Senin, 05 Januari 2009

GAJAH MENGAMUK, KABAR DUKA AWAL 2009 Oleh Azhari

Banda Aceh, 3/1 (ANTARA) - Kabar duka menjadi pembuka awal tahun baru 2009 di Nangroe Aceh Darussalam; belasan ekor gajah (Po Meurah) mengamuk dan mengobrak abrik perkebunan masyarakat di sejumlah desa di Kabupaten Aceh Timur.

Pada Jumat (2/1), sekitar pukul 13.00 WIB, belasan binatang berbelalai itu keluar dari hutan mengobrak-abrik puluhan hektare perkebunan masyarakat dan menghancurkan sejumlah gubuk di wilayah pegunungan Aceh Timur tersebut.

Aksi belasan gajah liar telah mengakibatkan tanaman kelapa sawit, kakao dan pisang milik masyarakat di beberapa desa di Aceh Timur hancur.

Tidak hanya itu, masyarakat di wilayah tersebut kini dalam kondisi trauma karena gajah liar tersebut tidak hanya menganggu kebun, tapi juga ada yang sempat masuk ke pemukiman penduduk.

"Gangguan gajah liar di Aceh Timur yang baru kami peroleh laporan itu merupakan kasus pertama di awal 2009. Sementara sebelumnya, wilayah tersebut sering terusik akibat keganasan gajah," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (BKSDA NAD), Andi Basrul.

Ia menjelaskan, kasus gangguan gajah di Aceh tidak hanya berakibat hancurnya usaha pertanian dan perkebunan masyarakat, tapi lebih jauh telah menelan korban jiwa akibat keganasan binatang dilindungi tersebut.

"Saya memperkirakan gangguan gajah liar terhadap pemukiman masyarakat akan terus berlanjut pada 2009," kata dia.

Dia menyebutkan sedikitnya terjadi 200 kasus gangguan gajah liar yang turun dari habitatnya sepanjang 2008 di sejumlah daerah rawan, seperti Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan, Nagan Raya, Aceh Jaya, Pidie dan Bireuen.

Selama 2008, BKSDA NAD telah menangkap lima ekor gajah liar dari sejumlah wilayah dan kini sedang dalam penjinakkan di Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar.

Direncanakan, lima ekor binatang dilindungi tersebut akan dilepas kembali kehabitatnya pada awal 2009 ini.

Andi menyebutkan, pihaknya tidak semua gajah liar penganggu tersebut ditangkap karena keterbatasan dana untuk menggiring dan merawatnya di PLG Saree.

"Sebagian besar, gajah liar penganggu itu kita usir kembali ke habitatnya di hutan karena kita terbatas biaya untuk mengiring dan merawatnya sampai ke PLG Saree," kata dia.

Perlu dukungan

Andi menilai, partisipasi Pemerintah Provinsi NAD melalui Dinas Kehutanan kurang dalam upaya mengusir gajah yang masuk dan menganggu pemukiman penduduk di sejumlah kabupaten wilayah tersebut.

"Kita berharap adanya dukungan dana dari Pemerintah NAD untuk kebutuhan operasi penggiringan gajah itu kembali kehabitatnya, namun tidak mendapat tanggapan dari instansi terkait," kata dia.

Bahkan, ada sekitar Rp600 juta dana dialokasikan Pemprov NAD (APBA 2008) untuk pos operasional gangguan gajah dan harimau yang menganggu pemukiman penduduk di Aceh, namun dana tersebut tidak dicairkan.

Menurut dia, Gangguan gajah liar terhadap manusia diperkirakan akan berakhir jika hutan tempat tinggalnya tidak terganggu kegiatan pembalakan liar atau ileggal logging dihentikan .

"Masalah gangguan gajah tidak akan selesai sebelum "illegal logging" berhenti," katanya.

Gangguan gajah liar terus terjadi di sejumlah daerah di Aceh hingga akhir Desember 2008 mengakibatkan kerusakan gubuk di kebun bahkan hingga mencederai warga akibat diinjak hewan bebelalai itu.

Menurut Andi, BKSDA tidak mampu berbuat banyak untuk mengatasi gangguan satwa tersebut karena tindakan hewan tersebut merupakan reaksi atas gangguan terhadap ekosistemnya.

"Bagaimana mereka tidak masuk ke pemukiman jika "rumah" mereka dirusak," tambahnya.

Karena masyarakat tidak mampu mengatasi gangguan gajah sehingga mengambil jalan pintas dengan meracun. Namun tindakan itu dinilai tidak akan bermanfaat, tapi berakibat mengurangi populasi gajah.

Kerusakan hutan akibat pembalakan liar dinilai menjadi salah satu penyebab konflik antara satwa dengan manusia di Aceh.

Kebijakan Pemerintah Aceh mengenai moratorium logging (jeda tebang hutan) merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kerusakan hutan dan mengurangi dampaknya.

Hentikan pembalakan

Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Provinsi NAD, TAF Haikal juga menilai sepanjang masih maraknya aksi perambahan hutan, maka sulit menghentikan konflik satwa dengan manusia di Aceh.

"Sebuah kenyataan yang merisaukan kita semua bahwa bencana alam banjir dan tanah longsor serta gangguan satwa terus mengancam masyarakat pedesaan, khususnya mereka yang berdomisili di pinggiran hutan di Aceh," katanya.

Bencana alam dan gangguan gajah dan harimau itu suatu bukti bahwa habitat satwa dilindungi di Aceh telah terusik dengan deru gergaji mesin yang merusak tempat tinggal mereka, katanya.

Illegal logging tidak hanya memporak-porandakan habitat, tapi telah mengusik sumber makanan binatang dikawasan hutan akibat nafsu serakah pembalak, tegasnya.

Karena itu, TAF Haikal menilai program "moratorium logging" (jeda tebang sementara) yang dilancarkan Gubernur NAD Irwandi Yusuf, tidak berarti jika semua pihak tidak punya hati nurani untuk menghentikan keserakahan menebang hutan.

Oleh karenanya, ia berharap semua elemen masyarakat bersama aparat penegak hukum termasuk Polsus kehutanan harus bekerja ekstra mengamankan kawasan hutan dengan tidak membiarkan cukong kayu merajarela di Aceh.

Selain itu, Pemerintah, tokoh masyarakat dan adat serta aktivis lingkungan juga diharapkan komit memberdayakan ekonomi rakyat dipinggiran hutan, sehingga mereka bisa hidup dan kawasan hutan lestari. ***3*** (U/A042*BDA1/


Copyright © ANTARA

Tidak ada komentar: