Jumat, 23 Januari 2009

Aceh Masih “Berlangganan” Banjir dan Tanah Longsor

Oleh Syahruddin Hamzah

Pasca gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004, masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) semakin akrab dengan banjir dan tanah longsor.

Setidaknya, sebanyak 19 dari 21 kabupaten/kota di provinsi ujung paling barat Indonesia ini hinga akhir 2008 masih rawan banjir dan longsor.

Hanya Kota Banda Aceh dan Sabang, Pulau Weh, yang termasuk dalam “peta” daerah bebas kedua jenis fenomena alam itu.

Kepala Bidang Bantuan dan Jaminan Sosial (Banjamsos) pada Dinas Sosial Nanggroe Aceh Derussalam (NAD) Bukhari menyebutkan, banjir bandang dan tanah longsor setiap tahun “berlangganan” dengan daerah itu antara September, Oktober, Nopember, dan Desember.

Sepanjang Nopember dan Desember 2008, tercatat 19 kabupaten/kota di provinsi ujung paling barat wilayah Indonesia itu berulang kali menerima banjir dan tanah longsor, walau tidak ada korban jiwa manusia dalam musibah tersebut.

Banjir bandang pertama, awal Nopember, melanda hampir semua kecamatan dalam wilayah Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Naga Raya yang berlangsung selama sepekan, kemudian disusul permukiman penduduk Trumon Timur dan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan.

“Trumon Timur dan Trumon menerima banjir kiriman karena meluapnya Sunagi Alas akibat tingginya curah hujan di kawasan Taman Nasional Guneung Leuser (TNGL)”, katanya.

Banjir bandang yang melanda kedua wilayah di Aceh Selatan itu selain termasuk parah juga berlangsung cukup lama, hampir 15 hari, sehingga ratusan warga bekas transmigran itu terpaksa merayakan Lebaran Idul Adha 2008 di pengungsian.

“Walaupun berada di lokasi pengungsi, mereka tetap ceria merayakan hari sakral ini karena semua kebutuhannya tersedia cukup”, kata Bukahri mengisahkan pengalamannya yang ikut berlebaran bersama para pengungsi di Trumon Timur.

Menurut Bukhari, setelah banjir di Aceh Selatan Surut, bencana serupa melanda wilayah pantai utara NAD yang mencakup Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bireuen, dan Aceh Timur.

Banjir bandang berikutnya melanda sebagian wilayah kota Sibulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil karena intensitas hujan yang terjadi memasuki pekan kedua Desember 2008 cukup tinggi, sehingga sebanyak 4.000 warga terpaksa mengungsi.

Setelah banjir di Aceh Singkil mereda, bencana serupa kembali melanda Aceh Utara, Bireuen, Kabupaten Pudie dan Pidie Jaya. Ratusan warga sempat dua hari berada di pengungsian.
Selain banjir, bencana tanah longsor setiap tahun melanda “Aceh Dalam” yang menyebabkan beberapa unit rumah penduduk roboh serta transportasi darat terputus beberapa saat sebagai dampak buruk dari tingginya curah hujan.

Bencana tanah longsor tersebut antara lain melumpuhkan transportasi darat lintas Bireuen-Takengon, Pidie-Aceh Barat karena lintas Geumpang-Tutut terputus, serta Aceh Tenggara-Gayo Lues.

Pembalakan liar

Sementara itu, Ketua DPR Aceh H. Sayed Fuad Zakaria menyebutkan, masih seringnya banjir dan tanah longsor melanda sejumlah kabupaten/kota di NAD semakin memperkuat dugaan menurunnya fungsi hutan sebagai akibat masih maraknya kegiatan pembalakan liar.

Kenyataan itu terlihat dari fakta bahwa banjir terjadi akibat tingginya curah hujan di daerah pegunungan, sementara kondisi hutan semakin gundul, sehingga beberapa jam saja hujan daerah aliran sungai sudah meluap menjadi bencana.

Sebagai contoh disebutkan, banjir yang melanda wilayah Trumon Timur dan Trumon di Aceh Selatan serta Singkil lebih sebabkan dari penurunan fungsi hutan di kawasan TNG Leuser di Aceh Tenggara sehingga malepetaka setiap tahunnya menimpa mereka.

Dampak lain dari penurunan fungsi hutan di kawasan TNG Leuser yang tertidur memanjang hingga ke pesisir barat Aceh juga dirasakan masyarakat pedalaman Lokop (Aceh Timur), Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Aceh Utara, dan Bireuen.

“Banjir lumpur dan tanah longsor yang setiap tahun melanda Aceh Tenggara dan Gayo Lues merupakan salah satu bukti penurunan fungsi hutan di kawasan TNG Leuser”, kata politisi Pantai Golkar NAD itu.

Menurut dia, diakui atau tidak, fenomena alam yang masih menjadi momok bagi masyarakat pesisir Aceh saat ini bukan saja karena penurunan permukaan tanah setelah bencana tsunami lalu, tetapi erat kaitannya dengan aksi perambahan hutan secara tidak terkendali.

“Bencana alam yang selama ini semakin akrab dengan masyarakat Aceh akibat masih maraknya illegal logging”, kata juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan NAD TAF Haikal.

Aktivis lingkungan itu juga menuding Pemerintah Aceh masa lalu sepertinya “lesu” darah dalam mengawal hutan, sehingga kawasan yang seharusnya dilindungi kini telah habis digerogoti mafia kayu, termasuk hutan penyangga di sebelah barat TNG Leuser.

Bukan itu saja, kawasan hutan lindung Jantho, Kabupaten Aceh Besar yang berada sekitar 60 km dari jantung Banda Aceh juga tidak luput dari penjarahan karena aparat penegak hukum di lapangan tidak mampu mengendalikan diri dari pengaruh rupiah.

“Sepanjang aparat penegak hukum tidak mampu mengendalikan diri dari pengaruh rupiah, banjir dan tanah longsor tetap akrab dengan masyarakat Aceh”, katanya.

Kebijakan Pemerintah Aceh merekrut ribuan anggota jagawana kontrak (polisi khusus kehutanan) untuk menyelamatkan hutan, katanya, bakal sia-sia kalau oknum penegak hukum masih “main mata” dengan mafia kayu.

Kalau itu yang terjadi, banjir dan tanah longsor masih mengancam daerah ini hinga tahun-tahun mendatang. (ant)

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4183:aceh-masih-berlangganan-banjir-dan-tanah-longsor&catid=180:18-januari-2009&Itemid=135

Tidak ada komentar: