Minggu, 14 Februari 2010

Eksploitasi Perempuan Berunjukrasa, Bentuk Kepanikan Pemerintah Aceh

Banda Aceh, (Analisa)
Pemerintah Aceh di bawah kendali Gubernur Irwandi Yusuf dan Wakil Gubernur Muhammad Nazar dinilai panik menghadapi kritikan-kritikan yang selama ini dialamatkan terhadap masa kepemimpinan mereka yang memasuki tiga tahun pada 8 Februari lalu.

Bentuk kepanikan tersebut, menurut tokoh muda Aceh Taf Haikal, terlihat dengan upaya mengeksploitasi kaum perempuan dengan memobilisasi para nyak-nyak dari berbagai kampung di Aceh untuk menggelar aksi unjukrasa sebagai bentuk dukungan terhadap kepemimpinan Irwandi yang dinilai telah sukses.

"Ini jelas ekspoitasi kaum perempuan, karena banyak dari nyak-nyak yang datang ke Banda Aceh merasa tertipu, karena sebelumnya disampaikan akan ada dzikir akbar," ungkap Haikal kepada wartawan di Banda Aceh, Jumat (12/2).

Dikatakan, kalau menjawab kritikan-kritikan selama ini terhadap pemerintahan Irwandi-Nazar (IRNA) dengan mobilisi massa, ini menandakan Pemerintah Aceh selama ini memang belum bekerja maksimal kecuali reaksional dalam menghadapi publik.

"Konon lagi mobilisasi massa perempuan yang notabene banyak yang tidak mengerti untuk apa mereka ke Banda Aceh. Jangan dieksploitasi emosi perempuan Aceh dengan cara-cara yang tidak terpuji," ujar Haikal yang juga aktivis angkatan 98 tersebut.

Semestinya, ujar Haikal, Pemerintah Aceh harus mampu memberikan pendidikan politik yang lebih sehat. Sebenarnya itu tidak jadi masalah, bila mereka (kaum perempuan) datang ke Banda Aceh dengan kesadaran penuh, tanpa iming-iming tertentu.

"Jelas ini bentuk kepanikan yang tidak beralasan dari Pemerintah Aceh. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba menurunkan ribuan massa perempuan. Apa tidak ada kerjaan lain," katanya.

Jadi Bumerang

Hal ini bisa jadi bumerang bagi Pemerintah Aceh, yang seharusnya mengajak semua stakeholder berperan dan memberikan kontribusi dalam pembangunan. Konon pula yang dieksploitasi orang tua dan perempuan.Ini sangat memalukan, ujar Haikal sembari menambahkan, tidak seharusnya melakukan tindakan seperti itu kalau merasa pemerintah IRNA sukses.

Eksploitasi massa ini sama saja bentuk kekonyolan. Sebab bentuk-bentuk aksi seperti mobilisasi massa merupakan cara-cara yang sering dilakukan oleh mahasiswa dan parlemen jalanan. Hal ini tak elegan dilakukan seorang pemimpin.

Menurut Haikal, banyak cara lain yang bisa dilakukan, seperti dialog dengan komponen masyarakat, membuat laporan di media baik kemajuan dan kekurangan serta banyak cara-cara lain yang lebih elegan dan berwibawa bisa dilakukan.

Pemerintah Aceh harus berani menyampaikan apa saja keberhasilan dan juga kekurangannya secara transparan kepada masyarakat. Jika perlu minta dukungan masyarakat secara nyata dan langsung untuk memperbaiki kekurangan.

Jangan hanya berani menyampaikan keberhasilan, tapi tidak kesatria mengakui kekurangan atau kelemahan dan minta dukungan rakyat. (irn)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=44174:eksploitasi-perempuan-berunjukrasa-bentuk-kepanikan-pemerintah-aceh&catid=561:13-februari-2010&Itemid=207

Pembangunan Daerah Tertinggal Dinilai Masih Setengah Hati

Banda Aceh, (Analisa)
Keberpihakan Pemerintah Provinsi Aceh dalam mempercepat pembangunan daerah tertinggal seperti kawasan pantai barat selatan dan tengah tenggara Aceh, hingga kini dinilai masih setengah hati.

Hal itu ditandai dengan masih minimnya alokasi anggaran pembangunan tiap tahunnya, jika pun ada dialokasikan sangat sedikit dan dalam pelaksanaan di lapangan kurang terealisasi dengan baik, sehingga program membangun daerah tertinggal terus menjadi retorika semata.

"Kami menilai masih setengah hati keperpihakan provinsi dalam membangun daerah tertinggal," ujar Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal kepada wartawan, Rabu (10/2).


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=43989:pembangunan-daerah-tertinggal-dinilai-masih-setengah-hati&catid=559:11-februari-2010&Itemid=207
Sebelumnya, Gubernur Irwandi Yusuf menyatakan wilayah pantai barat selatan tidak dianaktirikan. Menurut Irwandi, bukti yang paling nyata adalah besarnya alokasi dana otonomi khusus (Otsus) yang diberikan kepada daerah pantai barat selatan. Bahkan menurutnya, alokasi dana tersebut lebih besar dari kawasan timur-utara Aceh.

Menyikapi persoalan itu, KPBS menyatakan pendapat yang berbeda dengan pandangan Gubernur Aceh. Menurut Haikal, dana otonomi khusus yang selama ini dialokasikan memang sudah sangat jelas mekanisme pembagian dan pengalokasian.

Ketentuan ini diatur dalam Qanun No.2 Tahun 2008 tentang tata cara pengalokasian tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan dana otonomi khusus.

Dalam qanun tersebut, sudah mengatur secara jelas porsi dari suatu daerah dengan menggunakan indikator jumlah penduduk, luas wilayah indeks kemiskinan, dan lain-lain.

Jadi, hal ini bukan merupakan kebijakan sepihak dari Pemerintah Aceh, tapi lebih pada melaksanakan kebijakan yang sudah ada sebagaimana diatur dalam qanun tersebut.

Alokasi APBA

"Menurut kami, untuk melihat keberpihakan dari pemerintah provinsi, maka yang harus diperhatikan adalah apakah alokasi dari APBA murni sudah dialokasikan untuk program dan kegiatan bagi wilayah pantai barat selatan. Justeru dalam APBA murni inilah wilayah "pertaruhan" untuk melihat komitmen Pemerintah Aceh dalam upaya mengurangi gap atau ketertinggalan pembangunan di Aceh," ujar Haikal.

Dari Rancangan APBA sebesar Rp6,9 triliun, sebesar Rp3,9 triliun yang sumber dananya dari dana otonomi khusus, dengan sisanya Rp3 triliun APBA murni inilah seharusnya Pemerintah Aceh punya keberpihakan yang kongkrit. Jadi memang sangat naif jika kita hanya melihat pengalokasian dana otonomi khusus.

"Kami mendorong dibentuknya unit dan institusi yang bersifat Ad Hoc (sementara) yang berfungsi untuk menjamin pelaksanaan pembangunan daerah khususnya pengelolaan dana Otsus dan Tambahan Bagi Hasil Migas. Institusi ini penting untuk mengawal perencanaan yang terintegrasi dan menciptakan mekanisme pengawasan dan monitoring pembangunan," katanya.

Untuk mengefektifkan lembaga ini, maka keberadaan institusi ini mesti berada di bawah kendali Bappeda Aceh, sehingga lebih memudahkan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan.

Disamping itu, diperlukan juga komite-komite khusus untuk mempercepat upaya mengurangi gap pembangunan tersebut, misalnya Komite Pantai Barat Selatan, Komite kawasan Tengah Tenggara dan Komite Kawasan Timur-Utara.

Penanganan pembangunan untuk wilayah-wilayah yang memang sudah tertinggal sejak dulu sebenarnya sudah ada contoh, bagaimana Indonesia memperlakukan Aceh dengan memberikan perlakukan khusus.

Sehingga wilayah-wilayah yang tertinggal tersebut dapat mengejar ketertinggalan mereka selama ini. Bila itu tidak pernah dilakukan, kami berpendapat Pemerintah Aceh setengah hati dalam melihat pantai barat selatan dan jelas dianaktirikan. (mhd)