Warta - Aceh
WASPADA ONLINE
BANDA ACEH - Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal, mempertanyakan komitmen lembaga bantuan Pemerintah Amerika Serikat (USAID) terhadap kelanjutan pembangunan ruas jalan Banda Aceh-Calang (Aceh Jaya).
"Saya mempertanyakan komitmen USAID melanjutkan pembangunan ruas jalan tersebut. Jangan sampai masyarakat pesisir barat dan selatan Aceh terisolasi karena transportasi yang tidak lancar," katanya di Banda Aceh, siang ini.
Hal itu disampaikan menanggapi belum dibangunnya jembatan kawasan Lambeuso, kabupaten Aceh Jaya, yang merupakan urat nadi jalur lintas dari Banda Aceh ke Calang.
Disebutkan, belum dibangunnya jembatan di kawasan Lambeuso, kecamatan Jaya Lamno, sekitar 65 kilometer barat Banda Aceh, mengakibatkan masyarakat menggunakan jasa rakit sebagai transportasi penyeberangan sungai.
"Seharusnya masalah jembatan Lambeuso itu menjadi prioritas untuk segera dibangun. Kalau rakit sudah tidak ada, maka secara otomatis transportasi dari dan ke Calang sudah tidak ada masalah," katanya.
Dinilai sebuah "kebodohan" jika USAID yang sudah berkomitmen menyelesaikan pembangunan ruas jalan Banda Aceh-Calang, namun jembatan Lambeuso tidak segera dibangun.
Untuk pembangunan sebuah jembatan itu, ia menjelaskan informasinya menelan dana sekitar Rp30 miliar.
"Suatu kebodohan bagi USAID yang tidak segera membangun jembatan Lambeuso, sebab jembatan tersebut menjadi faktor penting bagi mobilitas material yang akan diangkut dari Banda Aceh ke Calang," tambahnya.
Dihimbau pemerintah dan legislatif Aceh serius membangun kawasan pantai barat dan selatan Aceh, khususnya ruas jalan yang rusak akibat tsunami 26 Desember 2004.
"Pemerintah dan legislatif tidak boleh diam, namun perlu beraksi agar pembangunan ruas jalan segera diselesaikan. Saat ini, sudah ada tiga orang korban meninggal dunia akibat rakit terbalik di Lambeuso. Itu karena tidak ada jembatan," katanya.
Pemerintah juga perlu mengevaluasi kinerja Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Kalau memang SKPA yang tidak mampu melakukan pendekatan dengan pihak donor maka perlu di evakuasi kembali kinerjanya.
Editor: SATRIADI TANJUNG
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=99373:komitmen-usaid-lanjutkan-pembangunan-jalan-dipertanyakan&catid=13:aceh&Itemid=26
Rabu, 24 Maret 2010
Selasa, 23 Maret 2010
Tragedi Rakit Lamno Memilukan dan Memalukan
23 Maret 2010, 11:28
* Jubir KPBS: Pemerintah Aceh tidak Sense of Crisis Barat-Selatan
Aceh Jaya
BANDA ACEH - Berbagai kalangan di Aceh, terutama yang berada di wilayah barat-selatan menilai musibah terbalik rakit di aliran Krueng Lambeusoe (Alue Mie-Teumareum), Kecamatan Jaya (Lamno), Kabupaten Aceh Jaya yang merenggut tiga nyawa, Minggu (21/3) bukan saja memilukan tetapi juga memalukan.
“Kita malu dengan masyarakat luar, karena di tengah hebatnya teknologi yang terkait prasarana dan sarana transportasi, ternyata masih ada warga Aceh yang meninggal akibat terbalik rakit. Kejadian ini juga mengindikasikan betapa lemahnya proteksi pemerintah terhadap kenyamanan dan keselamatan masyarakatnya,” tulis Direktur Acehnese Solidarity for Humanity (ASoH) Meulaboh, Fitriadilanta dalam siaran pers-nya yang diterima Serambi, Senin (22/3).
Tanggapan terhadap tragedi rakit Lamno juga disampaikan Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal. Menurut penilaian TAF Haikal, Pemerintah Aceh tidak sense of crisis barat-selatan. “Apa yang terjadi (tragedi rakit Lamno), bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba tetapi proses yang tidak ditangani dan dikoordinasikan dengan baik sehingga berdampak pada tertundanya pembangunan jalan dan jembatan di lintas Banda Aceh-Calang,” kata Haikal. “Ini juga terjadi ketika penanganan jembatan Kartika di jalur alternatif, yang prosesnya sangat lamban, bahkan sempat memunculkan masalah pada kebutuhan bahan pokok masyarakat,” lanjut Jubir KPBS ini.
Tanggapan juga disampaikan Ketua Komisi D DPRA, Ir Jufri Hasanuddin. Jufri mengaku sangat sedih mendengar kabar terbaliknya rakit di Lamno yang mengakibatkan tiga orang tewas. “Ini tragedi kemanusian yang sangat menyayat hati masyarakat pantai barat-selatan,” ujar Jufri. Jufri menyatakan, Gubernur Irwandi tidak cukup hanya sebatas memerintahkan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika (Kadishubkomintel) Aceh melakukan pemeriksaan rakit dan jembatan yang tidak layak di seluruh Aceh, agar diperbaiki atau dikeluarkan instruksi larangan melintas.
“Tidak cukup itu, tetapi harus ada tindakan konkret untuk mempercepat penyelesaian pembangunan jalan dan jembatan Banda Aceh-Meulaboh. Saya lihat pemerintahan sekarang hanya terkejut saat ada kejadian, setelah itu kembali diam,” ujar Jufri yang putra Abdya ini. Dalam penilaian Jufri, kalau Pemerintah Aceh serius dan fokus terhadap proyek pembangunan jalan USAID, dipastikan penyelesaiannya tidak berlarut-larut, dan kejadian seperti terbalik rakit bisa dihindari.
Sangat tradisional
Dalam penilaian Direktur (ASoH) Meulaboh, Fitriadilanta, tragedi rakit Lamno bisa pula dianggap sebagai bentuk kegagalan Pemerintah Aceh dalam memenuhi kebutuhan publik. “Kami di barat-selatan Aceh hingga hari ini masih ada yang mati secara sangat tradisional, seperti terbalik rakit, diinjak gajah, diterkam buaya, jatuh dari jembatan gantung, atau diterkam harimau. Entah sampai kapan cara-cara mati seperti ini bisa berakhir,” kata Fitriadilanta.
Sikap KPBS
Terkait dengan musibah rakit Lamno, Kaukus Pantai Barat-Selatan meminta Pemerintah Aceh mengambil langkah-langkah antisipasi dan penanganan bagi kelurga korban yang tertimpa musibah. Selain itu, dinas terkait harus segera mengambil langkah-langkah konkrit yang terkait dengan teknis di lapangan untuk mencegah jatuhnya korban selanjutnya.
Kaukus Barat-Selatan juga mendesak pihak USAID segera melanjutkan dan mempercepat proses pembangunan jembatan dan jalan di jalur Banda Aceh-Calang. “Menyedihkan sekali. Sudah hampir enam tahun pascatsunami, namun kawasan barat-selatan masih menggunakan rakit sebagai moda transportasi. Kami menaruh harapan besar kepada semua pihak untuk lebih peduli kepada kawasan pantai barat-selatan Aceh yang hingga kini berbagai infrastuktur dasar belum juga tertangani secara baik,” demikian Haikal.(c47/sup)
http://serambinews.com/news/view/26844/tragedi-rakit-lamno-memilukan-dan-memalukan
* Jubir KPBS: Pemerintah Aceh tidak Sense of Crisis Barat-Selatan
Aceh Jaya
BANDA ACEH - Berbagai kalangan di Aceh, terutama yang berada di wilayah barat-selatan menilai musibah terbalik rakit di aliran Krueng Lambeusoe (Alue Mie-Teumareum), Kecamatan Jaya (Lamno), Kabupaten Aceh Jaya yang merenggut tiga nyawa, Minggu (21/3) bukan saja memilukan tetapi juga memalukan.
“Kita malu dengan masyarakat luar, karena di tengah hebatnya teknologi yang terkait prasarana dan sarana transportasi, ternyata masih ada warga Aceh yang meninggal akibat terbalik rakit. Kejadian ini juga mengindikasikan betapa lemahnya proteksi pemerintah terhadap kenyamanan dan keselamatan masyarakatnya,” tulis Direktur Acehnese Solidarity for Humanity (ASoH) Meulaboh, Fitriadilanta dalam siaran pers-nya yang diterima Serambi, Senin (22/3).
Tanggapan terhadap tragedi rakit Lamno juga disampaikan Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal. Menurut penilaian TAF Haikal, Pemerintah Aceh tidak sense of crisis barat-selatan. “Apa yang terjadi (tragedi rakit Lamno), bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba tetapi proses yang tidak ditangani dan dikoordinasikan dengan baik sehingga berdampak pada tertundanya pembangunan jalan dan jembatan di lintas Banda Aceh-Calang,” kata Haikal. “Ini juga terjadi ketika penanganan jembatan Kartika di jalur alternatif, yang prosesnya sangat lamban, bahkan sempat memunculkan masalah pada kebutuhan bahan pokok masyarakat,” lanjut Jubir KPBS ini.
Tanggapan juga disampaikan Ketua Komisi D DPRA, Ir Jufri Hasanuddin. Jufri mengaku sangat sedih mendengar kabar terbaliknya rakit di Lamno yang mengakibatkan tiga orang tewas. “Ini tragedi kemanusian yang sangat menyayat hati masyarakat pantai barat-selatan,” ujar Jufri. Jufri menyatakan, Gubernur Irwandi tidak cukup hanya sebatas memerintahkan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika (Kadishubkomintel) Aceh melakukan pemeriksaan rakit dan jembatan yang tidak layak di seluruh Aceh, agar diperbaiki atau dikeluarkan instruksi larangan melintas.
“Tidak cukup itu, tetapi harus ada tindakan konkret untuk mempercepat penyelesaian pembangunan jalan dan jembatan Banda Aceh-Meulaboh. Saya lihat pemerintahan sekarang hanya terkejut saat ada kejadian, setelah itu kembali diam,” ujar Jufri yang putra Abdya ini. Dalam penilaian Jufri, kalau Pemerintah Aceh serius dan fokus terhadap proyek pembangunan jalan USAID, dipastikan penyelesaiannya tidak berlarut-larut, dan kejadian seperti terbalik rakit bisa dihindari.
