Kamis, 28 Januari 2010

Pemerintah Aceh Belum Perhatikan Daerah Tertinggal

Rabu, Jan 27, 2010

Aceh
Banda Aceh ( Berita ) : Pemerintah Aceh dinilai belum memberikan perhatian yang serius untuk membangun daerah tertinggal di daerah tersebut.

“Semangat pemerintah Aceh untuk memajukan daerah tertinggal hanya retorika belaka sehingga rakyat tetap menanti janji tersebut,” kata juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KBPS) TAF Haikal di Banda Aceh, Rabu [27/01].

Hal itu disampaikan karena melihat masih minimnya pembangunan dan perhatian pemerintah Aceh terhadap kawasan pantai barat selatan dan tengah tenggara yang secara umum tertinggal dibandingkan daerah lain di Aceh.

Padahal daerah-daerah di kawasan tersebut memiliki sumberdaya alam yang melimpah yang jika diolah dan dimanfaatkan dengan benar akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Misalnya di Kabupaten Aceh Selatan yang terkenal dengan komoditi pala dan juga mengandung banyak sumber alam mineral seperti emas.

Juga kekayaan alam yang dimiliki Kabupaten Aceh Tengah di sektor perkebunan dan pertanian, begitu juga dengan Kabupaten Aceh Singkil yang memiliki panorama alam yang indah yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan wisata.

Menurut Haikal, apa yang disampaikan Pemerintah Aceh kepada publik tidak berbanding lurus dengan alokasi anggaran atau kebijakan-kebijakan yang khusus untuk wilayah tersebut.

Sebenarnya Pemerintah Aceh bisa mencontoh bagaimana Pemerintah Pusat memperlakukan Aceh dengan kebijakan dan anggaran yang khusus misalnya dana pembagian hasil minyak bumi dan gas (migas) maupun dana Otonomi khusus (otsus).

“Kita paham dan sangat mengerti bahwasannya pekerjaan memajukan daerah tertinggal tidak seperti membalikkan telapak tangan tapi pada bidang-bidang tertentu harusnya dilakukan perlakuan khusus dan lebih diutamakan,” tambahnya.

Dikatakannya, bila alokasi anggaran dan ke bijakan yang khusus tidak pernah dimulai pemerintah, maka jangan salahkan rakyat akan selalu berhadapan dengan pemerintah. “Rakyat juga semakin tidak percaya kepada pemimpinnya dan tidak mendukung pembangunan di sekitar mereka,” demikian TAF Haikal.( ant )


http://beritasore.com/2010/01/27/pemerintah-aceh-belum-perhatikan-daerah-tertinggal-2/

Senin, 25 Januari 2010

Pemerintah Aceh Dinilai Gagal Wujudkan Pemerataan Pembangunan

Banda Aceh, (Analisa)

Pemerintah Aceh selama tiga tahun dibawah kepemimpinan Gubernur Irwandi Yusuf dan Wagub Muhammad Nazar dinilai sejumlah kalangan telah gagal mewujudkan pemerataan pembangunan di provinsi itu.

Sementara program pembangunan daerah-daerah yang selama ini masih tertinggal seperti kawasan pantai barat selatan dan tengah tenggara Aceh, yang diwacanakan sejak 2007 lalu, hingga kini tidak pernah terwujud dan menjadi program di atas kertas saja tanpa realisasi di lapangan.

"Sejak beberapa tahun lalu pemerintah Irwandi-Nazar menjanjikan pembangunan daerah tertinggal dan pemerataan pembangunan di Aceh, tapi itu tidak pernah terwujud hingga hari ini. Janji tinggal janji," ujar Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal kepada wartawan, Minggu (24/1).

Haikal yang merasa sangat kecewa karena hingga hari ini Pemerintah Aceh masih menganaktirikan pembangunan di barat selatan menyatakan, Irwandi-Nazar seharusnya tidak terus menebarkan program-program jika tidak mampu merealisasikannya, sehingga masyarakat makin menderita karenanya.

"Kami mensinyalir, janji-janji pembangunan selama ini hanya untuk meredam upaya perlawanan masyarakat pantai barat selatan yang menuntut pemekaran. Ini merupakan bentuk pembohongan publik," tegasnya.

Menurutnya, yang sangat mengherankan meskipun program pembangunan daerah tertinggal selama ini tidak berjalan seperti diharapkan, namun Pemerintah Aceh tidak pernah melakukan evaluasi sejauhmana realiasasinya, malah program yang sama terus dijanjikan tiap tahun.

Di Atas Kertas

Jika pun ada alokasi anggaran yang dialokasikan untuk mempercepat pembangunan di kawasan pantai barat selatan Aceh, itu hanya angka statistik yang tertulis di atas kertas saja, namun minim dalam realisasi di lapangan. Bila ini hanya ingin menyenangkan publik pantai barat selatan saja, KPBS menilai justru ini menjadi awal yang tidak baik ke depan, ujar aktivis LSM ini.

Selama ini, kata Haikal, wilayah barat selatan sangat merasakan diskriminasi yang besar dari Pemerintah Aceh. " Tsunami telah membawa perubahan besar bagi Aceh. Akan tetapi bagi kami hal itu belum begitu berarti," tandasnya.

Ditambahkan, Pemerintah Aceh hendaknya memperlakukan kawasan barat selatan layaknya Indonesia memperlakukan Aceh. Aceh dijadikan kawasan khusus. Semua pihak berharap wilayah-wilayah terisolir di Aceh juga mendapatkan kebijakan yang khusus pula.

Sementara itu, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Akhiruddin Mahjuddin menilai Pemerintah Aceh selama ini lebih peduli kawasan timur Aceh. Sementara pantai barat-selatan dilupakan, akibatnya kesejahteraan rakyat Aceh jadi timpang. Faktanya, ujar Akhiruddin, pembagian anggaran Otonomi Khusus (Otsus) dan Minyak dan Gas (Migas) tahun 2010 untuk kabupaten/kota di Aceh.

Lebih Kecil

Berdasarkan bahan dokumen Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) APBA 2010, untuk wilayah pantai utara dan timur sebesar 35 persen dari total dana Rp2 triliun. Bila dibanding daerah lainnya jauh lebih kecil. Untuk wilayah pantai barat selatan hanya 28 persen. Sedangkan tengah pedalaman Aceh hanya 25 persen dan Banda Aceh, Sabang, dan Jantho, Aceh Besar (Basajan) 11 persen.

Disebutkan, dari total anggaran Otsus dan Migas Rp2. 980.297.973.736 maka lebih besar diarahkan ke wilayah utara dan timur Aceh. Hal tersebut masih belum berubah dari tahun 2009, dimana secara mekanisme, anggaran membuktikan angka persentase masih memfokuskan pada wilayah pantai timur.

Padahal, ujarnya, secara general dan report anggaran wilayah timur Aceh, ini setiap tahunnya memperoleh dana subsidi pembangunan untuk fasilitas infrastruktur. Pihaknya melihat implikasi perencanaan pembangunan untuk masyarakat Aceh belum menunjukkan arah yang seimbang, antara perencanaan terpadu yang ingin dicapai dari visi dan misi pemerintah hasil Pilkada lalu.

Meskipun demikian, hasil analisa PPAS 2010, perencanaan pembangunan menunjukkan perimbangan pembagian keuangan antarwilayah. Namun implikasi per sektor belum menunjukkan keseimbangan di level masyarakat.

Selain itu, GeRAK juga melihat pola penganggaran belum cukup baik. Hal ini sangat kontradiksi dengan yang telah dirumuskan. Pihaknya menyorot bahwa dinas-dinas yang diharapkan menjadi tulang punggung, belum mampu menunjukkan inovasi kerja atau belum simultan dengan yang dituangkan dalam rencana APBA tahun 2010.

Dicontohkan, untuk sektor pendidikan, pantai utara timur Aceh, meliputi Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Langsa, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang, mendapat anggaran Rp166,5 miliar atau 35 persen.

Sementara itu, pantai barat selatan Aceh, yaitu Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Abdya, Aceh Selatan, dan Simeulue, mencapai Rp128,4miliar atau 24 persen. Sedangkan, wilayah tengah pedalaman meliputi Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Subulussalam, hanya 23 persen atau sebesar Rp122,4 miliar dan terakhir Banda Aceh, Sabang, dan Jantho) mendapat anggaran Rp40 miliar atau 17 persen saja.

Begitu juga sektor lainnya, seperti pertanian, kesehatan, PU, pengairan, perkebunan, sosial, kelautan dan perikanan, hampir rata-rata berkisar antara 31 hingga 62 persen anggaran dana Otsus dan Migas diperuntukkan ke wilayah pantai utara dan timur Aceh. (mhd)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=41731:pemerintah-aceh-dinilai-gagal-wujudkan-pemerataan-pembangunan&catid=42:nad&Itemid=112

Kamis, 21 Januari 2010

Kalangan Aktivis Aceh Minta Polisi Syariah Dibubarkan

Selasa, 19 Januari 2010 | 18:07 WIB

TEMPO Interaktif, Banda Aceh - Para aktivis di Aceh meminta agar polisi syariah dibubarkan karena dianggap tidak punya peran yang jelas. “Hal ini terbukti dan kita telah menganalisanya jauh-jauh hari,” tegas Evi Narti Zein, Direktur Koalisi NGO Hak Asasi Manusia Aceh, Selasa (19/1).

Evi menilai, peran polisi syariah di Aceh tidak jelas dan abu-abu. Artinya, wewenang mereka juga tidak mempunyai payung hukum yang jelas. "Mereka juga tidak punya wewenang untuk menahan seseorang. Kalau untuk pembinaan masyarakat, alat ukurnya dan kontrolnya juga tidak ada,” ujar Evi.

Menurut dia, pihaknya tidak serta-merta meminta polisi syariah dibubarkan, tapi sebelumnya telah membuat analisa. Apalagi baru-baru ini muncul kasus yang menggemparkan, tiga polisi syariah diduga memperkosa seorang gadis di Kota Langsa.

Selain tidak mempunyai tugas jelas, polisi syariah juga dianggap menghabiskan uang negara. NGO HAM dan beberapa lembaga swadaya masyarakat lainnya merekomendasikan agar polisi syariah di Aceh dibubarkan saja. “Kecuali pemerintah mampu memberikan manfaat jelas atas keberadaan lembaga tersebut, tidak seperti selama ini,” ujarnya.

Aktivis Aceh lainnya, TAF Haikal, menilai pemerintah Aceh sudah seharusnya membubarkan polisi syariah. “Polisi syariah dibubarkan saja, dan dibentuk unit khusus di Kepolisian Aceh yang menangani masalah syariat,” ujar mantan Sekretaris Jenderal Forum LSM ini.

Menurut Haikal, dengan adanya unit khusus di Kepolisian yang menangani masalah syariat Islam itu, diharapkan lebih menguatkan penegakan syariat Islam di Aceh. Sementara polisi syariah yang telah menjadi pegawai negeri sipil, dimutasikan saja ke Satpol PP atau dinas lainnya.

Sementara itu, Pemerintah Aceh menyambut dingin usulan pembubaran polisi syariah tersebut. Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan, hal itu tidaklah perlu dilakukan. “Yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi institusi dan mereformasi perekrutannya.”

Menurut Muhammad Nazar, penggabungan polisi syariah dan Satpol PP yang dinaungi oleh Depertemen Dalam Negeri, sudah bagus. Kedua institusi itu bertugas menegakkan peraturan daerah. “Hanya saja sistemnya yang perlu diubah, seperti rekrutmen yang sesuai kebutuhan. Jangan karena beberapa orang melakukan kesalahan, kita harus membubarkannya,” ujarnya.

Permintaan membubarkan polisi syariah muncul di Aceh setelah tiga polisi syariah diduga kuat memperkosa seorang gadis di Kota Langsa, dua pekan lalu. Gerakan pembubaran itu bahkan muncul di jejaring sosial facebook.

Adi Warsidi


http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2010/01/19/brk,20100119-220144,id.html

Rabu, 20 Januari 2010

Target PAD Aceh 2010 Menurun

Banda Aceh, (Analisa)

Target Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun ini yang dibuat Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) dalam RAPBA 2010 menurun sebesar Rp385 juta dari tahun 2009,

sehingga terkesan Pemerintah Aceh tidak kreatif dalam menggali sumber-sumber PAD.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menyebutkan, target PAD tahun 2010 sebesar Rp795 miliar, sementara target tahun 2009 mencapai Rp795,8 miliar. "Tahun ini, target penerimaan kita dari PAD sedikit diturunkan," ujarnya kepada wartawan, Selasa (19/1).

Dijelaskan, target PAD tahun ini di antaranya berasal dari pajak Aceh sebesar Rp476,9 miliar, retribusi Aceh Rp13 miliar, hasil pengelolaan kekayaan Aceh yang dipisahkan dan hasil penyertaan modal (investasi) Pemerintah Aceh Rp74,5 miliar, penerimaan dari zakat pegawai Rp3 miliar dan lain-lain pendapatan asli Aceh yang sah Rp228 miliar.

"Kita harapkan, target tersebut bisa dicapai dengan kerja keras dari para Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) terkait, tidak seperti tahun lalu yang ternyata tidak mencapai target," sebutnya.

