Firman Hidayat I The Globe Journal | Minggu, 03 Juli 2011
Saat orang-orang lebih sering berbicara tentang pemanasan global di ruangan yang dingin dengan AC. Jojo yang berusia delapan tahun tertarik menonton film dokumenter Animal Planet yang secara khusus menggambarkan satwa-satwa dan lingkungan hidup sekitar hutan dan keanekaragaman hayati lainnya.
Jojo bersemangat menonton film gajah yang memporak-porandakan rumah masyarakat. Sesekali dia menyaksikan harimau memangsa manusia. Terkadang bencana banjir bandang dan longsor yang juga tak luput dari tontonan bocah itu. Ketika mendengar suara raungan sepeda motor diluar, ia berlari dan dilihatnya seseorang yang sangat ia kenal.
“Abi” teriaknya sambil berlari keluar rumah tanpa memakai sandal. dia naik ke atas kenderaan dan memeluk abi nya. “Ayo jalan-jalan, Jojo pengen jajan,” ajak bocah. “Iya, nanti kita jalan-jalan, abi kan istirahat dulu baru pulang,” jawab sang ayah. Kemudian begitu masuk dalam rumah, abi bertemu dengan umi dan Tata adeknya Jojo.
Ketika bercengkrama, sang ayah melihat tayangan yang ditonton oleh Jojo dan adeknya. Bahkan uminya ikut menyaksikan tayangan film dokumenter Animal Planet itu. Mereka menonton cuplikan sekelompok warga menambang emas di kawasan hutan.
Lalu sang ayah bercerita kepada Jojo sambil menikmati tontonan tersebut.
“Lihat itu nak, kalau hutan rusak, kayu-kayu ditebang, lahan dibuka lebar-labar, hutan dikorek, maka hutannya akan binasa dan orang-orang disekitarnya menjadi miskin,” jelas sang ayah.
Si anak tak mau kalah,
”Kayu diambil untuk dijual, uangnya bisa buat rumah, beli kenderaan. Kalau banyak kayu ditebang, banyak uang, “ cetus Jojo.
Sang ayah bingung menjawab. Jojo sedikit heran,
“Kita tidak boleh merusak hutan, menebang kayu, supaya bencana tidak mengganggu kita. Kalau kita banyak tebang pohon nanti kalau hujan cepat banjir,” jawab ayah menyakinkan Jojo.
“Kita harus bisa sejahtera tanpa merusak lingkungan,” pintanya.
Sesi tanya jawab semakin seru.
“Kenapa kalau tebang pohon bisa banjir?” tanya Jojo ingin tahu.
Abi mengajak mata si anak ke arah TV, “Tuh lihat, air di gunung turun dengan deras menghancurkan rumah-rumah penduduk, tuh lihat hutan sudah botak, banyak pohon yang ditebang,” kata sang ayah.
Anak mengangguk-angguk, iya, iya.
“Jahat sekali orang yang tebang kayu itu ya?” cetus Jojo.
Ayah mengalirkan emosionalnya kepada buah hatinya.
“Coba bayangkan kalau rumah kita rusak karena bencana itu, kita mau tinggal di mana?” Kini giliran Jojo yang bersedih.
“Kalau Jojo besar, nanti harus jaga hutan supaya kita aman.” Mereka pun ke peranduan setelah mematikan televisi.
Mari kita beranjak ke tempat lain. Kekayaan negara Indonesia khususnya Aceh sangat luar biasa dari sumber daya alamnya. Kalau kita kilas-balik ke beberapa dekade lalu, atau masa marak HPH di bumi Aceh, alangkah banyak pohon yang ditebang dengan dalil menyumbang devisa bagi negara.
Berapa juta kubik kayu yang diambil para pengusaha dan pejabat orde baru waktu itu. Pasca gempa dan tsunami yang menghantam Aceh pada Minggu, 26 Desember 2004, kebutuhan kayu justru dipasok dari luar negeri seperti Australia.
