Jumat, 18 Juni 2010

Pemimpin Teladan

Fri, Jun 18th 2010, 09:15
Harian Serambi Indonesia
TAF Haikal - Opini

MEMBICARAKAN kepemimpinan tidak ada duanya di muka bumi ini sampai hari akhir nanti kecuali Rasulullah Saw, panutan terbaik umat Islam dan semua manusia dalam setiap masalah baik keduniaan maupun masalah agama.

Saat Rasulallah Saw menderita sakit yang amat parah dan meminta Abu Bakar mengimami shalat, tetapi Abu Bakar menyatakan diri belum mampu menjadi imam. Terpaksa Rasulullah dipapah tetap menjadi imam shalat. Setelah itu beliau mendapat firasat bahwa tidak lama lagi beliau akan wafat. Rasulallah bersabda, “Sahabat-sahabatku, selama ini aku telah bermasyarakat bersama kalian dan memimpin kalian. Tentu ada kesalahan yang kulakukan, mungkin menyakiti kalian. Tampaknya sudah dekat waktunya kita akan berpisah. Karena itu, maafkanlah aku. Kalau ada yang pernah kusakiti, balaslah aku sekarang, sebelum aku menerima pembalasan di akhirat.”

Para sahabat meneteskan air mata karena terharu sambil menundukkan wajah mereka. Karena tidak ada jawaban, beliau mengulanginya. Tidak juga ada jawaban, semua membisu menahan tangis. Beliau mengulanginya lagi. Suasana semakin haru dan mencekam, sehingga tidak ada yang menyadari saat ada seorang sahabat bernama Ukasah mendekati Rasulullah Saw.

Ukasah berkata, “Rasulullah, aku pernah engkau sakiti.” Seorang sahabat berkata sambil berdiri, “Langkahi dulu mayatku, sebelum engkau menyakiti Rasulullah,” Rasulullah meminta para sahabat duduk kembali, Beliau bertanya, “Kapan aku pernah menyakitimu?” Ukasah menjawab, “Saat Perang Badar! Untaku mendekati untamu, aku turun untuk menghormatimu. Saat itulah ujung cambukmu mengenai punggungku,”. Lalu Rasulullah meminta Bilal mengambil cambuk yang dimaksud, yang diberikan kepada Ukasah. “Cambuk ini dulu mengenai kulit punggungku karena saat itu aku tidak memakai baju,” ujar Ukasah. Rasulullah lalu membuka baju beliau dan memunggungi Ukasah sehingga punggung beliau yang putih bersih berada di hadapan Ukasah, membuat tanda kerasulan terlihat jelas. Sambil memperhatikan tanda kerasulan itu, Ukasah melemparkan cambuk yang dipegangnya. Sesaat kemudian Ukasah memeluk Rasulullah dan mencium tanda kerasulan itu dengan menangis. “Sudah lama aku menantikan saat ini, wahai Rasulullah. Aku ingin mencium tanda kerasulanmu. Aku ingin menyatukan kulitku dengan kulitmu”. Rasulullah kemudian berkata, “Ukasah, apabila Allah mengizinkan, kamu akan masuk surga bersamaku.”

Bagaimana pemimpin kita?
Adakah pemimpin negeri kita hari ini berani bertanya kepada rakyatnya apa kesalahan yang pernah dia perbuat selama menjalankan kepemimpinannya? Atau apa kegagalan selama kepemimpinannya disampaikan kepada rakyatnya. Jangan-jangan para pemimpin saat ini tidak berani bertanya karena banyak kesalahan yang dilakukan kepada rakyatnya. Atau lebih parah lagi para pemimpin kita sangat anti kritik yang disampaikan oleh rakyatnya.

Banyak pemimpin kita yang bisanya cuma retorika tanpa aksi nyata sudah menjadi fenomena umum, dari yang tertinggi hingga pada tingkatan terendah. Dan hal ini tidak hanya di negeri kita tapi juga terjadi di belahan dunia lainnya. Tetapi menarik bila kita cermati apa yang terjadi di luar sana, para pemimpin yang gagal dalam menjalankan kekuasaannya atau terlibatkan dalam skandal baik moral maupun penyalahgunaan kewenangan berani bersikap satria dengan mengundurkan dari jabatannya.

Ada pemimpin seperti presiden Amerika Serikat ke 34, Dwight D Eisenhower tak ingin berkuasa lama. Ketika reputasinya menjulang tinggi dan rakyat Amerika Serikat mengeluk-elukannya untuk memimpin kembali, dia justru bikin kejutan. Presiden AS itu tak mau lagi mencalonkan diri, bahkan mengajukan pembatasan masa jabatan. Sejak itu Presiden AS hanya boleh dijabat maksimal dua kali, yang kemudian menjadi pola umum masa jabatan kekuasaan di negara-negara demokrasi modern. Kecerdasan sekaligus kearifan selaku negarawan yang berpeluang kembali berkuasa, tetapi melepaskannya demi masa depan bangsa dan negara saat di puncak prestasi. Dia mengajarkan moral berpolitik yang beretika, melepaskan kekuasaannya pada saat pucak prestasi kepemimpinannya.

Bagaimana dengan para pemimpin di negeri ini atau di daerah-daerah pada umumnya? Pengalaman sejarah justru sebaliknya, ingin melanggengkan kekuasaan. Soekarno yang dikenal salah seorang the founding fathers, bahkan nyaris menjadi Presiden seumur hidup. Soeharto dengan gayanya yang khas, menjadi presiden setiap lima tahun sekali hingga 32 tahun. Keduanya berjasa untuk bangsa dan negara ini, tetapi mengakhiri kekuasaannya dengan cara yang tragis. Keduanya terhempas oleh revolusi rakyat karena hasrat absolutisme kekuasaan yang tak terbendung pada zamanya.

Ternyata hasrat untuk berkuasa minus keteladanan seolah menjadi watak para elite politik di negeri ini. Jangankan karena keberhasilan, bahkan gagal pun tak malu diri untuk terus menduduki jabatan. Lebih ironis lagi, ketika telah terbukti gagal dan kemudian dilengserkan secara tak terhormat, masih juga mencalonkan diri untuk menduduki singgasana kekuasaan. Selalu alasan klasik, melanjutkan pembangunan atau demi demokrasi atau mungkin di Aceh demi perdamaian yang seperti menjadi mantra menyihir rakyatnya.

Itulah jika demokrasi dan kekuasaan tidak dilihat sebagai keteladanan yang diperlihatkan oleh pemimpinya, semuanya menjadi serba power-over. Di negeri ini tak presiden, menteri, pejabat publik sampai ke gampong yang dengan rela hati mundur karena gagal, bila terkena kasus atau sekandal bahkan yang sudah tersangka. Selalu ada pembenaran untuk bertahan dan bebas dari jeratan kesalahan serta akuntabilitas publik. Pandai berkelit dengan berbagai basa-basi. Tak ada lagi etika dan kearifan yang tersisa. Bahkan yang kemudian muncul ialah kebohongan dan pembodohan publik, terkesan ugal-ugalan dan bebal.

Demi kekuasaan, tak mengherankan jika muncul keganjilan-keganjilan para elit yang menyesatkan nalar publik. Katanya tidak terlibat dalam kasus tersebut, tapi kenyataannya tidak mungkin hal tersebut terjadi bila tidak ada tanda tangan atau minimal perintahnya. Katanya mau berhenti, rakyatnya gak bisa diatur, banyak fitnah tapi ujung-ujung masih pula ingin bertahta kembali. Katanya mau memberantas korupsi malahan di awal terpilih datang ke sana-sini minta dukungan, tetapi kanan-kiri dan depan-belakang tak diberantas dulu, jangan-jangan malah tak bersih diri. Gagal pun masih dianggap berhasil, malah mengumumkan kesuksesan sampai pengerahan massa. Berbagai macam dalih, idiom, dan retorika yang sarat ambigu dan paradoks pun dicampur-aduk jadi kebiasaan berpikir dan bertingkah laku. Lalu, tak ada lagi standar benar-salah, baik-buruk, dan pantas atau tidak pantas, yang ada adalah perburuan kekuasaan dengan nafsu merah menyala.

Bangunan kekuasaan yang lebih baik, bukan hanya memerlukan transformasi sistem, tetapi juga tak kalah pentingnya perubahan perilaku manusianya. Jika perilaku menyangkut para pemimpinnya baik atau buruk, sungguh sangat menentukan kemajuan suatu negeri atau daerah serta akan memengaruhi rakyatnya. Jika para pemimpinnya bertingkah ugal-ugalan, gila kuasa, dan hilang kearifan maka kepada siapa rakyat harus mengambil keteladanan? Bukankah kata pepatah, ikan busuk dimulai dari kepala?

Ke depan negeri ini sungguh memerlukan pemimpin yang bukan hanya cerdas, cakap, “kuat” tetapi juga arif-bijaksana dan sanggup menahan diri dari rongrongan para pembisik dan fasilitas wah. Juga bukan pemimpin yang urakan dan gemar bersiasah. Bukan pula pemimpin yang bebal dan tak tahu harus berbuat apa.

Jika mengatakan demi rakyat dan negeri ini, mengabdilah untuk rakyat dan negeri ini tanpa pamrih layaknya pemimpin pejuang. Jika berjanji, penuhilah sebagai amanah dan utang kepada rakyat bahkan kepada Tuhan Sang pemilik jiwa raga kita. Pemimpin itu harus menjadi uswah hasanah (teladan yang baik), bukan uswah syay’iah (teladan buruk). Sinkronkan antara kata dan perbuatan, jangan banyak retorika dan cet langet.

Yang penting lagi jangan menghindarkan diri serta mencari kambing hitam saat tanggungjawab gagal dilaksanakan. Kalau bertindak salah, belajarlah untuk berterus terang dan bertanggungjawab karena manusia tidak lepas dari kesalahan dan kesilapan. Bersikap dan bertindaklah secara otentik, ojektif, satria tidak penuh topeng dan muslihat busuk. Di situlah letak martabat pemimpin sejati, pemimpin yang selalu dirindukan rakyatnya, pemimpin teladan.

* Penulis adalah Ketua DPA/Presidium Forum LSM Aceh dan peminat masalah sosial.

http://www.serambinews.com/news/view/33027/pemimpin-teladan

Selasa, 15 Juni 2010

Dana BKPG Harus Bisa Gerakkan Sektor Riil di Desa

Banda Aceh, (Analisa)14-juni-2010
Alokasi dana Bantuan Keuangan Pembangunan Gampong (BKPG) Rp100 juta/tahun yang saat ini telah mulai disalurkan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Aceh, diharapkan dapat ikut menggerakkan sektor riil untuk kebangkitan ekonomi masyarakat di desa-desa dalam wilayah provinsi itu.

Dengan demikian, tujuan dari pengalokasian dana tersebut untuk memberdayakan masyarakat di desa dapat segera tercapai. Dana tersebut sebaiknya, jangan terlalu banyak digunakan untuk keperluan pembangunan fisik seperti jalan, saluran maupun sarana ibadah.

"Kita sangat berharap agar masyarakat desa dapat menggunakan dana itu untuk percepatan pembangunan ekonomi desa. BKPG harus bisa menggerakkan sektor riil," ujar TAF Haikal, Ketua DPA/Presidium Forum LSM Aceh kepada wartawan, Sabtu (12/6).

Guna menggerakkan pertumbuhan sektor riil untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di desa, maka dana BKPG itu sebaiknya bisa dipakai sebagai jaminan (agunan) untuk modal usaha masyarakat yang ingin mendapatkan kredit perbankan.

"Pimpinan desa bisa memakai sekitar 50 persen dana BKPG itu untuk menjamin modal usaha masyarakat di perbankan. Karena selama ini, masyarakat agak sulit mendapatkan modal usaha karena bermasalah dengan agunan," ungkap Haikal yang juga Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh.

Menurutnya, hal ini sudah pernah diterapkan dan menunjukkan hasil di Ternate, Maluku Utara. Dana yang ada pada LSM setempat digunakan sebagai agunan masyarakat desa disana untuk mempermudah mendapatkan kredit bank yang bekerja sama dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

"Terbukti ini sudah berhasil disana, perekonomian desa-desa di Ternate sudah mulai tumbuh karena usaha masyarakat dari modal yang mereka peroleh. Apa salahnya kalau kita coba terapkan juga di Aceh. Saya yakin, derngan cara begini ekonomi masyarakat Aceh terutama di desa akan lebih makmur dalam dua tahun ke depan," jelasnya.

Political Will

Untuk itu, agar upaya ini lebih terarah, juga harus ada political will dari Pemerintah Aceh maupun Pemkab kabupaten/kota setempat, dalam bentuk sebuah kebijakan yang akan mengaturnya seperti qanun.

"Tentunya harus diarahkanh juga oleh pemerintah daerah, agar bisa sampai ke lapangan. Nanti siapa-siapa masyarakat yang layak dapat bantuan modal usaha, biar perbankan yang menilai layak atau tidak," ujar Haikal.

Seperti diketahui, sebanyak 6.379 gampong (desa) di Aceh telah menerima Bantuan Keuangan Peumakmue Gampong, yang digulirkan Pemerintah Aceh sejak Oktober 2009. Kepala BPM Aceh, M Ali Basyah, mengatakan, bantuan itu berupa Rp50 juta dari BPM, dan Rp50 juta dari Pemkab/Pemko untuk setiap gampong, telah dikirim ke masing-masing rekening desa.

Untuk dana BKPG dari provinsi, sebutnya, jumlahnya memang Rp100 juta per gampong, tapi penyalurannya tidak sekaligus. Pada 2009 disalurkan Rp50 juta untuk tahap pertama, sedangkan tahap kedua Juni 2010.

"Dana BKPG 2010 yang disalurkan BPM Aceh kepada desa di Aceh itu, setiap tahunnya tetap akan diperiksa atau diaudit oleh auditor internal pemerintah maupun eksternal, seperti Inspektorat dan BPK. Karena itu, pengawas di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota perlu meneliti atau memverifikasi persyaratan administrasi usulan pencairan dana itu yang dilakukan ekstrahati-hati. Tujuannya, supaya dana BKPG yang diberikan itu mencapai sasaran dan bermanfaat bagi rakyat serta tidak ada kebocoran atau dimanipulasi penggunaannya," ujarnya. (mhd)

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=58312:dana-bkpg-harus-bisa-gerakkan-sektor-riil-di-desa&catid=680:14-juni-2010&Itemid=217

Minggu, 13 Juni 2010

BARAT-SELATAN BUKAN "ANAK TIRI" PROVINSI ACEH OLEH AZHARI

Friday, 11 June 2010 04:47
Jika ada pepatah yang mengatakan, "banyak orang meninggal dunia di pesisir barat dan selatan Aceh karena diterkam harimau, lalu diinjak gajah dan dimakan buaya", itu sah-sah saja.
Banda Aceh, 10/6 (Antara/FINROLL News) - Jika ada pepatah yang mengatakan, "banyak orang meninggal dunia di pesisir barat dan selatan Aceh karena diterkam harimau, lalu diinjak gajah dan dimakan buaya", itu sah-sah saja.

Pepatah itu secara tidak langsung menyiratkan situasi nyata tentang ketertinggalan kawasan pesisir barat dan selatan, dibanding yang telah dinikmati masyarakat pesisir timur Provinsi Aceh, kata tokoh masyarakat barat-selatan Aceh, TAF Haikal.

"Artinya, kondisi ril pembangunan di barat dan selatan Aceh jauh tertinggal dibanding wilayah timur, dengan jalan aspal hotmix dan gebyarnya pembangunan berbagai fasilitas publik lainnya," katanya.

Bahkan, ia menyebutkan program Pemerintah Provinsi Aceh akan menambah "kecewa" penduduk di pesisir barat dan selatan Aceh, terkait dengan rencana pembangunan jalan bebas hambatan yang akan menelan anggaran mencapai sekitar Rp57 triliun.

"Kalau rencana pembangunan jalan `highway` sepanjang pesisir timur (Banda Aceh-Aceh Tamiang) terealisasi, sementara barat dan selatan Aceh terus tertinggal, maka itu akan menambah luka masyarakat wilayah ini," kata dia.

Wilayah pesisir barat dan selatan, meliputi Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Kota Subulussalam. Sementara timur yakni Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Aceh Timur, Kota Langsa dan Aceh Tamiang.

Untuk itu, Pemerintah Aceh di bawah pimpinan Gubernur Irwandi Yusuf dan Wagub Muhammad Nazar diharapkan merancang program pembangunan yang realistis dan terukur bagi percepatan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

"Masyarakat pantai barat dan selatan butuh program nyata dan realistis, bukan lagi sekedar janji yang bertahun-tahun diucapkan para pemimpin Aceh, termasuk pemerintahan saat ini," katanya.

Program-program pembangunan yang dikomunikasikan pemimpin Aceh diharapkan tidak hanya untuk menyenangkan masyarakat, apalagi sekedar tujuan politik menjelang suksesi 2011.

"Jangan membuat program pembangunan yang terkesan meninabobokkan rakyat. Sementara masyarakat sulit mendapatkan pekerjaan dan ekonomi hanya sebatas menyenangkan segelintir orang," katanya menambahkan.

Ia mencontohkan, pembangunan jalan raya yang dilakukan atas donasi lembaga bantuan Amerika Serikat (USAID) yakni Aceh Besar-Calang (Aceh Jaya) senilai sekitar Rp2 triliun, tapi sampai saat ini belum selesai.

Oleh karena itu, Haikal yang juga juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh menilai pasangan Irwandi-Nazar belum sungguh-sungguh melaksanakan pembangunan berkeadilan antara pantai barat dan selatan dengan pesisir timur Aceh.

