Senin, 5/1/09 18:30 WIB
Banda Aceh,(Modus.or.id). Hendra Budian, Direktur AJMI (Aceh Judicial Monitoring Institute) hari ini menjalani persidangan sebagai tersangka kasus pemecahan kaca Pengadilan Tinggi Banda Aceh, dimana dalam persidangan ini dihadiri sejumlah aktivis Aceh antara lain Taf Haikal, Juru Bicara Kaukus Barat Selatan, Asiah Uzia, Focal Point Kontras Aceh, Aguswandi, Ketua Umum Partai Rakyat Aceh, Rahmad Jailani, Ketua Bapilu Partai Rakyat Aceh serta sekitar 100 pendukung Hendra yang terdiri dari masyarakat korban konflik dari Aceh Tengah dan Bener Meriah
Sidang itu sendiri dipimpin Jamaluddin SH sebagai Hakim Ketua, Arfan Yani, SH dan Rahmawati, SH sebagai hakim anggota, dimana persidangan yang semula dijadwalkan berlangsung pukul 09.00 Wib akhirnya baru dilaksanakan pukul 12.00 Wib hanya mendengarkan pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum serta sidang akan dilanjutkan tanggal 12 Januari 2009.
Sementara itu, di Simpang Lima Banda Aceh berlangsung aksi unjuk rasa sebanyak 50 orang masyarakat korban konflik dari Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Tengah yang datang ke Banda Aceh untuk memberikan dukungan kepada Hendra Budian yang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Banda Aceh dengan koordinator lapangan Fauzan.
Dalam orasinya Agusta, salah seorang aktivis mahasiswa menuntut Hendra Budian jangan dijadikan tersangka dan tidak berhak berada di penjara karena Hendra Budian hanya seorang aktivis yang memperjuangkan rakyat.
"Yang perlu ditangkap adalah koruptor-koruptor yang ada di Aceh Tengah dan Bener Meriah karena merekalah yang membuat masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah menderita," ujar Agusta.
Di tempat terpisah, Kurniawan Adiraja seorang mahasiswa berpendapat bahwa hukum di Indonesia harus ditegakkan tanpa pandang bulu, bahkan terhadap aktivis ataupun pekerja HAM itu sendiri, apalagi jika dalam melaksanakan aksinya mereka tidak menghargai hak-hak orang lain termasuk kewibawaan instansi Pemerintah.
"Tidak ada keistimewaan bagi pekerja HAM di mata hukum karena ada prinsip equality before the law dalam hukum artinya semua masyarakat sama di depan hukum. Hendra Budian harus menerima keputusan hukum nantinya dan sebaiknya pendukungnya atau koleganya tidak perlu melakukan aksi unjuk rasa dalam rangka mempengaruhi keputusan hakim sebab bisa saja itu malah memberatkan Hendra Budian nantinya," ujarnya. (Opie/Heri)
http://www.modus.or.id/hukum/disid.html
Jumat, 23 Januari 2009
Jalan Banda Aceh-Calang Harus Dituntaskan
23/01/2009 16:00 WIB
[ rubrik: Serambi Nusa | topik: Transportasi ]
BANDA ACEH - Masyarakat di pantai barat selatan Aceh yang tergabung dalam Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) mengharapkan kepada Pemerintah Aceh, BRR, dan USAID, untuk menuntaskan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang. Pembangunan jalan ini dinilai sebagai salah satu indikator bagi pelaksanaan rekonstruksi Aceh pascatsunami.
“Jika jalan ini belum mampu diwujudkan, maka menurut kami ini menciderai harapan ribuan korban tsunami di Aceh, terutama masyarakat yang berada di pesisr pantai barat selatan,” tulis Jubir KPBS, TAF Haikal dalam siaran persnya kepada Serambi, Kamis (22/1).
Ia mendesak Pemerintah Aceh segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk menuntaskan proses pembebasan tanah. “Jika proses ini diharuskan menempuh jalur hukum, maka kami mendesak pemerintah untuk menempatkan dana tersebut di pengadilan. Biarkan mekanisme hukum yang menyelesaikannya,” kata dia.
Haikal juga mendesak USAID dan kontraktornya untuk segera menyelesaikan pembangunan jalan tersebut, khususnya di section IV. Dikatakan, kalau alasan keamanan yang dikeluhkan, maka USAID dan kontraktornya harus berkoordinasi dengan pemerintah, baik pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Aceh Jaya.
“Jika hal ini dirasakan juga belum cukup, maka diperlukan pengamanan yang lebih strategis. Pada prinsipnya, jangan sampai persoalan tersebut menyebabkan terhambatnya pembangunan jalan tersebut,” ujar Haikal.
Ia juga mendesak DPR Aceh untuk segera mengambil langkah nyata. Menurut dia, jika persoalan ini juga belum mampu diselesaikan, maka kekecewaan masyarakat tidak akan berhenti.(nal)
http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&rubrik=2&topik=27&beritaid=62753
[ rubrik: Serambi Nusa | topik: Transportasi ]
BANDA ACEH - Masyarakat di pantai barat selatan Aceh yang tergabung dalam Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) mengharapkan kepada Pemerintah Aceh, BRR, dan USAID, untuk menuntaskan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang. Pembangunan jalan ini dinilai sebagai salah satu indikator bagi pelaksanaan rekonstruksi Aceh pascatsunami.
“Jika jalan ini belum mampu diwujudkan, maka menurut kami ini menciderai harapan ribuan korban tsunami di Aceh, terutama masyarakat yang berada di pesisr pantai barat selatan,” tulis Jubir KPBS, TAF Haikal dalam siaran persnya kepada Serambi, Kamis (22/1).
Ia mendesak Pemerintah Aceh segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk menuntaskan proses pembebasan tanah. “Jika proses ini diharuskan menempuh jalur hukum, maka kami mendesak pemerintah untuk menempatkan dana tersebut di pengadilan. Biarkan mekanisme hukum yang menyelesaikannya,” kata dia.
Haikal juga mendesak USAID dan kontraktornya untuk segera menyelesaikan pembangunan jalan tersebut, khususnya di section IV. Dikatakan, kalau alasan keamanan yang dikeluhkan, maka USAID dan kontraktornya harus berkoordinasi dengan pemerintah, baik pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Aceh Jaya.
“Jika hal ini dirasakan juga belum cukup, maka diperlukan pengamanan yang lebih strategis. Pada prinsipnya, jangan sampai persoalan tersebut menyebabkan terhambatnya pembangunan jalan tersebut,” ujar Haikal.
Ia juga mendesak DPR Aceh untuk segera mengambil langkah nyata. Menurut dia, jika persoalan ini juga belum mampu diselesaikan, maka kekecewaan masyarakat tidak akan berhenti.(nal)
http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&rubrik=2&topik=27&beritaid=62753
Aceh Masih “Berlangganan” Banjir dan Tanah Longsor
Oleh Syahruddin Hamzah
Pasca gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004, masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) semakin akrab dengan banjir dan tanah longsor.
Setidaknya, sebanyak 19 dari 21 kabupaten/kota di provinsi ujung paling barat Indonesia ini hinga akhir 2008 masih rawan banjir dan longsor.
Hanya Kota Banda Aceh dan Sabang, Pulau Weh, yang termasuk dalam “peta” daerah bebas kedua jenis fenomena alam itu.
Kepala Bidang Bantuan dan Jaminan Sosial (Banjamsos) pada Dinas Sosial Nanggroe Aceh Derussalam (NAD) Bukhari menyebutkan, banjir bandang dan tanah longsor setiap tahun “berlangganan” dengan daerah itu antara September, Oktober, Nopember, dan Desember.
Sepanjang Nopember dan Desember 2008, tercatat 19 kabupaten/kota di provinsi ujung paling barat wilayah Indonesia itu berulang kali menerima banjir dan tanah longsor, walau tidak ada korban jiwa manusia dalam musibah tersebut.
Banjir bandang pertama, awal Nopember, melanda hampir semua kecamatan dalam wilayah Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Naga Raya yang berlangsung selama sepekan, kemudian disusul permukiman penduduk Trumon Timur dan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan.
“Trumon Timur dan Trumon menerima banjir kiriman karena meluapnya Sunagi Alas akibat tingginya curah hujan di kawasan Taman Nasional Guneung Leuser (TNGL)”, katanya.
Banjir bandang yang melanda kedua wilayah di Aceh Selatan itu selain termasuk parah juga berlangsung cukup lama, hampir 15 hari, sehingga ratusan warga bekas transmigran itu terpaksa merayakan Lebaran Idul Adha 2008 di pengungsian.
“Walaupun berada di lokasi pengungsi, mereka tetap ceria merayakan hari sakral ini karena semua kebutuhannya tersedia cukup”, kata Bukahri mengisahkan pengalamannya yang ikut berlebaran bersama para pengungsi di Trumon Timur.
Menurut Bukhari, setelah banjir di Aceh Selatan Surut, bencana serupa melanda wilayah pantai utara NAD yang mencakup Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bireuen, dan Aceh Timur.
Banjir bandang berikutnya melanda sebagian wilayah kota Sibulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil karena intensitas hujan yang terjadi memasuki pekan kedua Desember 2008 cukup tinggi, sehingga sebanyak 4.000 warga terpaksa mengungsi.
Setelah banjir di Aceh Singkil mereda, bencana serupa kembali melanda Aceh Utara, Bireuen, Kabupaten Pudie dan Pidie Jaya. Ratusan warga sempat dua hari berada di pengungsian.
Selain banjir, bencana tanah longsor setiap tahun melanda “Aceh Dalam” yang menyebabkan beberapa unit rumah penduduk roboh serta transportasi darat terputus beberapa saat sebagai dampak buruk dari tingginya curah hujan.
Bencana tanah longsor tersebut antara lain melumpuhkan transportasi darat lintas Bireuen-Takengon, Pidie-Aceh Barat karena lintas Geumpang-Tutut terputus, serta Aceh Tenggara-Gayo Lues.
Pembalakan liar
Sementara itu, Ketua DPR Aceh H. Sayed Fuad Zakaria menyebutkan, masih seringnya banjir dan tanah longsor melanda sejumlah kabupaten/kota di NAD semakin memperkuat dugaan menurunnya fungsi hutan sebagai akibat masih maraknya kegiatan pembalakan liar.
Kenyataan itu terlihat dari fakta bahwa banjir terjadi akibat tingginya curah hujan di daerah pegunungan, sementara kondisi hutan semakin gundul, sehingga beberapa jam saja hujan daerah aliran sungai sudah meluap menjadi bencana.
Sebagai contoh disebutkan, banjir yang melanda wilayah Trumon Timur dan Trumon di Aceh Selatan serta Singkil lebih sebabkan dari penurunan fungsi hutan di kawasan TNG Leuser di Aceh Tenggara sehingga malepetaka setiap tahunnya menimpa mereka.
Dampak lain dari penurunan fungsi hutan di kawasan TNG Leuser yang tertidur memanjang hingga ke pesisir barat Aceh juga dirasakan masyarakat pedalaman Lokop (Aceh Timur), Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Aceh Utara, dan Bireuen.
“Banjir lumpur dan tanah longsor yang setiap tahun melanda Aceh Tenggara dan Gayo Lues merupakan salah satu bukti penurunan fungsi hutan di kawasan TNG Leuser”, kata politisi Pantai Golkar NAD itu.
Menurut dia, diakui atau tidak, fenomena alam yang masih menjadi momok bagi masyarakat pesisir Aceh saat ini bukan saja karena penurunan permukaan tanah setelah bencana tsunami lalu, tetapi erat kaitannya dengan aksi perambahan hutan secara tidak terkendali.
“Bencana alam yang selama ini semakin akrab dengan masyarakat Aceh akibat masih maraknya illegal logging”, kata juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan NAD TAF Haikal.
Aktivis lingkungan itu juga menuding Pemerintah Aceh masa lalu sepertinya “lesu” darah dalam mengawal hutan, sehingga kawasan yang seharusnya dilindungi kini telah habis digerogoti mafia kayu, termasuk hutan penyangga di sebelah barat TNG Leuser.
Bukan itu saja, kawasan hutan lindung Jantho, Kabupaten Aceh Besar yang berada sekitar 60 km dari jantung Banda Aceh juga tidak luput dari penjarahan karena aparat penegak hukum di lapangan tidak mampu mengendalikan diri dari pengaruh rupiah.
“Sepanjang aparat penegak hukum tidak mampu mengendalikan diri dari pengaruh rupiah, banjir dan tanah longsor tetap akrab dengan masyarakat Aceh”, katanya.
Kebijakan Pemerintah Aceh merekrut ribuan anggota jagawana kontrak (polisi khusus kehutanan) untuk menyelamatkan hutan, katanya, bakal sia-sia kalau oknum penegak hukum masih “main mata” dengan mafia kayu.
Kalau itu yang terjadi, banjir dan tanah longsor masih mengancam daerah ini hinga tahun-tahun mendatang. (ant)
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4183:aceh-masih-berlangganan-banjir-dan-tanah-longsor&catid=180:18-januari-2009&Itemid=135
Pasca gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004, masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) semakin akrab dengan banjir dan tanah longsor.
Setidaknya, sebanyak 19 dari 21 kabupaten/kota di provinsi ujung paling barat Indonesia ini hinga akhir 2008 masih rawan banjir dan longsor.
Hanya Kota Banda Aceh dan Sabang, Pulau Weh, yang termasuk dalam “peta” daerah bebas kedua jenis fenomena alam itu.
Kepala Bidang Bantuan dan Jaminan Sosial (Banjamsos) pada Dinas Sosial Nanggroe Aceh Derussalam (NAD) Bukhari menyebutkan, banjir bandang dan tanah longsor setiap tahun “berlangganan” dengan daerah itu antara September, Oktober, Nopember, dan Desember.
Sepanjang Nopember dan Desember 2008, tercatat 19 kabupaten/kota di provinsi ujung paling barat wilayah Indonesia itu berulang kali menerima banjir dan tanah longsor, walau tidak ada korban jiwa manusia dalam musibah tersebut.
Banjir bandang pertama, awal Nopember, melanda hampir semua kecamatan dalam wilayah Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Naga Raya yang berlangsung selama sepekan, kemudian disusul permukiman penduduk Trumon Timur dan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan.
“Trumon Timur dan Trumon menerima banjir kiriman karena meluapnya Sunagi Alas akibat tingginya curah hujan di kawasan Taman Nasional Guneung Leuser (TNGL)”, katanya.
Banjir bandang yang melanda kedua wilayah di Aceh Selatan itu selain termasuk parah juga berlangsung cukup lama, hampir 15 hari, sehingga ratusan warga bekas transmigran itu terpaksa merayakan Lebaran Idul Adha 2008 di pengungsian.
“Walaupun berada di lokasi pengungsi, mereka tetap ceria merayakan hari sakral ini karena semua kebutuhannya tersedia cukup”, kata Bukahri mengisahkan pengalamannya yang ikut berlebaran bersama para pengungsi di Trumon Timur.
Menurut Bukhari, setelah banjir di Aceh Selatan Surut, bencana serupa melanda wilayah pantai utara NAD yang mencakup Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bireuen, dan Aceh Timur.
Banjir bandang berikutnya melanda sebagian wilayah kota Sibulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil karena intensitas hujan yang terjadi memasuki pekan kedua Desember 2008 cukup tinggi, sehingga sebanyak 4.000 warga terpaksa mengungsi.
Setelah banjir di Aceh Singkil mereda, bencana serupa kembali melanda Aceh Utara, Bireuen, Kabupaten Pudie dan Pidie Jaya. Ratusan warga sempat dua hari berada di pengungsian.
Selain banjir, bencana tanah longsor setiap tahun melanda “Aceh Dalam” yang menyebabkan beberapa unit rumah penduduk roboh serta transportasi darat terputus beberapa saat sebagai dampak buruk dari tingginya curah hujan.
Bencana tanah longsor tersebut antara lain melumpuhkan transportasi darat lintas Bireuen-Takengon, Pidie-Aceh Barat karena lintas Geumpang-Tutut terputus, serta Aceh Tenggara-Gayo Lues.
Pembalakan liar
Sementara itu, Ketua DPR Aceh H. Sayed Fuad Zakaria menyebutkan, masih seringnya banjir dan tanah longsor melanda sejumlah kabupaten/kota di NAD semakin memperkuat dugaan menurunnya fungsi hutan sebagai akibat masih maraknya kegiatan pembalakan liar.
Kenyataan itu terlihat dari fakta bahwa banjir terjadi akibat tingginya curah hujan di daerah pegunungan, sementara kondisi hutan semakin gundul, sehingga beberapa jam saja hujan daerah aliran sungai sudah meluap menjadi bencana.
Sebagai contoh disebutkan, banjir yang melanda wilayah Trumon Timur dan Trumon di Aceh Selatan serta Singkil lebih sebabkan dari penurunan fungsi hutan di kawasan TNG Leuser di Aceh Tenggara sehingga malepetaka setiap tahunnya menimpa mereka.
Dampak lain dari penurunan fungsi hutan di kawasan TNG Leuser yang tertidur memanjang hingga ke pesisir barat Aceh juga dirasakan masyarakat pedalaman Lokop (Aceh Timur), Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Aceh Utara, dan Bireuen.
“Banjir lumpur dan tanah longsor yang setiap tahun melanda Aceh Tenggara dan Gayo Lues merupakan salah satu bukti penurunan fungsi hutan di kawasan TNG Leuser”, kata politisi Pantai Golkar NAD itu.
Menurut dia, diakui atau tidak, fenomena alam yang masih menjadi momok bagi masyarakat pesisir Aceh saat ini bukan saja karena penurunan permukaan tanah setelah bencana tsunami lalu, tetapi erat kaitannya dengan aksi perambahan hutan secara tidak terkendali.
“Bencana alam yang selama ini semakin akrab dengan masyarakat Aceh akibat masih maraknya illegal logging”, kata juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan NAD TAF Haikal.
Aktivis lingkungan itu juga menuding Pemerintah Aceh masa lalu sepertinya “lesu” darah dalam mengawal hutan, sehingga kawasan yang seharusnya dilindungi kini telah habis digerogoti mafia kayu, termasuk hutan penyangga di sebelah barat TNG Leuser.
Bukan itu saja, kawasan hutan lindung Jantho, Kabupaten Aceh Besar yang berada sekitar 60 km dari jantung Banda Aceh juga tidak luput dari penjarahan karena aparat penegak hukum di lapangan tidak mampu mengendalikan diri dari pengaruh rupiah.
“Sepanjang aparat penegak hukum tidak mampu mengendalikan diri dari pengaruh rupiah, banjir dan tanah longsor tetap akrab dengan masyarakat Aceh”, katanya.
Kebijakan Pemerintah Aceh merekrut ribuan anggota jagawana kontrak (polisi khusus kehutanan) untuk menyelamatkan hutan, katanya, bakal sia-sia kalau oknum penegak hukum masih “main mata” dengan mafia kayu.
Kalau itu yang terjadi, banjir dan tanah longsor masih mengancam daerah ini hinga tahun-tahun mendatang. (ant)
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4183:aceh-masih-berlangganan-banjir-dan-tanah-longsor&catid=180:18-januari-2009&Itemid=135
Jadwal Terbang SMAC Sering Tertunda
30/12/2008 09:16 WIB
[ rubrik: Serambi Bisnis | topik: Aktifitas Masyarakat ]
BLANGPIDIE - Maskapai Penerbangan Sabang Marauke Air Charter (SMAC) yang melayani rute penerbangan perintis Blangpidie-Medan-Banda Aceh, dilaporkan sering mengalami penundaan jadwal terbang tanpa sebab yang jelas.
Para calon penumpang mengaku sangat kecewa dengan pelayanan yang diberikan tersebut. Bahkan beberapa calon penumpang yang telah membeli tiket, terpaksa menggunakan jasa transportasi darat untuk menuju Medan. Selama ini, SMAC terbang dari dan ke wilayah ini sebanyak dua kali seminggu, yakni Selasa dan Sabtu.
Selama sepekan terakhir saja, sudah dua kali terjadi penundaan. Pertama pada hari Selasa (23/12) lalu yang ditunda ke hari Minggu (28/12), dan kedua jadwal terbang hari Sabtu (27/12) yang ditunda ke hari Kamis (1/1) awal 2009 nanti.
Seorang calon penumpang, Devi Satria Putra, kepada Serambi,mengaku terpaksa berangkat ke Medan menggunakan transportasi darat setelah secara tiba-tiba pihaknya mendapatkan informasi dari Agen SMAC Blangpidie bahwa penerbangan ditunda.
Hal yang lama juga diakui calon penumpang lainnya, TAF Haikal. “Pihak manajemen SMAC harus memperbaiki pelayanannya karena jadwal penerbangan yang sering ditunda ini sangat merugikan masyarakat, terutama di kawasan pantai barat selatan Aceh ini,” ujarnya.
