Sabtu, 31 Maret 2012

Demokrasi ala Aceh

Senin, 26 Maret 2012 08:57 WIB
Oleh TAF Haikal

MASA kampanye Pilkada 2012 sudah masuk. Perhelatan akbar pemilihan kepala daerah nyaris serentak dimulai di seluruh Aceh. Perhelatan akbar ini akan sangat menguras semua energi baik si kandidat maupun para tim sukses. Segala jurus serta strategi akan dikeluarkan untuk memenangkan kandidat atau jagoan masing-masing.

Kecenderungan semakin mendekati hari H, semakin gencar para kandidat dan tim sukses mengeluarkan jurus-jurus pamungkasnya. Dalam alam demokrasi apa yang dilakukan sah-sah saja sejauh tidak melanggar aturan yang berlaku dan kita yang menganut budaya ketimuran, tentunya tidak meninggalkan tatakrama yang sudah hidup dan tumbuh berkembang dalam masyarakat Aceh.

Tapi akhir-akhir ini kita semakin sering disuguhkan cerita dan berita tentang kekerasan. Intimidasi, pemukulan, pembakaran, bahkan penembakan bagaikan ritual rutin yang harus kita lewati tanpa bisa kita hindari. Ditambah lagi jurus-jurus pamungkas yang dikeluarkan oleh masing-masing kandidat dan tim sukses semakin mencemaskan masyarakat. Dalam pemikiran masyarakat Aceh saat ini, apakah antara ‘demokrasi’ dan ‘kekerasan’ harus menjadi pasangan yang tak terpisahkan di bumoe Aceh lon sayang?

Kedua kata tersebut sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Aceh. Keduanya seakan harus seiring sejalan bersisian, terutama pada saat dilaksanakan perhelatan memperebutkan kekuasaan. Bagaimana kedua kata tersebut kita pisahkan, sehingga tidak harus seiring sejalan. Kalaupun harus bersisian kita tambahkan kata ‘tanpa’, menjadi demokrasi tanpa kekerasan atau yang sudah dideklarasikan oleh para kandidat dengan istilah ‘pilkada damai’.

Apa itu kekerasan?
Penulis akan sedikit mengajak kita memahami apa itu kekerasan, lebih lanjut kekerasan dapat berlangsung dalam tiga aras, masing-masing mempunyai pelaku, dimensi, sarana dan ruang lingkup sendiri-sendiri. Yang pertama kekerasan pada aras negara, lalu kekerasan pada aras struktural sosial, dan yang terakhir kekerasan dalam aras komunitas atau masyarakat.

Pada aras negara meliputi semua aspek kehidupan, kekerasan dapat besifat langsung terhadap fisik, seperti penganiayaan, bahkan hingga penghilangan nyawa orang lain. Selain itu, kekerasan di sini juga bersifat mental-psikologis, misalnya intimidasi, ancaman ataupun teror. Penggunaan kekerasan oleh negara dapat juga dilaksanakan melalui pembuatan kebijakan publik.

Pada aras struktural sosial kekerasan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat seperti struktur politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan lain sebagainya. Selain melalui pembuatan kebijakan dan keputusan politik, kekerasan pada aras struktural sosial ini juga tersalur melalui proses produksi dan akumulasi kapital. Kekerasan pada aras struktural ini mencakup 4 aspek, yakni eksploitasi, penetrasi, fragmentasi dan marginalisasi.

Untuk kekerasan pada aras komunitas, kekerasan dilakukan oleh anggota masyarakat sendiri, baik secara individu maupun kolektif dalam ruang lingkup dan berbagai aspek kehidupan. Kekerasan kolektif, yakni kekerasan langsung/personal/fisik yang dilakukan secara kolektif oleh sekelompok orang terhadap seseorang atau kelompok lain, yang dekat pemahamannya dengan kekerasan massa. Kekerasan kolektif cenderung mengesankan sedikit lebih terorganisir bila dibandingkan dengan kekerasan massa.

Apakah yang terjadi di Aceh hari ini dalam rentang pilkada termasuk kategori kekerasan komunitas dan hal ini juga menggejala di Indonesia. Khususnya di Aceh kekerasan yang dilakukan oleh negara saat ini tidak terjadi, dominasi kelompok-kelompak yang bertarung dalam pilkada muncul dan berkembang sangat kuat. Negara terkesan tidak berdaya dibuatnya, apalagi rakyat yang sampai saat ini selalu menjadi obyek dan bukan subyek.

Sikap tegas negara
Sepertinya, di Aceh sampai saat ini demokrasi tanpa kekerasan menjadi hal yang masih jauh dari harapan. Wilayah yang belum lama didera konflik berkepanjangan, menghilangkan kekerasan bukanlah hal yang mudah. Jangankan di Aceh, di wilayah lain di Nusantara ini juga dalam melaksanakan hajatan pilkada, demokrasi dan kekerasan juga sepertinya menjadi hal yang tidak asing. Cuma bedanya di Aceh tingkat kekerasan dan intensitasnya tinggi bahkan menggunakan senjata api dan bahan peledak.

Menghalalkan segala cara dalam pemenangan sebuah pertarungan akan mencederai demokrasi, sehingga patut kita kutuk. Banyak yang berkoar atas nama demokrasi dan menjaga perdamaian, tetapi sikap dan perilakunya sangat bertolak belakang dengan makna damai, nilai-nilai demokrasi dan rasa kemanusiaan. Inilah yang sedang dipertontankan dalam pilkada Aceh kali ini, “Demokrasi ala Aceh”.

Meraka yang sepertinya sangat berhasrat jagoannya memenangkan pertarungan, menjadi gampang marah, mudah tersulut emosi, menjadi sangat reaktif. Kita berharap kaum intelektual dan akademisi serta partai politik yang masih setia dengan demokrasi memberikan pendidikan politik yang sehat, santun, dan mencerdaskan. Jangan sampai demokrasi yang kita bangun hancur gara-gara nafsu kekuasaan elite politik tertentu, serta mudah diadu domba yang pada akhirnya siklus kekerasan di Aceh tidak pernah diputus mata rantainya.

Demokrasi saat ini lebih muncul kekerasan, tim sukses dan konstituennya tidak terdidik dengan baik. Proses yang dibangun belum mampu menerapkan seluruh tim sukses dan pengikutnya cerdas dan melek demokrasi. Dalam kondisi ini rakyat hanya tahu satu: kebutuhan yang sulit terpenuhi yaitu rasa nyaman yang tingkatannya di atas rasa aman, hal itu menjadi sangat mahal hari ini di Aceh. Apakah demokrasi, politik atau lebih spesifik kekuasaan, begitu runyam dan sulit diurai dengan logika sehingga menghalalkan segala cara?

Tidak kebablasan
Dalam era demokrasi yang memberikan kebebasan menyampaikan berbagai aspirasi, seyogianya tidak disalahartikan dalam implementasinya. Berbagai pihak semestinya tidak kebablasan memahami kebebasan dalam kehidupan berdemokrasi, tanpa kekerasan dalam meraih kemenangan menjadi sangat mulia. Lebih baik kalah terhormat dari pada memenangkan sebuah pertarungan tapi menghalakan semua cara.

Melakukan kekerasan seperti intimidasi, pemukulan, pembakaran tidak ada dalam norma demokrasi, bahkan amat bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi tersebut. Penegak hukum atau pemerintah negara semestinya tidak mentolerir adanya perilaku ini, walaupun ada yang berpandangan sebagai wilayah yang pernah didera konflik panjang pasti perilaku kekerasan akan muncul kembali.

Penguasa melakukan tindakan keras bukan berarti melakukan tindakan yang emosional di luar norma. Tindakan keras penguasa atau penegak hukum tetap berdasarkan hukum. Penegak hukum boleh menangkap dengan paksa bahkan menembak di tempat sekalipun bagi pelaku yang sudah mengancam nyawa orang lain, tentunya tetap dalam prosedur hukum yang ada.

Negara tidak boleh melakukan pembiaran terhadap siklus kekerasan yang terjadi hari ini di depan mata kita semua. Negara dalam penjelmaan selaku penguasa harus melindungi rakyatnya, termasuk dalam setiap perhelatan pilkada yang menjadi bagian dari demokrasi, sebagaimana yang sedang terjadi di Aceh saat ini.

* TAF Haikal, Ketua DPA/Presidium Forum LSM Aceh.

http://aceh.tribunnews.com/2012/03/26/demokrasi-ala-aceh

Tidak ada komentar: