Rabu, 02 September 2009

Petaka Usai Rebutan Merekrut

Feature
Oleh: MAIMUN SALEH dan MISMAIL LAWEUNG - 01/09/2009 - 22:55 WIB

PENGANTAR REDAKSI:
Situs Berita ACEHKITA.COM menurunkan tulisan “Petaka Usai Rebutan Merekrut” yang dimuat Majalah ACEHKINI edisi 8/2009. Tulisan ini berhasil memenangkan penghargaan penulisan feature yang diselenggarakan Komisi Independen Pemilihan Aceh. Maimun Saleh, dalam tulisan yang ditulis bersama Mismail Laweueng, berhasil menulis dengan baik soal ancaman yang dituai kontestan pemilihan di Aceh.
Selamat membaca,
Redaksi

DERU sepeda motor yang dikendarai dua pemuda, memecahkan sepinya jalan Banda Aceh-Medan, menjelang shalat Jum’at, 24 Oktober silam. Matahari tepat berada di atas kepala, ketika Erna, 21 tahun, warga desa Geulanggang Rayek, Kecamatan Kutablang, Bireuen, berteduh di halte sambil menunggu angkutan umum sepulang kuliah.

Sebelum dihampiri, ia tak curiga gelagat kedua pemuda itu. Apalagi seorang di antaranya cukup dikenal. “Si Dan, namanya warga kampung Dayah Masjid,” jelas Erna. “Yakin 100 persen dia KPA, Erna kenal dia dari dulu.” KPA adalah Komite Peralihan Aceh –organisasi tempat bernaung para mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Bekas kombatan itu, tiba-tiba mengancam Erna agar menurunkan bendera Partai Keadilan Sejatera (PKS), yang dikibarkan di perkarangan rumahnya, sejak bulan Ramadhan lalu. Bila tidak, caleg nomor tujuh untuk Daerah Pemilihan IV Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen itu, akan diceburkan ke sungai. Peristiwa terjadi memang tak jauh dari jembatan.

Mahasiswi Al-Muslim itu tak ciut nyali. “Kampanye hak semua orang, kalau kalian mau protes, silahkan ke KIP (Komisi Independen Pemilihan, red), jangan dengan saya,” jawab Erna dengan nada tinggi, sambil berlalu menuju angkutan yang mengantarnya pulang.

Ancaman berlanjut keesokan hari. Sepulang dari pengajian, ia berpas-pasan dengan seorang pria yang kemudian berbalik arah membututinya. Di lorong menuju rumahnya, pria yang kemudian diketahui Erna sebagai anggota Partai Aceh, menggertaknya. “Kenapa kamu pasang bendera partai Indonesia itu di rumahmu?” tiru Erna.

Selanjutnya, pria itu mengintimidasi akan menghabisi Erna, keluarga serta membakar rumahnya. “Sudah dua kali wali pulang, kamu masih tidak tahu diri,” hardik pria itu, saat azan Magrib sedang berkumandang dari masjid. “Saya tak takut dengan ancaman kamu, yang saya takut hanyalah Allah,” sahut Erna.

Amarah pria itu mendidih. Spontan ia menarik pin PKS di jilbab mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) jurusan Matematika, Al-Muslim itu. Dia menghalau hingga rambutnya tersingkap. “Bang saya mau shalat Magrib,” ujar Erna tenang.

Tiga hari berselang, Erna didampingi sejumlah pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PKS Bireuen melaporkan peristiwa itu ke polisi resort setempat. Selain sebagai upaya penegakan hukum, Nasrul Wahdi, Wakil Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKS Aceh, menyatakan agar peristiwa serupa tidak lagi terjadi. Terlepas siapapun pelakunya.

Tak hanya itu ancaman mendera PKS. Di Pidie dan Lhokseumawe, beberapa waktu lalu, sejumlah calon anggota legislatif (caleg) PKS diperintahkan anggota salah satu partai lokal untuk membatalkan niat ikut pemilu. Belum lagi sejumlah bendera partai ini hilang di berbagai kota. “Kami harap, semua partai bisa fair play,” keluh Nasrul.

Sebenarnya, PKS tak puas sekadar melapor polisi. Sebab pihak kepolisian memasukkan ancaman itu sebagai tindak kriminal, bukan ‘kejahatan pemilu.’ Menurut Nasrul, tak ada pilihan lain. KIP tak punya kuasa untuk mengawasi kecurangan-kecurangan pemilu. “Minimal kita telah menempuh jalur hukum,” jelasnya.

Ia berharap Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) segera bisa bekerja di Aceh. Perkaranya, persaingan tak sehat mulai mekar di Aceh. Tanpa juri dari Panwas, “amburadul begini, pemilu serba tak jelas. Ini mengancam deklarasi pemilu damai,” keluh Nasrul.

***

Sebenarnya pada 5 Juni lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah mengukuhkan lima anggota panitia Panwas yakni Nyak Arief Fadhillah, Rasyidin Hamin, Radhiana, Yusra Jamali dan Asqalani. Daftar nama tersebut telah pula dikirim ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jakarta. Tujuannya agar segera dilantik.

Namun, Bawaslu menolak. Alasannya, seharusnya jumlah anggota Panwas tiga orang, baik di propinsi maupun kabupaten/kota. Lalu, usianya minimal harus 35 tahun. Terakhir, yang berhak menyeleksi KIP Aceh, bukan DPRA. Bawaslu tak asal tolak, alasannya sesuai Undang-undang nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu dan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) nomor 14 tahun 2008 tentang pedoman seleksi calon anggota Panwaslu.

Tapi, DPRA juga tak sembarang kirim nama. Para politisi Aceh berpedoman pada Undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), serta Qanun nomor 7 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu di Aceh. Dalam kitab itu memang disebutkan jumlah anggota Panwas lima orang, berusia 30 tahun dan legislatif berwenang melakukan seleksi.

Mawardi Ismail, Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, tak habis pikir melihat kenyataan ini. Untuk meluruskan perkara, DPRA dan Bawaslu justru saling menyurati, bukan melalui aturan hukum.

Surat menyurat dimaksud, surat penolakan yang dikirim Bawaslu ke DPR Aceh. Kemudian giliran legislatif Aceh membalas. KPU juga melayangkan surat bernomor 2620/15/IX/2008 ke KIP Aceh, awal September lalu. Isinya, perintah segera membentuk Panwaslu.

Ilham Syahputra, Wakil Ketua KIP Aceh, punya cerita menarik. Menurutnya, DPRA dan KIP sempat duduk semeja dengan Bawaslu. Mulanya, DPRA tetap kukuh yang harus dijalankan UUPA dan qanun. Sementara Bawaslu kukuh hanya undang-undang pemilu dan peraturan KPU yang harus ditaati.

Untuk melerai silang pendapat, KIP tak hilang akal. Lembaga yang dipimpin Abdul Salam Poroh itu, berkoordinasi dengan Muhammad Nazar, wakil gubernur Aceh. Lembaga ini mengusulkan anggota Panwaslu tetap tiga orang, sesuai Undang-undang pemilu.

Apalagi, dua anggota Panwas hasil seleksi DPRA di bawah 35 tahun. Juga telah disepakati, KIP akan mengirim enam nama ke Bawaslu untuk fit and proper test, selanjutnya dipilih tiga orang. “Tapi tiba-tiba ada surat dari gubernur ke Wapres minta agar Bawaslu melantik anggota Panwas,” jelas Ilham.

Kesal tingkah gubernur, membuat Bawaslu kembali bersikeras bahwa mereka tidak mau melantik pilihan DPRA. KIP Aceh juga akan memilih berpaling dari DPRA. “Kalau sampai awal November ngak ada kepastian soal itu, kami akan melaksanakan aturan KPU,” tegas Ilham. “Dengan aturan KPU, kami akan rekrut ulang.”

***

Berlarutnya pembentukan Panwaslu di Aceh akibat adanya penafsiran yang berbeda antara pusat dan daerah. “Daerah menafsirkan Panwaslu termasuk melaksanakan pemilu legislatif dan presiden. Sedangkan pusat, berpikir Panwas yang diatur dalam Undang-undang pemerintahan Aceh tidak ikut mengawasi ini,” jelas Mawardi.

Menurut dia, KPU dan Bawaslu menganggap isi qanun yang diatur daerah tidak benar, maka untuk mengoreksinya harus ditempuh sesuai mekanisme. Caranya desak presiden untuk membatalkan qanun itu. “Kalau tidak bisa lewat Perpres karena sudah lewat 60 hari, maka bisa ditempuh lewat yudicial review,” sebut ahli hukum tata negara ini.

Nah dengan demikian, ada kepastian hukum terhadap setiap produk hukum. Tapi, hal itu tidak dilakukan. “Perbaikan atau koreksi terhadap putusan daerah tak ditunjukkan dengan bentuk surat menyurat (seperti dilakukan oleh Bawaslu, KPU dan DPRA selama ini, red),” ujar Mawardi.

Ia juga menilai ketidaksetujuan KPU dan Bawaslu tak subtansial, melainkan pada mekanisme. Sebab persoalan jumlah anggota Panwas, kedua lembaga itu bisa melunak. Kesimpulan itu dilihat dari surat Bawaslu ke DPRA dan Pemerintah Aceh, mereka tidak menyebutkan tak boleh lima orang. Yang disampaikan justru tiga diangkat Bawaslu, sisanya diangkat daerah. “Kalau soal anggaran itu bisa dinegosiasikan,” kata Mawardi menafsir isi surat.

Sebagai pengamat, dia mengaku setuju Panwaslu Aceh dihuni lima personel. Karena beban yang ditanggung KIP dan Panwaslu di Aceh sangat berat, selain ada partai nasional, juga ada partai lokal yang akan ikut mengutip suara dalam Pemilu 2009 nanti.

Tanpa Panwas, peran itu bisa diganti polisi dan jaksa. “Kalau sudah masuk wilayah pidana, itu urusan polisi dan jaksa,” kata Mawardi. Tapi tetap saja, seperti kata Nasrul, pengurus DPW PKS, “tak memuaskan!”

Saleh Sjafei, Manager Aceh Justice Resource Center (AJRC), justru mencemaskan kedamaian Aceh. Para pihak diseru agar arif dan segera bisa membentuk Panwas. “Panwaslu harus segera dibentuk untuk mengurangi ancaman keutuhan perdamaian Aceh,” katanya singkat.

Kerikil-kerikil yang dikhawatirkan Sjafei itu, mulai terbukti saat Kasibun Daulay, Komandan Lapangan Brigade 8 PKS Aceh, melihat bendera partainya dicomot simpatisan partai lain. Kasibun dan petinggi PKS pun mencak-mencak, tak tahu harus menyeret kemana si pelaku.

Dia berharap, seluruh partai politik peserta pemilu yang sudah mendeklarasikan pemilu damai, dapat mengimplementasikan hingga ke tingkat bawah. Karena tak ada Panwaslu, ia hanya bisa berharap pihak keamanan dapat bertindak lebih tegas dalam mengamankan pemilu di Aceh ke depan.

Taqwadddin, dosen Fakultas Hukum Unsyiah, mendesak Bawaslu tidak perlu menunda pelantikan Panwaslu. Pasalnya, kampanye terbatas telah dimulai sejak 12 Juli 2008. Kandidat doktor Ilmu Hukum ini menambahkan, Bawaslu perlu memahami bahwa Aceh sebagai daerah “khusus” dengan otonomi luas, berhak mengadopsi peraturan secara nasional seperti undang-undang pemerintahan di Aceh.

“Begitu juga dalam hal pembentukan Panwaslu, harus dicarikan solusi secara arif agar pelaksanaan kampanye Pemilu 2009 berjalan secara adil, jujur, demokratis dan tanpa cacat,” jelasnya.

Ia sependapat dengan Mawardi. Bahkan, menurutnya, perbedaan tafsir antara DPRA dan Bawaslu sudah bisa diakhiri. “Undang undang Pemerintahan Aceh itu harus dipandang sebagai lex superior dan sekaligus lex spesialis untuk Aceh. Ini ketentuan khusus yang harus dijadikan acuan Bawaslu,” paparnya lagi.

TAF Haikal, aktifis masyarakat sipil di Aceh, menilai seharusnya Panwaslu sudah bekerja di Aceh, seperti daerah lain. “Harus segera ada kebaikan yang dilakukan karena eskalasi konflik pemilu akan terbuka lebar dengan adanya partai lokal di Aceh,” sebut Haikal, yang jadi caleg DPR RI dari Partai Amanat Nasional ini.

Jika Panwas tak ada, menurut dia, akan membuat KIP tidak punya mitra dalam melakukan tahapan-tahapan pemilu di Aceh. “Juga dapat merugikan partai-partai, serta pengawasan sengketa pengawasan pemilu menjadi lebih rumit,” tukas Haikal.

***

Tarik-menarik masalah Panwas ini mencuatkan ide lain. Untuk menghindari mandeknya polemik tersebut, Taqwaddin menawarkan solusi lain: membentuk Panwaslu independen. Ini terpaksa dilakukan jika Panwaslu Aceh tak dilantik. “Ini menjadi sejarah baru di Aceh,” katanya.

Sejarah baru yang dimaksud Taqwaddin ialah membentuk Panwas Independen, tanpa campur tangan Jakarta. “Aceh sudah biasa membuat sejarah, sehingga tak masalah jika pemerintah pusat tidak berkenan melantik Panwaslu yang direkrut DPR Aceh,” urai dia lagi.

Anggotanya, tentu saja calon anggota Panwaslu Aceh hasil rekrut DPRA yang hingga kini belum dilantik. Mereka dialihkan menjadi Panwaslu Independen yang tidak tunduk kepada Bawaslu dan KPU atau KIP. “Kalau tidak ada aturan hukumnya, tinggal kita formulasikan kemudian, yang penting bentuk dulu,” ujar Taqwaddin.

Tapi soal Panwas Independen itu, Mawardi kurang sepakat. Sebab ia menilai tak ada aturan hukum yang mengakomodir aspirasi itu.

Sedangkan Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, A. Hamid Sarong, mengatakan, pusat hendaknya menerima apa yang disodorkan Aceh, apalagi sesuai dengan undang-undang. Kata dia, jika yang diajukan Aceh tak diakomodir, maka Bawaslu atau KPU harus memberi solusi. “Kalau tak ada, maka yang diajukan orang Aceh harus ditoleransi,” katanya.

Akhir cerita, kapan Panwas terbentuk? Berapa lama anggaran akan cair? Kapan lembaga itu akan mulai bekerja? Bagaimana dengan perangkat kantor dan segala macam urusan administrasi? Jawabannya, waktu kian sempit. Akankah Pemilu di Aceh sukses, tanpa petaka seperti dialami Erna? [a]


http://www.acehkita.com/feature/petaka-usai-rebutan-merekrut/