Tahun 2009, dari target PAD yang ditetapkan Rp795,8 miliar lebih, yang dapat direalisasikan pencapaiannya hanya sebesar Rp621,7 miliar atau sekitar 78,13 persen.

Gubernur menyebutkan, pendapatan Aceh lainnya dalam Rancangan APBA tahun ini juga mengalami penurunan seperti penerimaan dana perimbangan dari tahun lalu Rp2,2 triliun kini menjadi Rp1,2 triliun. Sementara dana Otonomi Khusus (Otsus) sama seperti tahun lalu Rp3,7 triliun.

Sementara itu, sejumlah pihak menilai jika PAD Aceh tahun ini menurun, bisa menguras dana migas dan otsus untuk pembayaran Tunjangan Prestasi Kerja (TPK) pegawai di tingkat provinsi.

"Pagu yang harus disediakan untuk pembayaran TPK 8.000 pegawai serta ratusan pejabat Pemerintah Aceh mencapai Rp250 miliar/tahun. Seharusnya Pemerintah Aceh lebih giat lagi dalam menggali sumber-sumber PAD yang selama ini belum tersentuh," ujar TAF Haikal, pemerhati kebijakan pemerintah di Banda Aceh. (mhd)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=41175:target-pad-aceh-2010-menurun&catid=537:20-januari-2010&Itemid=135

Gantikan WH, Aceh Butuh Polisi Berpresfektif Syariat

Banda Aceh, (Analisa)

Desakan untuk membubarkan lembaga Wilayatul Hisbah (Polisi Syariat) di Aceh semakin gencar dilakukan berbagai komponen masyarakat, pasca aksi bejat yang dilakukan

tiga oknum WH di Langsa yang melakukan aksi pemerkosaan terhadap seorang gadis, yang sebelumnya ditangkap sama WH setempat.

Aksi desakan pembubaran lembaga WH yang secara khusus dibentuk di Aceh sejak provinsi paling ujung barat Pulau Sumatera Indonesia tersebut diberlakukan penerapan hukum syariat Islam secara kaffah dan pemberlakuan Undang-undang No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan Aceh, Taf Haikal mengungkapkan, setelah melihat keberdaan dan kapasitas WH selama ini, memang sudah layak kalau lembaga tersebut dibubarkan, karena tidak bisa berjalan efektif dalam penegakan syariat Islam di Aceh.

Sebagai penggantinya, perlu direkrut polisi umum yang berprefektif syariat. Dimana, polisi umum yang direkrut oleh Polri melalui Polda Aceh itu berasal dari kalangan santri lulusan pasantren-pasantren yang hanya tersebar di seluruh Aceh.

"Setiap tahun, mininal ada 10 orang polisi yang direkrut dari kalangan santri," ujar Taf Haikal saat berbicara dengan sejumlah wartawan di Sekretariat Bersama (Sekber) Jurnalis Aceh, Senin (18/1) di Banda Aceh.

Dikatakan, selama ini juga keberadaan WH hanya terkesan untuk menghabiskan anggaran saja, karena peran mereka tidak jelas, sebab proses penyelidikan dan penyidikan tetap dilakukan oleh pihak kepolisian. Dimana, setelah WH menangkap orang yang diduga melanggar syariat atau menerima tangkapan warga masyarakat yang diserahkan ke WH, pihak WH melanjutkannya ke pihak kepolisian.

Ini sama saja memperpanjang birokrasi yang ada, sehingga kasus yang memalukanpun terjadi seperti yang terjadi di Langsa, dimana tiga oknum WH melakukan aksi pemerkosaan secara bergiliran terhadap seorang gadis yang ditangkap mereka sebelumnya.

Dikatakan, dengan adanya perekrutan polisi umum yang berpresfektif syariat, maka Polda Aceh juga bisa membentuk unit khusus syariat yang menangani masalah syariat. Apalagi kewenangan polisi dalam UUPA juga sudah sangat jelas disebutkan.

"Dengan adanya unit khusus syariat di Polda dan Polres-polres di Aceh, maka dapat menghilangkan kesan dualisme aparat penegak hukum di Aceh," ujar Taf Haikal.

Membatasi Patroli

Sementara itu, pasca peristiwa Langsa, yang memalukan menimpa lembaga WH yang notabene penegak syariat Islam di Aceh, para petugas WH di Banda Aceh terpaksa membatasi patroli jalan raya yang selama ini kerab dilakukan di seputaran ibu kota Provinsi Aceh ini.

Hal ini dilakukan, karena gencarnya cacian dan makian yang dialamatkan kepada petugas WH yang melakukan patroli. Bahkan, anak-anak juga ikut meneriaki petugas WH yang berpatroli lengkap dengan pakaian dinas dan atribut WH tersebut.

"Untuk sementara, kita batasi dulu patroli syariat di Banda Aceh, karena begitu gencarnya cacian dan makian yang diterima anggota," ujar Aminah, Jubir perempuan WH Banda Aceh yang dihubungi wartawan, Senin (18/1).

Dikatakan, peristiwa Langsa sungguh menjadi pukulan yang amat memalukan bagi lembaga WH, sebab banyak masyarakat mengganggap itu merupakan cerminan lembaga, padahal itu dilakukan oknum tertentu. (irn)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=41049:gantikan-wh-aceh-butuh-polisi-berpresfektif-syariat&catid=42:nad&Itemid=112

Jumat, 01 Januari 2010

Reconstruction Spurred Growth: Now Investors Are Needed to Use Aceh’s New Infrastructure

December 26, 2009
Jakarta Globe

The 2004 tsunami brought with it one ironic blessing — an economic awakening of sorts for Aceh, largely due to the $7 billion relief fund that was used to rebuild the province.

Boosted as well by the 2005 peace deal that ended the thirty-year armed conflict between separatist rebels and the central government, the money built new homes and other infrastructure, helping to strengthen many local communities.

Significant economic challenges remain, however, including the creation of stable employment and long-term development for a province that has long been on the fringes of the national economy.

Nazamuddin Basyahsaid, an economic expert at Banda Aceh’s Syiah Kuala University, said that reconstruction efforts had yet to result in the establishment of a “sustainable economy,” because investment is still needed that will maximize the province’s harbor, road and airport facilities.

“New private investment on a massive scale has yet to be seen in Aceh. This is a critical need that could help fuel the economic engine for the long term. The money circling around Aceh comes from the [central] government and a few donors,” he said.

The World Bank’s Director for Indonesia, Joachim von Amsberg, said that after reconstruction the biggest challenge for Aceh was to create a conducive climate for private investment.

“The investment potential in Aceh is quite large, but it has to be accompanied by assurances of security and ease for investors to come into Aceh,” von Amsberg said.

With the influx of reconstruction spending, growth in Aceh was strong in 2006 and 2007, at 7.7 percent and 7 percent, respectively, excluding oil and gas revenue, according to World Bank figures.

But figures for 2008 showed growth in the province contracting, as reconstruction neared completion and sectors not linked to the reconstruction effort — agriculture, manufacturing and energy — exhibited lackluster performance.

With its current infrastructure, Aceh has loads of under utilized potential. The inauguration in August of the Sultan Iskandar Muda International Airport, for example, gave the once-isolated province a modern facility capable of handling 1.7 million passengers a year — if they come.

Since its opening the airport is handling just six international flights — to Malaysia — a week on two carriers. AirAsia flies to Kuala Lumpur and Firefly flies to Penang. Domestic flights to Jakarta are offered once a day by Garuda Airlines and Sriwijaya Air, and twice a day by Lion Air.

While the busy reconstruction process was underway, Garuda and Lion each flew to Aceh at least five times a day, even though the terminal hadn’t been completed yet.

During the five years of reconstruction, some 140,000 new houses were built for tsunami victims. Thousands of new schools, hospitals, public health clinics, government offices, police stations and military facilities were also built.

Almost two dozen large and small harbors were developed, one of which, Malahayati Harbor, built by the Dutch government 33 kilometers north of Banda Aceh, was expected to be a container port.

But those plans have yet to be realized, and only local fishing boats are using the harbor on a regular basis. During weekends, local people head to the harbor to fish.

The same thing occurred with Meulaboh Harbor in West Aceh’s capital city.

That port was renovated by the Singaporean government as a way to accelerate growth in western and southern Aceh, but the infrastructure seems to have been ahead of its time.

There is a similar story in Krueng Geukueh Harbor in North Aceh district, which is intended to serve the eastern coast, and Sabang port on Weh Island.

These maritime hubs remain essentially vacant.

“There is no docking activity at the harbors. If they are not utilized soon, the condition of the harbors built by donor countries will tragically deteriorate,” said Nazamuddin, adding that Aceh should focus on developing the supporting infrastructure to complement the harbors and passing investor-friendly regulations.

There is also the unfinished highway connecting Banda Aceh and Meulaboh, which was to be funded by the United States Agency for International Development (USAID) under a 2005 agreement signed with the Indonesian government.

The agency was initially committed to developing a 240 kilometer highway that included more than 100 bridges.

During the signing of the memorandum of agreement between Indonesia and USAID at Lhok Nga Beach in May 2005, then minister of public works Joko Kirmanto, said, “it will be the most expensive road in Indonesia, as it costs Rp 10 billion $1.06 million) per kilometer.”

USAID, however, decided to build just a 115-kilometer road connecting Banda Aceh and Calang, the capital of Aceh Jaya district, about half-way to Meulaboh. The project appears to be stalled at about kilometer 90, while the official project Web site, www.acehroad.org, says it will be completed in early 2010.

“If we drive toward Calang, we frequently curse and pray at the same time, cursing USAID, which has not finished the job, and praying for our safety on a heavily damaged road. We call it a road of curses and prayers,” said local activist TAF Haikal.

USAID officials in Aceh refused to confirm if the project had been postponed and the Web site says work is continuing. Nurdin Hasan

http://thejakartaglobe.com/news/reconstruction-spurred-growth-now-investors-are-needed-to-use-acehs-new-infrastructure/349343

Banyak Mantan GAM Belum Nikmati Distribusi Ekonomi

Banda Aceh, (Analisa)

Proses perdamaian di Aceh pasca penandatanganan MoU Helsinki antara pemerintah Indonesia dan GAM terutama yang menyangkut masalah reintegrasi mantan kombatan GAM

dan korban konflik saat ini dinilai belum berlangsung sepenuhnya, dan hanya dinikmati sebagian kecil dari mereka.

"Distribusi ekonomi bagi mereka mantan kombatan GAM belum sepenuhnya berlangsung, hanya kalangan tertentu saja yang sangat menikmati akses ekonomi tersebut," ujar Juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal kepada wartawan, Senin (28/12).

Akibat dari semua itu, lanjutnya, di lapangan sangat mudah memicu kondisi yang kurang menguntungkan bagi pelaku ekonomi atau pembangunan yang mau berinvestasi di Aceh. Pemblokiran jalan, intimidasi dengan mudahnya berlangsung di lapangan, sementara aparat keamanan terkesan seperti ragu-ragu dalam melakukan penegakan hukum yang tegas.

Menurut Haikal, ke depan tantangan bagi Pemerintah Aceh maupun Partai Aceh (PA), bagaimana memanfaatkan infrastruktur yang sudah dibangun pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi bisa maksimal dan terawat dengan baik.

Kemudian memberikan nilai tambah atau membangun infrastruktur pendukung pada infrastruktur yang sudah ada sehingga bisa maksimal dalam pemanfaatannya.

Melakukan skala prioritas pembangunan yang mendesak dan sangat dibutuhkan oleh rakyat seperti melakukan moratorium pembangunan irigasi, tapi diarahkan untuk revitalisasi atau memperbaiki irigasi yang sudah rusak tapi lahannya masih sangat potensial.

Karakteristik

Selanjutnya, membangun perencanaan Aceh dengan pendekatan kawasan yang sesuai karakteristik (daya dukung) geografis, topografis, sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), kebencanaan, dan anggaran.

"Artinya, sekecil apapun pembangunan atau infrastruktur yang dibangun, bisa digunakan bersama dalam sebuah kawasan. Tentunya diikuti dengan alokasi anggaran yang sinergis mulai dari APBK, APBA, APBN, swasta/investor pada kesepakatan fokus yang sama," terangnya.

Disebutkan, daya serap anggaran yang rendah, pelibatan dan koordinasi dengan kabupaten/kota tidak dibangun baik. "Sering kita mendengar keluhan ada program atau proyek yang dikerjakan oleh provinsi dengan dana APBA tidak diketahui oleh bupati/walikota atau SKPD tempat lokasi. Koordinasi dengan kabupaten/kota menjadi syarat mutlak untuk mendorong daya serap anggaran," sebutnya.

Terlepas dalam Undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) titik berat otonomi berada di provinsi, terobosan pelimpahan wewenang atau tugas perbantuan harus ditempuh oleh provinsi karena jumlah anggaran yang dikelola lumayan besar.

"Untuk itu, provinsi harus segara melakukan evaluasi terhadap Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) seperti dinas, badan dan lembaga daerah menjelang pembahasan dan pengesahan anggaran baru tahun 2010," harapnya. (mhd)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=39152:banyak-mantan-gam-belum-nikmati-distribusi-ekonomi-&catid=518:31-desember-2009&Itemid=223