Sangat tradisional
Dalam penilaian Direktur (ASoH) Meulaboh, Fitriadilanta, tragedi rakit Lamno bisa pula dianggap sebagai bentuk kegagalan Pemerintah Aceh dalam memenuhi kebutuhan publik. “Kami di barat-selatan Aceh hingga hari ini masih ada yang mati secara sangat tradisional, seperti terbalik rakit, diinjak gajah, diterkam buaya, jatuh dari jembatan gantung, atau diterkam harimau. Entah sampai kapan cara-cara mati seperti ini bisa berakhir,” kata Fitriadilanta.
Sikap KPBS
Terkait dengan musibah rakit Lamno, Kaukus Pantai Barat-Selatan meminta Pemerintah Aceh mengambil langkah-langkah antisipasi dan penanganan bagi kelurga korban yang tertimpa musibah. Selain itu, dinas terkait harus segera mengambil langkah-langkah konkrit yang terkait dengan teknis di lapangan untuk mencegah jatuhnya korban selanjutnya.
Kaukus Barat-Selatan juga mendesak pihak USAID segera melanjutkan dan mempercepat proses pembangunan jembatan dan jalan di jalur Banda Aceh-Calang. “Menyedihkan sekali. Sudah hampir enam tahun pascatsunami, namun kawasan barat-selatan masih menggunakan rakit sebagai moda transportasi. Kami menaruh harapan besar kepada semua pihak untuk lebih peduli kepada kawasan pantai barat-selatan Aceh yang hingga kini berbagai infrastuktur dasar belum juga tertangani secara baik,” demikian Haikal.(c47/sup)
http://serambinews.com/news/view/26844/tragedi-rakit-lamno-memilukan-dan-memalukan
Pascamusibah Krueng Lambeusoe ; Pemerintah Aceh Jangan Biarkan Transportasi Rakit
Banda Aceh, (Analisa)
Pemerintah Aceh pimpinan Gubernur Irwandi Yusuf dinilai kurang peduli dengan sarana transportasi di kawasan pantai barat selatan, terutama lintas Calang-Lamno yang hingga kini masih menggunakan rakit darurat
sebagai sarana penyeberangan di Krueng Lamno, tepatnya di Desa Lambeusoe dan Desa Alue Mie Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya.
"Pemerintah Aceh sepertinya tidak punya sense of crisis untuk kawasan pantai barat selatan, karena sarana transportasi rakit darurat masih dibiarkan berlangsung bertahun-tahun dan tidak ada upaya untuk mengatasinya, hingga kini telah jatuh korban," ujar Jurubicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal kepada wartawan di Banda Aceh, Senin (22/3).
Pernyataan itu disampaikannya menyusul musibah yang terjadi pada salah satu rakit penyeberangan di aliran Krueng Lambeusoe, Lamno, terbalik Minggu (21/3) sehingga menyebabkan puluhan penumpang, mayoritas perempuan termasuk anak-anak tumpah ke sungai.
Tiga korban yang sempat hilang, ditemukan semuanya dalam keadaan tewas. Sedangkan delapan lainnya harus mendapat pertolongan medis. Korban tewas akibat musibah rakit Alue Mie masing-masing Safrizal (40) warga Lammee, Nurdin (45) warga Meunasah Weh, dan Aminah (30) warga Pante Keutapang.
Selain itu, ada delapan korban yang pingsan sehingga harus dilarikan ke Puskesmas Lamno. Korban yang sempat mendapat penanganan medis tersebut semuanya warga Desa Lammee, yaitu Hindon (37), Cut Linda (40), Rubiah (47), Muliana (27), Fatimah (21), Cut Ani (31), Cut Fitriana (28), dan Nurul Anisa (23).
Rakit yang musibah itu merupakan rakit desa yang beroperasi di aliran Krueng Lambeusoe menghubungkan Desa Alue Mie dengan Teumareum. Lebar sungai tersebut sekitar 120 meter, dengan kedalaman lebih kurang empat meter.
Lebih lanjut Haikal menambahkan, apa yang sekarang terjadi dengan terbaliknya rakit tersebut, bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba, tapi proses yang tidak ditangani dan dikoordinasikan dengan baik dalam pembangunan jembatan serta jalan lintas Banda Aceh- Calang, sehingga tertunda penyelesaiannya.
"Termasuk di dalamnya upaya pembangunan jembatan alternatif Kartika yang sangat lamban sekali penyelesaiannya," ungkap Haikal.
Bukan Berita Baru
Ditambahkan, kondisi transportasi yang mengkhawatirkan ini bukan berita baru. Sejak bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 silam, kondisi transportasi di kawasan barat selatan Aceh hancur dan rusak parah.
Meskipun saat ini pemerintah Amerika Serikat melalui USAID sedang membangun jembantan dan jalan Banda Aceh-Calang, namun pembangunan tersebut masih banyak kendala.
"Sebenarnya bila jembatan Lambeusoe dapat diselesaikan segera, banyak hal akan terbantu seperti tonase yang selalu menjadi masalah jembatan alternatif Kartika, sehingga barang-barang kebutuhan di masyarakat pantai barat selatan terjamin dari segi harga maupun ketersediannya. Termasuk percepatan pembangun jalan Banda Aceh- Calang sendiri yang didanai oleh USAD, selama ini mobilitas material terkendala dengan jembatan alternatif Kartika," jelasnya.
KPBS memandang pembangunan sarana transportasi di wilayah barat selatan khususnya jembatan harus segera diprioritaskan. Jangan sampai korban yang terus lain bertambah akibat lambannya penanganan.
"Kami menunggu komitmen yang nyata dari Pemerintah Aceh untuk segera mendorong pembangunan transportasi yang baik dan berkualitas. Di tengah banyaknya dana yang sedang dikelola oleh Pemerintah Aceh, masyarakat belum merasakan dampak yang signifikan dari pembangunan tersebut," ujarnya.
Antisipasi
Terkait dengan musibah ini, KPBS juga meminta Pemerintah Aceh untuk mengambil langkah-langkah antisipasi dan penanganan bagi kelurga korban yang tertimpa musibah.
Selain itu, dinas terkait harus segera mengambil langkah-langkah konkrit yang terkait dengan teknis di lapangan untuk mencegah korban selanjutnya.
KPBS juga mendesak USAID untuk segera melanjutkan dan mempercepat proses pembangunan jembatan dan jalan. Sudah masuk tahun keenam bencana tsunami, namun sangat ironis kawasan barat selatan masih menggunakan rakit sebagai modal transportasi, sementara bantuan yang rencananya disalurkan masyarakat Amerika Serikat cukup besar.
"Masyarakat di kawasan barat selatan menaruh harapan yang besar akan penyelesaian pembangunan jembatan dan jalan tersebut. Kami menaruh harapan besar kepada semua pihak untuk peduli kepada kawasan pantai barat selatan Aceh. Menurut kami wilayah ini sangat parah dihantam tsunami, namun berbagai infrastuktur dasar belum juga tertangani secara baik," ujarnya. (mhd)
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=48458:pascamusibah-krueng-lambeusoe--pemerintah-aceh-jangan-biarkan-transportasi-rakit&catid=596:23-maret-2010&Itemid=209
Pemerintah Aceh pimpinan Gubernur Irwandi Yusuf dinilai kurang peduli dengan sarana transportasi di kawasan pantai barat selatan, terutama lintas Calang-Lamno yang hingga kini masih menggunakan rakit darurat
sebagai sarana penyeberangan di Krueng Lamno, tepatnya di Desa Lambeusoe dan Desa Alue Mie Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya.
"Pemerintah Aceh sepertinya tidak punya sense of crisis untuk kawasan pantai barat selatan, karena sarana transportasi rakit darurat masih dibiarkan berlangsung bertahun-tahun dan tidak ada upaya untuk mengatasinya, hingga kini telah jatuh korban," ujar Jurubicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal kepada wartawan di Banda Aceh, Senin (22/3).
Pernyataan itu disampaikannya menyusul musibah yang terjadi pada salah satu rakit penyeberangan di aliran Krueng Lambeusoe, Lamno, terbalik Minggu (21/3) sehingga menyebabkan puluhan penumpang, mayoritas perempuan termasuk anak-anak tumpah ke sungai.
Tiga korban yang sempat hilang, ditemukan semuanya dalam keadaan tewas. Sedangkan delapan lainnya harus mendapat pertolongan medis. Korban tewas akibat musibah rakit Alue Mie masing-masing Safrizal (40) warga Lammee, Nurdin (45) warga Meunasah Weh, dan Aminah (30) warga Pante Keutapang.
Selain itu, ada delapan korban yang pingsan sehingga harus dilarikan ke Puskesmas Lamno. Korban yang sempat mendapat penanganan medis tersebut semuanya warga Desa Lammee, yaitu Hindon (37), Cut Linda (40), Rubiah (47), Muliana (27), Fatimah (21), Cut Ani (31), Cut Fitriana (28), dan Nurul Anisa (23).
Rakit yang musibah itu merupakan rakit desa yang beroperasi di aliran Krueng Lambeusoe menghubungkan Desa Alue Mie dengan Teumareum. Lebar sungai tersebut sekitar 120 meter, dengan kedalaman lebih kurang empat meter.
Lebih lanjut Haikal menambahkan, apa yang sekarang terjadi dengan terbaliknya rakit tersebut, bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba, tapi proses yang tidak ditangani dan dikoordinasikan dengan baik dalam pembangunan jembatan serta jalan lintas Banda Aceh- Calang, sehingga tertunda penyelesaiannya.
"Termasuk di dalamnya upaya pembangunan jembatan alternatif Kartika yang sangat lamban sekali penyelesaiannya," ungkap Haikal.
Bukan Berita Baru
Ditambahkan, kondisi transportasi yang mengkhawatirkan ini bukan berita baru. Sejak bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 silam, kondisi transportasi di kawasan barat selatan Aceh hancur dan rusak parah.
Meskipun saat ini pemerintah Amerika Serikat melalui USAID sedang membangun jembantan dan jalan Banda Aceh-Calang, namun pembangunan tersebut masih banyak kendala.