Pengusaha asal Korea Selatan (Korsel) yang tergabung dalam Vogo Kora Group menyatakan bersedia membiayai proyek jalan bebas hambatan Aceh lintas timur-utara (Banda Aceh-Aceh Tamiang) sepanjang 560 kilometer jika Pemerintah Aceh dan Pusat menjamin cicilan utang jangka panjangnya.

Tidak bedakan

"Bagi saya tidak ada barat atau timur. Provinsi Aceh satu dari Sabang sampai ke Aceh Tamiang," kata Gubernur Irwandi Yusuf saat dialog dengan sejumlah tokoh masyarakat pesisir barat dan selatan di Meulaboh, belum lama ini.

Namun, ia mengakui adanya kelambanan pembangunan di wilayah barat dan selatan Aceh, dibanding pesisir timur provinsi ujung paling barat Indonesia tersebut.

Ketertinggalan dari pesisir timur itu disebabkan letak pesisir barat dan selatan Aceh yang tidak masuk dalam zona kurang strategis. Pesisir timur berada dan berbatasan langsung dengan beberapa negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, kata Irwandi.

"Artinya, geografis wilayah pesisir timur Aceh itu langsung berhubungan dan berhadapan dengan dunia luar. Sementara pesisir barat dan selatan Aceh berbatasan dengan laut luas. Itu mempercepat pertumbuhan pesisir timur Aceh," katanya menambahkan.

Akan tetapi, Irwandi Yusuf menyebutkan alokasi dana pembangunan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) lebih besar diterima wilayah pesisir barat dan selatan dibanding timur provinsi ini dalam beberapa tahun terakhir.

"Wilayah barat dan selatan Aceh tercatat sebagai penerima terbesar dana otonomi khusus (otsus) dalam beberapa tahun terakhir," katanya menambahkan.

Bahkan, gubernur menyebutkan `kabinet` dalam pemerintahannya saat ini terdapat sedikitnya tiga pejabat (Kepala Dinas) yang merupakan putra asal wilayah pesisir barat dan selatan Aceh.

"Keterwakilan daerah dalam struktur pemerintahan kami ini sangat penting, selain dedikasi dan kemampuan seseorang untuk menjadi pejabat setingkat kepala dinas," kata dia menjelaskan.

Soal keterlambatan pembangunan ruas jalan Banda Aceh-Meulaboh (Aceh Barat), menurut dia, itu disebabkan faktor kerusakan akibat bencana tsunami yang cukup parah.

"Artinya, keterlambatan itu bukan karena kurangnya kepedulian kami terhadap infratsruktur di pantai barat dan selatan Aceh, tapi memang kerusakan yang cukup parah sehingga dibutuhkan waktu lama untuk menormalkan kembali," ujarnya.

Kendati demikian, gubernur menyatakan rasa optimistis bahwa pesisir barat dan selatan Aceh akan cepat maju jika masalah energi listrik bisa teratasi dalam waktu dekat.

"Kurun waktu satu atau dua tahun lagi, energi listrik dari PLTU di Nagan Raya akan beroperasi. Jika itu terwujud maka saya yakin pertumbuhan ekonomi wilayah barat dan selatan akan lebih cepat," kata Irwandi.

Karena itu, menurut ubernur, potensi alam terutama bidang perkebunan, perikanan dan pariwisata yang terkandung cukup besar maka ke depan akan menjadi modal utama bagi percepatan pertumbuhan ekonomi di wilayah ini.

"Asalkan, seluruh komponen masyarakat bersatu untuk sebuah kemajuan dan saya juga meyakini bahwa penghambat kemajuan itu ada pada `orang malas` yang tidak mau berkembang dan berusaha," kata dia menjelaskan.

Wakil Ketua DPRA, Sulaiman Abda, menilai salah satu faktor penyebab lambannya pembangunan di wilayah barat dan selatan Aceh itu terletak di ruas jalan Banda Aceh-Meulaboh.

"Kenapa, karena lintasan Banda Aceh-Meulaboh itu adalah urat nadi vital perekonomian masyarakat. Kita dapat bayangkan berapa jarak tempuh yang harus dilalui dengan jalan darat jika jalan tersebut belum selesai," kata dia.

Diperkirakan jika arus transportasi darat Banda Aceh-Meulaboh lancar, maka jarak tempuhnya sekitar empat jam, sementara saat ini delapan jam dengan jarak 230 kilometer.

"Itu kondisi normal, belum lagi jika ada jalan longsor atau tergenang banjir saat hujan deras. Karenanya, saya menilai satu-satunya upaya percepatan pertumbuhan ekonomi pantai barat dan selatan Aceh itu yakni pembangunan jalan dipercepat," katanya.

Karena itu, Sulaiman telah minta Pemerintah Aceh dan pihak lembaga bantuan Amerika Serikat (USAID) yang mendanai pembangunan ruas jalan dari Banda Aceh hingga Calang (Aceh Jaya) segera menuntaskan pembangunan ruas jalan tersebut.

"Kami bukan anak tiri, dan bukan pula menuntut berpisah dari Aceh dengan mendirikan provinsi `ABAS` (Aceh Barat Selatan), seperti yang pernah mencuat selama ini. Tapi, perhatikan dan kami juga anak kandung dari Provinsi Aceh," kata tokoh masyarakat barat-selatan, Tgk Faisal Ali. (T.A042/)

http://news.id.finroll.com/dunia/101-columnist/278117-barat-selatan-bukan-anak-tiri-provinsi-aceh-oleh-azhari.html

Kamal Farza Calonkan Diri Jadi Ketua KPK

Kamis, 10 Juni 2010 | 10:39
Rakyat Aceh Online
Banda Aceh-Salah seorang advokat Aceh, Jamalul Kamal Farza menegaskan akan maju mencalonkan diri menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pengganti Antasari Azhar.

Bekas Koordinator Badan Pekerja Solidaritas Masyarakat Antikorupsi (SAMAK) dan Direktur Prakarsa Pembangunan Partisipatif BRR NAD-Nias itu, selain mendaftarkan diri secara online, ia juga mengirimkan berkas-berkas kelengkapan administrasi via kantor Pos Banda Aceh, Rabu (9/6).

”Ada tiga hal yang akan saya dilakukan, jika terpilih sebagai ketua KPK. Pertama, membuka kembali kasus dugaan korupsi keluarga cendana. Kedua, membuka kembali kasus dugaan korupsi dana Bank Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Dan ketiga, melakukan treatmen khusus untuk daerah-daerah yang memerlukan perhatian khusus, salah satunya Aceh,” kata J.Kamal Farza di JK Lawfirm Lamtos Banda Aceh.

Penilaiannya terhadap perlakuan khusus, bukan berarti harus ada kantor perwakilan di daerah khusus tersebut. Melainkan, ujarnya, harus melakukan langkah yang bukan biasa-biasa saja, untuk daerah-daerah yang memiliki pelimpahan dana publik cukup besar ke daerah itu.

Kamal menyebutkan alasan mendaftar sebagai calon pimpinan lembaga yang disebut superbody itu tak lain, karena dia melihat selama ini pemberantasan korupsi belum maksimal dan belum memenuhi harapan masyarakat luas.

“Saya memiliki integritas dan komitmen agar institusi KPK bekerja lebih baik,” ucap Jamalul Kamal Farza.
Dia pun berharap masyarakat Aceh dan Indonesia, memberikan dukungan dan doa restunya. Dukungan dapat dirimkan via email dan surat dukungan baik secara individu maupun organisasi ke: PANITIA SELEKSI CALON PENGGANTI PIMPINAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI d/a.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jl. HR Rasuna Said Kav. 6-7 Kuningan Jakarta Selatan, Telp. (021) 5274887, Fax. (021) 5274887, Email : pansel_kpk@yahoo.co.id.

Sementara itu, TAF Haikal Jubir Kaukus Pantai Barat Selatan Aceh mengungkapkan, Kamal Farza merupakan pendaftar pertama dari Aceh. Makanya, ujar Haikal lagi, apabila Kamal terpilih nanti, bisa jadi hal tersebut menjadi pionir untuk sebuah perubahan terhadap rasa keadilan yang selama ini dinilai agak pilih kasih.

Diungkapkan Haikal bahwa J Kamal Farza, lahir di Kota Bahagia, Aceh Barat Daya, 13 April 1969. Dia mendirikan Farza Law Firm pada 25 Agustus 2008, di Banda Aceh.

Sebagai advokat yang juga pengurus Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Banda Aceh dan belasan tahun terlibat aktif serta memimpin organisasi masyarakat sipil, Kamal memiliki keahlian unik dan khas untuk menyelesaikan masalah kliennya.

Namun, di Farza Law Firm Kamal berupaya fokus pada Corporate Legal, litigation public relation, Human Right Law dan aspek legal dari Good Governance dan Good Corporate Governance (GCG). Kamal juga menguasai pembuatan legal draft baik baik qanun, maupun peraturan perusahaan.

Ditambahkan Joe Samalangan, Budayawan Saman Aceh, Kamal lulus dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (1996) dan mengikuti berbagai pelatihan khusus profesi hukum dan HAM di Jakarta, Kamal memiliki keahlian teruji untuk menyelesaikan berbagai masalah di bidang hukum.

Ketika tengah menyiapkan pendirian kantor firma hukum ini, Kamal dipilih pula menjadi Wakil Sekretaris Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Banda Aceh pada 1 Juli 2008.

Kini, disela-sela kesibukannya mengelola firma ini dan menjadi pembicara utama talk show di media elektronik dan berbagai forum diskusi untuk isu-isu hukum dan HAM, Kamal menjadi “guru” pada Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang dilaksanakan Peradi dan wajib diikuti para calon advokat. (ian)

http://rakyataceh.com/view-17405

Sabtu, 05 Juni 2010

Pesan Hasan Tiro: Pupuk Damai Aceh

Posted by Redaksi on Juni 5, 2010 · Leave a Comment

Banda Aceh ( Berita ) : ”Pelihara dan pupuk terus perdamaian Aceh”, demikian pesan yang sering diucapkan Tgk Mohammad Hasan di Tiro sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Seorang penggagas perdamaian yang merupakan perwakilan Pemerintah Indonesia, Dr Farid Husein, mengemukakan, Hasan Tiro semasa hidupnya selalu berpesan tentang indahnya sebuah perdamaian dan berharap agar damai di Aceh terus berlanjut.

“Hasan Tiro ingin perdamaian di Aceh ditumbuhkembangkan, karena perdamaian yang terwujud di bumi Iskandar Muda itu merupakan yang ditunggu-tunggu oleh rakyat,” katanya.

Tgk Mohammad Hasan Di Tiro meninggal dunia pada usia 86 tahun di Banda Aceh, sekitar pukul 12.25 WIB, Kamis (3/6).

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu dirawat lebih sepekan di Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA) akibat penyakit infeksi paru-paru dan jantung.

Lelaki yang bertubuh sedang itu lebih 30 tahun hidup di pengasingan di luar negeri, karena pemikirannya yang bertentangan dengan Pemerintah RI. Ketika itu, dia memimpin pemberontakan dengan mengumumkan gerakan memisahkan Aceh dan NKRI pada 1976.

Sejak saat itu, situasi keamanan di Aceh kacau balau, TNI mengerahkan banyak pasukan untuk menghancurkan perlawanan bersenjata. Semuanya itu berakhir di meja perundingan di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

Melalui iktikad baik Pemerintah RI dan pimpinan GAM tercapailah kesepakatan untuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah menelan ribuan nyawa di Aceh, dan lahirnya MoU Helsinki.

Aceh kini telah damai, rentetan senjata tidak lagi terdengar, mesin-mesin perang pun sudah “digudangkan” dan mantan petinggi GAM yang sebelumnya berada di luar negeri kerap “pulang kampung”, ada pula yang menetap kembali menjadi warga negara Indonesia.

Pada 2 Juni 2010, sekitar pukul 13.00 WIB, di ruang ICCU RSUDZA Banda Aceh, tempat mantan petinggi GAM itu dirawat, kembali tercatat sebuah sejarah ketika Menkopolhukkam Djoko Susilo resmi mengumumkan bahwa Hasan Tiro sudah sah menjadi WNI. Sebelumnya, Hasan Tiro berkewarganegaraan Swedia.

Selanjutnya, sekitar 26 jam lebih setelah resmi menjadi WNI, Hasan Tiro menghembuskan nafas terakhirnya.

Meski Hasan Tiro telah tiada, Farid Husen mengatakan, perdamaian Aceh akan terus terbina karena sosok mantan petinggi GAM tersebut sangat ingin terus menciptakan perdamaian di bumi “Serambi Mekah” itu. “Kita yakin perdamaian di Aceh akan terus tumbuh kembang di masa mendatang seperti apa yang dipesankan oleh Hasan Tiro,” katanya.

Hasan Tiro kembali ke Aceh pada Oktober 2008 dan sejak akhir Oktober 2009 dia tinggal di rumah khusus di kawasan Lamteumen Timur, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh.

Aceh sejahtera

Seorang pengawal pribadi Hasan Tiro, Khairuddin, juga menyatakan “wali nanggroe”, sebutan untuk Tiro, semasa hidupnya selalu menginginkan agar masyarakat Aceh sejahtera dan tidak ada konflik lagi.

“Hasan Tiro menginginkan rakyat Aceh sejahtera, sehingga siapa saja yang bertemu beliau selalu mengucapkan Aceh, Aceh, Aceh, yang bermakna agar masyarakat sejahtera,” katanya.

Mantan kombatan GAM itu juga menyatakan keinginan agar rakyat Aceh sejahtera merupakan pesan Hasan Tiro yang harus dilaksanakan pemerintah sekarang.

Mantan Panglima GAM Wilayah Batee Iliek, Darwis Jeunib, juga mewasiatkan pesan terakhir yang disampaikan Hasan Tiro agar masyarakat Aceh bisa sejahtera dalam situasi damai. Jenazah Hasan Tiro yang terbungkus kain kafan dan beberapa lembar papan telah bersemayan di liang kubur.

Meureu, Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar, menjadi pilihan keluarga dan mantan petinggi GAM sebagai lokasi peristirahatan terakhir Hasan Tiro.

Jasad Hasan Tiro dibaringkan di samping Pahlawan Nasional Teungku Chik di Tiro, yang disebut-sebut sebagai kakeknya.

Pada pemakaman yang dipimpin Abuya Teungku Prof Muhibuddin Wali, secara bergantian mantan petinggi GAM seperti Malek Mahmud, Irwandi Yusuf dan Muzakkir Manaf, menurunkan secara perlahan jenazah Hasan Tiro ke liang lahat, sebelum ditutup kembali dengan tanah.

“Hasan Tiro boleh tiada, tapi perjuangan yang dicita-citakannya yakni Aceh makmur dan sejehtara serta damai,” kata Muhibuddin Wali seusai pelaksanaan jenazah Hasan Tiro di kompleks pemakaman.

“Aceh damai, masyarakatnya sejahtera, dan bermartabat adalah salah satu cita-cita dan harapan yang selalu disampaikan Hasan Tiro kepada kami,” tambah mantan petinggi GAM lainnya, Malek Mahmud.

Malek Mahmud, yang masih berstatus WNA itu, juga menyatakan terima kasih kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah menyetujui perdamaian di Aceh.

Gubernur Irwandi Yusuf menyatakan rasa kehilangan atas kepergian selama-lamanya Hasan Tiro, karena dia adalah sosok tokoh yang peduli kepentingan Aceh.

Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) TAF Haikal menilai sosok Hasan Tiro adalah “guru dan orangtua” yang peduli dengan masyarakat dan daerahnya kelahirannya.

“Saya berharap semua komponen masyarakat mampu memaknai kepergian Hasan Tiro sebagai semangat untuk menumbuhkan perdamaian abadi menuju kesejahteraan yang berkeadilan di tengah masyarakat Aceh,” katanya.

Oleh karenanya, menurut dia, hikmah yang dapat dipetik atas kehilangan Hasan Tiro adalah dengan meneruskan semangat untuk menjaga perdamaian.

“Jangan ada lagi dikotomi di kalangan masyarakat. Pesan itu dapat kita maknai sebagai semangat untuk maju bersama membangun Aceh yang aman dan damai dalam kerangka NKRI. Selamat jalan ‘Wali’ kami teruskan pesanmu untuk menjaga Aceh agar tetap damai,” kata TAF Haikal. (ant/ Azhari )


http://beritasore.com/2010/06/05/pesan-hasan-tiro-pupuk-damai-aceh/

Hasan Tiro Wafat Bendera Setengah Tiang tidak Merata

Sat, Jun 5th 2010, 10:57
* Masyarakat Shalat Gaib dan Tahlilan

Utama
BANDA ACEH - Suasana masyarakat Aceh pascawafatnya Dr Tgk Hasan Di Tiro terpantau beragam. Yang sangat kontras terlihat antara lain pengibaran bendera merah putih setengah tiang. Meski ada surat edaran Gubernur Aceh tentang hari berkabung daerah, namun pengibaran bendera setengah tiang ternyata tidak merata. Ada daerah yang sama sekali tidak mengibarkan bendera nasional tersebut setengah tiang namun di beberapa daerah lain ada pula yang menaikkan bendera Partai Aceh setengah tiang. Di Kota Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh, umumnya perkantoran mengibarkan bendera merah putih setengah tiang sebagai tanda berkabung, termasuk di Masjid Raya Baiturrahman dan RSU Zainoel Abidin tempat dirawatnya Hasan Tiro hingga meninggal dunia. Di rumah dinas Ketua DPRA, Hasbi Abdullah di Blangpadang, hampir di sepanjang jalan melewati rumah itu berjejer karangan bunga ucapan belasungkawa kepada Hasan Tiro. Di halaman rumah, dipajang karangan bunga paling panjang atas nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istrinya, Nyonya Ani Yudhoyono.

Di samping itu, terlihat karangan bunga dari Wapres Boediono dan istrinya Nyonya Herawati. Di dekat pintu masuk juga tampak karangan bunga dari mantan Presiden Megawati. Sedangkan karangan bunga dari mantan Wapres Jusuf Kalla (JK) terlihat dua papan, yakni di depan rumah Hasbi Abdullah dan di depan Kantor BPM yang jarak kedua papan bunga itu sekitar 50 meter. Tak ketinggalan, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto juga mengucapkan belasungkawa melalui karangan bunga. Selebihnya, karangan bunga berjejer sekitar 100 meter di pinggir jalan itu, mulai dari pejabat di Aceh, seperti Gubernur dan Wagub, unsur pimpinan pemerintah di seluruh Aceh, bahkan dari perusahaan swasta baik di Aceh maupun Jakarta.

Karangan bunga juga berjejer di Jalan Pemancar, Lamteumen, Banda Aceh di depan rumah yang ditempati Hasan Tiro, semenjak dirinya kembali ke Aceh pada 17 November 2009. Di rumah itu, kemarin sekitar pukul 14.00 WIB, puluhan anggota KPA dari berbagai daerah di Aceh bertahlilan bersama. Ucapan terima kasih usai tahlilan itu disampaikan Meuntroe Malik Mahmud. Tadi malam, berlangsung tahlilan di kawasan tempat tinggal Wali. Tahlilan juga dilaksanakan di rumah Ketua DPRA. Sedangkan di lokasi pemakaman, kawasan Meureu, Indrapuri, Aceh Besar juga terus berdatangan warga untuk berziarah, mengaji, dan menggelar tahlilan. “Tahlilan untuk Wali dilakukan selama tujuh hari berturut-turut,” kata Juru Bicara Keluarga Hasan Tiro, Muzakkir bin Abdul Hamid.

Setengah tiang
Wartawan Serambi di berbagai wilayah Aceh melaporkan, pada Jumat kemarin atau sehari pascawafatnya Hasan Tiro, di wilayah utara, misalnya, sepanjang jalan nasional antara Panton Labu (Aceh Utara) hingga kawasan Kota Lhokseumawe terlihat bendera PA dikibarkan setengah tiang. Selain itu di perkantoran pemerintah, baik Aceh Utara maupun Kota Lhokseumawe juga dinaikkan bendera merah putih setengah tiang. Ketua PA Wilayah Pasee, Tgk Zulkarnaini mengatakan, seluruh kecamatan dan gampong diperintahkan menaikkan bendera partai, namun ada juga yang mengibarkan bendera merah putih setengah tiang. “Kalau bendera partai diwajibkan,” kata Zulkarnaini.

Bendera PA setengah tiang juga terlihat berkibar di beberapa kawasan Pidie Jaya, sedangkan bendera merah putih setengah tiang dinaikkan di perkantoran pemerintah (SKPK). Sekdakab Pidie Jaya, Ramli Daud menyatakan, pihaknya telah menginstruksikan kepada seluruh SKPK hingga kecamatan untuk menaikkan bendera merah putih setengah tiang, sebagaimana perintah Gubernur Aceh sehubungan berkabung atas wafatnya Dr Tgk Hasan Muhammad Di Tiro. “Bendera setengah tiang dikibarkan selama tiga hari sejak Jumat (4/6),” kata Ramli.

Untuk kawasan Kota Sabang, pada Jumat kemarin belum semua SKPK mengibarkan bendera setengah tiang. Meski demikian Sekda Kota Sabang yang dihubungi Serambi tadi malam membenarkan sudah menerima instruksi dari Gubernur Aceh untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama tiga hari. Di Aceh Besar, terutama di Kota Jantho, ibu kota kabupaten, Jumat kemarin, bendera setengah tiang berkibar di hampir semua SKPK sesuai instruksi gubernur. Lain halnya di Aceh Tenggara, terutama di Kutacane, pada Jumat kemarin belum terlihat pengibaran bendera setengah tiang.

Di Kantor Bupati Aceh Jaya (Calang) bendera setengah tiang juga berkibar termasuk di SKPK. Sedangkan untuk instansi vertikal seperti Kodim dan Polres dinaikkan seperti biasa, satu tiang penuh. Kabag Humas Pemkab Aceh Jaya, Drs Mahdal, membenarkan seluruh SKPK mengibarkan bendera setengah tiang. Ini dilakukan atas arahan Wakil Bupati Aceh Jaya, Zamzami A Rani yang sedang berada di Banda Aceh. Pengibaran bendera merah putih setengah tiang juga terlihat di rumah penduduk, pertokoan, dan perkantoran di Kabupaten Bireuen.

Di Tapaktuan, ibu kota Kabupaten Aceh Selatan, pada Jumat kemarin tidak terlihat satupun kantor pemerintahah, swasta, dan rumah penduduk yang mengibarkan bendera setengah tiang. Bendera merah putih tetap berkibar seperti biasanya, satu tiang penuh. Beberapa camat di Aceh Selatan yang ditanyai Serambi kemarin mengaku hingga Jumat sore belum ada menerima instruksi apapun, baik dari provinsi maupun kabupaten yang menyerukan menaikkan bendera merah putih setengah tiang.

Kabag Humas Setdakab Aceh Selatan, Zamzami Surya juga mengaku hingga Jumat (4/6) sore belum menerima surat edaran Gubernur Aceh untuk menaikkan bendera merah putih setengah tiang. Di Aceh Tengah dan Bener Meriah, Jumat kemarin juga tidak terlihat pengibaran bendera setengah tiang, baik di perkantoran pemerintah, sekolah, dan rumah penduduk. “Pada hari Jumat kemarin bendera merah putih berkibar satu tiang penuh, seperti hari-hari biasanya,” lapor wartawan Serambi di Takengon dan Redelong (Bener Meriah).

Di Kabupaten Aceh Tamiang, terutama di perkantoran, pada Jumat kemarin juga tidak terlihat pengibaran bendera merah putih setengah tiang, tetapi normal saja, satu tiang penuh seperti biasanya. Sedangkan di Kota Langsa bendera setengah tiang terlihat berkibar antara lain di Kantor Walikota, sedangkan di Aceh Timur terpantau tidak merata.

doa bergema
Selain di Kota Banda Aceh, doa (tahlilan) dan shalat gaib untuk almarhum Dr Tgk Hasan Di Tiro juga berlangsung di berbagai wilayah Aceh. Di Kabupaten Bireuen, jemaah shalat Jumat di sejumlah masjid melaksanakan shalat gaib seusai shalat Jumat kemarin. Sedangkan di Aceh Tenggara, ribuan masyarakat dan anggota Komite Peralihan Aceh (KPA), sejak Kamis (3/6) malam hingga Jumat kemarin juga melaksanakan shalat gaib dan tahlilan untuk almarhum Tgk Hasan Di Tiro.

Tahlilan dan shalat gaib dilaksanakan antara lain di rumah anggota DPRK Agara dari PA, komplek Perumahan Kumbang Indah, Kecamatan Badar. Shalat gaib juga dilaksanakan di Masjid Raya At-Taqwa Kutacane diikuti ribuan jemaah. Hadir Abuya Tgk H Samsuddin dari Seldok, Ketua MUNA Agara Tgk Isbullah, para petinggi KPA serta Pengurus Partai Aceh (PA). “Kita doakan semoga Wali mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT,” kata Anggota DPRK Agara dari PA, Budimansyah. Shalat gaib dan doa bersama juga dilaksanakan aparat pemerintah dan masyarakat di Kabupaten Pidie Jaya. Pelaksanaan doa bersama untuk almarhum Dr Tgk Hasan Di Tiro sudah diinstruksikan oleh Pemkab Pidie Jaya ke seluruh kecamatan.

Suasana berkabung juga terlihat di wilayah timur Aceh. Sejak Kamis (3/6) malam hingga tujuh hari berturut-turut, warga Aceh Tamiang, Kota Langsa, dan Aceh Timur larut dalam doa dan zikir bersama. Menurut amatan Serambi, iringan doa dan lantunan zikir bergema di semua kantor KPA dan kantor PA di tiga kabupaten/kota tersebut. “Kami juga berdoa bersama masyarakat. Kami semua merasa sangat kehilangan,” kata Ir Rusman, Ketua DPRK Tamiang. Sedangkan di Kota Langsa, ratusan anggota KPA bersama warga Langsa melaksanakan doa bersama di Kantor KPA Langsa. Takziah juga direncanakan digelar secara berturut-turut selama tujuh hari. “Kita semua merasa sangat kehilangan seorang tokoh besar. Banyak kemajuan yang telah diberikan untuk masa depan Aceh yang lebih baik,” kata Ketua PA Langsa, Iskandar.

Sementara dari Aceh Tinur dilaporkan, masyarakat bersama kalangan KPA juga melaksanakan doa, zikir, dan membaca Yasin bersama di sejumlah tempat, seperti di kantor KPA Sagoe Simpang Ulim. “Kami bersama masyarakat terus berdoa untuk Wali. Semoga Allah menempatkan di dalam surga yang tinggi,” kata Juru Bicara KPA Sagoe Simpang Ulim, Saiful alias Tgk Bale.

Jaga semangat damai
Ketua DPA/Presidium Forum LSM Aceh, TAF Haikal dalam rilisnya yang diterima Serambi malam tadi menulis, Aceh kehilangan seorang pemimpin kharismatik, Wali Nanggroe, Tgk Dr Muhammad Hasan Di Tiro. Sosok Hasan Tiro, menurut Haikal adalah tokoh yang selalu dikenal dalam masyarakat Aceh. “Terlepas kita berbeda dalam ideologi dan cara pandang melihat ‘Republik’, namun beliau selalu meyakinkan semua pihak bahwa kesejahteraan Aceh adalah segala-galanya,” tulis siaran pers tersebut. Segenap masyarakat sipil Aceh, lanjut Haikal merasa duka yang mendalam atas kepergian Hasan Tiro untuk selama-lamanya. “Kami berharap semua komponen masyarakat mampu memaknai wafatnya Wali sebagai semangat untuk menumbuhkan perdamaian abadi menuju kesejahteraan yang berkeadilan di tengah masyarakat Aceh,” kata Haikal.

Menurut Haikal, hikmah yang dapat dipetik dalam musibah ini adalah dengan meneruskan semangat untuk menjaga perdamaian. Hal ini, kata Haikal tergambar dari keinginan Wali untuk terus membangun Aceh dengan kebersamaan, perdamaian, dan persaudaraan. “Aceh harus meletakkan pondasi perdamaian atas dasar persaudaraan semua elemen masyarakat. Jangan ada lagi dikotomi di kalangan masyarakat. Pesan tersebut dapat kita maknai sebagai semangat untuk maju bersama membangun Aceh yang lebih baik,” tulis siaran pers itu. Sejak awal perjuangan Hasan Tiro adalah mengembalikan harkat dan martabat rakyat Aceh. Aceh merupakan daerah yang memiliki karakter yang unik, keras, bersahabat, dan demokratis. Nilai-nilai seperti ini sudah berkembang sejak zaman dahulu, ketika kerajaan-kerajaan besar masih ada. “Semangat ini harus kita jaga dan kita lanjutkan bersama, baik oleh politisi, akademisi, birokrat, ulama, serta masyarakat pada umumnya,” demikian Haikal.(sal/ib/bah/fs/c38/riz/az/tz/as/s/yuh/md/mir/nas)


http://www.serambinews.com/news/view/32174/bendera-setengah-tiang-tidak-merata