Senin, 10 Desember 2012 09:50 WIB
BANDA ACEH - Diskusi publik dalam
rangka memperingati Hari Antikorupsi, 9 Desember 2012 di Banda Aceh
memunculkan data yang bertolak belakang dengan semangat antikorupsi itu
sendiri. Pasalnya, di Aceh saja, menurut data yang dikumpulkan LSM
antikorupsi, ada 80 kasus korupsi yang prosesnya menggantung.
Masyarakat
Transparan Aceh (MaTA) bersama Transperancy Internasional Indonesia
Banda Aceh memperingati Hari Antikorupsi dengan menggelar diskusi
mengangkat berbagai kasus dugaan korupsi yang terjadi di Aceh. Diskusi
berlangsung di Restoran Geumuloh, Banda Aceh.
Koordinator
Bidang Advokasi Korupsi MaTA, Baihaqi didampingi Koordinator Bidang
Peneliti, Arman Fauzi dan Alfian mengungkapkan, kasus korupsi di Aceh
mereka kumpulkan dari berita korupsi yang dilansir berbagai media serta
yang ditangani BPK, BPKP, jaksa, dan polisi. “Ternyata sampai akhir 2012
masih ada 80 kasus dugan korupsi yang belum tuntas diselesaikan,”
ungkap Baihaqi.
MaTA mencontohkan kasus Rp 220 miliar di Aceh
Utara. Kasus pembobolan deposito dan kasus korupsinya telah diselesaikan
oleh pengadilan di Jakarta dan Banda Aceh. Tapi, menurut Baihaqi, masih
ada sisa dana sebesar Rp 80 miliar--dari Rp 178 miliar yang disita
polisi di Jakarta--belum dikembalikan ke Kasda Aceh Utara.
Contoh
lainnya, kasus mark up/penggelembungan harga pengadaan MRI RSUZA Banda
Aceh yang merugikan keuangan daerah sekitar Rp 8,2 miliar, korupsi
beasiswa mahasiswa Unsyiah Rp 2,5 miliar, pengadaan alat kesehatan
Lhokseumawe Rp 3,5 miliar, hibah rehab rekon Simeulue Rp 3,1 miliar, dan
pembangunan pendopo bupati serta wakil bupati Aceh Jaya Rp 4 miliar.
“Kasus-kasus
yang kami beberkan itu merupakan kasus korupsi yang mencuat dari hasil
audit BPK, BPKP, polisi, dan kejaksaan yang diberitakan berbagai media
di Aceh. Total kasusnya mencapai 80 kasus, sedangkan nilai kerugiannya
sekitar Rp 275,4 miliar,” ujar Baihaqi.
MaTA juga melihat, dari
80 kasus korupsi yang mereka kumpulkan, kerugian paling banyak terjadi
di lembaga eksekutif mencapai Rp 259,5 miliar, disusul universitas Rp 5
miliar, serta Komisi dan BUMD Rp 3,5 miliar.
Dilihat dari aktor
pelakunya, lanjut MaTA, yang paling banyak juga dari eksekutif. Yang
telah ditetapkan tersangka oleh penyidik mencapai 89 orang dari 80 kasus
korupsi yang sedang berjalan, mulai dari penyidikan sampai pada proses
penyidangan dan banding.
Berikutnya, aktor pelaku dari kalangan
swasta sebanyak 49 orang, Komisi/Badan Daerah 7 orang, legislatif 5
orang, BUMD 4 orang, universitas 3 orang, polisi 1 orang, BUMN 1 orang,
Komisi dan Badan Pusat 3 orang.
Dari sisi wilayah, menurut
MaTA, untuk sementara Aceh Utara menduduki peringkat teratas sebanyak 11
kasus disusul Kota Lhokseumawe 8 kasus, dan Aceh Barat 8 kasus.
Sedangkan di tingkat provinsi tercatat 7 kasus.
Dari modus
operandinya, menurut MaTA, kasus penggelapan dana masih peringkat
tertinggi dengan nilai kerugian Rp 233,2 miliar, disusul mark
up/penggelembungan harga Rp 22,5 miliar, dan penyalahgunaan anggaran Rp
5,3 miliar.
“Kasus dugaan korupsi dilihat dari institusi, yang
paling banyak dilakukan eksekutif, swasta, dan legislatif,” kata Hendra
Budian, seorang peserta diskusi. “Ini terjadi karena ketiga pihak ini
melakukan perselingkuhan, antara lain dalam penyusunan APBA maupun
APBK,” tandas Hendra.
(her)
Isu Dana Aspirasi tak Pernah MatiSETIAP
kali bicara korupsi, termasuk saat memperingati Hari Antikorupsi
seperti pada 9 Desember kemarin, isu tentang dana aspirasi dewan tetap
saja mencuat menjadi bagian pembicaraan. Itu pula yang mengemuka ketika
berlangsung diskusi yang mengangkat berbagai kasus dugaan korupsi di
Aceh, di Restoran Geumuloh, Banda Aceh, Minggu (9/12).
