Sabtu, 27 Desember 2008 pukul 08:10:00
Republika online
Masih lekat dalam ingatan Azhar Hanafiah (47 tahun), saat gelombang raya itu menyapu, empat tahun silam. Hantaman bah air laut pada Ahad, 26 Desember 2004, pukul 07.58.53 WIB itu membuatnya berpisah selamanya dengan ibu, istri, dan kedua anaknya.
Gelombang tsunami yang didahului gempa 9,3 skala Richter (SR) di Samudra Hindia, lepas barat Aceh itu merenggut 200 ribu korban jiwa. Di antara keluarganya, hanya dialah yang selamat.
''Saya berziarah dan berdoa untuk ibu, istri, serta kedua anak saya yang menjadi korban tsunami,'' kata Azhar saat ditemui di pemakaman massal Lambaro, Kabupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jumat (26/12).
Dia memilih berziarah ke makam Lambaro, bukan karena yakin jasad kerabatnya itu dimakamkan di sana. Warga Punge, Kota Banda Aceh, ini memang tak punya tujuan lain.
Selepas gelombang raya itu, tsunami disebutnya dengan gelombang raya, dia tak pernah menemukan jenazah kerabatnya. Karena tak yakin itulah, dia menumpahkan kerinduannya di Lambaro--tempat dikebumikan 50 ribu korban tsunami--meski terkadang menyempatkan ziarah ke pemakaman massal di Ulelheue. ''Hanya doa yang dapat saya berikan kepada mereka,'' katanya, sembari meneteskan air mata.
Dengan alasan yang hampir sama, Hj Zubaidah mendatangi pemakaman di Lambaro. Hanya di tempat itulah, dia bisa mengenang saudaranya. Delapan anggota keluarnya hilang disapu tsunami yang gelombangnya bahkan sampai di pantai Thailand, Srilanka, Myanmar, dan India.
Pada tahun keempat pascatsunami ini, peristiwa itu bukan makin dilupakan, tapi justru semakin lekat dalam ingatannya. ''Saya ziarah tidak hanya saat 26 Desember, tapi ketika teringat, saya langsung ke kuburan massal,'' katanya.
Azhar dan Zubaidah hanyalah di antara ratusan warga korban tsunami yang berziarah di Lambaro. Kemarin, tepat empat tahun pascatsunami, lantunan zikir dan doa terdengar sejak pagi di tempat pemakaman 50 ribu jiwa syuhada tsunami.
Gelar zikir dan doa di tempat pemakaman itu dipimpin ulama Aceh, Tgk Muhibuddin Waly. Ulama yang akrab disapa Abuya itu mengingatkan musibah yang memorak-porandakan wilayah Aceh dan sekitarnya tersebut sebagai bentuk cobaan dari Allah SWT.
Saat Abuya membacakan doa keselamatan bagi para korban tsunami, ratusan peziarah yang memadati area Lambaro tak kuasa menahan tangis. Air mata pun mengalir di pipi mereka.
Dalam khutbah Jumat di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Tgk Raihan Iskandar, menguraikan agar semua pihak menyikapi tragedi yang mengakibatkan anak-anak menjadi yatim piatu, perempuan menjanda, dan lainnya kehilangan sanak keluarga itu dengan tabah dan tegar.
''Ada di antara mereka yang bertanya-tanya, apakah sanak keluargaku masih hidup atau benar-benar meninggal dunia. Dan di mana mereka dikuburkan,'' paparnya.
Memang, katanya, kesedihan itu sesuatu yang manusiawi. Namun, larut dalam kesedihan tidak akan menyelesaikan masalah, dan itulah yang mesti dihindari. ''Apalagi menjadikan apatisme, malas, dan tak produktif,'' tambahnya.
Yang patut direnungkan selanjutnya, kata Raihan, adalah menyusun agenda kerja dengan mengisi lembaran kebersamaan dalam membangun Aceh serta menegakkan syariat Islam.
Pada Kamis (25/12) malam, gelaran zikir dan doa di Masjid Baiturrahman dipimpin oleh Ustadz Arifin Ilham. Ribuan warga berpakain putih-putih yang menyemut di masjid kebanggaan rakyat Aceh itu dengan khusyuk mengikuti lantuan zikir dan doa untuk para korban tsunami.
Ustadz Arifin menyampaikan bahwa musibah tsunami itu cobaan dari Allah SWT. Setiap cobaan pasti ada tujuannya. Karena itu, masyarakat diharapkan tidak larut dalam kesedihan berkepanjangan.
Para korban tsunami yang meninggal, menurut Ustadz Arifin, telah hidup tenang di alam baka. ''Karena mereka yang wafat tenggelam sebagai syuhada.''
Memperingati empat tahun tsunami, warga di provinsi berjuluk Serambi Makkah itu mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang selama tiga hari, mulai Kamis (25/12).
Seruan membangun Aceh selepas tsunami, memang belum sepenuhnya selesai. Kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai proses rekonstruksi dan rehabilitasi Provinsi NAD empat tahun pascatsunami kurang memuaskan.
''Kami menilai belum menggembirakan karena ada infrastruktur dasar yang belum selesai dikerjakan,'' kata juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal, di Banda Aceh, kemarin.
Belum kelarnya pembangunan ruas jalan penghubung Kota Banda Aceh-Calang (Aceh Jaya) yang didanai Pemerintah Amerika Serika (USAid) merupakan salah satu contohnya. Padahal, ruas jalan itu merupakan infrastruktur penting mendongkrak percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Aceh, khususnya pesisir barat dan selatan.
''Meski, kami memaklumi banyaknya kendala dalam menyelesaikan pembangunan jalan tersebut,'' ucapnya. Lainnya, dia mengimbau Pemprov NAD dan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias mengedepankan pemenuhan hak-hak korban, terutama dalam mengatasi pengangguran.
Saat peringatan acara empat tahun tsunami, Kepala Badan Pelaksana BRR, Kuntoro Mangkusubroto, menyatakan permintaan maaf jika ada ketidaksempurnaan penanganan proyek-proyek BRR.
''Kami menyadari, menangani ratusan proyek pembangunan dalam waktu sangat singkat pasti ada kekurangannya,'' kata Kuntoro dalam kata sambutannya yang dibacakan Deputi Kelembagaan BRR, Iqbal Faraby, di Meulaboh, Aceh Barat.
Per 16 April 2009, sesuai UU No 10/2005, BRR akan ditutup dan program kerjanya selesai. Selepas bertugas selama 3,5 tahun, BRR telah membangun 124.454 unit rumah, jalan sepanjang 3.005 kilometer, 266 jembatan, 954 unit puskesmas, rumah sakit, dan poliklinik. Lainnya, 1.450 unit sekolah selesai dibangun, 979 unit kantor pemerintah, 12 unit bandara, 20 unit pelabuhan laut, dan 103.273 hektare lahan pertanian.
Adapun sisa anggaran BRR sekitar Rp 4 triliun telah disiapkan untuk menjamin keberlanjutan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias. Dana itu akan diserahkan pengelolaannya kepada Pemprov NAD dan lembaga-lembaga kementerian terkait. ant/has
http://www.republika.co.id/koran/0/22840.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar