Rabu, 23 Mei 2012

Politik Aceh Baru Stabil pada 2017
Mohamad Burhanudin | Nasru Alam Aziz | Selasa, 22 Mei 2012 | 23:45 WIB
Kompas/Nina Susilo Pilkada Aceh
BANDA ACEH, KOMPAS.com — Kondisi politik di Aceh diperkirakan baru akan mencapai kestabilan setelah tahun 2017 mendatang atau setidaknya saat pemilihan umum kepala daerah yang ketiga di provinsi ini. Saat ini kondisi politik di Aceh masih belum lepas dari situasi setelah konflik sehingga kondisi yang ada masih labil.
Demikian disampaikan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Saifuddin Bantasyam, dalam acara evaluasi Pilkada Aceh 2012 yang digelar oleh Masyarakat Tranparansi Aceh (MaTA), Selasa (22/5/2012).
Situasi setelah konflik masih sangat berpengaruh dalam politik Aceh saat ini, termasuk dalam hajatan Pilkada 2012. Suasana yang mencekam dan belum lepasnya isu-isu perdamaian dan rekonsiliasi dalam arena politik merupakan salah wujud dari situasi seusai konflik. Itu pula yang agak membedakan antara kondisi politik lokal Aceh dan daerah lain di Indonesia.
"Jadi, menilai prospek demokrasi di Aceh saat ini mungkin kurang fair jika tak melihat dulu sampai pilkada yang ketiga atau keempat, atau setelah tahun 2017 nanti. Jika tak ada lagi konflik di Aceh, saya yakin akan stabil tahun 2017. Tapi, kalau tetap mencekam seperti sekarang tetap belum bisa diharapkan," kata Saifuddin.
Pilkada Aceh lalu, menurut dia, masih belum sepenuhnya memenuhi unsur tercapainya demokrasi yang substansial. Pilkada masih sekadar memenuhi unsur demokrasi yang bersifat prosedural.
Hal tersebut tecermin dari masih minimnya pencapaian atas terwujudnya pendidikan politik, pendidikan pemilih, dan budaya politik yang bertumpu pada kepercayaan kepada otoritas penyelenggara. Masalah dasar hukum dan ketidakpercayaan terhadap penyelenggaraan pilkada mewarnai pelaksanaan pilkada di Aceh.
Hak pilih rakyat secara umum sudah terjamin meskipun dalam berbagai kasus banyak ditemukan kesalahan daftar pemilih tetap, ada kecurangan, dan kekerasan. "Namun itu hanya menjadi diskusi di warung kopi saja karena institusi yang ada gagal membuktikannya," kata dia.
Di pihak lain, baik partai politik di Aceh maupun calon independen juga gagal menjalankan fungsi pendidikan politik kepada masyarakat serta regenerasi kader. Hal ini tampak pada minimnya kampanye-kampanye politik yang mendidik dan mengarah pada ajakan positif kepada masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Juru Bicara Kaukus Barat Selatan, Taf Haikal, mengatakan, pada tahap awal, politik di Aceh sebenarnya tak pernah diarahkan untuk menuju demokrasi. Awalnya, politik Aceh hanya diarahkan sekadar dari situasi konflik ke situasi damai.
"Bahkan, keberadaan calon independen dan partai politik lokal sebenarnya dulu muncul pertama kali di Aceh bukan atas pertimbangan penciptaan demokrasi. Semuanya didasari niat kepentingan politik seusai konflik. Oleh karena itu, tak heran calon independen pada pilkada 2012 lalu pun menjadi masalah dan diperdebatkan keberadaannya, meski di Aceh-lah hal itu pertama kali muncul," tuturnya.
Lebih jauh dia mengatakan, saat ini yang terpenting bagi masyarakat sipil di Aceh adalah menjaga agar pemerintahan baru yang dihasilkan dari pilkada ini berjalan sesuai rel. Jika produk pilkada yang ada saat ini gagal mewujudkan situasi yang lebih baik, maka di situlah persoalan baru Aceh akan muncul.

http://regional.kompas.com/read/2012/05/22/23454258/Politik.Aceh.Baru.Stabil.pada.2017
Uang Minyak bukan Money Politic
Rabu, 23 Mei 2012 12:12 WIB

 
BANDA ACEH - Pakar Hukum Saifuddin Bantasyam berpendapat, pemberian uang makan atau biaya transport yang kerap disebut uang minyak oleh kandidat kepala daerah kepada timses dan pendukungnya, tidak bisa serta merta dikategorikan sebagai money politic (politik uang). Jika dalam jumlah yang masih wajar, pemberian uang itu masih bisa ditoleransi sebagai cost politic (biaya politik).

“Saya rasa kalau seorang calon menyerahkan uang kepada timsesnya guna dibagi ke masyarakat sebagai uang makan dan uang minyak karena ikut kampanye, itu masih bisa dikatakan cost politic. Sedangkan money politic adalah menyerahkan uang dengan unsur memaksa memilih kandidat tertentu,” kata Saifuddin, di Banda Aceh, Selasa (22/5).

Pernyataan itu diungkap Saifuddin Bantasyam menjawab pertanyaan peserta diskusi “Evaluasi Hasil Pilkada Kota Banda Aceh” di kantor Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Gampong Ie Masen Kayee Adang, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh, Selasa (22/5).  Diskusi yang dimoderatori aktivis LSM, Taf Haikal itu, diikuti Ketua Panwas Banda Aceh Andriansyah, para aktivis, dan kalangan jurnalis.

Pada bagian lain, Saifuddin yang hadir sebagai pembicara tunggal menyatakan, Pilkada Banda Aceh 2012, menunjukkan sulitnya mencari calon kepala daerah dari kader partai politik. Selain pasangan incumbent Mawardy-Illiza, parpol nasional lain tak berani mengusung pasangan calon wali kota dan wakil wali kota dari kader partainya sendiri.

“Misalnya PKS tak mengusung kader dari partainya sendiri, tapi ikut mengusung pasangan Aminullah Usman/Tgk Muhibban yang merupakan orang di luar partainya. Ini ada yang kurang dari segi pendidikan terhadap kader partai politik, MaTA harus meneliti hal ini,” kata Saifuddin, didampingi Koordinator MaTA Alfian.

Menurut Dosen Fakultas Unsyiah ini, selain Banda Aceh, di kabupaten/kota lainnya juga ada kecendrungan parnas tak mengusung calon dari kader partai mereka sendiri. “Ya ini mungkin disebabkan parnas masih kalah dominasi dengan Partai Aceh (PA) yang mengusung calonnya sendiri. MaTA juga harus meneliti hal ini,” kata Saifuddin.(sal) 
 
http://aceh.tribunnews.com/2012/05/23/uang-minyak-bukan-money-politic