"Sebenarnya bila jembatan Lambeusoe dapat diselesaikan segera, banyak hal akan terbantu seperti tonase yang selalu menjadi masalah jembatan alternatif Kartika, sehingga barang-barang kebutuhan di masyarakat pantai barat selatan terjamin dari segi harga maupun ketersediannya. Termasuk percepatan pembangun jalan Banda Aceh- Calang sendiri yang didanai oleh USAD, selama ini mobilitas material terkendala dengan jembatan alternatif Kartika," jelasnya.
KPBS memandang pembangunan sarana transportasi di wilayah barat selatan khususnya jembatan harus segera diprioritaskan. Jangan sampai korban yang terus lain bertambah akibat lambannya penanganan.
"Kami menunggu komitmen yang nyata dari Pemerintah Aceh untuk segera mendorong pembangunan transportasi yang baik dan berkualitas. Di tengah banyaknya dana yang sedang dikelola oleh Pemerintah Aceh, masyarakat belum merasakan dampak yang signifikan dari pembangunan tersebut," ujarnya.
Antisipasi
Terkait dengan musibah ini, KPBS juga meminta Pemerintah Aceh untuk mengambil langkah-langkah antisipasi dan penanganan bagi kelurga korban yang tertimpa musibah.
Selain itu, dinas terkait harus segera mengambil langkah-langkah konkrit yang terkait dengan teknis di lapangan untuk mencegah korban selanjutnya.
KPBS juga mendesak USAID untuk segera melanjutkan dan mempercepat proses pembangunan jembatan dan jalan. Sudah masuk tahun keenam bencana tsunami, namun sangat ironis kawasan barat selatan masih menggunakan rakit sebagai modal transportasi, sementara bantuan yang rencananya disalurkan masyarakat Amerika Serikat cukup besar.
"Masyarakat di kawasan barat selatan menaruh harapan yang besar akan penyelesaian pembangunan jembatan dan jalan tersebut. Kami menaruh harapan besar kepada semua pihak untuk peduli kepada kawasan pantai barat selatan Aceh. Menurut kami wilayah ini sangat parah dihantam tsunami, namun berbagai infrastuktur dasar belum juga tertangani secara baik," ujarnya. (mhd)
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=48458:pascamusibah-krueng-lambeusoe--pemerintah-aceh-jangan-biarkan-transportasi-rakit&catid=596:23-maret-2010&Itemid=209
Sabtu, 13 Maret 2010
Pemimpin Aneh
10 Maret 2010, 10:11
(Hasil Pilkada 2007)
TAF Haikal - Opini
KITA terkesima dengan tayangan “Kick Andy” di sebuah stasiun televisi swasta yang menghadirkan beberapa kepala daerah “aneh” yang berhasil melakukan terobosan positif untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Dikatakan “aneh” karena melahirkan berbagai kebijakan yang tidak biasa atau “berperilaku tidak biasa”.
Saya (mungkin juga anda) pasti merasa sangat terprovokasi dengan tayangan itu, bagaimana tidak para pemimpin unik itu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya bukan hanya lewat biaya operasional yang besar, anggaran daerah yang memadai atau keadaan rakyat yang mapan untuk membantu pemerintahnya.
Bupati Sragen, Untung Wiyono terkenal dengan jaringan teknologi informasi (internet)-nya, yang menjangkau seluruh desa, sehingga komunikasi, transparansi dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan meningkat pesat. Sragen juga mulai membatasi penerimaan pegawai. Strategi ini diambil untuk optimalisasi anggaran daerah yang minim. Selain Bupati Sragen, sosok Bupati Gorontalo, David Bobihoe Akib juga terbilang “aneh”. Bupati yang satu ini terkenal karena konsep “government mobile” dengan bekerja langsung di tengah masyarakat. Ia berkantor bersama kepala dinas dan jajarannya di desa atau kecamatan yang didatanginya.
Bupati Jombang, Suyanto, tak kalah “aneh”. Suyanto memiliki program peningkatan kemampuan puskesmas menjadi rumah sakit mini yang memiliki fasilitas rawat inap memadai dan dokter spesialis yang dapat melayani kebutuhan kesehatan masayarakat. Lain halnya dengan Bupati Blitar, Djarot Saiful Hidayat, ia melakukan tindakan “brutal” dengan melakukan pemangkasan umur pensiun bagi pegawai di daerahnya, sebagai upaya mendorong regenerasi yang berefek pada peningkatan semangat dan kinerja aparatur.
Dari beberapa contoh kepala daerah tersebut, setidaknya ada kesimpulan sementara bahwa sebenarnya ada tiga faktor yang sangat berperan dalam mengukur kinerja mereka yaitu, pelayanan publik, transparansi dan fasilitasi dunia usaha. Tiga hal itu tidak bisa dipungkiri lagi adalah harapan terbesar yang digantungkan rakyat kepada pemimpinnya.
Untuk pelayanan publik, kita bisa mengambil bidang kesehatan dan pendidikan sebagai kebutuhan mendasar. Bagaimana pemerintah daerah menyediakan sarana kesehatan beserta perangkat pendukung yang dapat melayani masyarakat secara profesional menjadi tantangan bertahun-tahun dan sorotan yang sering ditujukan berkenaan dengan kinerja pemerintah. Sangat naif bila para kepala daerah hanya berbicara tatanan normatif serta perencanaan spektakuler tentang pelayanan kesehatan. Meningkatkan derajat kesehatan bukan hanya bicara anggaran, akan tetapi juga terkait dengan semangat melayani dari aparatur. Seringkali keluhan layanan kesehatan datang dari rumah sakit yang mewah namun buruk pelayanan. Dalam hal fasilitasi bagi dunia usaha, pelayanan dokumen merupakan komponen terpenting sehingga tercipta iklim investasi yang sehat dan menggairahkan dunia usaha. Dengan berbagai kemudahan yang didapatkan dalam pelayanan dokumen ini, dunia usaha akan meningkatkan efisiensi dan memperluas kemungkinan masuknya investor yang lebih besar.
Bagaimana dengan para kepala daerah di nanggroe ini? Bukankah beberapa di antara mereka juga sudah mendapatkan penghargaan yang berkenaan dengan pelayanan publik? Apakah penghargaan yang diberikan oleh pemerintah pusat juga sebanding dengan peningkatan pelayanan yang dirasakan publik secara nyata? Sudah puaskah kita dengan pelayanan kesehatan, pendidikan oleh pemerintah buah dari MoU Helsinki? Sudah cukup transparankah mereka? Bagaimana dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dalam 3 tahun ini? Apakah benar karena intervensi mereka? Atau justeru karena kesempatan berusaha yang diperoleh masyarakat dalam situasi damai.
Dalam konteks Aceh saat ini, kita bisa melihat ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan oleh mereka yang punya 2 tahun lagi masa jabatan. Pertama, terkait kuantitas dan kualitas aparatur yang memprihatinkan. Secara kuantitas, jumlah PNS yang sekarang dimiliki oleh tiap daerah di Aceh sudah lebih dari cukup, tetapi distribusi dan kualitasnya belum mampu meningkatkan kualitas layanan publik bagi masyarakat. Menurut saya, langkah ini merupakan awal dari inovasi yang harus dilakukan kepala daerah. Pemerintah daerah harus melakukan kajian mendalam untuk menilai kinerja abdi negara tersebut, Reward dan Punishment serta ketegasan pemimpin menjadi ujung tombak keberhasilan penegakan disipilin aparatur.
Kedua, mewujudkan visi dan misi secara baik, terencana dan berkualitas. Sebenarnya visi para kepala daerah bisa dilihat dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Yang menjadi permasalahan adalah sejauh mana dokumen itu bisa diakses oleh publik? Bukankah seharusnya masyarakat juga dapat melihat secara jelas apa yang menjadi tujuan-tujuan strategis para pemimpinnya? Selama ini RPJMD hanya menjadi dokumen formalitas yang dimiliki kepala daerah bersama perangkatnya, bahkan sering pula RPJMD adalah hasil penulisan konsultan sewaan yang terbiasa mengerjakannya. Belum lagi kita melihat rencana pembangunan tiap tahun yang tumpang tindih dan tanpa arah. Akibatnya banyak program yang muncul dalam RAPBA/RAPBK terkesan Cet langet, tanpa arah dan tujuan serta sulit terukur.
Ketiga, yang tidak bisa kita kesampingkan di Aceh adalah dominasi kelompok tertentu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para kepala daerah masih dibebani kuatnya kepentingan kelompok yang menjadi pendukung pada masa pemilihan. Kelompok-kelompok itu menjadi sangat menggangu kinerja para kepala daerah bila tidak dikelola dengan baik.
Keempat, sikap ketergantungan yang masih besar kepada pemerintah pusat dan provinsi dalam hal anggaran. Padahal bila kita perhatikan para pemimpin “aneh” itu, juga memiliki masalah sama bahkan kadang lebih berat dari rekan-rekan mereka di Aceh. Tetapi sikap mental inilah yang membedakannya. Daripada berharap “kemurahan” hati pemerintah provinsi dan pusat mereka memilih mengoptimalkan sumber daya sendiri. tidak boros anggaran dan mengoptimalkan fungsi anggaran berdasarkan kebutuhan rakyat.
Di samping faktor-faktor yang telah disebutkan tadi, sebenarnya para kepala daerah memiliki keuntungan lebih dibandingkan yang lain yaitu legitimasi dari masyarakat dan dukungan internasional. Sebagai kepala daerah buah dari perdamaian dan pemilihan langsung, mereka memegang legitimasi kuat dari rakyatnya sehingga dalam membuat kebijakan juga seharusnya mudah mendapatkan dukungan. Terlepas dari kemungkinan terpilihnya mereka dulu karena euforia perdamaian yang sedang melanda, tidak bisa ditampik bahwa sebagian kepala daerah di Aceh telah mengecewakan para pemilihnya.
Dukungan internasional bagi Aceh sampai sekarang masih terlihat serius dan terjaga. Dukungan bagi proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa dan tsunami akhir 2004 telah banyak meringankan beban pemerintah daerah, begitu juga dukungan dan komitmen untuk perdamaian. Beberapa lembaga baik NGO atau lembaga bilateral telah menunjukkan kontribusi positif untuk mendukung peningkatan kapasitas aparatur di Aceh, sesuatu yang sangat berharga dan agak mustahil didapatkan daerah lain.
Pelayanan publik, transparansi serta dukungan bagi dunia usaha bukanlah sesuatu yang mustahil di Aceh, bagaimana para kepala daerah lebih bijak dan mengutamakan hati nurani lah sebenarnya yang lebih mahal. Bukankah sebagian dari kepala daerah di Aceh berlatar belakang para pejuang yang pada masa sulit dulu telah berani mengorbankan hal-hal berharga dalam hidupnya? Atau bagi mereka yang dulunya dikenal sebagai sosok yang agamis dan dan bermoral tinggi, apakah memang kewenangan yang didapat telah mengaburkan itu? Bagaimana dengan sosok-sosok yang juga dikenal dengan keberaniannya mengkritik dan menentang pemerintah sebelumnya, kemanakah semangat itu? Dua tahun lagi memang bukan waktu yang cukup panjang tetapi akan menjadi sia-sia bila tidak juga muncul hal-hal yang menyejukkan hati rakyat.
* Penulis adalah aktivis dan peminat masalah sosial
http://www.serambinews.com/news/view/25821/pemimpin-aneh
(Hasil Pilkada 2007)
TAF Haikal - Opini
KITA terkesima dengan tayangan “Kick Andy” di sebuah stasiun televisi swasta yang menghadirkan beberapa kepala daerah “aneh” yang berhasil melakukan terobosan positif untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Dikatakan “aneh” karena melahirkan berbagai kebijakan yang tidak biasa atau “berperilaku tidak biasa”.
Saya (mungkin juga anda) pasti merasa sangat terprovokasi dengan tayangan itu, bagaimana tidak para pemimpin unik itu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya bukan hanya lewat biaya operasional yang besar, anggaran daerah yang memadai atau keadaan rakyat yang mapan untuk membantu pemerintahnya.
Bupati Sragen, Untung Wiyono terkenal dengan jaringan teknologi informasi (internet)-nya, yang menjangkau seluruh desa, sehingga komunikasi, transparansi dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan meningkat pesat. Sragen juga mulai membatasi penerimaan pegawai. Strategi ini diambil untuk optimalisasi anggaran daerah yang minim. Selain Bupati Sragen, sosok Bupati Gorontalo, David Bobihoe Akib juga terbilang “aneh”. Bupati yang satu ini terkenal karena konsep “government mobile” dengan bekerja langsung di tengah masyarakat. Ia berkantor bersama kepala dinas dan jajarannya di desa atau kecamatan yang didatanginya.
Bupati Jombang, Suyanto, tak kalah “aneh”. Suyanto memiliki program peningkatan kemampuan puskesmas menjadi rumah sakit mini yang memiliki fasilitas rawat inap memadai dan dokter spesialis yang dapat melayani kebutuhan kesehatan masayarakat. Lain halnya dengan Bupati Blitar, Djarot Saiful Hidayat, ia melakukan tindakan “brutal” dengan melakukan pemangkasan umur pensiun bagi pegawai di daerahnya, sebagai upaya mendorong regenerasi yang berefek pada peningkatan semangat dan kinerja aparatur.
Dari beberapa contoh kepala daerah tersebut, setidaknya ada kesimpulan sementara bahwa sebenarnya ada tiga faktor yang sangat berperan dalam mengukur kinerja mereka yaitu, pelayanan publik, transparansi dan fasilitasi dunia usaha. Tiga hal itu tidak bisa dipungkiri lagi adalah harapan terbesar yang digantungkan rakyat kepada pemimpinnya.
Untuk pelayanan publik, kita bisa mengambil bidang kesehatan dan pendidikan sebagai kebutuhan mendasar. Bagaimana pemerintah daerah menyediakan sarana kesehatan beserta perangkat pendukung yang dapat melayani masyarakat secara profesional menjadi tantangan bertahun-tahun dan sorotan yang sering ditujukan berkenaan dengan kinerja pemerintah. Sangat naif bila para kepala daerah hanya berbicara tatanan normatif serta perencanaan spektakuler tentang pelayanan kesehatan. Meningkatkan derajat kesehatan bukan hanya bicara anggaran, akan tetapi juga terkait dengan semangat melayani dari aparatur. Seringkali keluhan layanan kesehatan datang dari rumah sakit yang mewah namun buruk pelayanan. Dalam hal fasilitasi bagi dunia usaha, pelayanan dokumen merupakan komponen terpenting sehingga tercipta iklim investasi yang sehat dan menggairahkan dunia usaha. Dengan berbagai kemudahan yang didapatkan dalam pelayanan dokumen ini, dunia usaha akan meningkatkan efisiensi dan memperluas kemungkinan masuknya investor yang lebih besar.
Bagaimana dengan para kepala daerah di nanggroe ini? Bukankah beberapa di antara mereka juga sudah mendapatkan penghargaan yang berkenaan dengan pelayanan publik? Apakah penghargaan yang diberikan oleh pemerintah pusat juga sebanding dengan peningkatan pelayanan yang dirasakan publik secara nyata? Sudah puaskah kita dengan pelayanan kesehatan, pendidikan oleh pemerintah buah dari MoU Helsinki? Sudah cukup transparankah mereka? Bagaimana dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dalam 3 tahun ini? Apakah benar karena intervensi mereka? Atau justeru karena kesempatan berusaha yang diperoleh masyarakat dalam situasi damai.
Dalam konteks Aceh saat ini, kita bisa melihat ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan oleh mereka yang punya 2 tahun lagi masa jabatan. Pertama, terkait kuantitas dan kualitas aparatur yang memprihatinkan. Secara kuantitas, jumlah PNS yang sekarang dimiliki oleh tiap daerah di Aceh sudah lebih dari cukup, tetapi distribusi dan kualitasnya belum mampu meningkatkan kualitas layanan publik bagi masyarakat. Menurut saya, langkah ini merupakan awal dari inovasi yang harus dilakukan kepala daerah. Pemerintah daerah harus melakukan kajian mendalam untuk menilai kinerja abdi negara tersebut, Reward dan Punishment serta ketegasan pemimpin menjadi ujung tombak keberhasilan penegakan disipilin aparatur.
Kedua, mewujudkan visi dan misi secara baik, terencana dan berkualitas. Sebenarnya visi para kepala daerah bisa dilihat dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Yang menjadi permasalahan adalah sejauh mana dokumen itu bisa diakses oleh publik? Bukankah seharusnya masyarakat juga dapat melihat secara jelas apa yang menjadi tujuan-tujuan strategis para pemimpinnya? Selama ini RPJMD hanya menjadi dokumen formalitas yang dimiliki kepala daerah bersama perangkatnya, bahkan sering pula RPJMD adalah hasil penulisan konsultan sewaan yang terbiasa mengerjakannya. Belum lagi kita melihat rencana pembangunan tiap tahun yang tumpang tindih dan tanpa arah. Akibatnya banyak program yang muncul dalam RAPBA/RAPBK terkesan Cet langet, tanpa arah dan tujuan serta sulit terukur.
Ketiga, yang tidak bisa kita kesampingkan di Aceh adalah dominasi kelompok tertentu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para kepala daerah masih dibebani kuatnya kepentingan kelompok yang menjadi pendukung pada masa pemilihan. Kelompok-kelompok itu menjadi sangat menggangu kinerja para kepala daerah bila tidak dikelola dengan baik.
Keempat, sikap ketergantungan yang masih besar kepada pemerintah pusat dan provinsi dalam hal anggaran. Padahal bila kita perhatikan para pemimpin “aneh” itu, juga memiliki masalah sama bahkan kadang lebih berat dari rekan-rekan mereka di Aceh. Tetapi sikap mental inilah yang membedakannya. Daripada berharap “kemurahan” hati pemerintah provinsi dan pusat mereka memilih mengoptimalkan sumber daya sendiri. tidak boros anggaran dan mengoptimalkan fungsi anggaran berdasarkan kebutuhan rakyat.
Di samping faktor-faktor yang telah disebutkan tadi, sebenarnya para kepala daerah memiliki keuntungan lebih dibandingkan yang lain yaitu legitimasi dari masyarakat dan dukungan internasional. Sebagai kepala daerah buah dari perdamaian dan pemilihan langsung, mereka memegang legitimasi kuat dari rakyatnya sehingga dalam membuat kebijakan juga seharusnya mudah mendapatkan dukungan. Terlepas dari kemungkinan terpilihnya mereka dulu karena euforia perdamaian yang sedang melanda, tidak bisa ditampik bahwa sebagian kepala daerah di Aceh telah mengecewakan para pemilihnya.
Dukungan internasional bagi Aceh sampai sekarang masih terlihat serius dan terjaga. Dukungan bagi proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa dan tsunami akhir 2004 telah banyak meringankan beban pemerintah daerah, begitu juga dukungan dan komitmen untuk perdamaian. Beberapa lembaga baik NGO atau lembaga bilateral telah menunjukkan kontribusi positif untuk mendukung peningkatan kapasitas aparatur di Aceh, sesuatu yang sangat berharga dan agak mustahil didapatkan daerah lain.
Pelayanan publik, transparansi serta dukungan bagi dunia usaha bukanlah sesuatu yang mustahil di Aceh, bagaimana para kepala daerah lebih bijak dan mengutamakan hati nurani lah sebenarnya yang lebih mahal. Bukankah sebagian dari kepala daerah di Aceh berlatar belakang para pejuang yang pada masa sulit dulu telah berani mengorbankan hal-hal berharga dalam hidupnya? Atau bagi mereka yang dulunya dikenal sebagai sosok yang agamis dan dan bermoral tinggi, apakah memang kewenangan yang didapat telah mengaburkan itu? Bagaimana dengan sosok-sosok yang juga dikenal dengan keberaniannya mengkritik dan menentang pemerintah sebelumnya, kemanakah semangat itu? Dua tahun lagi memang bukan waktu yang cukup panjang tetapi akan menjadi sia-sia bila tidak juga muncul hal-hal yang menyejukkan hati rakyat.
* Penulis adalah aktivis dan peminat masalah sosial
http://www.serambinews.com/news/view/25821/pemimpin-aneh
Langganan:
Postingan (Atom)