Selasa, 29 Mei 2012

Aceh Bisnis Hari ini Pkl. 07:50 WIB
MedanBisnis – Banda Aceh. Dua program pemberdayaan ekonomi masyarakat, yaitu Alokasi Dana Gampong (ADG) dan Bantuan Keuangan Peumakmue Gampong (BKPG) yang digulirkan Pemerintah Aceh lima tahun terakhir dinilai belum mampu mendorong perekonomian masyarakat desa menjadi lebih bergairah. Padahal, semua gampong menerima alokasi dana ADG antara Rp 75 juta hingga Rp 250 juta.
Namun, akibat tidak terakses dengan perbankan, perekonomian masyarakat tetap tidak menjadi lebih baik. Solusinya, Pemerintah Aceh harus berani menerbitkan kebijakan berupa qanun, peraturan gubernur (pergub) maupun peraturan bupati/walikota (berbup/perwal) untuk mengalokasikan 50% dana tersebut sebagai jaminan atau agunan masyarakat gampong mengakses perbankan.

Demikian wacana yang disampaikan Juru Bicara Kaukus Barat Selatan, Taf Haikal. Dia menambahkan, yang terlihat selama ini, program-program ADG dan BKPG baru menyentuh aspek infrastruktur, padahal belum tentu semua gampong membutuhkan penambahan infrastruktur.

“Artinya, kedua program dana bergulir tersebut belum mampu menggerakkan ekonomi rakyat atau sektor riil. Semestinya, alokasi dana itu digunakan pada sektor-sektor produkif, seperti pembiayaan bagi warga gampong untuk meningkatkan produksinya,” kata Haikal, Senin (28/5).

Ini, menurutnya, sesuai dengan semangat awal diluncurkannya program tersebut, yaitu untuk menggerakkan sektor ekonomi produktif  di gampong. Sudah menjadi rahasia umum, jika masyarakat desa saat ini sangat sulit mendapatkan modal usaha dari perbankan, karena terbentur persoalan agunan. Akibatnya, pertumbuhan perekonomian masyarakat gampong menjadi lambat.

“Ini adalah problem klasik, dan di sisi lain bank juga memiliki aturan-aturan standar yang harus ditaati, tentu untuk menekan risiko kredit bermasalah. Tapi sebetulnya, ADG dan BKPG bisa menjawab ini,” kata Haikal optimis.

Dia pun menjelaskan, kini hampir semua gampong di Aceh menerima alokasi dana ADG antara Rp 75 juta hingga Rp 250 juta. Bila sebagian alokasi anggaran tersebut dijadikan agunan, maka banyak masyarakat dapat mengakses perbankan. Diharapkan pula, bank tak khawatir menyalurkan kredit karena memang telah memiliki jaminan. Untuk itu pula, gampong tentu harus bekerja sama dengan bank seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

“Jika pemerintah berani menerbitkan kebijakan untuk mengalokasikan 50% dana itu sebagai jaminan atau agunan masyarakat gampong mengakses dunia perbankan, mungkin lima tahun ke depan semua gampong di Aceh sudah mandiri dalam pengelolaan keuangan, karena sudah memiliki aset yang dititip di BPR,” kata Haikal lagi.

Sistem seperti ini, menurut Haikal, sudah sukses diterapkan di salah satu propinsi di Indonesia. Di mana sebuah BPR menjalin kerja sama dengan LSM untuk menjaminkan simpanan mereka sebagai agunan kredit masyarakat dampingan.

“Sebelumnya,  LSM tersebut mendapat suntikan modal dari sejumlah donor. Dana inilah yang dijadikan agunan di BPR tersebut,” ungkapnya, sambil mengatakan bila masyarakat yang atas rekomendasi LSM tidak dapat mengembalikan cicilannya, maka otomatis BPR langsung memotong simpanan LSM tersebut.

“Nah, akhirnya BPR itu mendapat pujian dari Bank Indonesia karena tidak ada tunggakan kredit, dan LSM itu sendiri semakin kuat pendampingannya dengan membuat program-program life skill yang fokus. Sementara masyarakat dapat mengakses permodalan di perbankan tanpa harus memiliki jaminan atau agunan,” demikian Haikal. (ht anwar ibr riwat)

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2012/05/29/98501/pemerintah_diminta_bantu_gampong_jalin_kerja_sama_dengan_bank/