Kayu-kayu pinus yang sudah dipoles cantik itu didatangkan dari Australia untuk menutup kekurangan kebutuhan kayu pada masa rehab rekon Aceh pasca tsunami. Jujur saja secara kasat mata kalau kita melihat kondisi hutan yang ada di Aceh banyak dijumpai lahan yang sudah tandus yang ditumbuhi padang ilalang saja. Atau kalau ada tumbuhan itu hanya semak-semak kecil yang hampir semuanya sudah gundul. Pengusaha HPH mesti bertanggung jawab memperbaiki hutan yang telah ditebang itu.
Berbagai lembaga swadaya masyarakat terus bersuara. Sebut saja TAF Haikal putra Bakongan Aceh Selatan yang juga Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) terus bersuara tentang keselamatan lingkungan hidup di Aceh. Pada Jum’at, 27 Mei 2011, sejumlah pegiat lingkungan Aceh bertemu dengan pejabat-pejabat penting di Kantor Pertambangan dan Energi Aceh. Haikal mengatakan masih untung HPH di Aceh pada masa orde baru lalu, karena pengusaha itu hanya merusak di atas permukaan bumi saja. “Tapi bagaimana hancurnya Aceh karena izin-izin tambang yang sengaja dikeluarkan pemerintah untuk mengorek isi yang ada didalam kandungan bumi di Aceh ini?” gugat Haikal serius.
“Saya akan sampaikan kepada rakyat untuk berunjuk rasa menghentikan tambang ini,” kata Haikal menyakinkan sang Kepala Dinas Distamben Aceh itu. Tak heran, lima hari berselang dari pertemuan itu, ratusan rakyat bergabung dan berunjuk rasa mendesak Pemerintah Aceh untuk mencabut izin-izin tambang tersebut.
Pekan itu, pemberitaan media masa di Aceh tentang pertambangan semakin sering diberitakan. Tolak-tarik pernyataan dari pemerintah dan LSM tentang tambang sangat menarik untuk diikuti. Bahkan Wali Nanggroe Malek Mahmud menyerukan kepada rakyat Aceh untuk bersatu memindahkan pemimpin Aceh yang tidak bertanggung jawab karena sudah menghancurkan bumi Aceh akibat pertambangan.
Seperti dikutip dari situs The Globe Journal, Kamis (2/6/2011). Harta kekayaan bumi Aceh termasuk hutan harus kita jaga dan dilestarikan. Pelihara yang bagus supaya dapat dinikmati oleh anak cucu untuk masa mendatang.
“Seperti yang saya lihat di Lhoong, Aceh Besar tempat diambilnya tambang biji besi itu,” tukas Malek. Berapa banyak kerugian yang harus di hitung, padahal orang Aceh belum menyentuh sedikitpun harta tersebut. Sehingga dengan cepat bisa jadi milik orang lain secara murah atas izin orang Aceh kita sendiri.
Fenomena itulah yang kini menimpa Aceh. Dulu HPH sekarang pertambangan. Ketika kayu sulit diperoleh, kini giliran perut bumi digali untuk dirampok harta karun. Kemudian setelah itu mau apa lagi? Toh jika ingin sejahtera tanpa merusak maka harus dimulai dari kawasan yang sudah rusak dulu. Dulu mereka membabat yang di atas yakni pohon-pohon, sekarang menguras yang di bawah menyedot berton-ton kekayaan mineral Aceh.
Untuk itu, berdasarkan pengalaman, saya menawarkan alternatif solusi karena maraknya pertambangan. Ujung dari tawaran ini, warga memiliki lahan untuk mencukupi kebutuhannya tanpa merusak perut bumi melalui pertambangan yang tidak peduli pada ekosistem.
Pertama, membangun lahan kritis atau lahan yang tidak produktif. Jika lahan kritis ini dibiarkan dan tidak ada perlakuan perbaikan, maka keadaan itu membahayakan warga. Lahan kritis harus segera diperbaiki melalui rehabilitasi dan konservasi lahan-lahan kritis di provinsi paling ujung pulau Sumatera ini. Upaya penanggulangan lahan kritis ini dapat dilaksanakan untuk pertanian, perkebunan, peternakan dan usaha lain. Kemudian pembuatan teras-teras pada lereng bukit untuk mencegah erosi terhadap tanah.
Usaha perluasan penghijauan tanah milik dan reboisasi lahan hutan perlu dilakukan. Lahan bekas pertambangan juga perlu dibuat reklamasi. Kemudian perlu adanya kegiatan sungai bersih atau kebersihan pantai pesisir, pengelolaan wilayah terpadu diwilayah lautan dan daerah aliran sungai (DAS).
Tak ketinggalan juga perlu dilakukan pengembangan keanekaragaman hayati. Proses daur ulang sampah-sampah plastik juga harus dilakukan supaya menghilangkan unsur-unsur yang dapat menganggu kesuburan lahan pertanian. Melakukan pemupukan secara tepat dan terus menerus.
Perlu tindakan tegas bagi siapa saja yang merusak lahan yang mengarah pada terjadinya lahan kritis. Karena meskipun dikelola, produktifitas lahan kritis sangat rendah. Bahkan dapat terjadi jumlah produksi yang diterima jauh lebih sedikit daripada biaya pengelolaanya. Lahan ini bersifat tandus, gundul, tidak dapat digunakan untuk usaha pertanian, karena tingkat kesuburannya sangat rendah. Sehingga perlu dilakukan upaya penyelamatan lahan tersebut secara terus menerus dan berkelanjutan.
Kedua membangun lahan potensial, atau lahan yang belum diolah dan jika diolah akan mempunyai nilai ekonomis yang besar karena memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan mempunyai daya dukung terhadap kebutuhan manusia. Lahan potensial merupakan modal dasar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka harus ditangani dan dikelola secara baik jangan sampai malah merusak lingkungan.
Lahan potensial tersebar di tiga wilayah utama daratan, yaitu di daerah pantai atau kawasan pesisir, dataran rendah dan dataran tinggi. Lahan-lahan di kawasan pesisir didominasi oleh tanah alluvial (tanah hasil pengendapan). Tanah ini cukup subur karena banyak mengandung mineral yang diangkut bersama lumpur oleh sungai kemudian di endapkan di daerah muara sungai. Memisahkan penggunaan lahan untuk pemukiman, industri, pertanian, perkantoran dan usaha-usaha lainnya.
Kemudian membuat aturan yang mengikat terhadap pengalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Melakukan pengkajiaan terhadap kebijakan tata ruang, perijinan dalam kaitannya dengan konversi penggunaan lahan. Perlu usaha pemukiman penduduk dan pengendalian peladang berpindah dengan mengelola secara baik daerah aliran sungai, daerah pesisir dan daerah disekitar lautan.
Kekayaan alam di atas bumi atau dalam perut Aceh harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat sekitarnya dan seluruhnya. Sebab kita bisa sejahtara tanpa harus merusak lingkungan hidup. Mengutip negarawan India, Mahatma Gandhi, bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia, tetapi bumi tidak cukup untuk mencukupi keserakahan manusia. Telah terjadi ketidakseimbangan sistem alam akibat ulah eksploitasi manusia sehingga pada akhirnya menimbulkan bencana.
Penulis adalah wartawan The Globe Journal, dan pernah bekerja di NGO Flora Fauna International (FFI) Aceh Programme. Pernah juga bekerja sebagai Peneliti Eye On Aceh tentang lingkungan. Tulisan ini Untuk Diperlombakan dalam Sayembara Menulis Walhi ; Sejahtera Tanpa Merusak.
http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/membabat-di-atas-menguras-di-bawah.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar