Senin, 30 Agustus 2010

Lintas Tengah Barat Selatan Aceh Rawan Perampokan

Minggu, 29 Agustus 2010 21:24 WIB | Peristiwa | Hukum/Kriminal

Banda Aceh (ANTARA News) - Pemudik dari kota Banda Aceh dan pantai timur utara menuju pantai barat selatan Aceh takut melewati lintas tengah (Geumpang - Tutut - Meulaboh) karena dianggap rawan perampokan.

Wartawan ANTARA dari Banda Aceh, Minggu, melaporkan para pemudik menuju delapan kabupaten/kota di pantai barat selatan Aceh lebih memilih jalur Banda Aceh - Lamni - Calang dari pada lintas Geumpang - Tutut - Meulaboh.

Meski jalan jalur alternatif menuju Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, Nagan Raya, Simeulue, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Kota Subulussalam itu lebih baik namun pemudik lebih memilih melewati lintas Banda Aceh - Lamno - Calang.

H Nasruddin (52), pemudik dari kota Banda Aceh mengatakan ia bersama keluarga lebih memilih jalur Banda Aceh - Lamno - Calang menuju Desa Damar Tutong Kecamatan Samadua Kabupaten Aceh Selatan.

Menurutnya, walaupun jalan Banda Aceh - Lamno - Calang masih harus menggunakan rakit penyeberangan untuk melintasi sungai Lambeuso dan jalan berkerikil serta berdebu namun lebih aman dari pada lintas tengah.

"Kami takut melewati lintas Geumpang - Tutut - Meulaboh, sebab beberapa hari lalu terjadi perampokan di jalur tersebut," kata H Nasruddin.

Pada Selasa (17/8) sekitar pukul 02.30 WIB para perampok yang berjumlah lima orang dan bersenjata api laras panjang serta menggunakan penutup wajah menghadang satu keluarga yang menggunakan mobil pribadi di jalur kilometer 19 Kecamatan Geumpang.

Para korban dalam perjalanan dari Aceh Utara menuju Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat tersebut dipaksa masuk ke jurang dan komplotan perambok melarikan mobil Kijang kapsul warna silver dengan nomor polisi BL 788 J.

Selain mengambil mobil korban, kawanan perampok juga menguras seluruh harta benda milik korban, seperti dompet, uang tunai dan handphone.

Sementara itu juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal mengharapkan aparat kepolisian menyiagakan personilnya untuk mengamankan arus mudik Idul Fitri 1431 Hijriyah.

"Kami berharap aparat keamanan menyiagakan personilnya pada arus mudik di titik yang dinilai rawan kriminal dan kecelakaan guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan," katanya.(*)
(IRWH011/R009)


http://www.antaranews.com/berita/1283091864/lintas-tengah-barat-selatan-aceh-rawan-perampokan

Rabu, 18 Agustus 2010

Membangun Aceh Dari Gampong

Wednesday, 18 August 2010 15:01
Written by TAF Haikal | Ketua DPA/Presidium Forum LSM Aceh, Fasilitator Impact

Pesawat Lion Air baru saja tinggal landas dari bandara Sultan Babullah Ternate , namun pikiran saya tidak pernah lepas dari pulau yang menyimpan sejarah Kesultanan Ternate dengan gunung berapi Gamalamanya. Saya dan teman-teman berada disana untuk melakukan sharing pengalaman dalam hal peningkatan kapasitas masyarakat sipil. Salah satu yang menurut saya menarik dan bagi saya sangat berkesan adalah keberadaan sebuah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Saya terkesan dengan keberadaan BPR Malifut yang diinisiasi oleh seorang dokter malaria yang sudah pensiun. Adalah Aziz Angkat yang hingga kini eksis, terus saja menginspirasi saya dan membuat saya tercengang. Sebuah pertanyan kritispun muncul: Mungkinkah solusi untuk rakyat desa yang dipraktekkan di Ternate itu bisa diterapkan di Gampong-Gampong yang ada di Aceh, yang notabene juga memiliki sejarah Kesultanan yang megah saat Sultan Iskandar Muda?.

Bersamaan dengan roda pesawat menyentuh landasan bandara Internasional Sam Ratulangi Manado saya pun menemukan jawabannya, Aceh lebih dari sangat mungkin melakukannya. Tentunya jawaban ini tidak terlepas dari pengalaman Aceh dalam republik ini yang selalu memberikan inspirasi baik pada era perjuangan Indonesia menuju merdeka sampai era ini. Sebuah gagasan yang dilahirkan dari daerah yang disebut Aceh, banyak mewarnai perubahan dan dinamika di negeri ini. Maka pikiran saya menyatakan, kita akan mampu melakukan hal itu dengan memperkuat ekonomi rakyat yang berbasis gampong.

Dari Manado saya berganti pesawat Garuda menuju Jakarta dan bersamaan dengan itu pula pikiran saya sepenuhnya tertuju ke Aceh. Pesawat terbang dengan tenang menembus awan yang sangat indah awan putih disekitar pesawat seperti kapas dan setenang itu pula pikiran saya menerawang apa yang dapat saya lakukan di Aceh dari hasil kunjungan yang di fasilitasi oleh Impact-UNDP Aceh.

ADG dan Impian Aceh

Saya teringat pada saat pasangan terpilih Gubernur Aceh Irwandi-Nazar melontarkan Pernyataan dimedia “ Membangun Aceh dari Gampong”. Kalimat tersebut bagaikan “magic” untuk masyarakat yang sebagian besar berada digampong-gampong yang jauh dari pusat kekuasaan. Lanjutan pernyataan tersebut dijabarkan dalam bentuk Bantuan Keuangan Peumakmue Gampong (BKPG) yang di alokasikan dari provinsi. Kemudian ditambah oleh masing-masing kabupaten kabupaten/kota dalam bentuk Alokasi Dana Gampong, berdasarkan kemampuan keuangan kabupaten/kota.

Setelah berjalan selama satu tahun, program BKPG ini tentu banyak menghadapi kendala, baik secara teknis maupun secara financial.plotting anggarannya sudah ditentukan oleh kebijakan BKPG, seperti infrastruktur menjadi alokasi terbesar, padahal belum semua gampong membutuhkan infrastuktur. Namun memang program ADG dan BKPG ini juga tidak terlepas dari birokrasi yang masih menjadi hambatan dalam pengembangan dan peningkatan kapasitas pemerintahan gampong. Jadi, kunci utama keberhasilan ADG atau BKPG memang harus didorong pada pemberdayaan ekonomi masyarakat. Program ini hanya mampu bertahan dan dialokasikan pada Tahun 2009, sementara tahun 2010 hanya meneruskan penyaluran sisa dana BKPG tahun sebelumnya. Menurut saya, ada beberapa faktor yang menyebabkan dana tersebut belum mampu menggerakkan ekonomi rakyat atau sektor riil. Pertama, program ini masih menyentuh aspek infrastruktur, sehingga belum mampu meningkatkan ekonomi masyarakat. Kedua, program ini belum menjawab kebutuhan dari masyarakat, karena

ADG di dorong sebagai bagian terkecil sebagai stimulan bagi warga gampong dalam mendorong pembangunan dan sector ekonomi kelas bawah. Alokasi ADG saat ini banyak tersedot pada sector konstruksi kelas gampong, kalaupun ada dana bergulir itupun tidak bergulir-gulir. Nyaris seluruh alokasi ADG tersedot pada sector tidak produktif, padahal awal diluncurkan nya program tersebut dengan semangat ingin menggerakan sector ekonomi produktif (Sektor riil) di gampong. Belum lagi sikap saling mencuragai yang terjadi antara masyarakat versus aparatur Gampong atau diantara sesama masyarakat Gampong. Bila kita sedikit mengintip yang sudah dilakukan di Ternate, Gampong-gampong di Aceh saat ini, besar mendapat dukungan financial tentunya sangat berpeluang mewujudkan lebih dari yang ada di Ternate.

Beberapa kabupaten di Aceh seperti Sabang dan Abdya sudah mengalokasikan ADG mencapai 250 juta lebih pergampong. Meskipun tidak kita pungkiri, masih ada kabupaten/kota yang secara financial belum mampu mengalokasikan ADG bagi pemerintahan gampong. Melihat kondisi seperti ini, maka saya sangat yakin bila ADG atau BKPG ini akan mampu kita kelola secara baik dengan pondasi ekonomi dan pendanaan yang kuat.

Sebagai Jaminan/Agunan

BPR Malifut yang di prakarsai oleh seorang pensiunan PNS dr.Aziz Angkat, membangun kerjasama dengan LSM untuk menjaminkan simpanan mereka di BPR sebagai jaminan atau angunan kredit masyarakat dampingan. Bila masyarakat yang atas rekomendasi LSM tidak dapat mengembalikan cicilannya, maka otomatis BPR langsung memotong simpanan LSM tersebut. Dalam kerjasama ini masing-masing pihak melakukan peran-peran yang maksimal, BPR pihak profesional dalam mengelola keuangan publik tetap menggunakan standar perbankan dengan pengawasan Bank Indonesia.

Ada tiga pihak yang berperan besar dalam mendorong mengerakan sektor riel ditingkat masyarakat, BPR, LSM, masyarakat sendiri. Hasilnya dari kerjasama yang terjalain dengan baik tersebut, BPR selalu mendapat pujian dari BI karena tidak ada tunggakan kredit, LSM semakin kuat pendampingannya dengan membuat program-program life skill yang fokus ditambah lagi simpanan LSM di BPR semakin berkembang. Sedangkan masyarakat dapat mengakses permodalan di perbankan tanpa harus memiliki jaminan atau angunan.

Bagaimana di Aceh yang saat ini sedang eforia program-program yang langsung dilaksanakan di gampong-gampong dengan pendampingan oleh fasilitator gampong.

Semua gampong di aceh saat ini dialokasikan dana ADG antara 75 s/d 250 jt, bila ada kebijakan (Qanun, pergub, perbup) yang berani dari pemerintah Provinsi atau Kabupaten Kota untuk mengalokasikan 50 % dana tersebut sebagai jaminan atau angunan masyarakat Gampong mengakses dunia perbankan. Mungkin lima tahun kedepan semua gampong di Aceh sudah mandiri dalam pengelolan keuangan karena sudah memiliki aset yang dititip di BPR/Bank.

Selama ini ditingkat grossroet berkaitan dengan jaminan atau angunan menjadi masalah yang paling krusial. Mereka memiliki tanah atau aset lainya, tapi tidak memiliki sertifikat seperti yang disyaratkan pihak perbankan. Bilapun mereka mengurus sertifikat tersebut, tentunya memerlukan waktu, dana yang harus dikeluarkan tidak sebanding dengan jumlah permohonan kredit yang dibutuhkan. Lebih riskan lagi memang mereka tidak punya asset yang dapat dijaminkan, tapi mereka memiliki potensi untuk di kembangkan uasahanya, pertanyaannya di mana peran negara untuk membantu mereka?

Peran-peran seperti inilah dapat digerakan dari line yang paling bawah yaitu gampong, persis seperti pernyataan orang nomor satu di Aceh saat ini ”membanguan aceh dari Gampong”. Ditambah lagi dengan dunia perbankan sangat tidak berminat untuk membiayai sektor-sektor informal kecil-kecil ini, lengkaplah penderitaan selalu rakyat kecil yang tidak akan pernah keluar dari mimpi buruknya. Perbankan lebih berminat pembiayaan pada sektor konstruksi, informal besar-besar apalagi PNS.

Kita semua harus belajar dari pengalaman kekuatan dan kelemahan program2 terdahulu yang bertujuan untuk mengerakan sektor ekonomi grossroet seperti DTD (Dana Tanggap darurat di Indonesia hanya Aceh dan Papua), PER (Pemberdayaan Ekonomi Rakyat), Gema Assalam, Pemakmu Nanggroe dan yang lain-lain.

Pemerintah memiliki wilayah, kebijakan, aparatur, dana serta rakyat, rasanya tidak mungkin cita-cita mulia membangun Aceh dari Gampong tidak dapat dicapai. Tinggal kita semua mau menggabungkan kekuatan profesional pada masing-masing pihak untuk membuktikan ”magic” itu menjadi kenyataan, hanya keiklasan, kesalehan sosial, kerja keras, dan waktu yang akan menjawab itu semua, semoga! TAF Haikal | Ketua DPA/Presidium Forum LSM Aceh, Fasilitator Impact.

Catatan perjalan study banding ke Makasar-Ternate Masyarakat Sipil Aceh pada tanggal 8 s/d 14 Mei 2010 yang difasiitasi oleh IMPACT atas dukungan UNDP


http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=273:membangun-aceh-dari-gampong&catid=72:ekonomi-a-pembangunan&Itemid=125

Kamis, 12 Agustus 2010

Warga Buloh Seuma Terancam Lapar

SEPUTAR ACEH.com
17/07/2010
Banda Aceh – Warga Buloh Seuma, Kecamatan Trumon, Aceh Selatan, terancam lapar karena perairan laut yang sering digunakan sebagai transportasi untuk membeli kebutuhan pokok warga di sana ke ibukota kecamatan, Trumon, sedang dilanda badai.

“Sudah hampir tiga minggu berbagai kebutuhan pokok seperti beras dan gula sangat sulit diperoleh di Buloh Seuma. Dan jika ada, harganya pun sangat mahal,” kata Zulhadi, Kepala SMP 2 Trumon di Buloh Seuma, Jumat (16/7/2010).

Ia mengatakan kelangkaan kebutuhan pokok di Buloh Seuma, selain disebabkan oleh tingginya gelombang di laut dalam tiga minggu terakhir, juga disebabkan oleh mulai dangkalnya Kuala Buloh Seuma yang digunakan masyarakat untuk melaut dan ke kecamatan untuk membeli kebutuhan pokok.

“Kami terpaksa mengangkut kebutuhan pokok dengan kendaraan roda menelurusi bibir pantai yang ditempuh selama satu setengah jam. Itupun jika tidak terjadi hujan dan badai dilaut. Sebab jika terjadi badai bibir pantai itu sulit dilewati,” katanya.

Kata Zulhadi, jika melalui roda dua kebutuhan pokok yang diangkut pun sangat terbatas, beda dengan mengunakan boat yang bisa mengangkut hingga 20 sak beras dan gula.

“Jika dengan roda dua hanya satu sak yang bisa diangkut dan sesampai di Buloh Seuma pun langsung dibagi-bagikan pada warga dengan jatah satu liter per keluarga untuk bisa bertahan,” katanya.

Untuk itu, ia meminta Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Selatan segera merealisasi pembangunan jalan Trumon Buloh Seuma sepanjang 30 kilmeter yang saat ini baru setengah jalan yang dibangun yang masih sulit dilewati.

“Segera realisasi pembangunan jalan itu. Jangan ada warga yang mati dulu akibat kelaparan, baru jalan itu cepat-cepat di selesaikan,” katanya.

Sementara itu, Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal mengatakan pemerintah terutama Pemkab Aceh Selatan kurang merespon terhadap kehidupan masyarakat di Buloh Seuma, sebab hal seperti ini terjadi setiap tahun.

“Ini bukan hal baru, sudah berulang-ulang kali setiap tiba musim badai, tapi pemerintah setempat seakan-akan tidak peduli terhadap mereka,” katanya.

Semetinya, kata dia, pemerintah setempat sudah mempunyai solusi untuk mengatasi ini. Apakah dengan subsidi anggaran untuk mengangkut kebutuhan pokok ke sana atau bisa saja dengan penyediaan atau stok kebutuhan pokok jauh hari sebelum tiba musim badai.

“Ini tidak dipikirkan pemerintahan di sana, mulai dari kepada desa, camat hingga bupati. Apa masyarakat di sana bukan warga Aceh atau tidak punya pemerintah sehingga mereka tidak pernah diperhatikan. Jangan tanah saja dipikir tetapi masyarakatnya juga diperhatikan,” kata Haikal.(*/ha/ bay)


http://seputaraceh.com/2010/07/17/warga-buloh-seuma-terancam-lapar

Sabtu, 07 Agustus 2010

Aceh Usulkan Kewenangan Daerah untuk Sumber PAD Diperluas

7 Agustus 2010
Banda Aceh, (Analisa)

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh mengusulkan kepada pemerintah pusat agar item yang menjadi sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) bagi provinsi maupun kabupaten/kota yang menjadi kewenangan daerah dapat diperluas dan diperbanyak lagi dalam Undang-Undang yang mengaturnya.

"Sumber-sumber PAD bagi daerah harus diperluas lagi, tidak seperti sekarang ini yang sangat sedikit sumbernya. Jangan semua menjadi pendapatan Negara," ujar Wakil Gubernur (Wagub) Muhammad Nazar di Banda Aceh, Jumat (6/8).

Menurutnya, termasuk sektor mineral, pertambangan dan perminyakan. Karena akan berbeda secara apapun ketika uang itu terlalu berputar secara administratif dan birokratif, misalnya setelah masuk sebagai pendapatan negara baru kembali ke daerah.

Dari sisi waktu s aja sudah tidak efesien, belum lagi di sisi transparansi perhitungan dan pemungutan. Jadi ruang PAD selama ini telah menciptakan disparitas fiskal antara pusat dan daerah serta antar daerah.

Salah satu kekokohan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah kokoh dan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) seperti dijelaskan Wapres dan Menteri Keuangan dalam paparannya tentang APBN dan APBD.

Tetapi menurut Wagub, selama ini sebagian provinsi dan mayoritas kabupaten/kota di Indonesia masih sangat bergantung pada dana APBN.

Artinya, keberadaan APBD provinsi dan kabupaten/kota sekalipun bergantung pada anggaran negara. Hanya beberapa provinsi dan sebagian kecil saja kabupaten/kota yang masih sanggup bergerak dengan PAD-nya.

"Penyebabnya banyak sekali, di antaranya melambannya pertumbuhan berbagai sektor industri, investasi swasta yang tidak signifikan kecuali daerah-daerah tertentu saja, pariwisata tidak tumbuh di semua tempat dan lain-lain sebanya," terang Nazar.

Sementara menurut undang-undang, PAD itu hanya bisa diperoleh dari hal-hal yang sangat kecil seperti pajak kendaraan bermotor, pajak perhotelan, surat izin mendirikan bangunan (IMB), izin lokasi dan royalti.

"Syukur kalau pertumbuhan industri seperti di Jakarta, Surabaya, Sumatera Utara, Makassar dan beberapa yang lain terjadi signifikan. Tetapi coba bayangkan, kalau ada provinsi dan kabupaten/kota yang tidak punya sumber daya alam (SDA) apa-apa, tentu akan semakin bergantung pada APBN," ujarnya.

PKB

Aceh sendiri, ungkap Wagub, dalam upaya menggenjot pendapatan daerahnya hingga kini masih sangat bergantung pada sektor pajak kendaraan bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kenderaan Bermotor (BBNKB). Sektor ini menyumbang hampir 50 persen lebih dari total PAD Aceh.

Target PAD tahun ini yang dibuat Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) dalam APBA 2010 menurun sebesar Rp385 juta dari tahun 2009, sehingga terkesan Pemerintah Aceh tidak kreatif dalam menggali sumber-sumber PAD.

Target PAD tahun 2010 sebesar Rp795 miliar, sementara target tahun 2009 mencapai Rp795,8 miliar. Target PAD tahun ini di antaranya berasal dari pajak Aceh sebesar Rp476,9 miliar, retribusi Aceh Rp13 miliar, hasil pengelolaan kekayaan Aceh yang dipisahkan dan hasil penyertaan modal (investasi) Pemerintah Aceh Rp74,5 miliar, penerimaan dari zakat pegawai Rp3 miliar dan lain-lain pendapatan asli yang sah Rp228 miliar.

TAF Haikal, seorang pemerhati kebijakan pemerintah di Banda Aceh menyatakan, pihaknya merasa heran mengapa Provinsi Aceh sebagai daerah kaya dengan berbagai potensi sumber daya alam melimpah, namun PAD yang berhasil didapatkannya sangat kecil.

"Seharusnya Pemerintah Aceh lebih giat lagi dalam menggali sumber-sumber PAD yang selama ini belum tersentuh, ujarnya. (mhd)


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=64651:aceh-usulkan-kewenangan-daerah-untuk-sumber-pad-diperluas&catid=42:nad&Itemid=112

Jumat, 06 Agustus 2010

Aktivis Sentil DPRA ‘Lemah Syahwat’

Fri, Aug 6th 2010, 15:38
* Ketua Banleg Keluhkan Beban Kerja
Kutaraja
BANDA ACEH - Kinerja DPR Aceh yang dinilai melorot sejak pertama dilantik kembali mendapat kritikan tajam dari kalangan aktivis LSM di Aceh. Bahkan kalangan aktivis memberi sentilan pedas kepada wakil rakyat jangan sampai “lemah syahwat” dalam bekerja karena beban yang mereka pikul adalah untuk kepentingan publik.

Sentilan lemah syahwat yang indentik dengan makna, “tidak bergairah”, “tak bernergi” itu diungkapkan kalangan aktivis dalam diskusi publik antara Ketua Komisi A DPRA, Tgk Adnan Beuransah, Ketua Banleg DPRA, Tgk Harun dengan sejumlah perwakilan aktivis LSM, di Sekretariat Forum LSM Aceh, Kamis (5/08). Sentilan itu diungkap terkait lemahnya kinerja DPR Aceh yang hingga kemarin belum menghasilkan satu pun qanun. Bahkan jadwal pembahasan delapan raqan qanun dari 21 raqan yang masuk prioritas Prolega, belum satupun jelas jadwal pembahasannya. “Berapakah sudah yang diketok palu dari 21 raqan yang masuk prioritas? Jangan sampai nanti rakyat menganggap dewan lemah syahwat,” kata aktivis Forum LSM Aceh, TAF Haikal.

Menurut TAF Hailkal, sikap dewan yang sampai saat ini belum memperlihatkan kontribusi berarti sebagai lembaga legislasi memberi dampak signifikan dalam masyarakat. Terutama banyak kebijakan pemerintah yang berjalan tidak sesuai landasan hukum yang ada. Salah satu contoh terkait kebijakan pemerintah memberlakukan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), namun pada pratiknya di lapangan, JKA tidak didukung dasar hukum yang jelas, di samping memang raqan Kesehatan dan JKA hingga saat ini belum dibahas dan disahkan DPRA, tapi programnya sudah lebih dulu diluncurkan.

Menurut Haikal, tidak ada hal yang perlu dikeluhkan sebagai seorang anggota Dewan jika sudah masuk dalam ranah politik praktis. Jika pun ada masalah yang mengganjal, para anggota dewan mempunyai dampingan expert (staf ahli) untuk berkonsultasi. Sehingga tidak ada alasan bagi anggota DPRA mengeluh karena beratnya beban kerja yang mereka pikul.

Berikan angka lima
Kritikan tak kalah pedasnya juga dilontarkan aktivis Kata Hati Institute, Teuku Ardiansyah. Dia menilai, melihat dari indikator yang ada, kinerja DPR Aceh masih harus dipertanyakan. Jika diibaratkan dengan standar nilai, kata Ardiansyah, kinerja lembaga dewan baru dapat diberi nilai lima. Nilai rapor merah ini diberikan sangat berlasan. “Kinerja itu dilihat dari indikator dan jumlah produk yang dihasilkan. Bisa dikatakan kinerja DPRA saat ini sangat lemah, produk dan kontribusi yang dihasilkan sangat kecil,” ujarnya. Namun dia memberi apresiasi positif bila anggota dewan masih mau terlibat dalam forum diskusi, untuk mencari pemecahan berbagai masalah.

Aktivis LSM lainnya, Saifullah Abdul Gani menyebutkan, perlu ada satu kerja sama yang sinergi antara DPRA dengan elemen sipil di Aceh dalam mengatasi kebuntuan masalah program legislasi. Terutama terkait dengan rancangan qanun yang akan dibahas, perlu dibentuk unit-unit kerja masing-masing bidang (task force) dengan melibatkan lembaga sipil yang berkompeten, sehingga tidak terlalu banyak menguras energi DPRA.

Selain itu, kata dia, DPRA juga perlu juga membentuk task force untuk mengawal UUPA agar dapat masuk menjadi kosideran dalam regulasi yang dibuat DPR dan pemerintah pusat yang berkaitan dengan Aceh.

Keluhkan beban
Menanggapi kritikan para aktivis LSM, Ketua Banleg DPRA Tgk Harun mengakui jika selama ini terdapat masalah dalam proses pembahasan raqan. Salah satu hal yang dikeluhkan terkait kurangnya tenaga di DPRA dalam proses perumusan raqan yang masuk prioritas. Selain itu, DPRA juga menghadapi masalah, jika sebagian raqan yang akan dibahas tahun ini masih bersifat copy paste sehingga perlu direvisi kembali. “Inilah yang kita sedihkan. Kita terpaksa harus perbaiki lagi draf yang sudah ada sebelumnya,” kata Harun didampingi Ketua Komisi A Tgk Adnan Beuransah.

Selain itu, keterlambatan pembahasan raqan di DPRA turut dipengaruhi oleh karena para anggota dewan juga harus membahas PPAS 2010, serta keterlambatan eksekutif menyerahkan draf qanun. Namun dia menyebutkan, ada lima raqan yang dalam waktu dekat akan mulai dibahas, namun belum ditentukan jadwal pasti.

Politisi Partai Aceh ini juga mengakui bila para anggota Dewan, terutama dari Partai Aceh adalah “orang-orang baru” yang masih butuh pembelajaran tentang banyak hal di DPRA. “Kritik itu hal yang biasa, dan juga menjadi semangat pendorong bagi kami untuk bekerja lebih baik. Kami ingin juga didukung dan dibantu teman-teman,” tukasnya.(sar)


http://www.serambinews.com/news/view/36650/aktivis-sentil-dpra-lemah-syahwat

Rabu, 04 Agustus 2010

Pembangunan Aceh Barat Lamban

Gerak Aceh Barat : Alokasi Anggaran Fokus ke Aparatur
Selasa, 3 Agustus 2010 | 13:41
Harian Rakyat Aceh
Meulaboh – Pembanguanan di kabupaten Aceh Barat terkesan minim progres (lamnan) dan tak berpihak pada publik. Hanya sejumlah infrastruktur pembiayaan era rehabilitasi – rekontruksi Aceh pasca tsunami yang terlihat berdiri kokoh.

Indikator tidak berpihak pada publik dapat dilihat dari statistik alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Bumi Teuku Umar selama beberapa tahun, lebih condong kepada pembiayaan “tidak langsung” (Aparatur, red), ketimbang plottan biaya langsung (publik, red).

Pembangunan sebuah daerah memang tidak lepas dari visi dan misi pemimpin. Paradigma pemimpin dan perangkatnya selaku pelaksana dan penyusun program kerja daearah untuk menuntaskan masalah yang ada di tengah masyarakat, perlu disusun sebagai solusi.

Perspektif Akselerasi pembangunan segala sektor perlu dimiliki oleh aktor pada Pemerintahan, sehingga proses pembangunan tetap berlangsung sesuai aspirasi masyarakat. “Makanya ada namanya Musrenbang, jadi tahu apa kebutuhan riil di tengah masyarakat,” ujar Taf Haikal, Jubir Kaukus Pantai Barat Selatan, Senin (2/8).

Pertumbuhan pembangunan segala sektor, seperti Infrastruktur, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan masyarakat, pada hakekatnya harus mencerminkan perubahan secara total. Mememang prosesnya tetap step by step, karena menuntaskan pembangunan yang menjadi solusi sebuah masalah, tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Tapi, Pembangunan di Kabupaten Aceh Barat tergolong minim progress. Contonya kerap terekspos pada sejumlah media terbitan lokal, maupun nasional, tentang kondisi masyarakat menghadapi sejumlah masalah. Padahal, permasalahan itu merupakan, penyakit yang terjadi secara berulang-ulang tiap tahun, tapi tidak disusunya program pencegahan. Seperti banjir dan keluhan infrastruktur jalan, serta jembatan yang rusak parah.

“Jadi Pemkab Aceh Barat perlu memantapkan lebih ekstra proses pembangunan pada daerah mereka,” harap Taf Haikal.Anehnya, Pembangunan di Bumi Teuku Umar, perjelas Taf Haikal, kalah pesat dengan Kabupaten tetangganya.

Padahal, Bumi Teuku Umar merupakan kabupaten tertua di wilayah Pantai Barat Aceh. Sehingga proses pembangunan dapat disimpulkan jalan ditempat.

Memang, lanjut Taf Haikal, sebuah pembangunan tak lepas dari alokasi dana dan sumber daya manusia (SDM) yang ada di Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, hingga sebuah terget transformasi dapat dicapai seefesien mungkin. “Makanya penggunaan APBK daerah itu, harus lebih condong pada kebijakan publik, dalam menyikapi hasil Musrenbang,” pinta Taf Haikal.

Tak Berpihak Rakyat
Mulyadi, Koordinator Gerak Aceh Barat mengatakan, melakukan pembangunan tentunya membutuhkan pembiayaan. Berbicara soal soal anggaran, memang dilihat pada pengalokasian sejak tahun 2006 hingga 2010, APBK Aceh Barat mangkin condong berpihak pada plottan biaya aparatur (Biaya tidak langsung, red), ketimbang

pembiayaan publik (langsung, red).
Salah satunya seperti pada Tahun 2010, lanjut Mulyadi. Total anggaran Aceh Barat tersedia Rp 443.419.004.994. Dari anggaran tersebut komposisi untuk belanja tidak langsung sebesar Rp. 314.276.221.389, atau 71 %, sedangkan belanja langsung 129.142.783.605 atau 29 % dari total APBK.