Salah
seorang peserta diskusi dari kalangan akademisi, yaitu Dosen Fakultas
Ekonomi Unsyiah, Ali Amin secara khusus mengangkat masalah dana aspirasi
dewan tersebut di forum. Menurut Ali Amin, dana aspirasi dewan perlu
diawasi secara ekstraketat oleh Inspektorat, BPK, dan KPK.
Ali
Amin merincikan, jika setiap anggota DPRA dialokasikan dana aspirasi
dalam bentuk program sebesar Rp 5 miliar maka jika dikalikan dengan 69
anggota DPRA, total dana mencapai Rp 345 miliar. “Angka itu setengah
APBK Kota Langsa atau Kota Sabang,” ujar Ali Amin.
Pengalokasian
dan penggunaan dana aspirasi, kata Ali Amin patut dicurigai kemana saja
jatuhnya. Ini menjadi tugas pengawas internal pemerintah, Inspektorat
dan BKPK serta pengawasan eksternal yakni BPK dan KPK. “Apakah benar
dana itu untuk kemakmuran rakyat?,” kata Ali menyiratkan kegalauan.
‘Kekhawatiran’
tentang pengalokasian dan penggunaan dana aspirasi dewan tersebut juga
disuarakan oleh sejumlah peserta lainnya seperti Dosen Fakultas Hukum
Unsyiah, H Mawardi Ismail dan aktivis LSM, TAF Haikal.
Beberapa
kalangan menilai, kasus korupsi masih menjadi isu elit dan baru
dilakukan pengusutan setelah mendapat desakan dari berbagai kalangan,
termasuk pressure media.
“Seharusnya, tanpa ada desakan, pihak
penyidik yakni polisi, jaksa, dan pengadilan memprosesnya dengan cepat,
seperti KPK dalam menangani kasus korupsi. Paling lama tiga bulan,
kasusnya langsung ke pengadilan tindak pidana korupsi dan sebulan
disidang langsung divonis,” begitu tanggapan Koordinator MaTA, Alfian.
(her)
Jaksa Tangani 48 Kasus KorupsiBANDA
ACEH - Jajajaran Kejaksaan di Aceh selama kurun waktu 11 bulan terakhir
sudah menangani 48 kasus korupsi di daerah ini. Dari jumlah itu,
sebanyak 16 kasus sedang dalam proses penuntutan di pengadilan.
“Kami
tidak pernah berhenti memerangi tindak pidana korupsi di Aceh. Kita
akan terus bekerja memberantas korupsi,” kata Kajati Aceh, TM Syahrizal
SH dalam amanatnya saat memimpin apel peringatan Hari Antikorupsi
Se-dunia di halaman Kantor Kejati Aceh, Minggu (9/12).
Ucapara
peringatan Hari Antikorupsi di Kejati Aceh dihadiri ratusan jaksa dan
pegawai kejaksaan dari Kejati, Kejari Banda Aceh, dan Kejari Jantho
(Aceh Besar).
Menurut Kajati, untuk mencegah dan memberantas
korupsi perlu dukungan semua pihak. Tanpa dukungan semua elemen
masyarakat, seperti ulama, LSM, mahasiswa, pemuda, dan politisi, tak
mungkin akan berhasil secara maksimal.
“Kalau hanya aparat
penegak hukum seperti kejaksaan, kepolisian, dan KPK yang bekerja
menangani kasus korupsi, jelas tidak akan mampu kita turunkan angka
tindak pidana korupsi,” katanya.
Kajati Aceh mengatakan, korupsi
terjadi lantaran sudah mengalami krisis moral. “Bayangkan saja orang
tidak malu lagi membeli sesuatu dari uang hasil korupsi. Bahkan ketika
ada tersangka kasus korupsi ditangkap aparat penegak hukum ramai-ramai
orang mengantarnya, ini juga sebuah hal yang aneh,” katanya.
Padahal,
lanjut Kajati Aceh, masyarakat harusnya memberi sanksi sosial pada
orang yang terlibat korupsi. “Sanksi sosial dari masyarakat ini sangat
efektif untuk membuat orang malu dan jera, sehingga kalau ada orang yang
ingin melakukan korupsi akan berpikir ulang tujuh kali, sebab takut
akan dikucilkan masyarakat,” ujar Kajati yang putra Samalanga ini.
Tindak
pidana korupsi di Aceh, menurut Kajati, dinilai masih tinggi. Bahkan
jajaran kejaksaan dalam 11 bulan terakhir (Januari-November 2012) sudah
menangani 48 kasus. Dari jumlah itu, 14 kasus dalam proses penyelidikan,
18 sudah memasuki tahap penyidikan, dan 16 kasus dalam proses
penuntutan di pengadilan.
“Dalam waktu dekat ini ada beberapa
kasus korupsi baru yang akan muncul dan saat ini sedang dilakukan
operasi intelijen. Anda tunggu saja akan ada perkembangan baru dalam
waktu dekat,” ujar Kajati TM Syahrizal kepada wartawan usai upacara
peringatan Hari Antikorupsi.
(sup)
http://aceh.tribunnews.com/2012/12/10/80-kasus-korupsi-menggantung