SMAC sebagai pemenang tender, diminta komit dengan kontrak yang telah disepakati sebelumnya. Demikian juga dengan pemerintah Aceh yang berkeharusan mengontrol pelayanan yang diberikan oleh SMAC. “Penerbangan merupakan alternatif bagi masyarakat Aceh yang ingin ke luar daerah, terutama di tengah suasana jalur darat yang terganggu,” tambahnya.
Belum diperoleh informasi resmi dari manajemen SMAC di Blangpidie karena hingga kemarin tidak berhasil dihubungi. Sementara dari seorang petugas di Kantor Agen SMAC, Dedek, mengakui adanya pergeseran jadwal tersebut, namun dia tidak tahu persis apa penyebabnya.
http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&rubrik=7&topik=44&beritaid=61324
[ rubrik: Serambi Bisnis | topik: Aktifitas Masyarakat ]
BLANGPIDIE - Maskapai Penerbangan Sabang Marauke Air Charter (SMAC) yang melayani rute penerbangan perintis Blangpidie-Medan-Banda Aceh, dilaporkan sering mengalami penundaan jadwal terbang tanpa sebab yang jelas.
Para calon penumpang mengaku sangat kecewa dengan pelayanan yang diberikan tersebut. Bahkan beberapa calon penumpang yang telah membeli tiket, terpaksa menggunakan jasa transportasi darat untuk menuju Medan. Selama ini, SMAC terbang dari dan ke wilayah ini sebanyak dua kali seminggu, yakni Selasa dan Sabtu.
Selama sepekan terakhir saja, sudah dua kali terjadi penundaan. Pertama pada hari Selasa (23/12) lalu yang ditunda ke hari Minggu (28/12), dan kedua jadwal terbang hari Sabtu (27/12) yang ditunda ke hari Kamis (1/1) awal 2009 nanti.
Seorang calon penumpang, Devi Satria Putra, kepada Serambi,mengaku terpaksa berangkat ke Medan menggunakan transportasi darat setelah secara tiba-tiba pihaknya mendapatkan informasi dari Agen SMAC Blangpidie bahwa penerbangan ditunda.
Hal yang lama juga diakui calon penumpang lainnya, TAF Haikal. “Pihak manajemen SMAC harus memperbaiki pelayanannya karena jadwal penerbangan yang sering ditunda ini sangat merugikan masyarakat, terutama di kawasan pantai barat selatan Aceh ini,” ujarnya.
SMAC sebagai pemenang tender, diminta komit dengan kontrak yang telah disepakati sebelumnya. Demikian juga dengan pemerintah Aceh yang berkeharusan mengontrol pelayanan yang diberikan oleh SMAC. “Penerbangan merupakan alternatif bagi masyarakat Aceh yang ingin ke luar daerah, terutama di tengah suasana jalur darat yang terganggu,” tambahnya.
Belum diperoleh informasi resmi dari manajemen SMAC di Blangpidie karena hingga kemarin tidak berhasil dihubungi. Sementara dari seorang petugas di Kantor Agen SMAC, Dedek, mengakui adanya pergeseran jadwal tersebut, namun dia tidak tahu persis apa penyebabnya.
http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&rubrik=7&topik=44&beritaid=61324
Giliran FPI Aceh tolak Pergub
Friday, 23 January 2009 07:28 WIB
WASPADA ONLINE
BANDA ACEH - Puluhan aktivis Front Pembela Islam (FPI) Aceh berunjukrasa ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Mereka minta DPRA menolak peraturan Gubernur (Pergub) Aceh no. 25 tahun 2007, tentang pendirian gereja.
Yusuf Qardawi, Ketua FPI Aceh dalam orasinya mengatakan, pihaknya meminta DPRA mendesak Pemerintah Aceh mencabut Pergub tentang pendirian rumah ibadah itu. Karena, lanjut dia, dalam Pergub itu mempermudah syarat pendirian gereja di Aceh, misalnya disebutkan, jika sudah ada 250 orang umat kristen maka dibolehkan mendirikan gereja.
Menurutnya, jika Pergub itu diterapkan, dikhawatirkan banyak gereja berdiri di Aceh, karena banyak investor asing berencana masuk Aceh, dan nilai-nilai islami yang dianut masyarakatnya akan hilang. "Jika ini tetap dilaksanakan, maka lihat saja nanti. Jangan bilang kami anarkis," ujarnya kembali tadi malam.
Yusuf menambahkan, Aceh merupakan negeri Islam, berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Pihaknya meminta agar surat keputusan bersama (SKB) sejumlah Menteri tentang pendirian rumah ibadah tak diberlakukan di Aceh. Pemerintah juga diminta tak menyamakan Aceh dengan daerah lain yang membebaskan pendirian gereja.
Sekitar setengah jam berorasi di luar pagar, Ketua DPRA Sayed Fuad Zakaria, didampingi tiga anggota lain, Raihan Iskandar, Zainal Abidin dan Azhari menjumpai massa.
Di depan pendemo, Sayed mengatakan Pergub Aceh no. 25 dibuat justru untuk memperketat persyaratan pendirian gereja atau rumah ibadah lainnya selain umat Islam. "Ini bukan mempermudah, justru memperketat," sebutnya.
Sayed menuturkan, Pergub dibuat sebagai tindak lanjut SKB tiga Menteri, yang membenarkan gereja boleh didirikan jika ada 90 umat kristen. "Karena itu lah, Gubernur membuat Pergub di Aceh bahwa gereja baru bisa didirikan jika ada 250 umat kristen. Inikan justru untuk memperketat," jelasnya.
Selain itu, lanjut Azhari dari komisi F DPRA, untuk mendirikan gereja di Aceh juga harus ada rekomendasi dari Keuchik, Camat dan KUA setempat. "Kita tahu, Keuchik dan KUA di Aceh kan Islam semua, apakah semudah itu mereka mengeluarkan rekom nanti," kata Azhari.
Sayed Fuad menambahkan, terkait peraturan pendirian rumah ibadah, DPRA akan membuat qanun. "Karenanya kita tampung aspirasi dari saudara semua, jika qanun sudah terbentuk, maka Pergub tak berlaku lagi," kata dia.
Sementara Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, mengatakan hal sama. Pergub Aceh lebih ketat dari SKB Menteri. Dalam Pergub no. 25, kata Nazar, 150 umat kristen disyaratkan untuk dapat mendirikan gereja di Aceh merupakan penduduk lokal, ditandai dengan KTP. "Ini tak mudah, Keuchik, Camat dan KUA di Aceh semuanya Islam, mereka juga tak mudah merekom pendirian gereja," sebut Nazar.
Nazar minta masyarakat tak perlu resah berlebihan, dan kepada orang tua agar terus meningkatkan nilai-nilai keislaman pada anaknya. "Jika ada yang mengganjal tolong didiskusikan, kami bersedia. Selama ini, ada kesalahan dalam memahami Pergub itu dan ada yang mempolitisir." katanya.
Sedangkan mantan aktivis Aceh, TAF Haikal di tempat terpisah kepada Waspada, mengingatkan Gubernur Aceh supaya hati-hati mengambil kebijakan yang berkaitan dengan isu sensitif seperti itu. "Sangat bijaksana, sebelum Gubernur mengeluarkan Pergub, mengajak diskusi beberapa ulama yang tepat untuk dimintai pendapatnya," papar dia.
Bahkan, lanjut dia, akan lebih bagus bila ada ketentuan yang mewajibkan Gubernur untuk bermusyawarah dengan ulama dalam mengeluarkan kebijkan yang mengandung sensitifitas keagamaan. "Memang Pergub menjadi kewenangan Gubernur, tapi kita semua sepakat meletakkan syariat Islam bagian keseharian rakyat Aceh."
Menurut dia, dengan UUPA yang memiliki kekhususan Aceh, Pergub tersebut dapat dibuat lebih spesifik atau dibuat qanun, tentunya dengan tidak merugikan non muslim yang ada di Aceh.
(eko)
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=63278&Itemid=26
WASPADA ONLINE
BANDA ACEH - Puluhan aktivis Front Pembela Islam (FPI) Aceh berunjukrasa ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Mereka minta DPRA menolak peraturan Gubernur (Pergub) Aceh no. 25 tahun 2007, tentang pendirian gereja.
Yusuf Qardawi, Ketua FPI Aceh dalam orasinya mengatakan, pihaknya meminta DPRA mendesak Pemerintah Aceh mencabut Pergub tentang pendirian rumah ibadah itu. Karena, lanjut dia, dalam Pergub itu mempermudah syarat pendirian gereja di Aceh, misalnya disebutkan, jika sudah ada 250 orang umat kristen maka dibolehkan mendirikan gereja.
Menurutnya, jika Pergub itu diterapkan, dikhawatirkan banyak gereja berdiri di Aceh, karena banyak investor asing berencana masuk Aceh, dan nilai-nilai islami yang dianut masyarakatnya akan hilang. "Jika ini tetap dilaksanakan, maka lihat saja nanti. Jangan bilang kami anarkis," ujarnya kembali tadi malam.
Yusuf menambahkan, Aceh merupakan negeri Islam, berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Pihaknya meminta agar surat keputusan bersama (SKB) sejumlah Menteri tentang pendirian rumah ibadah tak diberlakukan di Aceh. Pemerintah juga diminta tak menyamakan Aceh dengan daerah lain yang membebaskan pendirian gereja.
Sekitar setengah jam berorasi di luar pagar, Ketua DPRA Sayed Fuad Zakaria, didampingi tiga anggota lain, Raihan Iskandar, Zainal Abidin dan Azhari menjumpai massa.
Di depan pendemo, Sayed mengatakan Pergub Aceh no. 25 dibuat justru untuk memperketat persyaratan pendirian gereja atau rumah ibadah lainnya selain umat Islam. "Ini bukan mempermudah, justru memperketat," sebutnya.
Sayed menuturkan, Pergub dibuat sebagai tindak lanjut SKB tiga Menteri, yang membenarkan gereja boleh didirikan jika ada 90 umat kristen. "Karena itu lah, Gubernur membuat Pergub di Aceh bahwa gereja baru bisa didirikan jika ada 250 umat kristen. Inikan justru untuk memperketat," jelasnya.
Selain itu, lanjut Azhari dari komisi F DPRA, untuk mendirikan gereja di Aceh juga harus ada rekomendasi dari Keuchik, Camat dan KUA setempat. "Kita tahu, Keuchik dan KUA di Aceh kan Islam semua, apakah semudah itu mereka mengeluarkan rekom nanti," kata Azhari.
Sayed Fuad menambahkan, terkait peraturan pendirian rumah ibadah, DPRA akan membuat qanun. "Karenanya kita tampung aspirasi dari saudara semua, jika qanun sudah terbentuk, maka Pergub tak berlaku lagi," kata dia.
Sementara Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, mengatakan hal sama. Pergub Aceh lebih ketat dari SKB Menteri. Dalam Pergub no. 25, kata Nazar, 150 umat kristen disyaratkan untuk dapat mendirikan gereja di Aceh merupakan penduduk lokal, ditandai dengan KTP. "Ini tak mudah, Keuchik, Camat dan KUA di Aceh semuanya Islam, mereka juga tak mudah merekom pendirian gereja," sebut Nazar.
Nazar minta masyarakat tak perlu resah berlebihan, dan kepada orang tua agar terus meningkatkan nilai-nilai keislaman pada anaknya. "Jika ada yang mengganjal tolong didiskusikan, kami bersedia. Selama ini, ada kesalahan dalam memahami Pergub itu dan ada yang mempolitisir." katanya.
Sedangkan mantan aktivis Aceh, TAF Haikal di tempat terpisah kepada Waspada, mengingatkan Gubernur Aceh supaya hati-hati mengambil kebijakan yang berkaitan dengan isu sensitif seperti itu. "Sangat bijaksana, sebelum Gubernur mengeluarkan Pergub, mengajak diskusi beberapa ulama yang tepat untuk dimintai pendapatnya," papar dia.
Bahkan, lanjut dia, akan lebih bagus bila ada ketentuan yang mewajibkan Gubernur untuk bermusyawarah dengan ulama dalam mengeluarkan kebijkan yang mengandung sensitifitas keagamaan. "Memang Pergub menjadi kewenangan Gubernur, tapi kita semua sepakat meletakkan syariat Islam bagian keseharian rakyat Aceh."
Menurut dia, dengan UUPA yang memiliki kekhususan Aceh, Pergub tersebut dapat dibuat lebih spesifik atau dibuat qanun, tentunya dengan tidak merugikan non muslim yang ada di Aceh.
(eko)
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=63278&Itemid=26
Langganan:
Postingan (Atom)