Berdasarkan fakta tersebut, dapat disimpulkan pengelolaan APBK telah melanggar Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh, Pasal 190, ayat 1 dan 3, yang mengamanahkan bahwa belanja langsung wajib lebih besar, dari pada belanja tidak langsung dalam sebuah belanja APBK.

Menurut GeRAK Aceh Barat, besarnya alokasi belanja tidak langsung disebabkan oleh beberapa hal, seperti Pemkab kaya struktur organisasi, tapi miskin fungsi dan kerja. Sehingga berdampak bagi tidak efektifnya penggunaan anggaran yang membiayai lima hari kerja.
Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, terkesan terlalu memaksakan diri untuk mengalokasikan dana Tunjangan Prestasi Kerja (TPK).

Padahal, lanjut Mulyadi, pemberian TPK tidak menjadi sebuah kewajiban bagi Pemkab, karena harus melihat keserasian dengan kemampuan keuangan daerah.
”Jadi kalau tidak ada cukup anggaran, TPK hanya bisa diberikan kepada PNS yang bekerja sesuai dengan kebutuhan keahlian dimiliki.

Jadi jangan sampai Kadis pun, yang hanya kerja duduk dan paraf semata, mendapat tunjangan mencapai mencapai Rp. 4 per bulan. Jadi wajar kalau dikatakan kebijakan Pemkab Aceh Barat menutup diri dengan realita kondisi masyarakat,” terangnya.

Dimulai dari Desa ke Kota
Sabki Mustafa Habli, Presiden Mahasiswa Universitas Teuku Umar (UTU) mengakui jika kondisi pembangunan di Kabupaten Aceh Barat terlihat jalan ditempat. Sampai kini, dipersentasikan olehnya, dari 100 persen, diperkirakan sekitar 30 persen lagi infrastruktur yang tak kunjung tuntas pembangunan.

Sementara, infrastruktur diwilayah perkotaan telah didanai oleh dana bantuan rehabilitasi dan rekontruksi pesisir Aceh, pasca bencana tsunami, sedangkan desa tidak tersentuh.Wilayah paling parah, lanjutnya, dapat terlihat dari Dua Kecamatan, seperti Woyla Timur dan Woyla Barat.

Pada kawasan ini, kondisi prasarana jalan dan jembatan mengalami rusak berat, hingga sulit dilalui oleh masayarakat. Seperti kondisi jalan Kuala Bhee, yang dimanfaatkan sebagai koridor penghubung antar kecamatan. “Padahal, jalan ini merupakan hasil pembangunan tahun 1990-an, tapi, sampai sekarang belum ada dilakukan perawatan dan perbaikan ulang oleh Pemerintah,” kata Sabki.

Selain itu, kondisi penyakit banjir yang dialami oleh masyarakat disejumlah pelosok kabupaten Aceh Barat juga telah menjadi penyakit kronis. Namun, terkesan tidak ada upaya pencegahan dilakukan Pemerintah, sementara banjir telah menjadi kopi pagi bagi masyarakat. “Sebenarnya hanya dengan diperlebar atau diluruskan saja koridor sungai itu, tentu keadaan

banjir dapat terminimalisirkan,” ujarnya.
Selain pembangunan sektor infrastruktur, lini pendidikan juga memiliki permasalahan tersendiri, sebab, wilayah Kecamatan Woyla Barat dan Woyla Timur mengalami kekurangan tenaga didik (Guru, red). Diharapkan, pemerintah dapat memperhatikan pembangunan pada sektor pendidikan, sebab generasi muda daerah

ini, merupakan harapan bangsa, ucapnya.
Sebenarnya, dengan Visi dan Misi pemimpin Aceh Barat sangat jelas memulai pembangunan dari Desa ke Kota. Tapi faktanya berkata lain. Banyak perbukiman memiliki infrastruktur memprihatinkan.

Contoh terlihat pada masyarakat Kecamatan Woyla Timur dan Woyla Induk. “Bagi masyarakat setempat, merasa belum merasakan kemerdekaan ini, layaknya sebuah permukiman lain di Aceh,” keluh Sabki. (den)


http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=18338&tit=Berita%20Utama%20-%20Pembangunan%20Aceh%20Barat%20Lamban