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=97117:izin-pertambangan-merajalela--barat-selatan-aceh-terancam-bencana-besar&catid=1020:30-mei-2011&Itemid=216

Stop Izin Tambang Jika tak Mampu Kontrol

Sun, May 29th 2011, 10:02
Utama
BANDA ACEH – Aktivis lingkungan dari beberapa LSM mengingatkan pemerintah tentang berbagai persoalan tambang dan dampak buruk pertambangan di Aceh. Salah satu warning yang dikeluarkan elemen sipil tersebut adalah jangan keluarkan izin tambang kalau pemerintah tak mampu mengontrolnya.

Berbagai persoalan seputar masalah pertambangan mengemuka ketika audiensi aktivis lingkungan dari beberapa LSM dengan Kepala Dinas Pertambangan & Energi (Distamben) Aceh, Said Ikhsan, Jumat (27/5). Audiensi yang berlangsung secara dialogis tersebut mendiskusikan berbagai persoalan tambang di Aceh.

Aktivis lingkungan yang melakukan audiensi tersebut adalah Walhi Aceh, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS), dan ACSTF.

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS), TAF Haikal secara filosofis mengatakan, sejak dahulu bencana memang sudah ada, tak terhindarkan. “Bencana adalah siklus alam. Tapi jangan pula kita memperparah dengan merusak alam seperti penambangan. Tambang itu kan udah dipotong di atas, dikeruk lagi di bawah,” katanya.

TAF Haikal menyayangkan aparatur pemerintah yang dengan mudah mengeluarkan izin tambang tetapi kemudian tidak mampu mengontrolnya. “Wajar saja jika investor tambang mempertahankan asetnya kalau ada masalah, pemerintah diam saja. Agar tak memunculkan kerugian terhadap semua pihak, stop mengeluarkan izin tambang kalau memang tak mampu mengontrolnya,” ujar Haikal ketika audiensi maupun dalam keterangan tambahannya kepada Serambi, kemarin.

Dampak buruk
Direktur Eksekutif Walhi Aceh, T Muhammad Zulfikar menyampaikan berbagai persoalan tambang dan dampak buruk pertambangan di Aceh. “Banyak kajian yang menyatakan korelasi antara pembukaan tambang dan lingkungan hidup selalu negatif,” kata Zulfikar.

Walhi mengkhawatirkan kondisi itu, apalagi Aceh termasuk daerah yang rawan bencana, sehingga dampak yang ditimbulkan semakin berganda. “Dari dua sampel pertambangan, PT PSU di Manggamat dan PT LSM di Lhoong, sudah menimbulkan konflik sosial. Kayaknya cuma mimpi ada perusahaan tambang yang bisa menerapkan prinsip-prinsip good mining practices, saya belum pernah lihat,” jelas Zulfikar.

Zulfikar menyarankan agar Aceh memaksimalkan dahulu potensi-potensi yang ada seperti agrobisnis, wisata, perikanan, dan lainnya. Apalagi kini menurutnya semua mata tengah melirik Aceh, menantikan keberhasilan program moratorium logging. “Jangan atasnya hijau tapi bawahnya keropos, bolong-bolong,” kata Zulfikar.

Zulfikar mengingatkan apa artinya jika memiliki banyak emas dari pertambangan tetapi hutan dan alam sebagai sumber air menjadi rusak. “Emas nggak ada arti kalau kita tidak ada air yang bisa diminum. Siapkan emas untuk cadangan terakhir, jika yang lain-lain tidak bisa kita olah lagi,” ucapnya.

Sedangkan Rusliadi dari Jatam mengingatkan, konflik tambang di Aceh masih sangat besar. Ia mengambil contoh tambang di Lhoong, yang kebetulan merupakan kampung halamannya.

Keistimewaan
Menanggapi berbagai sorotan dan warning dari aktivis lingkungan, Kadistamben Aceh, Said Ikhsan, mengatakan bahwa Aceh memiliki keistimewaan sendiri dalam mengontrol tambang. “Aceh merupakan satu-satunya daerah yang telah memiliki qanun yang dapat mengontrol IUP-nya sendiri. Sekarang kami sedang meminta kabupaten untuk mencabut izin pertambangan yang dikeluarkan tidak sesuai prosedur,” tandas Said Ikhsan.

Ia memberi contoh, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), tidak ada tawar menawar. Meski di dalam KEL mengandung banyak sekali potensi tambang namun melarang total pembukaan tambang batu bara atau bijih besi di KEL. “Tapi kalau emas, pemerintah akan mempertimbangkannya. Kalau potensinya (emas-red) sangat besar, kita akan duduk, mau diambil sekarang atau nanti,” katanya.

Tambang, kata Said Ikhsan tetap diperbolehkan asal untuk kemakmuran masyarakat banyak dan sebagai cadangan devisa. Data pertambangan yang diberikan menunjukkan saat ini sudah ada 109 perusahaan tambang yang terdaftar. 19 perusahaan di antaranya telah mendapat izin operasi produksi dan empat perusahaan telah melakukan ekspor yaitu satu di Aceh Besar, dua di Kabupaten Abdya, dan satu perusahaan lagi di Aceh Selatan.(sir/nas)


http://m.serambinews.com/news/view/57389/stop-izin-tambang-jika-tak-mampu-kontrol

Pemerintah Aceh Agar Hati-hati Keluarkan Izin Tambang

Banda Aceh, (Analisa)

Aktivis lingkungan dari beberapa LSM di Aceh meminta Pemerintah Aceh melalui Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) setempat agar hati-hati menerbitkan izin pertambangan. Jika tidak, bencana besar mengancam Aceh.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar, mengungkapkan, banyak kajian yang menyatakan korelasi antara pembukaan tambang dan lingkungan hidup selalu negatif. Ini sangat mengkhawatirkan, apalagi Aceh termasuk daerah rawan bencana, sehingga dampak yang ditimbulkan semakin berganda.

Sebagai contoh adalah dua pertambangan di Aceh yang sudah menimbulkan konflik sosial.

Dia menyarankan agar Aceh memaksimalkan dahulu potensi-potensi yang ada seperti agrobisnis, wisata, perikanan dan sebagainya. Apalagi kini semua mata tengah melirik Aceh menantikan keberhasilan program jeda tebang.

"Jangan atasnya hijau tapi bawahnya keropos," ujar Zulfikar saat aktivis lingkungan berbagai LSM melakukan pertemuan dengan Distamben Aceh di banda Aceh, Jumat (27/5).

Diutarakannya, tidak ada artinya memiliki emas banyak dari pertambangan jika hutan dan alam sebagai sumber air menjadi rusak.

Sementara itu Rusliadi dari JATAM menyampaikan, konflik tambang di Aceh masih besar. Selain itu juga menimbulkan dampak kerusakan lingkungan.

"Dampak lain, karang di pinggir pantai rusak akibat terbenam lumpur yang dibawa aktivitas pelabuhan pengiriman tambang," ungkap Rusliadi tentang dampak operasional tambang di kampung halamannya di Aceh Besar.

Jangan Diperparah

Sedangkan juru bicara Kaukus Pantai Barat-Selatan, TAF Haikal secara filosofis mengatakan, sejak dulu bencana memang sudah ada. Bencana adalah siklus alam. Tapi jangan pula memperparah dengan merusak alam seperti penambangan.

Haikal menyayangkan aparatur pemerintah yang dengan mudah mengeluarkan izin tambang tetapi tidak mampu mengontrolnya.

Menanggapi berbagai persoalan tersebut, Kadistamben Aceh, Said Ikhsan, mengatakan, Aceh memiliki keistimewaan sendiri dalam mengontrol tambang. Posisi Pemerintah Aceh dalam sektor pertambangan merupakan satu-satunya daerah yang telah memiliki qanun (Perda) tentang izin usaha pertambangan (IUP).

"Sekarang kami sedang meminta kabupaten untuk mencabut izin pertambangan yang dikeluarkan tidak sesuai prosedur," ujarnya.

Dicontohkannya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Di sini tidak boleh ada konsesi tambang, meski mengandung banyak potensi. Di dalam KEL tidak diperkenankan pertambangan batubara atau bijih besi. Namun, untuk emas, masih dipertimbangkan pemerintah.

"Kalau potensinya (emas) sangat besar. Maka kita akan duduk (mendiskusikannya), mau diambil sekarang atau nanti," katanya.

Tambang menurutnya tetap diperbolehkan demi kemakmuran masyarakat dan sebagai cadangan devisa sesuai perundangan yang berlaku.

Data pertambangan yang diberikan menunjukkan saat ini sudah ada 109 perusahaan tambang yang terdaftar. 19 perusahaan di antaranya telah mendapat izin operasi produksi dan empat perusahaan telah melakukan ekspor yaitu satu perusahaan di Aceh Besar, dua perusahaan di kabupaten Abdya dan satu perusahaan di Aceh Selatan. (irn)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=96875:pemerintah-aceh-agar-hati-hati-keluarkan-izin-tambang&catid=1018:28-mei-2011&Itemid=216