Minggu, 05 Juni 2011

Ketika Penghentian Sementara Tebang Hutan Aceh Dipertaruhkan

Ditulis pada 05-06-2011 13:04:05 WIB
By: Azhari.

Banda Aceh (Phinisinews) - Gubernur Aceh Irwandi Yusuf sering menangkap basah warga yang sedang memotong kayu di kawasan hutan, meski pihaknya tidak berhenti mengkampanyekan pentingnya menyelamatkan hutan di provinsi itu.

Bahkan, kebijakan untuk menyelamatkan hutan lahir di awal kepemimpinan Irwandi Yusuf sebagai gubernur Aceh, yakni "moratorium logging" atau penghentian sementara tebang hutan di seluruh provinsi itu.

Kebijakan tersebut dituangkan dalam Instruksi Gubernur Nomor 05/INSTR/2007 tentang pemberlakuan "Moratorium Logging" di seluruh provinsi ujung paling barat Indonesia itu.

Ironisnya, aksi penebangan hutan di tengah-tengah kampanye "penghentian sementara tebang hutan" tidak hanya terjadi di pedalaman tapi juga di wilayah yang kerap banyak dikunjungi seperti kawasan Saree, perbatasan antara Kabupaten Aceh Besar dan Pidie.

Sepuluh tahun lalu, kiri dan kanan badan jalan Banda Aceh-Medan di kawasan Saree, rimbun dan sejuk karena lebatnya pohon pinus namun kini hanya terlihat tanaman muda seperti jagung, pisang dan deretan kios-kios milik masyarakat.

Kesejukan kawasan Saree sudah berubah menjadi udara gerah karena kerimbunan pinus-pinus berganti dengan bangunan beratap seng (kios dan gubuk serta restoran).

Kawasan Saree yang terkenal dengan Taman Hutan Raya (Tahura) Pocut Meurah Intan itu luas arealnya sekitar 6.622 hektare, memiliki dua gunung legendaris di Aceh, yaitu Gunung Seulawah Agam dan Gunung Seulawah Dara.

Kini, di kawasan itu kerap terdengar deru mesin chin saw (pemotong kayu) menumbangkan pinus-pinus meski disampingnya terpancang sebuah papan berdiameter 1x2 meter, bertuliskan "dilarang menebang kayu di kawasan lindung" lengkap dengan sanksi hukum.

Gubernur Irwandi Yusuf juga sempat memorgoki sejumlah orang yang sedang menebang pohon pinus di lintasan jalan negara Banda Aceh-Medan, kawasan Saree beberapa waktu lalu.

"Kalau dilintasan orang banyak saja berani menebang hutan, konon lagi di pedalaman. Itu tidak bisa dibiarkan dan pemerintah harus tegas jika komit dalam menyelamatkan lingkungan hidup di Aceh," kata Imran, warga Banda Aceh.

Belum lama ini, gubernur juga sempat menangkap basah seorang warga di pedalaman Aceh yang sedang memotong kayu yakni di kawasan Beutong, atau jalan Takengon (Aceh Tengah) menuju Kabupaten Nagan Raya.

Saat itu, gubernur Aceh langsung menanyakan siapa pemilik kayu balok yang tersusun rapi di kawasan hutan lindung itu kepada seorang warga setempat. "Siapa punya kayu ini," tanya Irwandi.

"Kalu tumpukan kecil ini saya punya, untuk mendirikan rumah. Sementara tumpukan besar kayu balok itu saya tidak tahu siapa pemiliknya, sebab tidak pernah jumpa orangnya," kata Abubakar, warga setempat.

Kebijakan "penghentian sementara tebang hutan" di tanah rencong dalam upaya penyelamatan hutan Aceh yang tersisa melalui redesign (penataan ulang), reforestasi (penanaman kembali hutan) dan reduksi deforestasi (menekan laju kerusakan hutan) atau singkatan konsep "3R".

Konsep "3R" yang digagas pemerintah itu diharapkan akan mampu mewujudkan "Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera".

Jeda pembalakan kayu adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktivitas penebangan kayu skala kecil dan besar (skala industri) untuk sementara waktu tertentu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menyerukan kepada masyarakat untuk segera berhenti melakukan perambahan hutan, terutama di kawasan lindung sepanjang jalan Takengon (Aceh Tengah)-Beutong (Nagan Raya).

"Ini merupakan kawasan yang harus dilindungi. Saya minta aksi perambahan hutan harus segera dihentikan, sebab jika dibiarkan berlangsung maka ke depan akan menjadi bencana," katanya.

Hal itu disampaikan ketika menyaksikan langsung kawasan hutan yang telah gundul di sepanjang ruas jalan antara Kabupaten Aceh Tengah-Nagan Raya, pedalaman Provinsi Aceh.

Untuk mencegah jangan sampai pembalakan kayu maka ia meminta bupati di kedua kabupaten itu tidak tutup mata, jaga jangan sampai kawasan hutan di daerahnya masing-masing digunduli.

"Saya berharap para lebih aktif mengontrol kawasan hutan, apalagi di wilayah yang dilindungi seperti Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)," katanya.

Menurut dia, kegiatan pembukaan lahan dan penebangan dihutan lindung tersebut seakan-akan pembiaran oleh kabupaten sehingga masyarakat menilai hal itu boleh dilakukan.

"Jika tidak ada larangan maka banyak masyarakat yang akan melakukan pembukaan lahan dan menebang kayu di hutan lindung. Seluruh kepala daerah saya meningkatkan sosialisasi dan pengawasan hutan lindung untuk mendukung program 'moratorium loging' yang telah dideklarasikan Pemerintah Aceh 2007," katanya.


Belum dicabut

Irwandi Yusuf menegaskan kembali bahwa kebijakan "penghentian sementara tebang hutan" belum dicabut, sebagai salah satu upaya untuk mencegah kerusakan hutan di provinsi itu.

"Moratorium logging atau penghentian sementara tebang hutan itu sebagai salah satu upaya kami mencegah kerusakan hutan khususnya di Aceh dan kebijakan sejak 2007 tersebut hingga kini masih berlaku," katanya.

Kendati demikian gubernur juga mengakui masih ada aksi pembalakan hutan di provinsi berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa tersebut.

"Tapi yang harus dicatat dengan adanya kebijakan 'moratorium logging' itu sudah lumayan maju dalam upaya mencegah aksi perambahan hutan di Aceh, dibandingkan di provinsi lain di Indonesia," kata dia menjelaskan.

Sebab, katanya, masalah pencurian kayu itu tidak pernah habis-habisnya jika tidak didukung oleh seluruh masyarakat.

"Yang jelas, upaya pembalakan hutan secara besar-besaran seperti yang terjadi puluhan tahun silam, maka hari ini tidak kita temukan lagi di Aceh," ujar Irwandi Yusuf.

Jika selama ini terjadi banjir yang disertai material lumpur dan kayu gelondongan, Gubernur menyebutkan itu merupakan pembalakan hutan yang dilakukan sebelum adanya kebijakan "penghentian sementara tebang hutan" di Aceh.

Di pihak lain, ia juga menjelaskan Pemerintah Aceh telah melakukan pemberdayaan bagi masyarakat khususnya yang berdomisili di kawasan pinggir hutan melalui bantuan bibit tanaman palawija.

"Tapi itu semua terkadang tidak menyurutkan segelintir orang menebang kayu, sebab sebagian kecil mereka beranggapan bahwa hasil pertanian lebih kecil dibanding dengan menebang satu batang kayu di hutan, dan langsung memperoleh uang," kata dia.

Data Wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi) Aceh menyebutkan mulai tahun 1980 hingga 2008, luas hutan Aceh telah berkurang hingga 914.422 hektare dari total luas 5.675.850 hektare.

Artinya, seluas 32.657 hektare hutan dibabat setiap tahun. Tahun 2008, luas hutan Aceh tinggal 61,42 persen. Diperkirakan jika alih fungsi lahan terus terjadi di Aceh maka luas tutupan hutan Aceh menyusut.

Alih fungsi lahan dinilai sebagai penyebab lahan kritis di Aceh. Alih fungsi ini disertai pembalakan liar, pembakaran hutan, dan kegiatan pembukaan perkebunan dan pertanian yang tak mengikuti teknik konservasi tanah. Total luas lahan kritis di Aceh mencapai 1, 6 juta hektare.

Sementara itu, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) Aceh TAF Haikal, menilai kebijakan "moratorium logging" sudah lumayan untuk mencegah perambahan hutan meski belum memenuhi harapan masyarakat.

"Artinya, kebijakan itu sudah berhasil menekan lajunya pembalakan kayu kawasan hutan Aceh, tapi disisi lain seharusnya diikuti untuk memastikan ketersediaan kayu bagi kebutuhan masyarakat," kata dia.

Seharusnya, kata dia Pemerintah Aceh mencari solusi untuk penanaman kayu yang bisa berproduksi bagi kebutuhan masyarakat sehingga kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan tetap lestari.
Akan tetapi, TAF Haikal menilai jika kebijakan "moratorium logging" dari pemerintah Irwandi Yusuf untuk menjaga agar tidak merusak ekosistem lingkungan dari sudut pandang sektor pertambang, sangat bertolak belakang.

"Artinya 'moratorium logging' sebuah kebijakan untuk menjamin penyelamatan hutan, tapi jika masalah pertambangan dibiarkan beroperasi maka sangat bertolak belakang," katanya.

Apa artinya sebuah "moratorium logging" jika pertambangan dibuka lebar bagi investor. Bukankah beroperasinya tambang itu sama artinya menggrogoti alam dari bawah, ujar TAF Haikal.

Ia juga sepakat jika masyarakat bersatu menolak rencana eksploitasi tambang di sejumlah daerah, khususnya di kawasan pesisir barat dan selatan Aceh, karena potensi ekonomi sektor pertanian dan perikanan masih memungkinkan digarap.

Sementara pihak Walhi Aceh juga mendukung sepenuhnya upaya masyarakat seperti di Kabupaten Aceh Barat Daya yang menolak kehadiran perusahaan tambang sebagai upaya mencegah kerusakan hutan dan alam sekitarnya.

"Pernyataan masyarakat menolak kehadiran perusahaan tambang di daerah mereka sudah tepat dan kami mendukung penolakan tersebut," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar.

Sekelompok masyarakat Aceh Barat Daya mendesak Gubernur Aceh tidak mengeluarkan izin apa pun terkait aktivitas pertambangan karena keberadaannya membawa petaka.

Menurut Zulfikar, penolakan tersebut telah menumbuh kesadaran kolektif masyarakat dalam mencegah kerusakan alam, sehingga terhindar dari potensi bencana.

"Kami pernah berdialog dengan pemuka masyarakat di sejumlah gampong di Kabupaten Aceh Barat Daya. Masyarakat sepakat menolak bila daerahnya dieksploitasi dan hancur atas nama pertumbuhan ekonomi semu," sebut dia.

"Masyarakat mengkhawatirkan hancurnya kawasan hutan sebagai penyimpan air. Bisa dibayangkan bila sumber air rusak dan tercemar. Jangan sampai warga baru sadar ketika keberadaan tambang sudah menjadi bencana," katanya.

"Penghentian sementara tebang hutan akan berarti jika pemerintah bisa menjamin ketersediaan kayu yang cukup untuk kebutuhan masyarakat, disamping menjaga kawasan hutan tetap lestari tanpa digerogoti dari bawah karena aksi penambangan.
(Sumber: AntaraNews)


http://www.phinisinews.com/read/2011/6/5/3108-ketika_penghentian_sementara_tebang_hutan_aceh_dipertaruhkan

Tidak ada komentar: