Kamis, 24 November 2011 09:45 WIB
Oleh TAF Haikal
IBARAT tubuh, Aceh kembali meradang. Kali ini bukan karena konflik bersenjata, tetapi konflik yang diawali dengan perdebatan regulasi terkait kepastian hukum pelaksanaan pilkada di Aceh. Meskipun sejak awal banyak pihak yang enggan mengatakan bahwa kondisi ini disebabkan oleh “konflik”, namun hal itu saat ini terbukti. Lihat saja peraturan KIP tentang program dan tahapan pemilukada yang terus saja diubah sampai empat kali. Maka kita tidak bisa menafikan bahwa ada “konflik” menjadi hambatan pelaksanaan pilkada di Aceh.
Kalau kita melihat kebelakang soal waktu pencoblosan misalnya, KIP pertama kali merencanakan pada tanggal 10 Oktober 2011, kemudian diubah menjadi tanggal 14 November 2011, kemudian diubah untuk ketiga kalinya menjadi tanggal 24 Desember 2011, dan terakhir diubah menjadi tanggal 16 Februari 2012. Perubahan program dan tahapan ini dilandasi dinamika politik dan hukum di Aceh. Di satu sisi, semua orang melihat dalam kerangka legalitas formal, undang-undang dan peraturan lainnya, akan tetapi di sisi lain ada kebuntuan komunikasi yang terjadi antara elite politik, DPRA, Gubernur serta penyelenggara atau, lebih gamblang mengatakan ini konflik antara Irwandi Yusuf VS Partai Aceh (PA).
Debat soal pilkada di Aceh belum juga tuntas. Masing-masing pihak merasa benar. Komisi Independen Pemilihan (KIP) selaku penyelenggara merasa memiliki payung hukum yang kuat. Pelaksanaan pilkada di Aceh akan terus berjalan menurut versi KIP. Lain lagi dengan DPRA, wacana untuk menggugat KIP selaku pelaksana yang dianggap sudah “lancang” menyusun tahapan terus berlanjut. Setelah selesai dengan panitia Khusus tentang KIP, DPRA memiliki gagasan untuk menggugat KIP. Terlepas pada perbedaan penafsiran soal landasan yuridis formal, masing-masing pihak merasa bahwa mereka melakukan hal ini demi kepentingan rakyat dan untuk menjaga perdamaian.
Pemerintah pusat seolah-olah membiarkan kondisi politik di Aceh, setelah lama menunggu respons dari pemerintah pusat melalui kementerian Dalam Negeri, putusan MK pun seolah digantung. Bagi pusat, tidak ada lagi ruang spesial atau khusus bagi Aceh. Aceh sudah aman, damai dan terkendali, sehingga tidak perlu lagi diberikan perlakuan khusus. Persepsi seperti ini seolah-olah menguatkan anggapan beberapa pihak bahwa kondisi politik di Aceh tidak lepas dari peran serta pemerintah pusat.
Oleh karena itu, menurut saya ada beberapa hal yang mungkin harus dilakukan untuk mengatasi ketegangan politik di Aceh.
Pertama, Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah tegas yang dapat dilakukan sesuai dengan mekanisme dan aturan hukum yang berlaku. Pilkada merupakan agenda nasional yang dilaksanakan di daerah. Oleh karena itu, pelaksanaan pilkada di Aceh hendaknya menjadi perhatian pemerintah pusat. Kondisi seperti ini harus menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Jika ketegangan terus berlarut-larut, maka jangan salahkan publik di Aceh yang berkesimpulan bahwa ini “permainan” pemerintah pusat. Sikap tegas tersebut hendaknya memberikan kepastian, apakah dilanjutkan atau ditunda pelaksanaan pilkada. Jika pemerintah menyatakan untuk ditunda atau dilanjutkan, kita meminta pemerintah pusat menyiapkan semua antsipasi akibat yang akan ditimbulkan, baik secara hukum maupun secara sosial. Jangan ada lagi pembiaran dari pemerintah pusat, kalau memang dirasa Aceh masih bagian dari Indonesia.
Kedua, seluruh komponen masyarakat Aceh terutama para elite politik mesti memperhitungkan dampak dari dinamika politik saat ini. Perdamaian di Aceh baru berumur seumur jagung. Jangan sampai perdamaian ini kandas dengan hal-hal yang seharusnya bisa dikomunikasikan dengan semangat ke-Aceh-an. Semangat ini hendaknya dijaga dengan menghormati peran dari masing-masing pihak.
APBA/K terganggu
Konflik hukum dan politik di Aceh saat ini sangat menyita perhatian masyarakat. Meskipun perdebatan pilkada lebih kepada elite, namun dampaknya sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Proses penyusunan APBK dan APBA sangat berdampak kepada perekonomian masyarakat Aceh yang memang sangat tergantung kepada dana pemerintah dan keterlambatan ini rakyat kecil yang sangat merasakanya.
Kita sepatutnya meminta kepada eksekutif dan legislatif baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk segera membahas dokumen perencanaan dan penganggaran. Bahwa ada konflik terkait pilkada, akan tetapi mesin pemerintahan tidak boleh berhenti. Kalau ini yang terjadi, maka rakyat Aceh berhak menyalahkan eksekutif dan legislatif yang lalai memikirkan hajat hidup rakyat. Kerena amanahkan sudah diberikan melalui Pemilihan Kepala Daerah 2006 dan Pemilu Legeslatif 2009 yang mengantar mereka duduk di singgasananya hari ini.
* Penulis adalah Wakil Ketua DPW PAN Provinsi Aceh
http://aceh.tribunnews.com/2011/11/24/menanti-sikap-jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar