Rabu, 20 April 2011

Investasi Terhambat akibat Kebijakan dan Infrastruktur

Aceh Bisnis Hari ini Pkl. 06:38 WIB
MedanBisnis – Banda Aceh. Untuk mengembangkan investasi di kawasan pantai barat – selatan Aceh, pemerintah harus melakukan pemetaan sektor-sektor yang bakal dikembangkan, jangan hanya bertumpu pada sektor pertambangan sementara sektor lain yang lebih potensial justru terabaikan.
“Ketidakpastian masa depan dalam berinvestasi di Aceh maupun di bagian pantai barat - selatan tergantung kebijakan. Kebijakan yang sering berubah menjadi faktor terhambatnya perkembangan investasi di bidang industri, padahal dalam mengembangkan usahanya investor selalu berupaya menghindari resiko,” kata Juru Bicara Kaukus Pantai Barat - Selatan, TAF Haikal, kepada MedanBisnis, Selasa (19/4).

Menurut Haikal, masyarakat kawasan pantai barat – selatan menyambut baik dan mendukung rencana pengusaha Thailand yang akan membangun pabrik tapioka senilai US$ 10 juta dengan luas lahan 5.000 hektar di daerah tersebut.

“Pastinya dengan kehadiran pabrik tersebut bukan hanya investornya saja yang untung, juga dapat menambah pendapatan daerah sekaligus membantu meminimalisir tingkat pengangguran karena penyerapan tenaga kerja akan lebih banyak,” kata Haikal.

Apalagi Aceh memiliki potensi sumber daya alam yang banyak, maka mengembangkan industri di kawasan itu tidaklah begitu sulit.

“Tetapi harus memiliki rencana kerja yang tetap. Kemudian didukung kebijakan pemerintah yang pro kepada pengusaha yang terus berlaku selama dalam kurun waktu 10 hingga 20 tahun ke depan,” ujarnya.

Menurutnya, selain kebijakan yang tidak berubah, pemerintah juga harus menetapkan industri apa saja yang cocok untuk investasi untuk kawasan pantai barat – selatan. Dan pemerintah perlu memberikan insentif kepada pengusaha yakni dalam kemudahan izin, pembebasan bea masuk dan pajak hingga pinjaman dari perbankan yang rendah.

Haikal juga mengharapkan agar kebiasaan lama dihilangkan, seperti kurangnya kebijakan pemerintah propinsi dan kabupaten untuk memotivasi dan mendorong dunia usaha untuk berinvestasi.

“Seperti masalah perizinan, insentif yang berhubungan dengan bunga kredit khusus, infrastruktur dan energi serta kepastian hukum yang belum tersedia diberikan pemerintah kepada pengusaha,” paparnya.

Terkait kondisi lapangan dan masalah izin, Haikal mengatakan, itu merupakan masalah tersendiri. “Memang pemerintah ada melakukan perubahan, tapi aplikasi dan pengawasannya tidak ada sehingga ini tidak berlaku. Bahkan masih banyak kendala yang terjadi di lapangan seperti adanya pungutan liar, pajak tidak resmi dan juga pengurusan izin yang lama,” ujar Haikal.
(ht anwar ibr riwat)


http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/04/20/29984/investasi_terhambat_akibat_kebijakan_dan_infrastruktur/

Pemprop Aceh Abaikan Pembangunan Pesisir Barat-Selatan

Aceh Bisnis Senin, 18 Apr 2011 06:40 WIB
MedanBisnis – Banda Aceh. Jurubicara Kaukus Pantai Barat-Selatan, TAF Haikal, menilai Pemerintah Propinsi (Pemprop) Aceh terkesan diskriminatif dan membiarkan Daerah Pesisir Barat Selatan tertinggal. Sikap demikian dan adanya unsur pembiaran untuk memarginalkan wilayah tersebut.
“Indikator ini terlihat jelas, misalnya dari pembangunan infrastruktur antara kawasan pantai timur- utara jauh lebih maju dibandingkan dengan kawasan pantai barat-selatan. Salah satu alasannya mungkin karena jarak tempuh dan Medan yang sulit untuk menuju ke kawasan ini,” kata Haikal kepada MedanBisnis, Minggu (17/4).

Sikap tidak berkeadilan itu, kata Haikal, bukan terjadi saat ini saja. Pada kepemimpinan gubernur sebelumnya, atensi pemerintah propinsi juga sangat kurang sehingga kawasan pantai barat-selatan jauh tertinggal, baik dari sisi infrastruktur jalan, irigasi, jembatan maupun fasilitas umum lainnya.

Penyebabnya, karena perencanaan pembangunan tidak dilakukan dengan baik dan Pemprop Aceh tidak melakukan pendekatan ekonomi. “Misalnya sektor apa saja yang hendak didorong di pantai barat-selatan tidak pernah jelas, sehingga kondisi yang sudah tertinggal menjadi semakin tertinggal,” sambungnya.

Begitu juga dengan infrastruktur jalan, misalnya Jalan Calang ke Meulaboh dan wilayah selatan sampai saat ini belum selesai. “Terlepas dari persoalan sudah diselesaikannya sebagian, tapi itu kan jadi polemik yang panjang, sampai kemudian bantuan itu pernah dihentikan sementara,” kata Haikal. Bahkan itu juga membuktikan bahwa Pemprop Aceh tidak serius dan tidak tekun, serta sangat terkesan adanya unsur pembiaran.

“Belum lagi bila dilihat dengan kondisi kekinian, sekarang bukan hanya keterlambatan pembangunan, tapi bagaimana cara mencari solusi alternatif. Nah, itu bisa dengan perencanaan bersama atau melakukan pendekatan pembangunan serta mendorong percepatan ekonomi dengan melihat sektor atau isu apa yang akan digarap,” jelasnya.

Karena itu, alasan jarak tempuh yang sering diungkapkan bukan merupakan alasan yang rasional dan kuat bagi pemerintah untuk tidak membangun infrastruktur serta prasarana umum lainnya di delapan kabupaten yang ada di wilayah pantai barat-selatan.

“Dulu kita pernah terisolir, masih menggunakan rakit, akibat kondisi jalan sehingga waktu tempuh dari ibukota propinsi semakin lama. Kemudian sangat berpengaruh terhadap lalulalang transportasi dan mobilitas penduduk di dalam mendorong percepatan ekonomi atau percepatan pembangunannya,” ujarnya.

Tetapi terakhir, kawasan ini sempat terbebas dari rakit hingga kemudian jalan hancur karena tsunami. Jalan mulai dari Banda Aceh sampai ke Aceh Jaya nyaris putus, dan di sepanjang jalan pantai barat-selatan hancur total.

Tetapi pasca tsunami harapan masyarakat kawasan ini kembali kandas, karena dari tahun ke tahun dan sampai hari ini Pemprop belum juga serius membangun infrastruktur yang rusak. Atau paling tidak, ada upaya bagaimana mendorong ketertinggalan dan keterlambatan pembangunan yang terjadi di kawasan barat-selatan.

Kalau alasannya otonomi, sehingga pembangunan daerah merupakan tanggung jawab bupati/walikota, menurut Haikal tidak masalah. Sebab dalam perencanaan regional itu keterlibatan gubernur juga tidak dilarang, apalagi langkah tersebut bisa mendekatan antara Pemprop dan kabupaten.

“Mungkin dengan campur tangan gubernur itu bisa membuat keegoan para bupati atau walikota bisa berkurang. Dan tugas mengkoordinasikan itu ada pada gubernur,” katanya.

Menyikapi pernyataan Kaukus Barat–Selatan itu, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf melalui Kepala Biro Hukum dan Humas Ir Makmur Ibrahim, mengatakan pemerintah tidak pernah membeda-bedakan pembangunan antara satu daerah dengan daerah lainnya. (ht anwar ibr riwat)

Apalagi selama pemerintahan Aceh di bawah kepemimpinan Irwandi, justru memfokuskan pembangunan ke daerah-daerah pedesaan.

“Sekarang semua pembangunan diarahkan ke desa dan langsung menyentuh kepentingan rakyat, seperti Jaminan Kesehatan Aceh, BNPM, ADG, BPPG, jalan dan membangun irigasi. Semua program ini juga berlaku bagi masyarakat di wilayah barat-selatan,” kata Makmur.


http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/04/18/29598/pemprop_aceh_abaikan_pembangunan_pesisir_barat-selatan/

Pakar Hukum Usulkan Badan Pengawas DPRA

Fri, Apr 15th 2011, 10:03
BANDA ACEH - Keterlambatan pengesahan RAPBA yang kembali terulang pada tahun 2011 ini, sepertinya mulai berdampak pada timbulnya ketidakpercayaan publik terhadap kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh. Kalangan pakar hukum pun mengusulkan pembentukan satu badan yang bertugas mengawasi kinerja para anggota legislatif di Aceh.

Usulan tersebut dicetuskan pakar hukum dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh Mawardi Ismail SH MHum, ketika tampil sebagai pembicara dalam seminar ‘Implikasi Hukum, Politik, dan Ekonomi Pengesahan APBA’, di Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh, Kamis (14/4). Seminar yang dimoderatori Saifuddin Bantasyam SH itu, juga menampilkan pakar ekonomi Unsyiah, Dr Islahuddin.

Mawardi Ismail menilai kinerja DPRA masih banyak kekurangan. Salah satunya adalah molornya pengesahan RAPBA 2011, yang membuat Aceh terancam penalti dan menjadi sorotan di tingkat nasional. Karenanya, kata Mawardi, Aceh perlu membentuk lembaga khusus untuk mengawasi agar kinerja DPRA bisa maksimal.

“Kalau kinerja eksekutif ada DPRA yang mengawasi. Tapi kalau kinerja DPRA tidak ada lembaga resmi yang mengawasi. Karena itu, perlu dibentuk badan pengawasan kinerja DPRA. Mungkin dari LSM, sebelum ada lembaga yang dibentuk pemerintah,” kata Mawardi.

Menurutnya, lembaga pengawasan kinerja dewan bukanlah hal baru di Indonesia. Lembaga pengawas DPR di daerah ini sudah dipraktekkan di DPRD DKI Jakarta. Lembaga ini, kata Mawardi, diperlukan karena umumnya manusia sulit mengakui kesalahannya, termasuk anggota DPRA.

“Jadi dengan ada badan pengawasan sudah ada yang memberi tahu kekurangan untuk perbaikan. Seperti pengesahan RAPBA 2011, semestinya setiap 1 Desember, lewat sedikit masih bisa ditolerir, tapi jika sudah kelewatan, mengganggu semua tahapan selanjutnya yang merugikan. Seperti berita baru-baru ini, guru di daerah ada yang sudah beberapa bulan belum terima gaji karena belum disahkannya RAPBA,” ujar Mawardi.

Mawardi juga menyambut baik usulan salah satu peserta diskusi, Taf Haikal. Dia menyarankan untuk memperbaiki kinerja DPRA, khususnya mengenai pengesahan RAPBA yang selalu terlambat sehingga terkena potongan dana dari pemerintah pusat, agar di Unsyiah dibuat unit konsultasi keuangan daerah. Efek lain karena keterlambatan pengesahan RAPBA 2011 juga disampaikan pakar Ekonomi Unsyiah Islahuddin.(sal)


http://aceh.tribunnews.com/news/printit/54076